Renungan

Rabu, 20 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 120

(الثالث) من مسالك العلة (الإيماء وهو) لغة الإشارة الخفية واصطلاحا (اقتران وصف ملفوظ بحكم ولو) كان الحكم (مستنبطا) كما يكون ملفوظا (لو لم يكن للتعليل هو) أي الوصف (أو نظيره) لنظير الحكم حيث يشار بالوصف والحكم إلى نظيرهما أي لو لم يكن ذلك من حيث اقترانه بالحكم لتعليل الحكم به (كان) ذلك الاقتران (بعيدا) من الشارع لا يليق بفصاحته وإتيانه بالألفاظ في محالها
Yang ketiga dari masalik ‘illat adalah iimaa’, yaitu menurut bahasa adalah isyarah tersembunyi. Sedangkan menurut istilah menyertakan washaf(1) yang dilafazhkan (2) dengan satu hukum - meskipun hukum itu hasil istimbath sebagaimana hal hukum dilafazhkan – dimana seandainya washaf tersebut bukan untuk ta’lil atau bandingan washaf bukan ta’lil untuk bandingan hukum dalam hal diisyaratkan dengan washaf dan hukum kepada bandingan keduanya.  Maksudnya, seandainya itu yakni menyertai washaf dengan hukum bukan untuk ta’lil hukum dengannya, maka sunggguh penyertaan tersebut ba'id (kurang logis) dari empunya syara’ dan tidak patut dengan kefasihan empunya syara’ dan mendatangkannya dengan lafazh pada tempat yang sebenarnya.
والإيماء(كحكمه) أي الشارع (بعد سماع وصف) كما في خبر الأعرابيّ واقعت أهلي في نهار رمضان، فقال النبي صلى الله عليه وسلّم أعتق رقبة . إلى آخره. رواه ابن ماجة بمعناه، وأصله في الصحيحين فأمره بالإعتاق عند ذكر الوقاع يدل على أنه علة له، وإلا لخلا السؤال عن الجواب وذلك بعيد فيقدر السؤال في الجواب فكأنه قال واقعت فأعتق. (وذكره في حكم وصفا لو لم يكن علة) له (لم يفد) ذكره كقوله صلى الله عليه وسلّم لا يحكم أحد بين اثنين وهو غضبان فتقييده المنع من الحكم بحالة الغضب المشوش للفكر يدل على أنه علة له، وإلا لخلا ذكره عن الفائدة وذلك بعيد.
Iimaa’ itu seperti penetapan hukum oleh empunya syara’ setelah mendengar washaf. Contohnya sebagaimana dalam hadits Badui Arab : “Aku telah menyetubuhi isteriku  pada siang Ramadhan. Maka Nabi SAW bersabda : “Merdekakanlah hamba sahaya...sampai akhir hadits”. Hadits riwayat Ibnu Majah dengan maknanya dan asalnya ada dalam Shahihaini. Maka perintah empunya syara’ memerdekakan budak ketika menyebut bersetubuh menunjukkan bahwa bersetubuh itu sebagai ‘illat bagi perintah memerdekakannya. Seandainya bukan, maka sungguh  pertanyaan itu tidak mempunyai jawaban.(3) Yang demikian adalah ba'id (kurang logis) Karena itu, ditaqdirkan pertanyaan pada jawaban, maka seolah-olah empunya syara’ mengatakan “Kamu telah bersetubuh, maka merdekakanlah”. Dan contoh iimaa’ lagi :  menyebut empunya syara’ sebuah washaf pada hukum , dimana seandainya washaf itu bukan ‘illat bagi hukum, maka tidak berfaedah penyebutannya. Misalnya sabda Nabi SAW : “Tidak menetapkan hukum seseorang di antara dua orang yang berperkara, sedangkan dia dalam keadaan marah”. Maka mengkaidkan larangan menetapkan hukum dengan keadaan marah yang dapat mengacaukan pikiran menunjukkan bahwa marah itu sebagai ‘illat bagi larangan tersebut. Seandainya bukan, sungguh penyebutan washaf tidak ada faedah, sedangkan yang demikian itu ba'id (kurang logis).
Penjelasan
(1). Maksud washaf di sini mencakup juga syarat, ghayah, istidrak dan ististnaa.[1]
(2). Dilafazhkan itu adakalanya secara hakikat dan adakalanya secara hukum, yakni yang ditaqdirkan.[2]
(3). Pertanyaan tersebut, yakni “Aku bersetubuh dengan isteriku” tanpa ada jawaban. Karena itu, maka ditadirkan pertanyaan pada jawaban empunya syara’ untuk menegaskan bahwa jawaban tersebut merupakan jawaban untuk pertanyaan “Aku bersetubuh dengan isteriku” sebagaimana dijelaskan oleh pengarang di atas.





[1] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 266
[2] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 266

Tidak ada komentar:

Posting Komentar