A. Waktu membaca doa
Dalam Kitab Sunan Ibnu Majah disebut
sebuah hadits berbunyi :
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَبِي مُلَيْكَةَ، يَقُولُ:
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ
لَدَعْوَةً مَا تُرَدُّ قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ
بْنَ عَمْرٍو، يَقُولُ إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ
الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
Abdullah bin Abi Mulaikah berkata, aku
mendengar Abdullah bin ‘Amr al-Ash berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak (maqbul) bagi
orang yang berpuasa adalah pada saat berbuka. Berkata Ibnu Abi
Mulaikah, Aku pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr apabila sudah berbuka
mengatakan :
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
(H.R.
Ibnu Majah).[1]
Al-Bushairiy dalam Zawaid mengatakan,
hadits Ibnu Majah ini shahih isnad.[2]
Dalam riwayat di atas, Ibnu Abi Mulaikah yang meriwayat hadits
ini memahami bahwa doa berbuka puasa dibaca setelah berbuka, buktinya beliau
membaca doa berbuka puasa pada saat sesudah berbuka. Anjuran membaca doa
berbuka puasa sesudah berbuka juga dapat dipahami dari :
1. maksud dhahir hadits Abu Daud dan
al-Nisa’i berbunyi :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ
الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
Dari Ibnu Umar
bahwasanya Nabi SAW apabila sudah berbuka, beliau membaca :
ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
(H.R. Abu Daud dan al-Nisa’i) [3]
2. dhahir
makna doa itu sendiri.lebih sesuai doa tersebut dibaca sesudah berbuka.
Misalnya makna dari doa riwayat Abu Daud dan al-Nisa’i di atas “Telah hilang
haus dan urat-uratpun sudah basah”
3. dan dhahir dari makna hadits berbunyi
:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ:
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Sesungguhnya Nabi SAW apabila beliau berbuka puasa, beliau
mengatakan :
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
(H.R. Abu Daud)[4]
‘Amirah dalam Hasyiah beliau terhadap
kitab Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin dalam mengomentari hadits ini,
beliau mengatakan,
قَوْلُهُ:
(رَوَى أَبُو دَاوُد إلَخْ) يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ وَقْتَ الِاسْتِحْبَابِ بَعْدَ
الْفِطْرِ لِقَوْلِهِ فِي الْحَدِيثِ: وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت. وَلِقَوْلِ
الرَّاوِي: كَانَ إذَا أَفْطَرَ
Perkataan pengarang :(telah meriwayat oleh Abu
Daud..dst), dipahami darinya bahwa waktu dianjurkan berdoa adalah sesudah
berbuka karena dalam hadits “Atas rizki-Mu, aku sudah berbuka” dan perkataan
perawi : “Keadaan apabila beliau berbuka puasa”.[5]
Kebanyakan para ulama Mutaakhirin
Syafi’iyah memahaminya dengan makna sesudah berbuka. Ini dapat kita perhatikan
dari nash-nash di bawah ini :
1. Dalam Nihayah al-Muhtaj karangan Imam al-Ramli
:
)وَأَنْ يَقُولَ
عِنْدَ) أَيْ عَقِبَ (فِطْرِهِ: اللَّهُمَّ لَك صُمْت وَعَلَى رِزْقِك
أَفْطَرْت(
Mengatakan pada saat, yakni sesudah berbuka :
اللَّهُمَّ
لَك صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت[6]
2. Khathib Syarbaini dalam kitabnya, al-Mughni :
)وَ) يُسْتَحَبُّ (أَنْ يَقُولَ
عِنْدَ فِطْرِهِ) أَيْ عَقِبَهُ كَمَا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ (اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ
وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ)
Dan dianjurkan mengatakan pada saat berbuka,
artinya sesudah berbuka sebagaimana dipahami dari perkataan :
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ
أَفْطَرْتُ[7]
3. Qalyubi dalam Hasyiah Qalyubi ‘ala
Syarah al-Mahalli :
قَوْلُهُ:
(عِنْدَ فِطْرِهِ) أَيْ عَقِبَ مَا يَحْصُلُ بِهِ الْفِطْرُ
Perkataan pengarang : (pada saat berbuka),
artinya sesudah makan sesuatu yang mengakibatkn terjadi berbuka.[8]
4. Zainuddin al-Malibari dalam Fathul
Mu’in :
ويسن أن يقول
عقب الفطر: اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت
Disunnahkan
membaca sesudah berbuka :
اللهم لك صمت
وعلى رزقك أفطرت[9]
Namun
demikian, Syeikh Sa’id Ba ‘Ali al-Hazhramiy masih memberikan kemungkinan
membaca doa berbuka puasa sebelum berbuka, meskipun beliau tetap berpendapat sebaiknya
membaca doa sebaiknya dilakukan pada saat sesudah berbuka, yakni dalam Busyraa
al-Kariim beliau mengatakan :
)و) يسن (أن
يقول عنده) أي: عند إرادته، والأولى بعده اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت)
حقيقة على الثاني، وأردت الإفطار على الأول
Dan disunnahkan pada saat berbuka puasa artinya
pada saat merencanakan berbuka, tetapi sebaiknya sesudah berbuka dengan membaca
:
اللهم لك صمت
وعلى رزقك أفطرت
dengan memaknai dengan makna hakikat (aku
sudah berbuka) berdasarkan yang kedua dan dengan makna “aku rencanakan berbuka”
berdasarkan yang pertama[10]
B. Doa yang dibacakan pada saat
berbuka puasa
Doa-doa
berbuka puasa yang datang dalam beberapa riwayat dapat dikemukakan di sini
sebagai berikut :
1. Hadits dari Abu Hurairah berbunyi :
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم إذا صام ثم أفطر قال اللهم لك صمت وعلي
رزقك أفطرت
Rasulullah SAW apabila berpuasa kemudian
berbuka, beliau membaca :
اللهم لك صمت
وعلي رزقك أفطرت
Hadits ini
telah disebut oleh Abu Ishaq al-Syairaziy dalam al-Muhazzab, namun Imam
al-Nawawi dalam mengomentarinya mengatakan, hadits ini gharib dan tidak
dikenal.[11]
2. Semakna dengan hadits di atas,
hadits Muaz bin Zuharah berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ،
وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
Sesungguhnya
Nabi SAW apabila beliau berbuka puasa,
beliau mengatakan :
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ، وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
(H.R. Abu Daud)[12]
Al-Nawawi mengatakan, hadits ini mursal,
namun ada datang dari jalur Ibnu Abbas yang diriwayat oleh al-Darutquthni
secara musnad dan muttashil tapi sanadnya dhaif.[13]
Mulla al-Qaariy seorang ulama ahli hadits terkenal dari kalangan Hanafiyah mengatakan,
Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini dengan keadaannya mursal dapat menjadi hujjah
dalam masalah seperti ini. Lebih-lebih lagi al-Darulquthniy dan al-Thabraniy
telah meriwayatnya dengan sanad muttashil meskipun dhaif. Ini dapat menjadi hujjah
juga”[14].
Imam al-Ramli mengatakan, hadits riwayat Abu Daud di atas, hasan tapi mursal.[15]
Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan, tidak mudharat mursalnya hadits ini, karena
ini dalam fazhail (keutamaan ibadah). Lebih-lebih lagi hadits ini bersambung
dalam satu riwayat.[16]
3. Hadits Abu Daud dan al-Nisa’i
berbunyi :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ
الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
Dari Ibnu Umar
bahwasanya Nabi SAW apabila sudah berbuka, beliau membaca :
ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
(H.R. Abu Daud dan al-Nisa’i) [17]
Al-Darulquthniy mengatakan, isnadnya
hasan. Al-Hakim mengatakan, shahih atas syarat syaikhaini[18]
4. Dalam hadits Ibnu Majah yang tersebut pada awal
tulisan ini, Ibnu Mulaikah berkata :
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو، يَقُولُ
إِذَا أَفْطَرَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ
كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
Aku pernah mendengar Abdullah bin ‘Amr apabila
sudah berbuka mengatakan :
اللَّهُمَّ
إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي
(H.R. Ibnu Majah).[19]
Al-Bushairiy dalam Zawaid mengatakan,
hadits Ibnu Majah ini shahih isnad.[20]
5. Mulla al-Qaariy mengatakan,
وَوَرَدَ
أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَقُولُ: " يَا وَاسِعَ
الْفَضْلِ اغْفِرْ لِي"، وَأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ :
"الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ
اهـ وَأَمَّا مَا اشْتُهِرَ عَلَى الْأَلْسِنَةِ " اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ
وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ " فَزِيَادَةٌ، (وَبِكَ آمَنْتُ)
لَا أَصْلَ لَهَا وَإِنْ كَانَ مَعْنَاهَا صَحِيحًا، وَكَذَا زِيَادَةُ
(وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَلِصَوْمِ غَدٍ نَوَيْتُ) بَلِ النِّيَّةُ بِاللِّسَانِ
مِنَ الْبِدْعَةِ الْحَسَنَةِ
Ada riwayat sesungguhnya Nabi SAW
membaca :
يَا وَاسِعَ
الْفَضْلِ اغْفِرْ لِي
dan sesunggugnya Nabi SAW membaca :
الْحَمْدُ
لِلَّهِ الَّذِي أَعَانَنِي فَصُمْتُ وَرَزَقَنِي فَأَفْطَرْتُ
Adapun yang masyhur pada lisan
manusia :
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
maka tambahan “wa bika amantu” tidak asal
baginya, meskipun maknanya shahih. Demikian juga tambahan
وَعَلَيْكَ
تَوَكَّلْتُ وَلِصَوْمِ غَدٍ نَوَيْتُ
bahkan niat dengan lisan termasuk bid’ah
hasanah.[21]
6. Al-Syarwaniy menyebutkan dalam
kitabnya :
وَزَادَ
الدَّارَقُطْنِيّ "فَتَقَبَّلْ مِنِّي إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ"
وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الْمَقْدِسِيَّ يَزِيدُ بَعْدَ "أَفْطَرْتُ"
"سُبْحَانَك وَبِحَمْدِك تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ
الْعَلِيمُ اللَّهُمَّ إنَّك عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي" قَالَ
الْمُتَوَلِّي وَيُسَنُّ أَنْ يَزِيدَ "وَبِك آمَنْتُ وَعَلَيْك تَوَكَّلْتُ
وَلِرَحْمَتِك رَجَوْتُ وَإِلَيْك أَنَبْتُ" إيعَابٌ
Al-Darulquthniy menambah :
فَتَقَبَّلْ
مِنِّي إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Karena itu, al-Maqdisiy menambah
sesudah “afthartu” :
سُبْحَانَك
وَبِحَمْدِك تَقَبَّلْ مِنَّا إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ اللَّهُمَّ
إنَّك عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Al-Mutawalli mengatakan,
disunnahkan menambah
وَبِك آمَنْتُ
وَعَلَيْك تَوَكَّلْتُ وَلِرَحْمَتِك رَجَوْتُ وَإِلَيْك أَنَبْتُ
Demikian dalam Kitab I’aab.[22]
Catatan
Dalam Shaihih
al-Bukhari terdapat hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء
النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال
رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم
قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Pada suatu
hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya
dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang
laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan
fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang
berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku
melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis
amalnya”.(H.R. al-Bukhari)[23]
Mengomentari
hadits di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan, dijadikan dalil dengan
hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil)
zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan
dengan zikir yang ma’tsur. [24]
Berdasarkan pemahaman yang dikemukakan Ibnu
Hajar al-Asqalaniy tersebut yang didasarkan kepada hadits di atas, dapat
dipahami bahwa seandainya dalam shalat dibolehkan mendatangkan zikir-zikir yang
tidak ma’tsur (tidak ada riwayat dari Nabi SAW atau Sahabat beliau), maka
mendatang zikir atau doa dalam puasa tentunya seyogyanya lebih utama lagi
dibolehkan. Mengingat puasa bukanlah ibadah mahdhah seperti halnya shalat. Catatan
ini penting dikemukakan di sini agar dapat dipahami bahwa membaca zikir atau
doa dalam berbuka puasa yang tidak diketahui ada riwayat dari Nabi SAW atau
Sahabat beliau adalah bukan sesuatu yang
terlarang, meskipun harus diakui bahwa membaca doa yang ma’tsur lebih
utama.
[1]
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 557
[2] Al-Bushairiy,
Zawaid Ibnu Majah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 254
[3]
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah,
Juz. VI, Hal. 408
[4]
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 306
[5]
‘Amirahi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 80
[6]
Imam al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Maktabah Syamliah, Juz. III,
Hal. 183
[7]
Khathib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. II,
Hal. 168
[8]
Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarah al-Mahalli,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 80
[9]
Zainuddin al-Malibari, Fathul Muin, Maktabah Syamilah, Hal. 274
[10] Syeikh
Sa’id Ba ‘Ali al-Hazhramiy, Busyraa al-Kariim, Maktabah Syamilah,
Hal. 563
[11] Al-Nawawi,
Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VI,
Hal. 408
[12]
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 306
[13]
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah,
Juz. VI, Hal. 408
[14]
Mulla al-Qaariy, Mirqaah al-Maafatiih, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 1387
[15]
Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
183
[16]
Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz.
III, Hal. 425
[17]
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah,
Juz. VI, Hal. 408
[18]
Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 711
[19]
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 557
[20] Al-Bushairiy,
Zawaid Ibnu Majah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Beirut, Hal. 254
[21]
Mulla al-Qaariy, Mirqaah al-Maafatiih, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 1387
[22]
Al-Syarwaniy, Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,
Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 425
[23] .al-Bukhari,
Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits
799
[24] .Ibnu
Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
Tidak ada komentar:
Posting Komentar