Renungan

Kamis, 28 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 121

وأما مثال النظير فكخبر الصحيحين أن امرأة قالت يا رسول الله. إن أمي ماتت وعليها صوم نذر أفأصوم عنها؟ فقال أرأيت لو كان على أمك دين فقضيته أكان يؤدّى ذلك عنها ؟ قالت نعم. قال فصومي عن أمك أي فإنه يؤدّى عنها سألته عن دين الله على الميت وجواز قضائه عنه فذكر لها دين الآدمي عليه، وأقرها على جواز قضائه عنه وهما نظيران، فلو لم يكن جواز القضاء فيهما لعلية الدين له لكان بعيدا.
Adapun contoh iimaa’ pada bandingan(1) seperti hadits Shahihaini sesungguhnya seorang perempuan mengatakan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku sudah meninggal dunia dan di atasnya ada kewajiban puasa nazar, apakah aku berpuasa untuknya?”. Rasulullah menjawab, “Bagaimana seandainya ada kewajiban hutang atas ibumu, kemudian kamu membayarnya, apakah itu dapat menunaikan hutang ibumu?” “Ya, benar “ jawab perempuan tersebut. Selanjutnya Rasulullah bersabda : “Maka berpuasalah untuk ibumu.” Maksudnya, puasa tersebut dapat menunaikan kewajiban ibumu yang kamu tanyakan dari hutang Allah atas si mati(2) dan boleh qadhanya untuknya (3). Maka menyebut kepada perempuan tersebut hutang anak manusia atas seseorang dan mengakui atas kebolehan membayarnya untuk orang yang terhutang, sedangkan keduanya ini merupakan dua perkara yang sebanding(4), seandainya kebolehan membayar pada kedua perkara ini, ‘illatnya bukan hutang, maka penyertaan hukum boleh dengan hutang ini ba’id (kurang logis).

(ولا تشترط) في الإيماء (مناسبة) الوصف (المومي إليه) للحكم (في الأصحّ) بناء على أن العلة بمعنى المعرف، وقيل تشترط بناء على أنها بمعنى الباعث، وقيل وهو مختار ابن الحاجب تشترط إن فهم التعليل منها كقوله صلى الله عليه وسلّم لا يقضي القاضي وهو غضبان .لأن عدم المناسبة فيما شرط فيه لمناسبة تناقض، بخلاف ما إذا لم يفهم منها لأن التعليل يفهم من غيرها. قال المصنف في شرح المختصر تبعا للعضد والمراد من المناسبة ظهورها، وأما نفسها فلا بد منها في العلة الباعثة دون الأمارة المجردة ومرادهما بالعلة الباعثة العلة المشتملة على حكمة تبعث على الامتثال.
Dan tidak disyaratkan pada iimaa’ bahwa washaf yang disyaratkan kepadanya munasabah bagi hukum. Menurut pendapat yang lebih shahih. Ini didasarkan kepada pendapat bahwa ‘illat bermakna al-mu’arrif. Ada yang mengatakan, disyaratkan, karena didasarkan kepada ‘illat bermakna al-baa’its.(5) Ada yang mengatakan, ini merupakan pendapat Ibn al-Haajib, disyaratkan apabila dapat dipahami ta’lil(6) dari ‘illat tersebut. Contohnya sabda Nabi SAW : “Tidak menetapkan hukum oleh qadhi, sedangkan dia dalam keadaan marah”. Karena tidak munasabah pada perkara yang disyaratkan munasabah adalah saling bertentangan. Ini berbeda dengan perkara yang tidak dapat dipahami ta’lil darinya, karena ta’lil dipahami dari selainnya. Pengarang(7) dalam Syarah al-Mukhtashar karena mengikuti al-‘Azhd mengatakan, yang dimaksud dengan munasabah adalah dhahir munasabah. Adapun diri munasabah maka dimestikan ada pada ‘illat yang membangkitkan, tidak pada ‘illat amarah (tanda) semata-mata. Yang dimaksud dengan ‘illah baa’its adalah ‘illat yang mencakup atas hikmah yang dapat membangkitkan kepada menyanjung perintah.
Penjelasannya
(1).Diisyaratkan dengan washaf dan hukum kepada bandingan keduanya sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan devinisi iimaa’ sebelumnya.
(2). Washaf yang menjadi bandingan (nadhir)
(3) hukum yang menjadi nadhir yang menyertai washaf nadhir.
(4).Yakni membayar hutang anak manusia dan hutang Allah.
(5). Bermakna al-mu’arrif, maksudnya ‘illat itu bermakna memperkenalkan hukum. Sedangkan makna al-baa’its, ‘illat itu bermakna membangkitkan mukallaf menyanjung perintah.[1]
(6). Menjadi suatu washaf sebagai ‘illat.
(7). Taj al-Subki.




[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar