وأما مثال النظير فكخبر الصحيحين أن امرأة قالت يا رسول الله. إن أمي
ماتت وعليها صوم نذر أفأصوم عنها؟ فقال أرأيت لو كان على أمك دين فقضيته أكان يؤدّى ذلك عنها ؟
قالت نعم. قال فصومي عن أمك أي فإنه يؤدّى عنها سألته عن دين الله على الميت وجواز
قضائه عنه فذكر لها دين الآدمي عليه، وأقرها على جواز قضائه عنه وهما نظيران، فلو
لم يكن جواز القضاء فيهما لعلية الدين له لكان بعيدا.
Adapun contoh iimaa’ pada bandingan(1) seperti hadits
Shahihaini sesungguhnya seorang perempuan mengatakan, “Ya Rasulullah,
sesungguhnya ibuku sudah meninggal dunia dan di atasnya ada kewajiban puasa nazar,
apakah aku berpuasa untuknya?”. Rasulullah menjawab, “Bagaimana seandainya ada
kewajiban hutang atas ibumu, kemudian kamu membayarnya, apakah itu dapat
menunaikan hutang ibumu?” “Ya, benar “ jawab perempuan tersebut. Selanjutnya
Rasulullah bersabda : “Maka berpuasalah untuk ibumu.” Maksudnya, puasa tersebut
dapat menunaikan kewajiban ibumu yang kamu tanyakan dari hutang Allah atas si
mati(2) dan boleh qadhanya untuknya (3). Maka menyebut kepada perempuan
tersebut hutang anak manusia atas seseorang dan mengakui atas kebolehan
membayarnya untuk orang yang terhutang, sedangkan keduanya ini merupakan dua perkara
yang sebanding(4), seandainya kebolehan membayar pada kedua perkara ini, ‘illatnya
bukan hutang, maka penyertaan hukum boleh dengan hutang ini ba’id (kurang
logis).
(ولا تشترط) في الإيماء (مناسبة)
الوصف (المومي إليه) للحكم (في الأصحّ) بناء على أن العلة بمعنى المعرف، وقيل
تشترط بناء على أنها بمعنى الباعث، وقيل وهو مختار ابن الحاجب تشترط إن فهم
التعليل منها كقوله صلى الله عليه وسلّم لا يقضي القاضي وهو غضبان .لأن عدم
المناسبة فيما شرط فيه لمناسبة تناقض، بخلاف ما إذا لم يفهم منها لأن التعليل يفهم
من غيرها. قال المصنف في شرح المختصر تبعا للعضد والمراد من المناسبة ظهورها، وأما
نفسها فلا بد منها في العلة الباعثة دون الأمارة المجردة ومرادهما بالعلة الباعثة
العلة المشتملة على حكمة تبعث على الامتثال.
Dan tidak disyaratkan pada iimaa’ bahwa
washaf yang disyaratkan kepadanya munasabah bagi hukum. Menurut pendapat yang
lebih shahih. Ini didasarkan kepada pendapat bahwa ‘illat bermakna al-mu’arrif.
Ada yang mengatakan, disyaratkan, karena didasarkan kepada ‘illat bermakna
al-baa’its.(5) Ada yang mengatakan, ini merupakan pendapat Ibn al-Haajib,
disyaratkan apabila dapat dipahami ta’lil(6) dari ‘illat tersebut. Contohnya
sabda Nabi SAW : “Tidak menetapkan hukum oleh qadhi, sedangkan dia dalam
keadaan marah”. Karena tidak munasabah pada perkara yang disyaratkan munasabah
adalah saling bertentangan. Ini berbeda dengan perkara yang tidak dapat
dipahami ta’lil darinya, karena ta’lil dipahami dari selainnya. Pengarang(7) dalam
Syarah al-Mukhtashar karena mengikuti al-‘Azhd mengatakan, yang dimaksud dengan
munasabah adalah dhahir munasabah. Adapun diri munasabah maka dimestikan ada pada
‘illat yang membangkitkan, tidak pada ‘illat amarah (tanda) semata-mata. Yang dimaksud
dengan ‘illah baa’its adalah ‘illat yang mencakup atas hikmah yang dapat
membangkitkan kepada menyanjung perintah.
Penjelasannya
(1).Diisyaratkan dengan washaf dan hukum
kepada bandingan keduanya sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan devinisi
iimaa’ sebelumnya.
(2). Washaf
yang menjadi bandingan (nadhir)
(3) hukum yang
menjadi nadhir yang menyertai washaf nadhir.
(4).Yakni
membayar hutang anak manusia dan hutang Allah.
(5). Bermakna
al-mu’arrif, maksudnya ‘illat itu bermakna memperkenalkan hukum. Sedangkan
makna al-baa’its, ‘illat itu bermakna membangkitkan mukallaf menyanjung
perintah.[1]
(6). Menjadi suatu washaf
sebagai ‘illat.
(7). Taj al-Subki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar