Izzuddin
Abdussalam mengatakan, pada azan ada tiga hak, yakni
1.
Hak
Allah Ta’ala
2.
Hak
Rasulullah SAW
3.
Hamba
Allah
Adapun hak Allah Ta’ala adalah takbir dan syahadat keesaan Allah.
Hak Rasulullah SAW adalah syahadat risalah bagi beliau. Sedangkan hak hamba
Allah, khusus untuk wanita dan orang
shalat sendiri adalah petunjuk masuk waktu shalat dan khusus untuk yang mau
berjama’ah adalah menyeru kepada jama’ah.
Dalam hal iqamah, Izzuddin Abdussalam mengatakan menyebut hal yang
sama dengan hak pada azan, yang berbeda hanya pada hak hamba Allah. Beliau
mengatakan, hak hamba Allah pada iqamah adalah pemberitahuan mendirikan shalat
dan kehadiran imam.
Untuk tambahan pemahaman rahasia azan, bagus juga dikemukakan di
sini alasan perbedaan pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama azan
atau imamah. Izzuddin Abdussalam menjelaskan bahwa alasan ulama yang
berpendapat lebih utama azan adalah karena amalan azan lebih banyak. Adapun
imam hanya tidak ada tambahan dalam shalatnya kecuali hanya jihar zikir untuk
berpindah dari satu rukun kepada rukun lain. Adapun alasan ulama yang
berpendapat imamah lebih utama, karena dengan sebab imamahlah, imam dan para
jama’ah makmum dapat pahala 25 atau 27 derajat, sedangkan ini tidak didapati
pada azan.
Semua penjelasan di atas telah dikemukakan oleh Izzuddin Abdussalam
dalam kitab beliau, Qawa’id al-Ahkam fi Ishlah al-Anam atau yang populer dengan
nama al-Qawa’id al-Kubra.[1]
Melihat dari sisi tinjauan lain, Qadhi ‘Iyadh mengatakan, azan
merupakan kalimat-kalimat yang mencakup akidah iman yang terdiri dari dua
pembagian, yakni pembagian ‘aqli (rasional) dan pembagian sima’i (sesuatu yang
tidak dapat dirasionalkan). Memulai azan dengan lafazh “Allah” dan
kesempurnaan-kesempurnaan yang mustahaq bagi Allah dan kemahasucian dari
lawan-lawan kesempurnaan yang terkadung dalam ucapan Allahu Akbar. Ini
merupakan sesuatu yang rasional bagi orang yang mau berpikir. Kemudian
kandungan di atas ditegaskan kembali
secara sharih dengan penegasan keesaan dan ketuhanan Allah dan menafikan
syirik yang merupakan lawannya yang mustahil atas Allah Ta’ala. Tiang iman dan
tauhid ini merupakan muqaddimah atas semua yang terkait dengannya. Kemudian dilanjutkan
dengan penegasan nubuwah kepada Nabi Muhammad SAW dan risalahnya kepada hidayah
makhluq dan dakwah kepada Allah. Karena nubuwwah dan risalah termasuk dalam al-af’al
jaizah al-wuqu’ (perbuatan yang jaiz terjadi), sedangkan iman dan tauhid yang merupakan
muqaddimah di atas adalah wajib ‘aqli, maka tertib letak penegasan nubuwwah dan
risalah adalah setelah penegasan iman dan tauhid. Dengan demikian sempurnalah ’aqaid
‘aqliyah, yakni yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah.
Qadhi ‘Iyadh melanjutkan, kemudian muazzin mengajak melakukan
ibadah yang ditegaskan dengan mengajak shalat. Adapun tertib letaknya setelah
nubuwwah, karena mengetahui kewajibannya melalui Rasulullah SAW (sima’i), bukan
melalui akal. Kemudian baru diakhiri
dengan ajakan kepada kemenangan, yakni kekal dalam nikmat (syurga), yang merupakan isyarat kepada
perkara-perkara akhirat berupa hari kebangkitan dan balasan. Ini merupakan ujung
dari kumpulan ‘Aqaid Islamiyah. Adapun pengulangannya dalam iqamah shalat,
karena untuk memberitahukan sudah waktunya masuk dalam shalat bagi orang yang
sudah atau yang sedikit lagi hadir. Kandungannya adalah menguatkan iman dan mengulangi
penyebutannya dengan hati dan lisan ketika masuk dalam ibadah, agar orang yang
shalat masuk dalam shalat dengan penyaksian atas urusannya dan dengan pandangan
bashirah keimanannya. Serta dia mengerti bahwa apa yang akan dilakukannya
merupakan perkara yang besar dan padanya juga besar hak tuhan yang disembahnya
serta besar pahala atas hamba-Nya.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar