Kewajiban memberi nafkah kepada
orangtua apabila keadaan orangtua dalam keadaan miskin merupakan tanggungjawab
anaknya, disamping kewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anak.
Namun menjadi persoalan, ketika seseorang hanya mampu menafkahkan salah seorang
saja. Apabila diberikan untuk orangtua, maka hak nafkah isteri terabaikan.
Sebaliknya apabila diberikan untuk isteri, maka orangtua tidak ada yang
menafkahinya. Dalam menjawab persoalan ini, para ulama berpendapat hak nafkah
isteri harus didahulukan, dengan alasan sebagai berikut :
1.
Hadits riwayat Muslim dari Jabir
sebagaimana disebutkan setelah ini
2.
Nafkah isteri merupakan akibat
hukum dari akad nikah yakni muqabalah (imbalan) dari pelayanan seksual
(istimta’). Adapun nafkah orangtua sebuah kewajiban bukan didasarkan karena
wujud akad.
3.
Nafkah isteri tidak gugur dengan
sebab lalu zaman dan dengan sebab miskin. Sehingga suami tetap terhutang nafkah
kepada isterinya apabila pada zaman yang telah lalu tidak mampu memberikannya. Demikian
juga suami dapat difasakh oleh isterinya, meskipun suami tidak memberikan
nafkah karena faktor miskin. Kedua ini tidak berlaku pada nafkah orangtua.
Adapun hadits dan nash para ulama
kita yang menjadi dasar kesimpulan ini adalah sebagai berikut :
a. Hadits Muslim dari Jabir, berkata :
أَعْتَقَ
رَجُلٌ مِنْ بَنِي عُذْرَةَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ، فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَلَكَ مَالٌ غَيْرُهُ؟ فَقَالَ: لَا،
فَقَالَ: مَنْ يَشْتَرِيهِ مِنِّي؟ فَاشْتَرَاهُ نُعَيْمُ بْنُ عَبْدِ اللهِ
الْعَدَوِيُّ بِثَمَانِ مِائَةِ دِرْهَمٍ، فَجَاءَ بِهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ
أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ
فَهَكَذَا وَهَكَذَا
Seorang laki-laki dari
bani Udzrah memerdekakan budaknya dengan cara mudabbar (seorang majikan berkata
kepada hamba sahayanya, "Kamu merdeka setelah aku mati), lalu berita itu
sampai kepada Rasulullah SAW, maka beliau bertanya, 'Apakah kamu mempunyai
harta selain budak tersebut?' Laki-laki itu menjawab, Tidak.' Kemudian Rasulullah
SAW menawarkan budak tersebut kepada kaum muslimin, 'Siapa yang ingin membeli
budak ini dariku? Lalu budak itu dibeli oleh Nu'aim bin Abdullah Al Adawi
dengan harga 100 dirham, kemudian uang tersebut dibawa oleh Rasulullah SAW
untuk diserahkan kepadanya. Rasululah bersabda kepada laki-laki itu, 'Dahulukan
dirimu sendiri sebagai sadaqah. Jika ada kelebihan maka untuk ahlimu(istri), jika
ada kelebihan maka untuk kerabatmu, dan jika masih ada kelebihan maka untuk
seterusnya dan seterusnya.(H.R. Muslim)[1]
Dalam mensyarah
hadits di atas, Imam al-Nawawi mengatakan :
فِي
هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا الِابْتِدَاءُ فِي النَّفَقَةِ بِالْمَذْكُورِ
عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ
Dalam hadits
ini terdapat beberapa faedah, diantaranya memulai nafkah dengan yang telah
disebutkan berdasar urutan ini.[2]
b.
Imam al-Nawawi dalam al-Raudhah
mengatakan :
فإذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم
نظر إن وفى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم وإن لم يفضل عن
كفاية نفسه إلا نفقة واحد قدم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب هذا أطبق عليه الأصحاب
لأن نفقتها آكد فإنها لا تسقط بمضي الزمان ولا بالإعسار ولانها وجبت عوضا
Apabila
berhimpun atas seseorang orang-orang yang membutuhkan nafkah yang wajib nafkah
atasnya, maka ini ada tinjauan. Seandainya memadai hartanya atau usahanya untuk
nafkah mereka, maka wajib atasnya menafkahkan mereka semua, baik yang
hubungannya dekat maupun jauh. Apabila tidak tersisa dari nafkah dirinya
sendiri kecuali sekedar untuk satu orang, didahulukan nafkah isteri atas nafkah
kerabat. Ini kesepakatan pengikut Syafi’i, karena nafkah isteri lebih kuat,
sebab nafkah isteri tidak gugur dengan berlalu zaman dan dengan sebab miskin
serta karena nafkah isteri wajib merupakan imbalan (dari istimta’).[3]
c.
Dalam
Fathul Mu’in, Zainuddin al-Malibari mengatakan :
أو له محتاجون من أصول وفروع ولم يقدر على كفايتهم قدم
نفسه ثم زوجته وإن تعددت، ثم الاقرب فالاقرب.
Atau
suami mempunyai beberapa orang yang membutuhkan nafkah, baik asal maupun furu’,
sedangkan dia tidak mampu mencukupi kebutuhan mereka semua, maka didahulukan
dirinya sendiri, kemudian isterinya meskipun lebih dari satu, kemudian kerabat lebih
dekat dan kemudian yang lebih dekat.[4]
Dalam mengomentari matan di atas, Abu Bakar Syatha
menjelaskan :
وقوله ثم زوجته: أي لأن نفقتها آكد لانها لا تسقط بغناها
ولا بمضي الزمان، ولانها وجبت عوضا والنفقة على القريب مواساة.
Perkataan
pengarang : kemudian isterinya, yakni karena nafkah isteri lebih kuat, sebab
nafkah isteri tidak gugur dengan sebab kaya isteri dan dengan sebab berlalu
zaman serta nafkah isteri wajib merupakan imbalan (dari istimta’). Sedangkan
nafkah atas kerabat didasarkan atas saling membantu.[5]
[1] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 692, No. 997
[2] Al-Nawawi, Syarah
Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. VII, Hal. 115
[3]
Al-Nawawi,, Raudhah
al-Thalibin, al-Maktab al-Islamiy, Beirut, Juz. IX, Hal. 93
[4]
Zainuddin
al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah
al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 99
[5]
Abu
Bakar Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV,
Hal. 99
Tidak ada komentar:
Posting Komentar