Aqidah
Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib mempercayainya
sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau mukmin. Namun bukan
berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang secara dogmatis, sebab
proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil qath’i yang dapat menghasilkan
keyakinan yang qath’i. Dalil ini adakalanya bersifat aqli atau naqli,
tergantung perkara apa yang diimani. Jika sesuatu itu masih dalam jangkauan
akal maka dalilnya adalah aqli, tetapi jika sesuatu itu di luar jangkauan akal,
wajib disandarkan pada dalil naqli. Dengan demikian dalil aqidah ada dua:
1. Dalil ‘Aqli : dalil yang digunakan untuk membuktikan
perkara-perkara yang dapat menggunakan akal untuk mencapai kebenaran yang pasti
dari keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah beriman kepada keberadaan
Allah, pembuktian kebenaran Al-Qur’an, dan pembuktian seseorang sebagai utusan
Allah.
2. Dalil Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang diberitakan
kepada manusia berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara
langsung dijangkau oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat,
Hari Akhir, surga dan neraka, rasul-rasul, kitab-kitab terdahulu dan lain-lain.
Khabar yang qath’i ini haruslah
bersumber pada sesuatu yang pasti yaitu Al-Qur’an dan hadits mutawatir (hadits qath’i)
dimana dalalah keduanya juga harus qath’i.
Karena
‘aqaid ketuhanan yang merujuk kepada keberadaan
Allah dengan sifat-sifat-Nya masih dalam jangkauan akal, maka dalilnya adalah
dalil ‘aqli sebagaimana dijelaskan di atas. Kewajiban mengetahui yang berkenaan
dengan keyakinan keberadaan Allah (ilahiyat) dengan menggunakan dalil ‘aqli dapat
dipahami dari hampir semua kitab-kitab akidah karya ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah dimana sebelum membahas rincian sifat-sifat Allah Ta’ala dijelaskan
lebih dahulu pembagian hukum akal dalam
tiga pembagian, yakni wajib, mustahil dan jaiz.
Sekarang
pertanyaannya, mengapa ‘aqaid ketuhanan wajib disandarkan kepada dalil ‘aqli?.
Jawabannya adalah sebagai berikut :
1.
Kepercayaan
kepada dalil naqli berupa al-Kitab dan al-Sunnah muncul setelah ada kepercayaan
dan keimanan wujud Allah dan Rasul-Nya. Artinya, dalil naqli ini dipercayakan
sebagai dalil tergantung kepada kepercayaan wujud Allah dan Rasul-Nya. Lalu sekarang
kita menggantungkan kepercayaan wujud Allah dan Rasul-Nya kepada dalil naqli
dengan melakukan pendalilian dengannya. Pendalilian seperti ini mengakibatkan
daur. Dalam ilmu kalam, daur adalah suatu pendalilian yang yang berujung kepada
ketergantungan kepada dalil lainnya, sedangkan dalil lain ini juga tergantung
kepada dalil pertama. Pendalilian seperti ini disepakati mustahil dan tidak
menghasilkan pengetahuan yang bersifat keyakinan.
Sebagai
ilustrasi sederhana dapat digambarkan ada seseorang yang mengaku dirinya
sebagai utusan seorang raja. Tentu pengakuan ini dapat diyakini apabila kita
mempunyai dalil bahwa dia benar-benar seorang utusan raja tersebut dan dalil
tersebut tidak boleh berdasarkan pengakuannya saja. Karena pengakuannya
tersebut tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya. Lalu sekarang, bagaimana
mungkin kepercayaan kita kepadanya ditetapkan berdasarkan pengakuannya,
sedangkan pengakuannya itu tergantung kepada kepercayaan kita kepadanya.
Alhasil kepercayaan kita kepadanya harus berdasarkan dalil lain, bukan hanya
sekedar pengakuan.
2.
Diantara
dalil ‘aqli yang menunjukkan kepada wujud Allah adalah dari sisi alam ini
merupakan suatu yang mungkin wujud. Suatu yang mungkin wujud pasti membutuhkan kepada
zat yang menjadikannya. Sedangkan yang wajib wujud tidak membutuhkan selainnya
untuk mewujudkannya. Pendalilian seperti ini diisyaratkan oleh firman Allah
berbunyi :
وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ
الْفُقَرَاءُ
Dan Allah Yang Maha Kaya dan kalianlah
orang-orang yang membutuhkan-Nya. (Q.S. Muhammad : 38)
3.
