Teka-teki dalam fiqh ini dinamakan dengan
ilghaz. Dinamakan juga al-ahjiyah, karena al-hijaa
bermakna akal, sedangkan ilghaz ini menguatkan akal atas ujian. Para
ilmuan ilmu faraidh menamakannya ma’aayaah. Adapun pengertian ilghaz adalah
:
الكلام المعمي أي المجعول فيه التعمي
والخفاء
Kalam yang disamarkan, artinya yang
dijadikan samar-samar dan tersembunyi.
Diantara kitab karya ulama mengenai ilmu ini antara lain, al-Injaz
fi al-Ilghaz karya Abd al-Karim al-Rafi’i dan Tharaz al-Mahaaqil fi Ilghaz
al-Masail karya al-Jamal Abd al-Rahim al-Asnawi.[1]
Contoh teka-teki dalam fiqh
1. Siapakah yang wajib qadha shalat beberapa tahun
dengan sebab mati orang lain?. Jawabannya : Ummul walad yang mati majikannya di
negeri lain dan dia tidak mengetahuinya kecuali setelah berlalu masa beberapa
tahun, padahal selama ini dia shalat dalam keadaan terbuka kepala. Maka
shalatnya batal apabila kepalanya tidak ditutupi dengan segera dan tanpa
perbuatan yang banyak.[2]
Catatan : Ummul walad merdeka dengan sebab mati majikannya dan tidak
wajib menutup kepala dalam shalat selama dia masih berstatus hamba sahaya
2. Siapakah seseorang yang berhadats dalam masjid,
akan tetapi dapat membatalkan shalat orang yang sudah berada di rumahnya?
Jawabannya : salah seorang anggota
bilangan jumat yang menghadiri jum’at hanya empat puluh orang, yang shalatnya
tersisa satu raka’at lagi (masbuq). Ia batal shalatnya karena berhadats pada
rakaat terakhirnya, sedangkan anggota bilangan jum;at lainnya sudah selesai
shalatnya dan sudah pulang ke rumah masing-masing. Maka orang yang sudah berada
di rumah tersebut juga batal shalatnya karena shalat jum’at harus sah shalatnya
minimal empat puluh orang.[3]
3. Siapa orangnya yang dapat jual beli dalam
shalat, akan tetapi shalatnya tidak batal ?
Jawabannya : seseorang yang melakukan
jual beli dalam shalat dengan menggunakan isyarah.[4]
4.
Bagaimana status
seorang khatib yang shalat ‘Idul Adha bersama kita, kemudian khatib sendiri
kita sembelih sebagai qurban ?
Jawabannya : khatib tersebut merupakan yang
terlahir berbentuk manusia dan berakal dari perkawinan antar hewan yang boleh
dimakan (hewan yang boleh diqurban). Karena anak yang terlahir dari perkawinan
antar hewan yang boleh dimakan, hukumnya suci dan boleh dimakan.[5].
5. Shalat apakah yang keluar waktunya, padahal
belum masuk waktu ?.
Jawabannya : shalat rawatib ba’diyah yang
shalat fardhunya sudah keluar waktu. Karena waktu shalat rawatib ba’diyah
setelah shalat fardhu. Selama shalat fardhu belum dilaksanakan, maka waktunya
belum masuk. Baru boleh dilakukan setelah shalat fardhu di qadhanya di luar
waktu.[6]
6. Siapakah orang yang tergantung sucinya atas
suci orang lain?
Jawabannya : seseorang yang tayamum untuk
shalat jenazah. Karena waktu tayamumnya diharuskan setelah selesai mandi
jenazah.[7]
7. Apa yang dibunuh oleh seorang yang melakukan
ihram, atasnya wajib membayar dua harga?.
Jawabannya : Seorang yang ihram yang
meminjam binatang buruan, kemudian membunuhnya. Maka atasnya wajib membayar
harganya kepada si pemiliknya dan fidyah hewan ternak untuk hak Allah.[8]
8.
Jelaskan ucapan
seseorang yang status sharihnya tergantung niat orang yang bertanya?
Jawabannya : ucapan “Na’am”
jawaban dari seseorang untuk pertanyaan “Apakah kamu mentalaq isterimu?”.
Jawaban “na’am” tersebut menjadi sharih talaq tergantung niat orang
bertanya. Maka apabila yang bertanya meniatkan meminta melakukan talaq, maka
ucapan “na’am” akan sama dengan ucapan “Isteriku tertalaq”.[9]
[1] Syeikh Yaasin al-Fadaniy
al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh
al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair
al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 103-104
[2] Syeikh Yaasin al-Fadaniy
al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh
al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair
al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104
[3]
Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah Syamilah, Hal.
137
[4]
Abu Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 21
[5] Abu
Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Symilah, Juz. IV,
Hal. 113
[6] Abu
Bakar Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. I,
Hal. 288
[7]
Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh Manhaj al-Thulab,
Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 228-229
[8] Syeikh Yaasin al-Fadaniy
al-Makkiy, Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh
al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Basyair
al-Islamiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 104
[9]
Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Maktabah Syamilah,
Hal. 322
Tidak ada komentar:
Posting Komentar