Judul
di atas sering dibahas dalam ushul fiqh dalam bab ijmak dengan sub bab “ihdats
al-qaul al-tsalits fi masalah khilaf ahli al-‘asri ‘ala qaulaini” (mendatangkan
qaul ketiga pada suatu masalah yang pernah terjadi khilaf dua qaul ulama pada
satu masa). Kajian ini penting, karena akan menjadi rambu-rambu ijtihad bagi
ulama dan akan menjadi lebih penting bagi umat Islam hari ini, yang dengan
kasat mata kita melihat begitu bebas dan keblablasan dalam melakukan ijtihad
tanpa memperdulikan pendapat-pendapat yang pernah dikemukan oleh para sahabat
Nabi, Tabi’in dan Imam Mujtahid tempo dulu.
Dalam
mejawab apa boleh mendatangkan qaul ketiga pada suatu masalah yang pernah
terjadi khilaf dua qaul ulama pada satu masa. Para ulama ushul fiqh berbeda
pendapat dalam memberikan jawabannya. Dalam beberapa rujukan literatur kitab
klasik kita temukannya sebagai berikut :
1.
Zakariya
al-Anshariy mengatakan, berdasarkan haram menentang ijmak, maka dimaklumi bahwa
haram mendatangkan pendapat ketiga pada satu masalah yang pernah terjadi khilaf
dua pendapat ulama pada satu masa dan haram juga mendatangkan tafshil
(merincikan) di antara dua masalah yang tidak pernah ditafshil di antara
keduanya oleh ulama yang ada pada satu masa. Keharaman ini apabila mendatangkan
pendapat ketiga atau mentafshilkannya tersebut dapat menentang apa yang menjadi
ijmak ulama. Pendapat lain yang diisyarat Zakariya al-Anshari sebagai pendapat
lemah adalah haram secara mutlaq, baik dapat menentang apa yang menjadi ijmak
ulama atau tidak.[1]
Zakariya
al-Anshari memberikan contoh kasus dalam masalah ini sebagai berikut :
a.
Contoh
mendatangkan pendapat ketiga yang bertentangan dengan yang menjadi ijmak. Terjadi
khilaf pendapat para sahabat Nabi dalam masalah warisan kakek bersama saudara
laki-laki. Pendapat pertama mengatakan ; saudara laki-laki gugur dengan sebab
ada kakek. Pendapat kedua ; saudara laki-laki berkongsi bagiannya dengan kakek.
Karena itu, apabila ada pendapat yang muncul sesudah sahabat Nabi yang
mengatakan kakek gugur dengan sebab ada saudara laki-laki, maka ini
bertentangan dengan apa yang menjadi ijmak antara dua pendapat di atas bahwa
kakek mendapat bahagian dalam kasus ini.
b.
Contoh
mendatangkan pendapat ketiga yang tidak bertentangan dengan yang menjadi ijmak.
Terjadi khilaf ulama dalam meninggalkan membaca basmalah ketika penyembelihan.
Pendapat pertama ; halal, baik sengaja atau lupa. Pendapat kedua ; haram secara
mutlaq. Pendapat ketiga ; halal apabila lupa dan tidak halal apabila sengaja. Pendapat
ketiga ini sepakat dengan sebagian pendapat pertama dan kedua, yakni pendapat
halalnya sepakat dengan sebagian pendapat pertama dan pendapat haramnya sepakat
dengan sebagian pendapat kedua.
c.
Contoh
mendatangkan tafshil (merincikan) yang bertentangan dengan yang menjadi ijmak. Terjadi
khilaf pendapat para sahabat Nabi dalam masalah kewarisan bibi pihak ayah dan
bibi pihak ibu. Pendapat pertama mengatakan keduanya dapat warisan dan pendapat
kedua mengatakan keduanya tidak mendapatkan warisan. Namun mereka sepakat bahwa
alasan hukum (‘illah) mendapat hak kewarisan mereka atau tidak mendapatinya
adalah zawil irham (hubungan kekerabatan dari pihak perempuan). Jadi, apabila muncul
pendapat yang mentafshilkan, yakni mengatakan hanya bibi pihak ayah saja yang
dapat warisan, tidak bibi pihak ibu atau sebaliknya, maka ini bertentangan
dengan ijmak bahwa ‘illah hukum kedua pendapat sahabat Nabi adalah zawil irham.
d.
Contoh
mendatangkan tafshil (merincikan) yang tidak bertentangan dengan yang menjadi
ijmak. Terjadi khilaf ulama dalam masalah kewajiban zakat anak-anak dan
perhiasan. Pendapat pertama ; keduanya wajib dan pendapat kedua ; keduanya
tidak wajib. Maka pendapat yang mentafshilkan, yakni dengan mengatakan, wajib
zakat pada harta anak-anak dan tidak wajib pada perhiasan tidak bertentangan
dengan yang menjadi ijmak. Karena pendapat yang mentafshilkan ini sepakat
dengan sebagian pendapat pertama dan kedua, yakni pendapat wajibnya sepakat
dengan sebagian pendapat pertama dan pendapat tidak wajibnya sepakat dengan
sebagian pendapat kedua.[2]
Pendapat dan contoh-contoh yang dikemukakan Zakariya al-Anshari ini juga
disebut dalam kitab Jam’u al-Jawami’ beserta syarahnya.[3]
2.
Dalam al-Tabassurah fi
Ushul al-Fiqh, Al-Syairazi
mengatakan apabila sahabat Nabi khilaf kepada dua pendapat, maka tidak boleh
Tabi’in mendatangkan pendapat ketiga. Sebagian ahli kalam dan sebagian dari
kalangan Hanafiyah berpendapat dibolehkan.[4]
Dalam kitab al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, pendapat yang kedua ini disebut oleh
al-Syairazi sebagai pendapat sebagian ahlu al-zhahir.[5]
3.
Al-Asnawi
mengatakan apabila para ulama khilaf kepada dua pendapat, apakah boleh bagi
ulama sesudah mereka mendatangkan pendapat ketiga?. Jawaban mengenai ini ada
tiga mazhab sebagaimana dikemukakan oleh al-Asnawi, yakni pendapat pertama
; melarang secara mutlaq. Ini merupakan pendapat al-Imam dan al-Amaadiy dan
kebanyakan ulama. Al-Amaadiy telah memastikan pendapat ini dalam al-Ma’alim. Pendapat
kedua ; boleh secara mutlaq. Ini
merupakan pendapat ahli zhahir. Pendapat ketiga ; apabila pendapat
ketiga tidak menentang dengan apa yang sudah menjadi ijmak dua orang yang
pernah mengeluarkan pendapat, maka boleh dan apabila menentang, maka tidak
boleh. Ini merupakan pendapat yang dianggap benar disini al-Imam dan
pengikutnya dan juga pendapat yang dipilih oleh al-Amaadiy dan Ibnu Hajib.[6]
Catatan :
1.
Masalah
mendatangkan tafshil (merincikan) di antara dua masalah yang tidak pernah
ditafshil di antara keduanya oleh ulama yang ada pada satu masa mendekati dan
menyerupai dengan masalah mendatangkan pendapat ketiga. Karena mentafshilkan dua
pendapat ulama yang ada pada satu masa, itu artinya mendatangkan pendapat
ketiga selain dua pendapat yang sudah ada. Karenanya, al-Amaadiy dan Ibnu Hajib
menjadikan dua masalah ini dalam satu masalah.[7]
2.
Pendapat
haram secara mutlaq mendatangkan pendapat ketiga pada satu masalah yang pernah
terjadi khilaf dua pendapat ulama dan haramnya dengan rinciannya (tidak mutlaq). sebagaimana disebut oleh Zakariya al-Anshari
di atas, pada dasarnya tidaklah berbeda sebagaimana dijelaskan pengarang
al-Fawatih al-Rahmuut. Beliau mengatakan, karena alasan larangan mendatang
pendapat ketiga secara mutlaq adalah menentang dengan apa yang menjadi ijmak
dua orang yang pernah mengeluarkan pendapat berbeda. Perbedaan ulama yang
berpendapat dengan pendapat pertama dan pendapat kedua ini hanyalah pada ranah
penerapannya dalam contoh kasus. Ini tentu tinjauan aspek lain.[8]
Aspek menentang dengan apa yang menjadi ijmak dua orang yang pernah
mengeluarkan pendapat berbeda, ini juga yang menjadi tinjauan pendapat kedua
sebagaimana dilihat dalam uraian di atas. Berdasarkan penjelasan ini, bisa
dimaklumi kenapa Zakariya al-Anshari sebagaimana dikutip di atas tidak
mendatangkan pendapat yang melarang secara mutlaq, akan tetapi dipadai saja
dengan dua pendapat, yakni pendapat yang membolehkan secara mutlaq dan pendapat
melarang dengan rinciannya (tidak mutlaq). Dan dengan sebab itu juga, bisa
dimaklumi kalau dalam kitab al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh dan al-Luma’ Ushul al-Fiqh, Al-Syairazi hanya menyebut pendapat haram secara mutlaq, tanpa
menyebut pendapat haram dengan rinciannya (tidak mutlaq).
Berdasarkan
keterangan di atas, maka hukum mendatangkan pendapat ketiga pada suatu masalah
yang pernah terjadi khilaf ulama sebelumnya kepada dua pendapat dan hukum mendatangkan
tafshil (merincikan) di antara dua masalah yang tidak pernah ditafshil di antara
keduanya oleh ulama yang ada pada satu masa, pada hakikatnya adalah dua mazhab,
yakni :
1. Mazhab pertama; apabila pendapat ketiga tidak menentang dengan apa yang sudah
menjadi ijmak dua orang yang pernah mengeluarkan pendapat berbeda, maka boleh
dan apabila menentang, maka tidak boleh. Ini merupakan pendapat yang dianggap
benar disini al-Imam dan pengikutnya dan juga pendapat yang dipilih oleh
al-Amaadiy dan Ibnu Hajib. Pendapat ini oleh sebagian ulama mengkhususkan
kepada khilaf sahabat Nabi saja sebagaimana pendapat sebagian Hanafiyah
sebagaimana disebut oleh pengarang al-Fawatih al-Rahmuut.[9] Mazhab
pertama ini merupakan pendapat jumhur ulama.
2. Mazhab kedua ; boleh secara mutlaq. Ini merupakan pendapat ahli zhahir, sebagian
dari kalangan Hanafiyah dan sebagian ahli kalam.
Dalil-dalil mazhab jumhur ulama yang
tidak membolehkan
1.
Apabila para mujtahid terjadi
khilaf pada dua pendapat, maka berarti mereka ijmak batal pendapat selain yang
dua tersebut. Karena kebenaran tidak boleh luput dari kesepakatan mereka.
Karena itu, seandainya boleh mendatangkan pendapat ketiga, maka kita telah
membolehkan mereka tersalah pada kedua
pendapat tersebut, sedangkan ini tidak dibolehkan.
2.
Para Tabi’in telah ijmak
membatasi aqwal-aqwal (pendapat-pendapat) dan mendhabith mazhab-mazhab. Karena
itu, seandainya boleh mendatangkan pendapat lain, maka dhabit mazhab dan
pembatasan aqwal-aqwal tersebut tidaklah bermakna. Argumentasi 1 dan 2 ini
telah dikemukan oleh al-Syairazi dalam kitab al-Tabassurah fi Ushul al-Fiqh.[10]
Dalil-dalil mazhab yang membolehkan.
1.
Khilaf para ulama pada
satu masalah kepada dua pendapat menunjukkan pada masalah tersebut boleh
ijtihad. Karenanya, boleh mendatangkan pendapat ketiga sebagaimana jika
khilafiyah belum tetap.
Komentar :
Komentar al-Syairazi, kebolehan
tersebut hanya dalam mencari kebenaran dari dua pendapat tersebut. Adapun
dengan mendatangkan pendapat ketiga tidak dibolehkan. Ini sama halnya jika para
ulama ijmak atas batal hukum pada satu masalah, maka tidak dibolehkan ijtihad
pada masalah tersebut dan dibolehkan ijtihad hanya dalam hal yang tidak
merupakan ijmak. Kemudian masalah di sini berbeda dengan masalah khilafiyah
belum tetap. Karena ijmak sebelum tetap tidak terlarang khilaf, yang terlarang
hanya apabila ijmaknya sudah tetap. Pada masalah khilafiyah sama juga halnya sebagaimana
ijmak.[11]
2.
Sebagaimana dimaklumi
boleh mendatangkan dalil hukum yang lain yang belum pernah dikemukakan para
Sahabat Nabi. Seandainya mendatangkan dalil lain boleh, maka mendatangkan
pendapat lain yang belum pernah dikemukakan para Sahabat Nabi juga boleh.
Komentar :
Komentar al-Syairazi, kebolehan
mendatangkan dalil lain tidak berarti boleh mendatangkan pendapat lain.
Sebagaimana apabila mereka ijmak atas dalil yang satu, maka boleh mendatangkan
dalil kedua, akan tetapi tetap tidak boleh mendatangkan pendapat kedua. Lagi
pula mendatangkan dalil lain untuk menguatkan dalil yang dikemukan para Sahabat
Nabi. Sedangkan mendatangkan pendapat lain menyalahi dengan ijmak mereka.[12]
3.
Para Sahabat Nabi terjadi
khilaf pendapat tentang warisan dalam masalah suami bersama kedua orangtua dan
masalah isteri bersama kedua orangtua. Pendapat Ibnu Abbas, setelah bagian
suami atau isteri, maka ibu mendapat 1/3 dari asal harta. Sedangkan pendapat
Sahabat lain mengatakan, setelah bagian suami atau isteri, maka ibu mendapat
1/3 dari sisa harta. Kemudian Ibnu Sirrin mendatangkan pendapat yang ketiga. Beliau
berpendapat dengan pendapat Ibnu Abbas pada masalah isteri bersama kedua
orangtua dan berpendapat dengan pendapat Sahabat Nabi lain pada masalah suami
bersama kedua orangtua. Sedangkan khilafiyah ini diakui oleh ummat.
Komentar :
Komentar al-Syairazi, kita tidak
mengakui ini dan tidak kita terima pendapat ini, karena bertentangan dengan
ijmak sahabat Nabi. Jawaban lain, Ibnu Sirrin hidup semasa dengan Sahabat Nabi
dan beliau ini termasuk ahli ijtihad. Sedangkan khilaf Tabi’in yang hidup semasa
dengan para Sahabat Nabi dihitung sebagai khilaf bersama para Sahabat Nabi.[13] Artinya berdasarkan ini,
khilaf Ibnu Sirrin bukanlah khilaf setelah adanya ketetapan khilafiyah antara
para Sahabat Nabi. Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah khilaf setelah
adanya ketetapan khilafiyah antara para ulama.
Kesimpulan
1.
Menurut pendapat yang
kuat dan merupakan pendapat jumhur ulama tidak boleh mendatangkan pendapat
ketiga pada satu masalah yang pernah terjadi khilaf dua pendapat ulama sebelumnya
pada satu masa apabila pendapat ketiga tersebut dapat menentang dengan apa yang
menjadi ijmak antara dua pendapat yang berbeda.
2.
Berdasarkan kesimpulan
pertama di atas, maka ijtihad di luar pendapat Sahabat Nabi, Tabi’in dan imam mujtahid
terdahulu tidak dapat dibenarkan kecuali
ijtihad tersebut tidak menentang dengan apa yang menjadi ijmak antara dua
pendapat yang berbeda.
[1]
Zakariya al-Anshariy, Ghayatul
Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 109
[2]
Zakariya al-Anshariy, Ghayatul
Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 109
[3] Al-Mahalli,
Syarah Jam’u al-Jawami’, (Dicetak bersama Hasyiah al-Bananiy ‘ala
Syarah Jam’u al-Jawami’), Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indoonesia, Juz. II,
Hal. 197-198
[4] Al-Syairazi, al-Tabassurah fi
Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 387
[5]
Al-Syairazi, al-Luma’ fi Ushul al-Fiqh, Syirkah Bankul
Indah, Surabaya, Hal. 50
[6] Al-Asnawi, Nihayah
al-Suul fi Syarh Minhaj al-Ushul, ‘Alim al-Kutub, Juz. III, Hal. 269-270
[7]
Al-Asnawi, Nihayah al-Suul fi
Syarh Minhaj al-Ushul, ‘Alim al-Kutub, Juz. III, Hal. 275
[8] Abd al-‘Ali Nidhamuddin al-Anshari, al-Fawatih
al-Rahmuut (Dicetak bersama Kitab al-Mushtashfa), al-Mathba’ah
al-Amiriyah, Mesir , Juz. II, Hal. 235
[9] Abd al-‘Ali Nidhamuddin al-Anshari, al-Fawatih
al-Rahmuut (Dicetak bersama Kitab al-Mushtashfa), al-Mathba’ah
al-Amiriyah, Mesir, Juz. II, Hal. 235
[10]
Al-Syairazi, al-Tabassurah fi
Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 387-388
[11]
Al-Syairazi, al-Tabassurah fi
Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 388
[12]
Al-Syairazi, al-Tabassurah fi
Ushul al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 388
[13]
Al-Syairazi, al-Tabassurah fi Ushul
al-Fiqh, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 389
Tidak ada komentar:
Posting Komentar