(الثالث) من مسالك
العلة (الإيماء وهو) لغة الإشارة الخفية واصطلاحا (اقتران وصف ملفوظ بحكم ولو) كان
الحكم (مستنبطا) كما يكون ملفوظا (لو لم يكن للتعليل هو) أي الوصف (أو نظيره)
لنظير الحكم حيث يشار بالوصف والحكم إلى نظيرهما أي لو لم يكن ذلك من حيث اقترانه
بالحكم لتعليل الحكم به (كان) ذلك الاقتران (بعيدا) من الشارع لا يليق بفصاحته
وإتيانه بالألفاظ في محالها
Yang ketiga dari masalik
‘illat adalah iimaa’, yaitu menurut bahasa adalah isyarah tersembunyi.
Sedangkan menurut istilah menyertakan washaf(1) yang dilafazhkan (2) dengan
satu hukum - meskipun hukum itu hasil istimbath sebagaimana hal hukum
dilafazhkan – dimana seandainya washaf tersebut bukan untuk ta’lil atau
bandingan washaf bukan ta’lil untuk bandingan hukum dalam hal diisyaratkan
dengan washaf dan hukum kepada bandingan keduanya. Maksudnya, seandainya itu yakni menyertai
washaf dengan hukum bukan untuk ta’lil hukum dengannya, maka sunggguh
penyertaan tersebut ba'id (kurang logis) dari empunya syara’ dan tidak patut dengan kefasihan
empunya syara’ dan mendatangkannya dengan lafazh pada tempat yang sebenarnya.
والإيماء(كحكمه) أي الشارع
(بعد سماع وصف) كما في خبر الأعرابيّ واقعت أهلي في نهار رمضان، فقال النبي صلى
الله عليه وسلّم أعتق رقبة . إلى آخره. رواه ابن ماجة بمعناه، وأصله في الصحيحين
فأمره بالإعتاق عند ذكر الوقاع يدل على أنه علة له، وإلا لخلا السؤال عن الجواب
وذلك بعيد فيقدر السؤال في الجواب فكأنه قال واقعت فأعتق. (وذكره في حكم وصفا لو
لم يكن علة) له (لم يفد) ذكره كقوله صلى الله عليه وسلّم لا يحكم أحد بين اثنين
وهو غضبان فتقييده المنع
من الحكم بحالة الغضب المشوش للفكر يدل على أنه علة له، وإلا لخلا ذكره عن الفائدة
وذلك بعيد.
Iimaa’ itu seperti penetapan
hukum oleh empunya syara’ setelah mendengar washaf. Contohnya sebagaimana dalam
hadits Badui Arab : “Aku telah menyetubuhi isteriku pada siang Ramadhan. Maka Nabi SAW bersabda :
“Merdekakanlah hamba sahaya...sampai akhir hadits”. Hadits riwayat Ibnu Majah
dengan maknanya dan asalnya ada dalam Shahihaini. Maka perintah empunya syara’
memerdekakan budak ketika menyebut bersetubuh menunjukkan bahwa bersetubuh itu
sebagai ‘illat bagi perintah memerdekakannya. Seandainya bukan, maka sungguh pertanyaan itu tidak mempunyai jawaban.(3) Yang
demikian adalah ba'id (kurang logis) Karena itu, ditaqdirkan pertanyaan pada jawaban, maka
seolah-olah empunya syara’ mengatakan “Kamu telah bersetubuh, maka
merdekakanlah”. Dan contoh iimaa’ lagi : menyebut empunya syara’ sebuah washaf pada
hukum , dimana seandainya washaf itu bukan ‘illat bagi hukum, maka tidak
berfaedah penyebutannya. Misalnya sabda Nabi SAW : “Tidak menetapkan hukum
seseorang di antara dua orang yang berperkara, sedangkan dia dalam keadaan
marah”. Maka mengkaidkan larangan menetapkan hukum dengan keadaan marah yang
dapat mengacaukan pikiran menunjukkan bahwa marah itu sebagai ‘illat bagi
larangan tersebut. Seandainya bukan, sungguh penyebutan washaf tidak ada
faedah, sedangkan yang demikian itu ba'id (kurang logis).
Penjelasan
(1). Maksud washaf di sini mencakup juga
syarat, ghayah, istidrak dan ististnaa.[1]
(2). Dilafazhkan itu adakalanya secara hakikat dan
adakalanya secara hukum, yakni yang ditaqdirkan.[2]
(3). Pertanyaan tersebut, yakni “Aku
bersetubuh dengan isteriku” tanpa ada jawaban. Karena itu, maka ditadirkan
pertanyaan pada jawaban empunya syara’ untuk menegaskan bahwa jawaban tersebut
merupakan jawaban untuk pertanyaan “Aku bersetubuh dengan isteriku” sebagaimana
dijelaskan oleh pengarang di atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar