Renungan

Minggu, 14 Januari 2018

Rahasia Azan dan Iqamah

Izzuddin Abdussalam mengatakan, pada azan ada tiga hak, yakni
1.    Hak Allah Ta’ala
2.    Hak Rasulullah SAW
3.    Hamba Allah
Adapun hak Allah Ta’ala adalah takbir dan syahadat keesaan Allah. Hak Rasulullah SAW adalah syahadat risalah bagi beliau. Sedangkan hak hamba Allah,  khusus untuk wanita dan orang shalat sendiri adalah petunjuk masuk waktu shalat dan khusus untuk yang mau berjama’ah adalah menyeru kepada jama’ah.
Dalam hal iqamah, Izzuddin Abdussalam mengatakan menyebut hal yang sama dengan hak pada azan, yang berbeda hanya pada hak hamba Allah. Beliau mengatakan, hak hamba Allah pada iqamah adalah pemberitahuan mendirikan shalat dan kehadiran imam.
Untuk tambahan pemahaman rahasia azan, bagus juga dikemukakan di sini alasan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama azan atau imamah. Izzuddin Abdussalam menjelaskan bahwa alasan ulama yang berpendapat lebih utama azan adalah karena amalan azan lebih banyak. Adapun imam hanya tidak ada tambahan dalam shalatnya kecuali hanya jihar zikir untuk berpindah dari satu rukun kepada rukun lain. Adapun alasan ulama yang berpendapat imamah lebih utama, karena dengan sebab imamahlah, imam dan para jama’ah makmum dapat pahala 25 atau 27 derajat, sedangkan ini tidak didapati pada azan.
Semua penjelasan di atas telah dikemukakan oleh Izzuddin Abdussalam dalam kitab beliau, Qawa’id al-Ahkam fi Ishlah al-Anam atau yang populer dengan nama al-Qawa’id al-Kubra.[1]
Melihat dari sisi tinjauan lain, Qadhi ‘Iyadh mengatakan, azan merupakan kalimat-kalimat yang mencakup akidah iman yang terdiri dari dua pembagian, yakni pembagian ‘aqli (rasional) dan pembagian sima’i (sesuatu yang tidak dapat dirasionalkan). Memulai azan dengan lafazh “Allah” dan kesempurnaan-kesempurnaan yang mustahaq bagi Allah dan kemahasucian dari lawan-lawan kesempurnaan yang terkadung dalam ucapan Allahu Akbar. Ini merupakan sesuatu yang rasional bagi orang yang mau berpikir. Kemudian kandungan di atas ditegaskan kembali  secara sharih dengan penegasan keesaan dan ketuhanan Allah dan menafikan syirik yang merupakan lawannya yang mustahil atas Allah Ta’ala. Tiang iman dan tauhid ini merupakan muqaddimah atas semua yang terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan dengan penegasan nubuwah kepada Nabi Muhammad SAW dan risalahnya kepada hidayah makhluq dan dakwah kepada Allah. Karena nubuwwah dan risalah termasuk dalam al-af’al jaizah al-wuqu’ (perbuatan yang jaiz terjadi), sedangkan iman dan tauhid yang merupakan muqaddimah di atas adalah wajib ‘aqli, maka tertib letak penegasan nubuwwah dan risalah adalah setelah penegasan iman dan tauhid. Dengan demikian sempurnalah ’aqaid ‘aqliyah, yakni yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah.
Qadhi ‘Iyadh melanjutkan, kemudian muazzin mengajak melakukan ibadah yang ditegaskan dengan mengajak shalat. Adapun tertib letaknya setelah nubuwwah, karena mengetahui kewajibannya melalui Rasulullah SAW (sima’i), bukan melalui  akal. Kemudian baru diakhiri dengan ajakan kepada kemenangan, yakni kekal dalam  nikmat (syurga), yang merupakan isyarat kepada perkara-perkara akhirat berupa hari kebangkitan dan balasan. Ini merupakan ujung dari kumpulan ‘Aqaid Islamiyah. Adapun pengulangannya dalam iqamah shalat, karena untuk memberitahukan sudah waktunya masuk dalam shalat bagi orang yang sudah atau yang sedikit lagi hadir. Kandungannya adalah menguatkan iman dan mengulangi penyebutannya dengan hati dan lisan ketika masuk dalam ibadah, agar orang yang shalat masuk dalam shalat dengan penyaksian atas urusannya dan dengan pandangan bashirah keimanannya. Serta dia mengerti bahwa apa yang akan dilakukannya merupakan perkara yang besar dan padanya juga besar hak tuhan yang disembahnya serta besar pahala atas hamba-Nya.[2]




[1] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. I, Hal. 219-210
[2] Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid al-Muslim, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 253-254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar