Renungan

Selasa, 13 Maret 2018

Ketika tuhan duduk bersila di atas ‘arasy


Ketika tuhan duduk di atas ‘arasy, maka yang terjadi adalah :
1.    Adakalanya tuhan bersentuhan dengan arasy dan adakalanya terpisah. Seandainya tersentuh, maka tidak ada yang tersentuh dengan suatu benda (karena ‘arasy adalah benda) kecuali benda juga. Maka tuhan adalah benda.
Seandainya terpisah dari ‘arasy, maka antara ‘arasy dan tuhan ada jarak pemisah. Jarak pemisah ini bisa jadi suatu yang maujud (ada) dan bisa jadi suatu yang ma’dum (tidak ada). Seandainya jarak pemisah ini suatu yang maujud, maka yang maujud ini bisa jadi qadim dan bisa jadi baharu. Seandainya yang maujud itu qadim, maka sungguh ada dua qadim, yakni tuhan dan yang maujud tersebut. Maujud yang qadim ini ada dua kemungkinan, bisa jadi dia tuhan dan bisa jadi bukan tuhan. Seandainya maujud yang qadim ini tuhan, maka sungguh sudah ada dua tuhan dan seandainya bukan tuhan, maka sungguh ada yang qadim selain tuhan yang tidak termasuk ciptaan tuhan. Saingan tuhan kalee......? hehe.
Seandainya jarak pemisah yang maujud ini bersifat baharu, maka tuhan akan bersentuhan dengan yang baharu ini. Padahal tidak ada bersentuhan kecuali antara dua benda. Maka tuhan adalah benda.
Seandainya jarak pemisah ini suatu yang ma’dum, maka tidak ada sesuatu antara tuhan dan ‘arasy. Seandainya tidak ada sesuatupun, maka tuhan dan ‘arasy bersentuhan juga dong. Maka kembali sebagaimana dalam kelompok pertama di atas (tuhan dan ‘arasy bersentuhan).
2.    Ada tiga kemungkinan, yakni zat tuhan lebih besar ukurannya dari ‘arasy atau sama ukurannya dengan ‘’arasy atau kemungkinan lain adalah lebih kecil. Seandainya zat tuhan lebih besar ukurannya dari ‘arasy, tentu ada bagian dari zat tuhan yang tidak tertampung di atas ’arasy. Kalau ini terjadi, maka zat tuhan tersusun dari bagian-bagian, yakni sebagiannya tertampung di atas ‘arasy dan sebagiannya tidak tertampung. Sesuai dengan penjelasan ini, maka tuhan adalah benda. Karena hanya benda yang tersusun dari bagian-bagian. Dan juga seandainya zat tuhan tersusun dari bagian-bagian, maka ternafilah wahdaniat pada zat Allah Ta’ala. Karena makna wahdaniyat pada zat adalah tidak ada zat yang lain yang sama dengan zat Allah (nafi kam munfashil pada zat) dan zat Allah itu tidak tersusun dari bagian-bagian (nafi kam muttashil pada zat).
Seandainya zat tuhan sama ukurannya dengan ‘arasy, maka konsekwensi logisnya zat tuhan juga tersusun sebagaimana tersusun ‘arasy dari bagian-bagiannya. Dan yang lucunya lagi, kelas tuhan sama dengan kelas ‘arasy, sama-sama besar ya....?  Seandainya zat tuhan lebih kecil dari ‘arasy, masa seh tuhan kalah besar dengan ‘arasy..? Dan lagi, seandainya zat tuhan sama dengan ukuran ‘arasy, maka zat tuhan mempunyai batas sama halnya dengan batas ‘arasy. Ini sama dengan mengatakan tuhan adalah benda, karena hanya benda yang mempunyai batas.
3.    Zat tuhan terukur dengan ukuran lebih besar, atau sama atau lebih kecil dari ‘arasy. Sedangkan terukur hanyalah sifat benda. Berdasarkan ini, maka tuhan adalah benda.
4.    Seandainya suatu ketika ‘arasy tidak ada (karena setiap selain Allah pasti sirna), maka tuhan tidak dapat duduk bersila lagi di atas ‘arasy. Dengan demikian, maka tuhan membutuhkan ‘arasy untuk dapat tetap duduk di atas ‘arasy. Emang ada yang mau tuhannya jadi tukang butuh ?
5.    Tuhan dan Luuh Mahfuzh sama-sama berada di atas ‘arasy. Tuhan dan Luuh Mahfuzh bersaing dong. Soalnya tuhan dan Luuh Mahfuzh sudah satu level.
Rasulullah SAW bersabda:

إنّ اللهَ لمَا قَضَى الْخَلقَ كَتَب في كِتَابٍ فَهُوَ مَوْضُوعٌ عِنْدَهُ فَوْقَ العَرْشِ إنّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
Sesungguhnya setelah Allah menciptakan segala makhluk-Nya Dia menuliskan dalam satu kitab, yang kitab tersebut kemudian ditempatkan di atas arsy, tulisan tersebut ialah “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.(H.R. al-Bukhari)[1]

Wassalam



[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq al-Najah, Juz.IV, Hal. 106, No. 3194

Senin, 12 Maret 2018

Mengapa ‘aqaid ketuhanan wajib disandarkan kepada dalil ‘aqli


Aqidah Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib mempercayainya sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau mukmin. Namun bukan berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil qath’i yang dapat menghasilkan keyakinan yang qath’i. Dalil ini adakalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara apa yang diimani. Jika sesuatu itu masih dalam jangkauan akal maka dalilnya adalah aqli, tetapi jika sesuatu itu di luar jangkauan akal, wajib disandarkan pada dalil naqli. Dengan demikian dalil aqidah ada dua:
1.   Dalil ‘Aqli : dalil yang digunakan untuk membuktikan perkara-perkara yang dapat menggunakan akal untuk mencapai kebenaran yang pasti dari keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah beriman kepada keberadaan Allah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an, dan pembuktian seseorang sebagai utusan Allah.
2.   Dalil Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang diberitakan kepada manusia berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara langsung dijangkau oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat, Hari Akhir, surga dan neraka, rasul-rasul, kitab-kitab terdahulu dan lain-lain. Khabar yang qath’i  ini haruslah bersumber pada sesuatu yang pasti yaitu Al-Qur’an dan hadits mutawatir (hadits qath’i) dimana dalalah keduanya juga harus qath’i.
Karena ‘aqaid ketuhanan yang merujuk kepada keberadaan Allah dengan sifat-sifat-Nya masih dalam jangkauan akal, maka dalilnya adalah dalil ‘aqli sebagaimana dijelaskan di atas. Kewajiban mengetahui yang berkenaan dengan keyakinan keberadaan Allah (ilahiyat) dengan menggunakan dalil ‘aqli dapat dipahami dari hampir semua kitab-kitab akidah karya ulama Ahlussunnah wal Jama’ah dimana sebelum membahas rincian sifat-sifat Allah Ta’ala dijelaskan lebih dahulu  pembagian hukum akal dalam tiga pembagian, yakni wajib, mustahil dan jaiz.
Sekarang pertanyaannya, mengapa ‘aqaid ketuhanan wajib disandarkan kepada dalil ‘aqli?. Jawabannya adalah sebagai berikut :
1.    Kepercayaan kepada dalil naqli berupa al-Kitab dan al-Sunnah muncul setelah ada kepercayaan dan keimanan wujud Allah dan Rasul-Nya. Artinya, dalil naqli ini dipercayakan sebagai dalil tergantung kepada kepercayaan wujud Allah dan Rasul-Nya. Lalu sekarang kita menggantungkan kepercayaan wujud Allah dan Rasul-Nya kepada dalil naqli dengan melakukan pendalilian dengannya. Pendalilian seperti ini mengakibatkan daur. Dalam ilmu kalam, daur adalah suatu pendalilian yang yang berujung kepada ketergantungan kepada dalil lainnya, sedangkan dalil lain ini juga tergantung kepada dalil pertama. Pendalilian seperti ini disepakati mustahil dan tidak menghasilkan pengetahuan yang bersifat keyakinan.
Sebagai ilustrasi sederhana dapat digambarkan ada seseorang yang mengaku dirinya sebagai utusan seorang raja. Tentu pengakuan ini dapat diyakini apabila kita mempunyai dalil bahwa dia benar-benar seorang utusan raja tersebut dan dalil tersebut tidak boleh berdasarkan pengakuannya saja. Karena pengakuannya tersebut tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Lalu sekarang, bagaimana mungkin kepercayaan kita kepadanya ditetapkan berdasarkan pengakuannya, sedangkan pengakuannya itu tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Alhasil kepercayaan kita kepadanya harus berdasarkan dalil lain, bukan hanya sekedar pengakuan.
2.    Diantara dalil ‘aqli yang menunjukkan kepada wujud Allah adalah dari sisi alam ini merupakan suatu yang mungkin wujud. Suatu yang mungkin wujud pasti membutuhkan kepada zat yang menjadikannya. Sedangkan yang wajib wujud tidak membutuhkan selainnya untuk mewujudkannya. Pendalilian seperti ini diisyaratkan oleh firman Allah berbunyi :
وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ
Dan Allah Yang Maha Kaya dan kalianlah orang-orang yang membutuhkan-Nya. (Q.S. Muhammad : 38)

3.    Pendalilian dengan dalil ‘aqli dengan melihat sisi baharu alam diisyaratkan dengan perkataan Ibrahim a.s. yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".(Q.S al-An’am : 76)

Rumusan pendalilian ini adalah : Bintang adalah berubah, sedangkan suatu yang berubah adalah baharu dan yang baharu pasti membutuhkan yang membuatnya  baharu. Dengan demikian, maka bintang bukanlah tuhan. Karena itu, ada zat lain yang qadim yang membuat baharu bintang itu. Pendalilian dengan dalil ‘aqli dengan melihat sisi baharu alam juga diisyaratkan dalam firman Allah berbunyi :
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah haq.(Q.S. al-Fusshilat : 53)

4.    Pendalilian dengan dalil ‘aqli adalah cara pendalilian para anbiya. Ini dapat dilihat dalam kisah sebagai berikut :
a.       Nabi Nuh a.s :
قَالَ يَا قَوْمِ أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ عِنْدِهِ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْ أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ
Berkata Nuh: "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu tiada menyukainya?" (Q.S. Huud : 28)

Kemudian Allah memberitahukan keadaan kaum Nuh dengan firman-Nya :
قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata "Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar".(Q.S. Huud : 32)

Adu argumentasi Nabi Nuh dengan kaumnya jelas bukan masalah furu’, akan tetapi dalam masalah ‘aqidah. Karena kaum Nuh sebagaimana dimaklumi kaum yang ingkar kepada kenabian Nuh dan tuhannya.
b.      Nabi Ibrahim a.s.
Nabi Ibrahim mencari tahu  keberadaan tuhannya dengan menggunakan dalil ‘aqli dapat dilihat dalam beberapa kasus, yakni :
1). Kasus pertama dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".(Q.S al-An’am : 76)

وَتِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. (Q.S al-An’am : 83)

2). Kisah Ibrahim a.s bersama ayahnya yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?(Q.S. Maryam : 42)

3). Kisah Ibrahim dengan kaumnya yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.(Q.S. al-Anbiya : 58)

4). Kisah Ibrahim dengan raja Namruz yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Baqarah : 258)

c.       Nabi Musa a.s.
قَالَ فَمَنْ رَبُّكُمَا يَا مُوسَى (49) قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدَى (50)
Berkata Fir’aun : “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?”. Musa Menjawab : “Tuhan kami adalah yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberikan petunjuk. (Q.S. Thaha : 49-50)

d.      Nabi kita Muhammad SAW.
Allah memerintahkan Nabi Muhammad SAW berdakwah kepada kaum kafir dalam firman-Nya :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.(Q.S. al-Nahl : 125)

Jadal adalah hujjah ‘aqli yang qath’i yang dapat menumbuhkan keyakinan dan keimanan kepada kaum kafir dan menolak keyakinan kekufuran mereka.
Dalam ayat lain disebutkan :

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Ali ‘Imran : 190)

Ini merupakan dalil ‘aqli dengan melihat sisi baharu alam.


