(وترتيب حكم على وصف) كأكرم العلماء
فترتيب الإكرام على العلم لو لم يكن لعلية العلم له لكان بعيدا (ومنعه) أي الشارع
(مما قد يفوّت المطلوب) كقوله تعالى فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع فالمنع من
البيع وقت نداء الجمعة الذي قد يفوّتها لو لم يكن لمظنة تفويتها لكان بعيدا.
Dan juga
iimaa’ seperti menyangkutkan hukum atas washaf. Contohnya : “Muliakanlah orang
berilmu”. Maka menyangkutkan memuliakan atas ilmu, seandainya penyangkutan itu
bukan menunjukkan ilmu sebagai ‘iilat bagi memuliakan, maka sungguh itu jauh. Dan
juga seperti larangan empunya syara’ dari hal-hal yang barangkali dapat
meluputkan suatu perkara yang menjadi tuntutan. Contohnya firman Allah Ta’ala :
“Maka bersegeralah kepada mengingat Allah (shalat Jum’at) dan tinggalkan jual
beli”. Maka larangan jual beli pada waktu azan Jum’at yang barangkali dapat
meluputkan shalat Jum’at, seandainya larangan tersebut bukan karena madhinnah
(perbuatan yang menimbulkan sebuah dugaan) luput shalat Jum’at, maka sungguh
itu ba'id (kurang logis)
وهذه الأمثلة أسلم ما اتفق على أنه إيماء وهو أن يكون الوصف والحكم
ملفوظين وخرج بالملفوظ أي فعلاً أو قوّة الوصف المستنبط فليس اقترانه بالحكم إيماء
قطعا إن كان الحكم مستنبطا أيضا، وإلا فليس بإيماء في الأصح بخلاف عكسه وهو الوصف
الملفوظ والحكم المستنبط له فإنه كما علم إيماء في الأصحّ تنزيلاً للمستنبط منزلة
الملفوظ، وفارق ما قبله باستلزام الوصف الحكم فيه بخلاف ما قبله لجواز كون الوصف
أعم مثاله قوله تعالى وأحلّ الله البيع فحله مستلزم لصحته. ومثال ما قبله تعليل
حكم الربويات بالطعم أو غيره والنزاع كما قال العضد لفظي مبني على تفسير الإيماء،
Contoh-contoh
ini (1) diterima sebagai yang disepakati bahwa ia adalah iimaa’, yakni keadaan
washaf dan hukum yang dilafazhkan. Dengan i’tibar perkataan “yang dilafazhkan”
yakni baik secara bil-fi’l maupun bil-quwwah(2), maka keluar (tidak termasuk) washaf
hasil istimbath. Karena itu, menyertai washaf hasil istimbath dengan hukum
bukanlah iimaa’ secara qath’i. Ini seandainya hukum hasil istimbath juga. Dan apabila
tidak demikian halnya(3), maka bukan iimaa’ juga berdasarkan pendapat yang
lebih shahih. Berbeda sebaliknya, yakni washaf yang dilafazhkan, sedangkan
hukum hasil istimbath, maka sebagaimana dimaklumi adalah iimaa’ menurut
pendapat yang lebih shahih, karena dipertempatkan hukum hasil istimbath pada
posisi yang dilafazhkan. Perbedaan dengan sebelumnya(4) adalah menunjukkan
washaf kepada hukum dengan jalan iltizam (5), berbeda pada sebelumnya, karena
boleh jadi keadaan washaf lebih umum.(6) Contohnya firman Allah Ta’ala : “Allah
menghalalkan jual beli” (Q.S al-Baqarah : 275), maka halal jual beli
menunjukkan secara iltizam kepada sah jual beli. Adapun contoh yang sebelumnya
menjadikan ‘illat hukum jual beli ribawi dengan makanan atau lainnya.(7) Perbedaan pendapat ini sebagaimana dikemukakan
oleh al-‘Azhd adalah perbedaan lafzhi, yakni dibangun atas penafsiran makna
iimaa’.
Penjelasannya
(1). Contoh-contoh
dalam pembahasan sebelumnya
(2). Maksud bil fi’l dilafazh pada hissi, sedangkan bil
quwwah, lafazhnya ditaqdirkan sebagaimana sudah dijelaskan pada devinisi iimaa’
sebelumnya.
(3). Maksudnya
apabila washaf hasil istimbath dan hukum dilafazhkan (bukan hasil istimbath). Ini
khilaf ulama. Menurut pendapat yang lebih shahih tidak termasuk iimaa.
(4). washaf
hasil istimbath, baik hukumnya hasil istimbath maupun bukan.
(5). Iltizam adalah
dalalah lafazh kepada lazim maknanya.[1]
(6).Ibn
al-Qasim mengatakan, maksudnya, bisa jadi keadaaan washaf hasil istimbtah lebih
umum dari washaf yang sebenarnya, karena bisa jadi tersalah orang yang mengistimbathnya.
Karenanya, washaf tersebut tidak menunjukkan secara iltizam kepada hukum,
karena tidak ada iltizam ‘am kepada khas. Maka ketika itu, lazimlah washaf
hasil istimbath tersebut lebih umum dari hukum dan tidak ada iltizam kepada
hukum, karena tidak iltizamnya kepada ‘iilat hukum pada kejadian sebenarnya. Maka
tidak tahqiq terjadi penyertaan ketika itu.[2]
(7). Washaf hasil
istimbath.[3]
[1] Zakariya
al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 36
[2]
Al-Banany, Hasyiah
‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia,
Juz. II, Hal. 269-270
[3]
Al-Banany, Hasyiah
‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia,
Juz. II, Hal. 270
Tidak ada komentar:
Posting Komentar