Renungan

Jumat, 12 Januari 2018

Ijtihad di luar Pendapat Sahabat Nabi, Tabi’in dan Imam Mujtahid Terdahulu

Judul di atas sering dibahas dalam ushul fiqh dalam bab ijmak dengan sub bab “ihdats al-qaul al-tsalits fi masalah khilaf ahli al-‘asri ‘ala qaulaini” (mendatangkan qaul ketiga pada suatu masalah yang pernah terjadi khilaf dua qaul ulama pada satu masa). Kajian ini penting, karena akan menjadi rambu-rambu ijtihad bagi ulama dan akan menjadi lebih penting bagi umat Islam hari ini, yang dengan kasat mata kita melihat begitu bebas dan keblablasan dalam melakukan ijtihad tanpa memperdulikan pendapat-pendapat yang pernah dikemukan oleh para sahabat Nabi, Tabi’in dan Imam Mujtahid tempo dulu.
Dalam mejawab apa boleh mendatangkan qaul ketiga pada suatu masalah yang pernah terjadi khilaf dua qaul ulama pada satu masa. Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat dalam memberikan jawabannya. Dalam beberapa rujukan literatur kitab klasik kita temukannya sebagai berikut :
1.    Zakariya al-Anshariy mengatakan, berdasarkan haram menentang ijmak, maka dimaklumi bahwa haram mendatangkan pendapat ketiga pada satu masalah yang pernah terjadi khilaf dua pendapat ulama pada satu masa dan haram juga mendatangkan tafshil (merincikan) di antara dua masalah yang tidak pernah ditafshil di antara keduanya oleh ulama yang ada pada satu masa. Keharaman ini apabila mendatangkan pendapat ketiga atau mentafshilkannya tersebut dapat menentang apa yang menjadi ijmak ulama. Pendapat lain yang diisyarat Zakariya al-Anshari sebagai pendapat lemah adalah haram secara mutlaq, baik dapat menentang apa yang menjadi ijmak ulama atau tidak.[1]
Zakariya al-Anshari memberikan contoh kasus dalam masalah ini sebagai berikut :
a.    Contoh mendatangkan pendapat ketiga yang bertentangan dengan yang menjadi ijmak. Terjadi khilaf pendapat para sahabat Nabi dalam masalah warisan kakek bersama saudara laki-laki. Pendapat pertama mengatakan ; saudara laki-laki gugur dengan sebab ada kakek. Pendapat kedua ; saudara laki-laki berkongsi bagiannya dengan kakek. Karena itu, apabila ada pendapat yang muncul sesudah sahabat Nabi yang mengatakan kakek gugur dengan sebab ada saudara laki-laki, maka ini bertentangan dengan apa yang menjadi ijmak antara dua pendapat di atas bahwa kakek mendapat bahagian dalam kasus ini.
b.    Contoh mendatangkan pendapat ketiga yang tidak bertentangan dengan yang menjadi ijmak. Terjadi khilaf ulama dalam meninggalkan membaca basmalah ketika penyembelihan. Pendapat pertama ; halal, baik sengaja atau lupa. Pendapat kedua ; haram secara mutlaq. Pendapat ketiga ; halal apabila lupa dan tidak halal apabila sengaja. Pendapat ketiga ini sepakat dengan sebagian pendapat pertama dan kedua, yakni pendapat halalnya sepakat dengan sebagian pendapat pertama dan pendapat haramnya sepakat dengan sebagian pendapat kedua.
c.    Contoh mendatangkan tafshil (merincikan) yang bertentangan dengan yang menjadi ijmak. Terjadi khilaf pendapat para sahabat Nabi dalam masalah kewarisan bibi pihak ayah dan bibi pihak ibu. Pendapat pertama mengatakan keduanya dapat warisan dan pendapat kedua mengatakan keduanya tidak mendapatkan warisan. Namun mereka sepakat bahwa alasan hukum (‘illah) mendapat hak kewarisan mereka atau tidak mendapatinya adalah zawil irham (hubungan kekerabatan dari pihak perempuan). Jadi, apabila muncul pendapat yang mentafshilkan, yakni mengatakan hanya bibi pihak ayah saja yang dapat warisan, tidak bibi pihak ibu atau sebaliknya, maka ini bertentangan dengan ijmak bahwa ‘illah hukum kedua pendapat sahabat Nabi  adalah zawil irham.
d.   Contoh mendatangkan tafshil (merincikan) yang tidak bertentangan dengan yang menjadi ijmak. Terjadi khilaf ulama dalam masalah kewajiban zakat anak-anak dan perhiasan. Pendapat pertama ; keduanya wajib dan pendapat kedua ; keduanya tidak wajib. Maka pendapat yang mentafshilkan, yakni dengan mengatakan, wajib zakat pada harta anak-anak dan tidak wajib pada perhiasan tidak bertentangan dengan yang menjadi ijmak. Karena pendapat yang mentafshilkan ini sepakat dengan sebagian pendapat pertama dan kedua, yakni pendapat wajibnya sepakat dengan sebagian pendapat pertama dan pendapat tidak wajibnya sepakat dengan sebagian pendapat kedua.[2] Pendapat dan contoh-contoh yang dikemukakan Zakariya al-Anshari ini juga disebut dalam kitab Jam’u al-Jawami’ beserta syarahnya.[3]
2.    Dalam al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh, Al-Syairazi mengatakan apabila sahabat Nabi khilaf kepada dua pendapat, maka tidak boleh Tabi’in mendatangkan pendapat ketiga. Sebagian ahli kalam dan sebagian dari kalangan Hanafiyah berpendapat dibolehkan.[4] Dalam kitab al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, pendapat yang kedua ini disebut oleh al-Syairazi sebagai pendapat sebagian ahlu al-zhahir.[5]
3.    Al-Asnawi mengatakan apabila para ulama khilaf kepada dua pendapat, apakah boleh bagi ulama sesudah mereka mendatangkan pendapat ketiga?. Jawaban mengenai ini ada tiga mazhab sebagaimana dikemukakan oleh al-Asnawi, yakni pendapat pertama ; melarang secara mutlaq. Ini merupakan pendapat al-Imam dan al-Amaadiy dan kebanyakan ulama. Al-Amaadiy telah memastikan pendapat ini dalam al-Ma’alim. Pendapat kedua ;  boleh secara mutlaq. Ini merupakan pendapat ahli zhahir. Pendapat ketiga ; apabila pendapat ketiga tidak menentang dengan apa yang sudah menjadi ijmak dua orang yang pernah mengeluarkan pendapat, maka boleh dan apabila menentang, maka tidak boleh. Ini merupakan pendapat yang dianggap benar disini al-Imam dan pengikutnya dan juga pendapat yang dipilih oleh al-Amaadiy dan Ibnu Hajib.[6]  
Catatan :
1.    Masalah mendatangkan tafshil (merincikan) di antara dua masalah yang tidak pernah ditafshil di antara keduanya oleh ulama yang ada pada satu masa mendekati dan menyerupai dengan masalah mendatangkan pendapat ketiga. Karena mentafshilkan dua pendapat ulama yang ada pada satu masa, itu artinya mendatangkan pendapat ketiga selain dua pendapat yang sudah ada. Karenanya, al-Amaadiy dan Ibnu Hajib menjadikan dua masalah ini dalam satu masalah.[7]
2.    Pendapat haram secara mutlaq mendatangkan pendapat ketiga pada satu masalah yang pernah terjadi khilaf dua pendapat ulama dan haramnya  dengan rinciannya (tidak mutlaq).  sebagaimana disebut oleh Zakariya al-Anshari di atas, pada dasarnya tidaklah berbeda sebagaimana dijelaskan pengarang al-Fawatih al-Rahmuut. Beliau mengatakan, karena alasan larangan mendatang pendapat ketiga secara mutlaq adalah menentang dengan apa yang menjadi ijmak dua orang yang pernah mengeluarkan pendapat berbeda. Perbedaan ulama yang berpendapat dengan pendapat pertama dan pendapat kedua ini hanyalah pada ranah penerapannya dalam contoh kasus. Ini tentu tinjauan aspek lain.[8] Aspek menentang dengan apa yang menjadi ijmak dua orang yang pernah mengeluarkan pendapat berbeda, ini juga yang menjadi tinjauan pendapat kedua sebagaimana dilihat dalam uraian di atas. Berdasarkan penjelasan ini, bisa dimaklumi kenapa Zakariya al-Anshari sebagaimana dikutip di atas tidak mendatangkan pendapat yang melarang secara mutlaq, akan tetapi dipadai saja dengan dua pendapat, yakni pendapat yang membolehkan secara mutlaq dan pendapat melarang dengan rinciannya (tidak mutlaq). Dan dengan sebab itu juga, bisa dimaklumi kalau dalam kitab al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh dan al-Luma’ Ushul al-Fiqh, Al-Syairazi hanya menyebut pendapat haram secara mutlaq, tanpa menyebut pendapat haram dengan rinciannya (tidak mutlaq).
Berdasarkan keterangan di atas, maka hukum mendatangkan pendapat ketiga pada suatu masalah yang pernah terjadi khilaf ulama sebelumnya kepada dua pendapat dan hukum mendatangkan tafshil (merincikan) di antara dua masalah yang tidak pernah ditafshil di antara keduanya oleh ulama yang ada pada satu masa, pada hakikatnya adalah dua mazhab, yakni :
1.    Mazhab pertama; apabila pendapat ketiga tidak menentang dengan apa yang sudah menjadi ijmak dua orang yang pernah mengeluarkan pendapat berbeda, maka boleh dan apabila menentang, maka tidak boleh. Ini merupakan pendapat yang dianggap benar disini al-Imam dan pengikutnya dan juga pendapat yang dipilih oleh al-Amaadiy dan Ibnu Hajib. Pendapat ini oleh sebagian ulama mengkhususkan kepada khilaf sahabat Nabi saja sebagaimana pendapat sebagian Hanafiyah sebagaimana disebut oleh pengarang al-Fawatih al-Rahmuut.[9] Mazhab pertama ini merupakan pendapat jumhur ulama.
2.    Mazhab kedua ; boleh secara mutlaq. Ini merupakan pendapat ahli zhahir, sebagian dari kalangan Hanafiyah dan sebagian ahli kalam.
Dalil-dalil mazhab jumhur ulama yang tidak membolehkan
1.    Apabila para mujtahid terjadi khilaf pada dua pendapat, maka berarti mereka ijmak batal pendapat selain yang dua tersebut. Karena kebenaran tidak boleh luput dari kesepakatan mereka. Karena itu, seandainya boleh mendatangkan pendapat ketiga, maka kita telah membolehkan mereka  tersalah pada kedua pendapat tersebut, sedangkan ini tidak dibolehkan.
2.    Para Tabi’in telah ijmak membatasi aqwal-aqwal (pendapat-pendapat) dan mendhabith mazhab-mazhab. Karena itu, seandainya boleh mendatangkan pendapat lain, maka dhabit mazhab dan pembatasan aqwal-aqwal tersebut tidaklah bermakna. Argumentasi 1 dan 2 ini telah dikemukan oleh al-Syairazi dalam kitab al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh.[10]
Dalil-dalil mazhab yang membolehkan.
1.    Khilaf para ulama pada satu masalah kepada dua pendapat menunjukkan pada masalah tersebut boleh ijtihad. Karenanya, boleh mendatangkan pendapat ketiga sebagaimana jika khilafiyah belum tetap.
Komentar :
Komentar al-Syairazi, kebolehan tersebut hanya dalam mencari kebenaran dari dua pendapat tersebut. Adapun dengan mendatangkan pendapat ketiga tidak dibolehkan. Ini sama halnya jika para ulama ijmak atas batal hukum pada satu masalah, maka tidak dibolehkan ijtihad pada masalah tersebut dan dibolehkan ijtihad hanya dalam hal yang tidak merupakan ijmak. Kemudian masalah di sini berbeda dengan masalah khilafiyah belum tetap. Karena ijmak sebelum tetap tidak terlarang khilaf, yang terlarang hanya apabila ijmaknya sudah tetap. Pada masalah khilafiyah sama juga halnya sebagaimana ijmak.[11]
2.    Sebagaimana dimaklumi boleh mendatangkan dalil hukum yang lain yang belum pernah dikemukakan para Sahabat Nabi. Seandainya mendatangkan dalil lain boleh, maka mendatangkan pendapat lain yang belum pernah dikemukakan para Sahabat Nabi juga boleh.
Komentar :
Komentar al-Syairazi, kebolehan mendatangkan dalil lain tidak berarti boleh mendatangkan pendapat lain. Sebagaimana apabila mereka ijmak atas dalil yang satu, maka boleh mendatangkan dalil kedua, akan tetapi tetap tidak boleh mendatangkan pendapat kedua. Lagi pula mendatangkan dalil lain untuk menguatkan dalil yang dikemukan para Sahabat Nabi. Sedangkan mendatangkan pendapat lain menyalahi dengan ijmak mereka.[12]
3.    Para Sahabat Nabi terjadi khilaf pendapat tentang warisan dalam masalah suami bersama kedua orangtua dan masalah isteri bersama kedua orangtua. Pendapat Ibnu Abbas, setelah bagian suami atau isteri, maka ibu mendapat 1/3 dari asal harta. Sedangkan pendapat Sahabat lain mengatakan, setelah bagian suami atau isteri, maka ibu mendapat 1/3 dari sisa harta. Kemudian Ibnu Sirrin mendatangkan pendapat yang ketiga. Beliau berpendapat dengan pendapat Ibnu Abbas pada masalah isteri bersama kedua orangtua dan berpendapat dengan pendapat Sahabat Nabi lain pada masalah suami bersama kedua orangtua. Sedangkan khilafiyah ini diakui oleh ummat.
Komentar :
Komentar al-Syairazi, kita tidak mengakui ini dan tidak kita terima pendapat ini, karena bertentangan dengan ijmak sahabat Nabi. Jawaban lain, Ibnu Sirrin hidup semasa dengan Sahabat Nabi dan beliau ini termasuk ahli ijtihad. Sedangkan khilaf Tabi’in yang hidup semasa dengan para Sahabat Nabi dihitung sebagai khilaf bersama para Sahabat Nabi.[13] Artinya berdasarkan ini, khilaf Ibnu Sirrin bukanlah khilaf setelah adanya ketetapan khilafiyah antara para Sahabat Nabi. Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah khilaf setelah adanya ketetapan khilafiyah antara para ulama.
Kesimpulan
1.      Menurut pendapat yang kuat dan merupakan pendapat jumhur ulama tidak boleh mendatangkan pendapat ketiga pada satu masalah yang pernah terjadi khilaf dua pendapat ulama sebelumnya pada satu masa apabila pendapat ketiga tersebut dapat menentang dengan apa yang menjadi ijmak antara dua pendapat yang berbeda.
2.      Berdasarkan kesimpulan pertama di atas, maka ijtihad di luar pendapat Sahabat Nabi, Tabi’in dan imam mujtahid terdahulu tidak dapat dibenarkan  kecuali ijtihad tersebut tidak menentang dengan apa yang menjadi ijmak antara dua pendapat yang berbeda.






[1] Zakariya al-Anshariy, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 109
[2] Zakariya al-Anshariy, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 109
[3] Al-Mahalli, Syarah Jam’u al-Jawami’, (Dicetak bersama Hasyiah al-Bananiy ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’), Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indoonesia, Juz. II, Hal. 197-198
[4] Al-Syairazi, al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 387
[5] Al-Syairazi, al-Luma’  fi Ushul al-Fiqh, Syirkah Bankul Indah, Surabaya, Hal. 50
[6] Al-Asnawi, Nihayah al-Suul fi Syarh Minhaj al-Ushul, ‘Alim al-Kutub, Juz. III, Hal. 269-270
[7] Al-Asnawi, Nihayah al-Suul fi Syarh Minhaj al-Ushul, ‘Alim al-Kutub, Juz. III, Hal. 275
[8] Abd al-‘Ali Nidhamuddin al-Anshari, al-Fawatih al-Rahmuut (Dicetak bersama Kitab al-Mushtashfa), al-Mathba’ah al-Amiriyah, Mesir , Juz. II, Hal. 235
[9] Abd al-‘Ali Nidhamuddin al-Anshari, al-Fawatih al-Rahmuut (Dicetak bersama Kitab al-Mushtashfa), al-Mathba’ah al-Amiriyah, Mesir, Juz. II, Hal. 235
[10] Al-Syairazi, al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 387-388
[11] Al-Syairazi, al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 388
[12] Al-Syairazi, al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 388
[13] Al-Syairazi, al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 389

Tidak ada komentar:

Posting Komentar