Kamis, 08 Maret 2018

Kenapa yang wajib diketahui hanya dua puluh sifat yang wajib bagi Allah Ta'ala


A.    Pembagian sifat dari aspek dalilnya.
Dari sisi pendaliliannya, para ulama membagi sifat-sifat Allah kepada tiga pembagian, yakni :
1.    Sifat-sifat yang tidak sah pendaliliannya kecuali dengan dalil akal, yakni sifat-sifat yang tawaqquf mu’jizat kepadanya (tidak ada mu’jizat kecuali dengannya), seperti wujud, qidam, baqaa, qiyamuhu binafsihi, mukhalafatuhu lil hawadits, qudrah, iradah, ilmu dan hayah.
2.    Sifat-sifat yang tidak sah pendaliliannya kecuali dengan dalil sima’i (dalil naqli), yakni yang sifat-sifat yang tidak tawaqquf mu’jizat kepadanya seperti sama’, bashar dan kalam.
3.    Sifat yang terjadi khilafiyah padanya. Namun menurut pendapat yang lebih shahih, dalilnya adalah ‘aqli.[1]
Pendalilian dengan dalil naqli juga berlaku bagi sifat keadaan zat yang mendengar, keadaan zat yang melihat dan keadaan zat yang berkalam. Karena tiga sifat ini merupakan konsekwensi logis dari sifat sama’, bashar dan kalam. Al-Dusuqi mengatakan sifat dua puluh yang telah disebutkan, sebagiannya dalilnya adalah ‘aqli, yakni selain sama’, bashar, kalam, keadaan zat yang mendengar, keadaan zat yang melihat dan keadaan zat yang berkalam. Sedangkan sebagian lainnya adalah naqli, yakni enam yang telah disebutkan.[2]
Kewajiban pendalilian sifat-sifat pembagian pertama dan ketiga dengan dalil ‘aqli adalah karena seandainya pendaliliannya dengan dalil naqli, maka penetapan sifat-sifat tersebut tawaqquf kepada dalil naqli. Sedangkan dalil naqli, penetapannya tawaqquf kepada ketetapan risalah kerasulan nabi, kemudian ketetapan risalah kerasulan nabi ini tawaqquf kepada adanya mu’jizat. Padahal adanya mu’jizat itu sendiri tawaqquf kepada sifat-sifat pembagian pertama dan ketiga ini. Yakni konsekwensi logis dari pendalilian dengan dalil naqli adalah tawaqquf sifat kepada mu’jizat dimana mu’jizat itu sendiri juga tawaqquf kepada sifat tersebut. Ini mustahil, karena mengakibatkan daur. Dalam ilmu kalam, daur adalah suatu pendalilian yang yang berujung kepada ketergantungan kepada dalil lainnya, sedangkan dalil lain ini juga tergantung kepada dalil pertama. Pendalilian seperti ini disepakati mustahil.
Apabila ada kritikan dengan mengatakan dalil dalam i’tikad harus bersifat qath’i matan dan dalalah, sedangkan nash syara’ hanya qath’i matan (riwayat mutawatir), adapun dalalah nash-nash tentang sifat sama’ dan bashar adalah dhanni, karena dhahir makna. Karena sama’ dan bashar kadang-kadang dimaknai dengan makna ilmu dengan jalan majaz. Menjawab ini, al-Dusuqi mengatakan, asal sebuah lafazh menempatkannya kepada makna hakikat. Menempatkannya kepada makna majazi harus dengan syarat ada qarinah, sedangkan di sini tidak wujud qarinah. Dan juga dhahir pada makna tersebut banyak, sedangkan dhahir apabila banyak berfaedah qath’i.[3]
B.     Pembagian sifat-sifat Allah dari sisi pengelompokan pengertiannya
Syeikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan kepada kita bahwa syai’ (sesuatu) ada empat katagori, yakni
1.    Maujud, yakni sesuatu yang memungkin atau sah dilihat. Ini martabat yang tertinggi.
2.    Ma’dum, yakni yang tidak tsubut baginya. Ini martabat yang paling rendah.
3.    Hal, yakni yang berada antara maujud dan ma’dum, martabatnya lebih rendah dari maujud dan lebih tinggi dari amrun i’tibari dan dari ma’dum.
4.    Amrun i’tibari. Amrun i’tibari ini terbagi kepada dua, yaitu ikhtira’i dan intiza’i. Ikhtira’i adalah sesuatu yang tidak ada sama sekali pada kenyataan (tidak tahaqquq), namun ditaqdirkan ada dalam alam pikiran seseorang, seperti dermawan orang yang kikir dan kikir orang yang dermawan. Adapun intiza’i adalah yang tahaqquq pada kenyataan, seperti dermawan orang dermawan dan kikir orang yang kikir.
Pembagian empat ini berdasarkan pendapat ahli kalam yang menyatakan adanya hal. Adapun berdasarkan pendapat yang menafikan hal, maka pembagiannya adalah tiga. Menurut Ibrahim al-Bajuri pendapat terakhir ini yang benar.[4]  Dalam pembahasan devinisi wujud, al-Dusuqi mengatakan telah terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam menjelaskan devinisinya. Imam al-Asyari menyebutkan wujud adalah ‘ain zat. Al-Razi mengatakan amrun i’tibari, artinya tidak tsubut kecuali pada ‘i’tibar orang yang mengi’tibar, sedangkan Imam al-Haramain dan Qadhi Abu Bakar al-Baqilani mengatakan wujud adalah hal, maka wujud tsubut pada dirinya, tetapi tidak sampai kepada martabat al-wujud al-kariji.[5] Berdasarkan penjelasan al-Dusuqi ini, maka Imam al-Asy’ari dan al-Razi termasuk ulama yang menafikan adanya hal, sedangkan yang menetapkan adanya hal antara lain Imam al-Haramain dan Qadhi Abu Bakar al-Baqilani.
Berdasarkan pembagian di atas, maka sifat yang wajib bagi Allah dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.    Sifat yang qadim dan maujud yang selain dari zat (zaa-id ‘ala al-zat) dan qaaim pada zat Allah Ta’ala. Dalam kajian sifat dua puluh, biasa disebut dengan sifat ma’ani. Termasuk dalam kelompok ini adalah qudrah, iradah, ilmu, hayah, sama’, bashar dan kalam. Imam al-Sanusi dalam kitab Syarah Umm al-Barahin menyebutkan devinisi sifat ma’ani sebagai sifat yang maujud pada dirinya, baik sifat itu baharu seperti putih atau hitam bagi benda maupun qadim seperti ilmu dan qudrah Allah Ta’ala.[6] Karena sifat ini maujud, maka pada akal, sah dan memungkinkan dilihat seandainya terbuka hijab sebagaimana dijelaskan oleh Ibrahim al-Bajuri dalam point pembagian syai’ di atas.
2.    Sifat yang ma’dum, yakni sifat yang tidak maujud. Penisbatannya kepada Allah Ta’ala hanya untuk menafikan sifat-sifat yang kurang dan tidak patut atas Allah Ta’ala. Dalam kajian sifat dua puluh, biasa disebut dengan sifat salbiyah. Termasuk dalam kelompok ini adalah qidam, baqaa, mukhalatuhu lil hawadits, qiyamuhu binafsihi dan wahdaniat. Al-Dusuqi mengatakan alasan sifat qidam termasuk sifat salbiyah karena salbiyah bermakna menafikan yang tidak patut atas Allah Ta’ala, yakni tidak ada (‘adam) yang terdahulu dari wujud.[7]
3.    Sifat hal, yakni sifat yang qaaim pada zat dan tetapi sifat ini tidak maujud dan juga tidak ma’dum, tetapi antara maujud dan ma’dum. Ulama yang berpendapat ada sifat hal, mereka memasukkan dalam kelompok ini sifat hal nafsiyah (sifat yang tidak maujud pada dirinya dan wajib bagi zat selama ada zat serta wujudnya bukan karena ada ‘illat[8]). Sifat ini hanya satu, yakni wujud dan sifat hal ma’nawiyah (sifat yang tidak maujud pada dirinya, akan tetapi wujudnya karena ada ‘illat. Sifat ini wajib bagi zat selama ‘illatnya tetap pada zat[9]). Sifat ini adalah keadaan zat yang berkuasa, keadaan zat yang berkehendak, keadaan zat yang mengetahui, keadaan zat yang hidup, keadaan zat yang mendengar, keadaan zat yang melihat dan keadaan zat yang berkalam. Menurut Imam al-Asy’ari wujud adalah ‘ain maujud. Pemahaman ini dibangun atas dasar tidak ada sifat hal, karena menurut beliau, tidak ada perantara antara wujud dan ‘adam.
4.    Ulama yang menafikan sifat hal, mereka memasukkan sifat nafsiyah dan ma’nawiyah dalam kelompok sifat amrun i’tibari. Dengan demikian, pengertian sifat ma’nawiyah berdasarkan pendapat ini adalah qiyam (tetap) sifat ma’ani pada zat. Qiyam tersebut adalah amrun i’tibari. Sehingga makna keadaan Allah Ta’ala yang berilmu adalah qiyam ilmu pada zat, sedangkan qiyam ilmu pada zat itu tidak wujud pada kharij dan hanyalah i’tibar saja.[10] Syeikh al-Shawi memberikan ilustarasi kepada kita, apabila seseorang mengeluarkan pakaian dari lemari, maka pakaian tersebut disifati dengan dhuhur (nyata, tidak tersembunyi). Sifat dhuhur pada pakaian ini hanyalah amrun i’tibari yang tidak tsubut pada kharij (kenyataan) sehingga memungkinkan dan sah dilihat.[11] Namun bagi ulama yang berpendapat adanya sifat hal, mereka ini mengatakan sifat dhuhur pada contoh yang dikemukakan oleh al-Shawi tersebut di atas merupakan hal, yakni keadaan baju yang dhahir (tidak tersembunyi). Keadaan baju yang dhahir ini tidak naik dalam martabat maujud sehingga memungkinkan dan sah dilihat dan juga tidak turun ke martabat ma’dum sehingga dikatakan tidak ada sama sekali, akan tetapi hanya maujud dalam zihin (alam pikir seseorang). Inilah yang disebut dengan sifat hal.
C.    Kenapa yang wajib diketahui hanya dua puluh sifat
Sebagaimana yang telah dirumus oleh ulama kita dan juga penjelasan di atas bahwa sifat yang wajib bagi Allah dan yang wajib diketahui adalah dua puluh sifat yang dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu :
1.    Sifat nafsiyah, yakni wujud
            Sifat ini merupakan esensi dari kajian ketauhidan, karena ketauhidan seseorang pertama sekali dilihat dari sisi keimanannya kepada wujud Allah. Syahadat tauhid sendiri yang menjadi syarat keimanan seseorang bermakna pengakuan wujud Allah dan menafikan selain-Nya. Maka bagaimana kita dapat mengatakan sifat ini tidak wajib diketahui ?
2.    Sifat salbiyah.
            Sifat salbiyah ini mencakup qidam, baqaa, mukhalatuhu lil hawadits, qiyamuhu binafsihi, wahdaniat. Sifat yang menafikan kekurangan dan dan penisbatan yang tidak patut bagi Allah Ta’ala banyak sekali, namun para ulama membatasi kewajiban mengetahuinya hanya pada enam sifat saja. Alasannya antara lain :
a.       Konsekwensi logis dari menafikan lawan-lawan dari sifat yang lima ini tanzih Allah Ta’ala dari semua kekurangan dan yang tidak patut bagi-Nya. Karena itu, lima sifat salbiyah ini memadai untuk menafikan semua kekurangan dan yang tidak patut bagi Allah Ta’ala. Karenanya, dinamakan muhimmah al-ummahat (sifat-sifat induk yang sangat penting) sebagaimana dikemukan al-Shawi.[12]
b.      Semua sifat salbiyah selain yang lima kembali kepada lima sifat ini. Misalnya nafi  ayah, teman, penolong dan sifat-sifat kekurangan lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajuri dalam Tuhfah al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid [13]
c.       Hanya lima sifat salbiyah ini yang dapat diketahui dengan dalil qath’i dan secara tafshili. Dengan demikian, hanya lima sifat salbiyah  ini yang wajib diketahui secara tafshili. Penjelasan ini dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayah al-‘Awam.[14] Perlu dicatat, dalam masalah akidah yang bersifat qath’i tidak memadai menetapkan sesuatu hanya dengan dalil dhanni (wajib dengan dalil qath’i, baik matan maupun dalalah).
3.    Sifat ma’ani
            Sifat ma’ani ini mencakup qudrah, iradah, ilmu, hayah, sama’, bashar dan kalam. Sifat yang maujud dan qadim yang qaaim pada zat Allah Ta’ala juga banyak dan tidak terhingga, namun  para ulama membatasi kewajiban mengetahuinya hanya pada tujuh sifat saja. Alasannya antara lain :
a.       Hanya tujuh sifat ma’ani ini yang dapat diketahui dengan dalil qath’i dan secara tafshili. Dengan demikian, hanya tujuh sifat ma’ani ini yang wajib diketahui secara tafshili. Dalam konteks menjelaskan kenapa sifat Allah Ta’ala yang wajib diketahui hanya terbatas dua puluh sifat, dimana di dalamnya termasuk sifat ma’ani yang tujuh, Imam al-Sanusi mengatakan, sifat yang wajib bagi Allah Taala tidak terbatasi kepada dua puluh sifat saja, karena sifat kesempurnaan Allah Ta’ala tidak terbatas dan terhingga. Namun ketidakmampuan kita mengenal sifat-sifat yang tidak mampu ditegaskan dengan dalil ‘aqli dan naqli, kita tidak dihukum dengan sebabnya dengan kemurahan Allah Ta’ala.[15]
b.      Adapun sifat-sifat Allah seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain, maka ini merupakan sifat baharu, bukan sifat qadim yang qaaim pada zat. Sifat ini biasa disebut dalam kajian akidah sebagai sifat af’al yang dibatasi dengan ruang dan waktu. Karena itu, sifat af’’al ini termasuk sifat baharu. Mengenai tidak ada kewajiban mengetahuinya, ini karena sifat af’al ini kembali kepada tujuh sifat ma’ani. Contohnya menciptakan, mematikan dan menghidupkan, ketiga sifat ini kembali kepada sifat qudrah Allah Ta’ala, dimana dengan sifat qudrah ini Allah Ta’ala menciptakan, mematikan dan menghidupkan sesuatu.
c.       Adapun Asmaul Husna Allah Ta’ala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1). Ibrahim al-Bajuri mengatakan, asmaa adalah yang menunjukkan kepada zat semata-mata seperti Allah atau i’tibar sifat seperti al-Aalim (Yang Mengetahui) dan al-al-Qaadir (Yang Berkuasa).[16]
2). Apabila asmaa Allah hanya menunjukkan kepada zat semata-mata, maka ini jelas tidak menunjukkan kepada sifat, akan tetapi hanya kepada zat semata-mata dan apabila  menunjukkan kepada sifat, maka ini kembali kepada salah satu sifat dua puluh di atas. Contohnya al-Muhyii (Yang menghidupkan), al-Mumiit (Yang Mematikan). Kedua asmaa ini kembali kepada sifat qudrah dan iradah Allah. Contoh lain al-‘Aziiz (Yang perkasa) yang kembali kepada sifat qiyamuhu binafsihi, al-Awwal dan al-Aakhir yang kembali kepada sifat qidam dan baqaa. Sesuai dengan penjelasan ini, Dr. Sa’id Fudah mengatakan, hitungan sifat ma’ani adalah tujuh, tidak banyak dari itu, karena dalil qath’i hanya menunjukkan kepada tujuh ini, tidak menunjukkan kepada selain tujuh yang berbeda dengannya. Sebagai contoh apabila kita mengatakan Allah al-Mushawwir (Yang memberi bentuk), sungguh kita tidak dapat memahami dari asmaa al-Mushawwir kecuali Allah menciptakan bentuk dan keadaan Allah yang menciptakan bentuk. Ini tentu didasarkan kepada keadaan Allah yang berkuasa, berkehendak dan mengetahui dan seterusnya. Maka al-khaliq (yang menciptakan) tidak boleh tidak mesti keadaannya yang berkuasa, berkehendak dan mengetahui. Demikian juga al-Muntaqim (Yang Mengancam). Seandainya kita dalami makna kebanyakan asmaa al-husna, sungguh kita mengatakan ia kembali kepada apa yang telah kami sebutkan.[17]
d.      Adapun sifat-sifat yang diriwayatkan berdasarkan hadits ahad, maka ini tidak dapat menjadi akidah, karena nilainya adalah dhanni. Sedangkan dalil dhanni tidak berfaedah kepada ilmu dan i’tikad sebagaimana dipahami dalam ilmu ushul. Imam al-Haramain mengatakan, ahad adalah berita yang mewajibkan amal dan tidak mewajibkan ilmu, karena memungkin tersalah padanya.[18]
4.    Sifat ma’nawiyah
            Sifat ma’nawiyah ini merupakan konsekwensi logis dari bersifat Allah Ta’ala dengan sifat ma’ani. Karena itu, kewajiban mengetahui sifat ma’nawiyah ini sesuai dengan kewajiban mengetahui sifat ma’ani. Apabila kita menetapkan kewajiban mengetahui sifat ma’ani denga tujuh sifat sebagaimana dalam penjelasan sifat ma’ani di atas, maka kewajiban mengetahui sifat ma’nawiyah ini juga tujuh sifat saja.
Catatan
1.      Sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala tidak terbatasi kepada dua puluh sifat saja, karena sifat kesempurnaan Allah Ta’ala tidak terbatas dan terhingga. Namun ketidakmampuan mengenal sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terhingga itu secara tafshil dengan dalil-dalil qath’i menjadi alasan tidak ada kewajiban mengetahuinya sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Sanusi di atas.
2.      Namun demikian, diwajibkan mengi’tiqad bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna secara ijmali, karena ada kemampuan bagi kita mengenalnya secara ijmali.

      






[1].Ibrahin al-Bajuri, Tuhfah al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid, Darussalam, Kairo, Hal. 72
[2] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 73
[3] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 169
[4] Ibrahin al-Bajuri, Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayah al-‘Awam, Maktabah DarAhmad bin Sa’id bin Nubhan wa Auladuhu, Surabaya, Hal. 26
[5] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 74
[6] Al-Sanusi, Syarah Umm al-Barahin, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 97
[7] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 76
[8] Al-Sanusi, Syarah Umm al-Barahin, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 97
[9] Al-Sanusi, Syarah Umm al-Barahin, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 97
[10] Al-Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi ‘ala al-Hud Hudiy, Syirkah al-Ma’arif, bandung, Hal. 47
[11] Al-Shawi, Syarah al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid, Hal. 144
[12] Al-Shawi, Syarah al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid, Hal. 148
[13] Ibrahin al-Bajuri, Tuhfah al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid, Darussalam, Kairo, Hal. 107
[14] Ibrahin al-Bajuri, Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayah al-‘Awam, Maktabah DarAhmad bin Sa’id bin Nubhan wa Auladuhu, Surabaya, Hal. 32
[15] Al-Sanusi, Syarah Umm al-Barahin, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 73
[16] Ibrahin al-Bajuri, Tuhfah al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid, Darussalam, Kairo, Hal. 152
[17] Dr. Sa’id Fudah, Tahzib Syarah al-Sanusiyah, Hal. 30
[18].Imam al-Haramain, al-Warqaat, dicetak bersama syarahnya pada Hamisy Hasyiah al-Damyaathiy ‘ala Syarah al-Warqaat, Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 19