Pendalilian dengan dalil ‘aqli
dengan melihat sisi baharu alam diisyaratkan dengan perkataan Ibrahim a.s. yang
dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى
كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu)
dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam
dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".(Q.S al-An’am
: 76)
Rumusan pendalilian ini adalah : Bintang
adalah berubah, sedangkan suatu yang berubah adalah baharu dan yang baharu
pasti membutuhkan yang membuatnya baharu.
Dengan demikian, maka bintang bukanlah tuhan. Karena itu, ada zat lain yang qadim
yang membuat baharu bintang itu. Pendalilian dengan dalil ‘aqli dengan melihat
sisi baharu alam juga diisyaratkan dalam firman Allah berbunyi :
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada
diri mereka sendiri, sehingga nyata bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah haq.(Q.S.
al-Fusshilat : 53)
4.
Pendalilian
dengan dalil ‘aqli adalah cara pendalilian para anbiya. Ini dapat dilihat dalam
kisah sebagai berikut :
a.
Nabi
Nuh a.s :
قَالَ يَا قَوْمِ
أَرَأَيْتُمْ إِنْ كُنْتُ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّي وَآتَانِي رَحْمَةً مِنْ
عِنْدِهِ فَعُمِّيَتْ عَلَيْكُمْ أَنُلْزِمُكُمُوهَا وَأَنْتُمْ لَهَا كَارِهُونَ
Berkata Nuh:
"Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika aku ada mempunyai bukti yang nyata
dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari sisi-Nya, tetapi rahmat itu
disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu menerimanya, padahal kamu
tiada menyukainya?" (Q.S. Huud : 28)
Kemudian
Allah memberitahukan keadaan kaum Nuh dengan firman-Nya :
قَالُوا يَا نُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا
فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Mereka berkata "Hai Nuh,
sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang
bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan
kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar".(Q.S. Huud : 32)
Adu
argumentasi Nabi Nuh dengan kaumnya jelas bukan masalah furu’, akan tetapi
dalam masalah ‘aqidah. Karena kaum Nuh sebagaimana dimaklumi kaum yang ingkar kepada
kenabian Nuh dan tuhannya.
b.
Nabi Ibrahim a.s.
Nabi Ibrahim mencari tahu
keberadaan tuhannya dengan menggunakan
dalil ‘aqli dapat dilihat dalam beberapa kasus, yakni :
1). Kasus pertama dikisahkan
dalam firman Allah berbunyi :
فَلَمَّا جَنَّ
عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا
أُحِبُّ الْآفِلِينَ
Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu)
dia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam
dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".(Q.S al-An’am
: 76)
وَتِلْكَ
حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيمَ عَلَى قَوْمِهِ
Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya. (Q.S al-An’am : 83)
2). Kisah Ibrahim a.s bersama
ayahnya yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ
تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai
bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan
tidak dapat menolong kamu sedikitpun?(Q.S. Maryam : 42)
3). Kisah Ibrahim dengan kaumnya yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi :
فَجَعَلَهُمْ جُذَاذًا إِلَّا كَبِيرًا
لَهُمْ لَعَلَّهُمْ إِلَيْهِ يَرْجِعُونَ
Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur
berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain;
agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.(Q.S. al-Anbiya : 58)
4). Kisah Ibrahim dengan raja Namruz yang dikisahkan dalam firman Allah berbunyi
:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي
رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي
يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ
اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ
فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim
tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu
pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang
menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat
menghidupkan dan mematikan".Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu
terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.(Q.S. al-Baqarah : 258)
c.
Nabi Musa a.s.
قَالَ فَمَنْ
رَبُّكُمَا يَا مُوسَى (49) قَالَ رَبُّنَا الَّذِي أَعْطَى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ
ثُمَّ هَدَى (50)
Berkata Fir’aun
: “Maka siapakah Tuhanmu berdua, hai Musa?”. Musa Menjawab : “Tuhan kami adalah
yang telah memberikan kepada setiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberikan petunjuk. (Q.S. Thaha : 49-50)
d.
Nabi kita Muhammad SAW.
Allah memerintahkan Nabi
Muhammad SAW berdakwah kepada kaum kafir dalam firman-Nya :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik.(Q.S. al-Nahl : 125)
Jadal
adalah hujjah ‘aqli yang qath’i yang dapat menumbuhkan keyakinan dan keimanan kepada
kaum kafir dan menolak keyakinan kekufuran mereka.
Dalam ayat lain disebutkan
:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Q.S. Ali ‘Imran : 190)
Ini merupakan dalil ‘aqli dengan melihat sisi baharu alam.