Renungan

Senin, 25 September 2017

Sepuluh kelompok ilmu dalam ilmu fiqh Syafi’i yang penting diketahui (Kajian bersama Syeikh Yasin al-Fadaniy)

1.    Pengetahuan hukum, baik berupa nash imam mazhabnya atau hasil istimbath ulama pengikutnya yang didasarkan kepada nash, qawaid dan zabith dari imam mazhab. Secara garis besar, nash Imam Syafi’i terbagi kepada qaul qadim dan jadid. Qaul qadim adalah fatwa Imam Syafi’i ketika beliau berada di Baghdad, sedangkan qaul jadid adalah fatwa beliau ketika berada di Mesir.
Adapun fatwa beliau ketika berada di antara Baghdad dan Mesir, yang duluan disebut qadim dan yang datang sesudahnya disebut jadid. Kitab Imam Syafi’i yang termasuk qaul jadid antara lain al-Mukhtashar, al-Buwaithi dan al-Um. Perawi-perawi qaul qadim yang populer antara lain, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin Muhammad al-Shibaah al-Za’farany, Abu ‘Aliy al-Karaabisiy dan Abu Tsur al-Kalabiy. Adapun Perawi-perawi qaul jadid yang populer antara lain, al-Buwaithiy, al-Muzaniy, al-Ra’bi’ bin Sulaiman al-Muradiy, Harmalah, Yunus bin Abd al-A’laa, Abdullah bin al-Zubair al-Makkiy dan Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakim.
2.    Pengetahuan al-jam’u dan al-farq. Yakni pengetahuan mengenai suatu perkara yang sama hukumnya dari satu sisi dan berbeda dari sisi lain dengan perkara lain. Termasuk dalam kelompok ini ilmu yang dinamakan dengan ilmu al-Furuq, yakni pengetahuan hal-hal yang membedakan antara dua perkara yang menyerupai,  dimana keduanya tidak sama dalam hukum. Diantara kitab yang bagus tentang ilmu al-furuq ini adalah kitab Mathali’ al-Daqaiq fi al-Jawami’ wa Fawariq, karya Jamaluddin al-Asnawi.
Contoh dua perkara yang menyerupai, tapi tidak sama hukumnya : datang baligh seorang anak setelah melakukan shalat beberapa saat sebelum baligh, apakah shalat tersebut memadai untuk shalat yang diwajibkan atasnya setelah baligh? Jawabnya memadai, tidak memadai dalam perkara haji dan umrah.  Perbedaannya, shalat diperintahkannya atas anak-anak dan dipukulinya apabila tidak mau melakukannya, tidak pada perkara haji dan umrah. Dan juga haji dan umrah karena kewajibannya sekali seumur hidup, maka disyaratkan terjadi haji dan umrah dalam keadaan sempurna, tidak dalam hal shalat.
Contoh perkara-perkara yang menyerupai dan sama hukumnya : lupa shalat, puasa, haji, zakat, kifarat dan nazar. Semua perkara ini wajib qadha tanpa khilaf.
3.    Bina al-Masail, maksudya membangun hukum suatu masalah dengan mendasarkan kepada masalah lain. Ini ada enam pembagian, yakni :
a.       Bina qaulaini ‘ala qaulani (membangun dua qaul Syafi’i atas dua qaul Syafi’i yang lain).
b.      Bina qaulaini ‘ala wajhaini (membangun dua qaul atas dua wajh, wajh adalah  pendapat pengikut Syafi’i hasil istimbath dari nash dan qawaid Syafi’i )
c.       Bina wajhaini ‘ala wajhaini (membangun dua wajh atas dua wajh)
d.      Bina wajhaini ‘ala qaulaini (membangun dua wajh atas dua qaul)
e.       Bina wajhaini ‘ala qaulin wa wajhin (membangun dua wajh atas qaul dan wajh)
f.       Bina wajhin wa qaulin ‘ala wajhin  wa qaulin (membangun wajh dan qaul atas  wajh dan qaul)
Contoh bina qaulaini ‘ala qaulani adalah : bersentuhan kulit mahram dengan sebab nasab, rizha’ dan mushaharah tidak menggugurkan wudhu’ menurut pendapat azhhar (azhhar : qaul Imam Syafi’i yang dianggap lebih rajih). Alasannya, karena bersentuhan kulit mahram bukan mazhinnah syahwat dengan nisbah kepada mahram, sama halnya seperti laki-laki. Pendapat kedua runtuh wudhu’ karena beramal dengan umum ayat. Dua qaul ini dibangun dengan mendasarkan kepada dua qaul, apakah boleh mengistimbath dari nash syara’ sebuah makna yang mengkhususkan umum nash atau tidak?. Menurut pendapat yang lebih shahih, boleh. Kalau kita mentarjih boleh, maka bersentuhan kulit mahram dengan sebab nasab, rizha’ dan mushaharah tidak menggugurkan wudhu’, karena umum ayat dikhususkan kepada bersentuhan  kulit yang ada mazhinnah syahwat, yakni selain mahram.
Contoh bina wajhaini ‘ala qaulaini adalah : kulit bangkai apabila sudah disamak, apakah sah shalat apabila menggunakannya dalam shalat?, apakah sah menjualnya dan apakah boleh menggunakannya pada sesuatu yang basah?. Terjadi khilaf pengikut Syafi’i karena mendasarkan kepada khilaf qaulaini ; pendapat pertama tidak sah, karena mendasarkan kepada qaul alat sama’ tidak masuk dalam batin kulit. Pendapat kedua sama halnya dengan pakaian bernajis, karena qaul yang masyhur bathin sesuatu suci dengan sebab suci dhahirnya, sedangkan alat sama’ sampai kepada batin dengan perantaraan air dan basah-basah kulit.
Contoh bina wajhaini ‘ala wajhaini adalah : menetes air atas kepala atau menjulurkan kepala kepada hujan, apakah memadai sebagai menyapu kepala dalam bab wudhu’?. Pendapat yang lebih shahih : memadai dengan didasarkan kepada boleh membasuh. Karena membasuh adalah menyapu dengan ada tambahannya. Karena itu, memadai membasuh dengan jalan lebih aula. Pendapat kedua ; tidak memadai, karena mendasarkan kepada pendapat membasuh tidak dinamakan menyapu.
4.    Al-Mutharahaat. Al-Muthaarahaat adalah masalah-masalah yang rumit dan musykil, dimana tujuan ilmu ini adalah untuk penetapan dzihin. ‘Al-Alamah al-Hamawiy al-Hanafi mengatakan, ilmu al-Muthaarahaat ini adalah mengemukakan salah seorang yang alim kepada lainnya sebuah masalah, sehingga keduanya terjadi diskusi saling berhadapan. Diantara kitab yang membahas ilmu ini adalah kitab al-Muthaarahaat karya al-‘Alamat Abu Abdullah al-Husain bin Muhammad bin Muhammad al-Qathan. Termasuk dalam kelompok al-Muthaarahaat ini al-Munadhaarat, al-Muraasalaat dan al-Gharbiyah. Pengarang kitab al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Ibnu Najim al-Hanafi telah menutup karangannya tersebut dengan pembahasan al-Muthaarahaat ini.
Contoh al-Muthaarahaat yang dikutip oleh al-Taj al-Subki dari kitab al-Muthaarahaat adalah seseorang merampas hamba sahaya perempuan dari pemiliknya kemudian menjualnya. Setelah itu hamba sahaya tersebut hamil karena dihamili oleh pembelinya. Setelah hamil, hamba sahaya tersebut kembali kepada pemiliknya dan mati ketika melahirkan. Jawaban masalah ini ; seandainya pembeli mengetahui bahwa hamba sahaya itu merupakan hasil rampasan sipenjual, maka sipembeli tidak wajib membayar hamba sahaya yang mati karena melahirkan tersebut, karena anak yang dilahirkan itu tidak dihubungkan kepadanya dan tidak sah dikatakan, hamba sahaya tersebut mati karena melahirkan anak darinya. Namun seandainya sipembeli tidak mengatahui bahwa hamba sahaya itu merupakan hasil rampasan sipenjual, maka harga hamba sahaya tersebut dibebankan pada harta sipembeli. Karena apabila sipembeli tidak mengetahuinya, maka anak yang dilahirkan itu dihubungkan kepadanya. Maka sahlah dikatakan, hamba sahaya tersebut mati karena melahirkan anak darinya.
Contoh lain yang dikutip oleh al-Taj al-Subki dari kitab al-Muthaarahaat adalah : seseorang pada tangannya ada baju gamis, kemudian dia mengatakan : “Gamis ini telah telah dijahit oleh si pulan untukku”. Si pulan itu membantahnya, dengan mengatakan, “Tidak benar itu, akan tetapi ini adalah gamisku”. Maka yang terima adalah perkataan orang dimana gamis itu berada di tangannya, kecuali orang dimana gamis itu berada di tangannya tersebut mengatakan, “Pada ketika itu, aku ambil gamis ini dari penjahit ini”. Perbedaan keduanya : pada masalah pertama ada kemungkinan penjahit menjahit gamis tersebut dalam kekuasaan atau dalam rumah orang dimana gamis itu berada di tangannya. Dengan demikian, sipenjahit dalam posisi orang yang mendakwa. Karena itu, perkataan yang diterima adalah perkataan orang dimana sesuatu yang didakwa oleh orang lain berada di tangannya. Ini berbeda, apabila orang dimana gamis itu berada di tangannya mengatakan, “Aku ambil gamis ini dari penjahit ini”. Ini secara tidak lansung mengakui bahwa posisi sipenjahit sebagai orang pemegang kekuasaan atas gamis.
5.    Al-Mughaalathaat. Al-Mughaalathaat dalam ilmu al-Mizan adalah qiyas yang tersusun dari muqaddimah wahamiyah dan dusta atau yang menyerupai benar, padahal tidak benar. Adapun di sisi fuqaha adalah masalah-masalah fiqhiyah yang dilempar oleh seorang alim kepada seseorang atau sebuah jama’ah dengan tujuan menguji dan jatuh dalam salah pada waktu menjawab. Yakni sebenarnya, hukum tersebut harus dijawab secara tafshil, namun dijawab tanpa tafshil. Juga sebaliknya, sebenarnya, hukum tersebut harus dijawab tanpa tafshil, namun dijawab dengan tafshil. Termasuk dalam al-Mughaalathaat ini pengujian yang dilakukan oleh Qadhi Husain kepada Abi ‘Aliy al-Mani’iy al-Haaji supaya para fuqaha Marw menganggap salah Abi ‘Aliy al-Mani’iy al-Haaji ketika mengunjungi mereka. Masalahnya adalah seseorang merampas gandum pada zaman mahal harga barang, begitu sampai zaman murah, pemiliknya menuntut kembali. Maka apakah yang dituntut itu misal barang atau harganya?. Maka siapa yang mengatakan, yang dituntut itu misal barang saja, maka itu salah dan siapa yang mengatakan, yang dituntut itu harga saja, maka itu juga salah. Karena jawaban yang benar ada  tafshilnya, yaitu apabila gandum itu hilang pada tangan siperampas sebagaimana adanya sebelum dijadikan tepung seperti terbakar, maka wajib bayar misal barang. Adapun apabila sudah dijadikan tepung, diaduk dengan air, dijadikan roti dan dimakan, maka wajib membayar harga, karena menjadikan tepung, mengaduk dengan air, menjadikan roti termasuk yang dihargakan.
6.    Al-Dauriyaat, yakni masalah-masalah yang memutarkan tashhih sebuah pendapat kepada memfasidkannya dan memutarkan itsbat kepada menafikannya. Karya ulama mengenai ini antara lain, Ghayah al-Ghuur fi Masalah al-Daur karangan Imam al-Ghazali, al-Ghuur fi al-Daur dan Qathf al-Ghuur fi Masail al-Daur, keduanya ini karangan al-Taj al-Subki.
Al-Dauriyaat ini terbagi dua, yakni hukmiyah dan lafzhiyah. Hukmiyah adalah tempat terjadi duur pada hukum syara’, sedangkan lafzhiyah tempat terjadi duur pada lafazh yang dikemukakan oleh seseorang. Ini, kebanyakannya terjadi pada masalah-masalah wasiat, memerdekakan hamba sahaya dan talaq.
Contoh hukmiyah : Seorang majikan memberikan izin kepada hamba sahayanya untuk menikah dengan mahar seribu dan majikannya itu menanggung maharnya itu. Kemudian sebelum terjadi persetubuhan, sang majikan menjual hamba sahayanya itu kepada si isteri hamba sahayanya dengan harga seribu yang menjadi mahar tanggungan si majikan. Maka jual beli ini tidak sah. Karena kalau kita nyatakan sah jual beli, maka sihamba sahaya menjadi milik isterinya. Seandainya jadi milik isterinya, maka batallah nikah. Seandainya batal nikah dari pihak isteri, maka gugurlah mahar. Seandainya gugur mahar, maka batallah harga. Seandainya batal harga yang disebut pada waktu akad, maka batallah jual beli. Dalam kasus ini, ditaqdirkan pembolehan jual beli yang memutarkan (al-duuriyaat) kepada memfasidkan jual beli.
Contoh lafzhiyah : Seseorang mengatakan kepada isterinya : “Jika aku talaq kamu, maka kamu tertalaq sebelumnya tiga.” Kemudian suaminya mentalaqnya. Ini terdapat tiga pendapat. Pendapat pertama tidak jatuh talaq sama sekali, karena beramal dengan duur dan tashhih bagi duur. Karena seandainya jatuh talaq munjiz, maka sungguh jatuh talaq tiga sebelumnya. Pada ketika itu, tidak jatuh talaq munjiz, karena isteri sudah jatuh talaq ba-in sebelumnya. Karena itu, tidak jatuh juga talaq tiga, karena tidak wujud syaratnya, yakni adanya talaq. Pendapat kedua jatuh talaq munjiz saja. Pendapat ketiga jatuh talaq tiga, yakni yakni talaq munjiz dan dua talaq yang menjadi mu’allaq seandainya si isteri sudah pernah disetubuhinya.
7.    Ilghaz  (teka-teki), yakni kalam yang digelapkan dan tersebunyi. Dinamakan juga al-ahjiyah, karena al-hijaa bermakna akal, sedangkan ilghaz ini menguatkan akal atas ujian. Para ilmuan ilmu faraidh menamakannya ma’aayaah. Diantara kitab karya ulama mengenai ilmu ini antara lain, al-Injaz fi al-Ilghaz karya Abd al-Karim al-Rafi’i dan Tharaz al-Mahaaqil fi Ilghaz al-Masail karya al-Jamal Abd al-Rahim al-Asnawi.
Contohnya : Siapakah yang wajib qadha shalat beberapa tahun dengan sebab mati orang lain?. Jawabannya : Ummul walad yang mati majikannya di negeri lain dan dia tidak mengetahuinya kecuali setelah berlalu masa beberapa tahun, padahal selama ini dia shalat dalam keadaan terbuka kepala. Maka shalat ini batal apabila kepalanya tidak ditutupi dengan segera dan tanpa perbuatan yang banyak.
(Catatan : (1). ummul walad merdeka dengan sebab mati majikannya. (2). Ummul walad tidak wajib menutup kepala dalam shalat selama dia masih berstatus hamba sahaya)
Contoh lain : Apa yang dibinasakan oleh seorang yang melakukan ihram, atasnya wajib membayar dua harga?. Jawabannya : Seorang yang ihram yang meminjam binatang buruan, kemudian membinasakannya. Maka atasnya wajib membayar harganya kepada si pemiliknya dan fidyah hewan ternak untuk hak Allah.
8.    Al-Hilah, yakni celah hukum. Menurut Al-‘Alamah al-Hamawi dalam ilmu fiqh, hilah adalah hal-hal yang dapat melepaskan dari jeratan hukum syara’ bagi orang-orang yang diuji dengan perkara agama. Karena upaya melepaskan itu tidak dicapai kecuali dengan kecerdasan dan ketajaman analisa, maka upaya tersebut dinamakan dengan hilah. Menurut mazhab Syafi’i, hilah ini apabila qashadnya semata-mata zatnya, bukan qashad meraih yang haram, maka hukumnya boleh tanpa makruh. Adapun apabila qashad meraih yang haram, hukumnya makruh. Dikecualikan jalan hilah yang haram, maka ini, hukumnya haram seperti perbuatan Yahudi melampaui batas dalam kisah  Hari Sabtu. Qashad Yahudi dalam kasus ini adalah menguasai ikan dan masuk ikan dalam galian mereka yang telah disediakan sebelum Hari Sabtu. Diantara kitab yang membahas mengenai hilah ini adalah al-Hail al-Daafi’ah karya Abu Hatim Majhud bin al-Husain al-Anshary al-Quzwainiy.
Contoh hilah : melakukan jual beli ribawi yang sejenis, sedangkan ukurannya berbeda. Hilahnya dengan menjual emas kepada yang mempunyai emas juga dengan dirham, kemudian sipenjual ini membeli emas yang ada pada pembeli pertama dengan dirham yang sudah ada ditangannya sesudah terjadi qabath iqbath. Maka ini dibolehkan meskipun sudah menjadi adat kebiasaan, belum terpisah dari majelis akad dan tidak ada hak khiyar. Hal ini karena akad jual beli kedua mengandung ijazah (izin) kepada akad pertama, berbeda seandainya akad kedua dilakukan dengan orang lain, karena menggugurkan hak khiyar orang lain.
Contoh hilah lain : Seseorang yang sudah mempunyai nisab zakat ternak, merencanakan menghindari dari kewajiban zakat. Maka hilahnya menjualnya atau menukar dengan ternak lain pada pertengahan tahun. Dengan sebab itu haulnya terpotong, karena ternak itu kepemilikannya masih baru, maka harus dengan haul baru. Namun hilah ini makruh, karena ada unsur menghindari dari qurbah.
9.    Ma’rifah al-Afrad, yakni mengenal semua pendapat yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut imam mazhab yang mengikuti mazhab imamnya. Diantara kitab yang menjadi rujukannya adalah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan Raudhah al-Thalibin, keduanya karya Imam al-Nawawi.
10.    Ma’rifah al-Zhawabith wa al-Qawaid, yakni mengenal zhabith-zhabit fiqh yang mengumpulkan semua furu’ dari sebuah bab dan mengenal qawaid-qawaid yang dikembalikan ushul dan furu’ kepadanya. Makna dikembalikan ushul kepadanya adalah mencakup semua qaidah atas qaidah di bawahnya. Makna dikembalikan furu’ kepadanya adalah mengeluarkan furu’ darinya.

(Tulisan di atas merupakan hasil rangkuman dari kitab Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah karya Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy al-Makkiy, Juz. I, Hal. 97-105, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar