Renungan

Minggu, 30 April 2023

Hadits “Berbicara sesuai dengan tingkat kecerdasan yang diajak bicara”

 

Menurut al-Shakhawiy,  al-Dailamiy telah mentakhrij hadits dengan sanad dhaif dari Ibnu Abbas dari Nabi SAW bersabda :

أمرنا أن نكلم الناس على قدر عقولهم

Kami diperintahkan berbicara dengan manusia menurut qadar akal mereka.

 

Kemudian al-Shakhawiy menjelaskan bahwa hadits ini ada pendukungnya (syaahid), yakni hadits dalam Shahih al-Bukhari dari ‘Ali secara mauquf, berbunyi :

حدثوا الناس بما يعرفون، أتحبون أن يكذب الله ورسوله

Bicaralah dengan manusia sesuai dengan apa yang mereka pahami. Apakah kalian senang  didustai Allah dan Rasul-Nya?

 

Dan didukung pula oleh hadits yang ditakhrij oleh Imam Muslim dalam muqaddimah Shahihnya dari Ibnu Mas’ud, berkata :

ما أنت بمحدث قومًا حديثًا لا تبلغه عقولهم إلا كان لبعضهم فتنة

Tidaklah kamu berbicara dengan suatu kaum suatu pembicaraan yang tidak sampai akal mereka kecuali hal itu menjadi fitnah bagi sebagian mereka.

 

(al-Ajwabah al-Mardhiah, karangan al-Shakhawiy : I/294)

 

Berdasarkan keterangan yang dikemukakan oleh al-Shakhawiy di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits riwayat al-Dailamiy di atas bernilai hasan lighairihi.

 

Jumat, 28 April 2023

Amalan al-tahiyyah (penghormatan) dalam fiqh ibadah

 

Menurut Imam al-Zarkasyi, al-tahiyyah (amalan dengan alasan penghormatan kepada sesuatu) dalam fiqh ada delapan amalan, yaitu :

1.  Tahiyyatul masjid dengan melakukan shalat dua rakaat. Dikecualikan :

a.    khatib masuk masjid untuk berkhutbah

b.    seseorang masuk masjid, sementara manusia lain sedang melaksanakan shalat wajib secara berjamaah atau muazzin sudah masuk dalam iqamah ataupun khatib sudah selesai berkhutbah

c.    masuk masjid haram

d.    jika seseorang masuk masjid, sementara imam sedang melaksanakan shalat sunnah secara berjamaah seperti shalat hari raya, terkait dengan ini terdapat dua pendapat dalam hal anjuran tahiyyah masjid. Ibnu Jama’ah al-Maqdisi membedakan antara keadaan ini dengan orang masuk masjid, sementara imam sedang melaksanakan shalat wajib, bahwa shalat wajib berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sunnah

2.  al-Tahiyyah ka’bah dengan thawaf qudum

3.  al-Tahiyyah tanah haram dengan ihram

4.  al-Tahiyyah Mina dengan melempar jamarah

5.  al-Tahiyyah ‘Arafah dengan wuquf

6.  al-Tahiyyah Majlis Qadha (masuk ruangan pengadilan) oleh qadhi dengan melaksanakan dua rakaat shalat berdasarkan pendapat yang dihikayah oleh al-Ruyaaniy

7.  Tahiyyatul masjid bagi khatib dengan melakukan khutbah pada hari Jumat sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam al-Nawawi.

8.  al-Tahiyyah seorang muslim ketika bertemu sesamanya dengan memberikan salam, “Assalamu’alaikum”

(al-Mantsur fi al-Qawaid Fiqh Syafi’i karangan al-Zarkasyi, Hal 137-138)

Kamis, 27 April 2023

Hadits “cinta tanah air sebagian dari iman”

 

Bunyi hadits ini sebagai berikut :

حب الوطن من الايمان

Cinta tanah air sebagian dari iman

 

Al-Suyuthi mengatakan,

لم أقف عليه

Aku tidak mengenalnya (al-Durar al-Muntatsirah fi al-Ahadits al-Musytahirah : 108)

 

Senada dengan al-Suyuthi, al-Shakhawi juga mengatakan hal yang sama. Namun beliau menambahkan, maknanya shahih :

لم أقف عليه ومعناه صحيح

Aku tidak mengenalnya, akan tetapi maknanya shahih.(al-Maqashid al-Hasanah : 297)

 

Menurut al-Shaghaaniy, hadits ini palsu. Al-‘Ajluuniy mengutip perkataan beliau dalam kitab Kasyf al-Khafaa sebagai berikut  :

قال الصغاني موضوع

al-Shaghaaniy mengatakan, hadits ini palsu (Kasyf al-Khafaa I/345)

 

 

 

Rabu, 26 April 2023

Penafsiran hadits keutamaan puasa enam hari bulan Syawal

 

1.  Dari Ayyub al-Anshariy menceritakan bahwa Nabi SAW bersabda :

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ ‌أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari pada bulan Syawal, maka seolah-olah puasa sepanjang tahun. (H.R. Muslim)

 

Imam al-Nawawi dalam mengomentari hadits ini mengatakan,

قَالَ الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَالسِّتَّةُ بِشَهْرَيْنِ

Para ulama menjelaskan disebut seolah-olah puasa setahun, karena kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat pahalanya. Karena itu, puasa bulan Ramadhan digandakan pahalanya menjadi sepuluh bulan dan puasa enam hari digandakan dua bulan.(Syarah Muslim VIII/56)

 

Apabila sebuah kebaikan mendapat pahala 10, maka puasa 1 bulan, pahalanya adalah 1 bulan x 10 = 10 bulan. Demikian juga puasa 6 hari mendapat pahalanya : 6 hari x 10 = 60 hari (2 bulan).  Alhasil 10 bulan + 2 bulan =  1 tahun.

Berdasarkan penjelasan ini, maka “al-dahri” dalam hadits di atas bermakna setahun

2.  Hadits diriwayat secara mauquf, Ayyub al-Anshariy mengatakan,

 مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ فَكَأَنَّمَا صَامَ السَّنَةَ كُلَّهَا

Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari pada bulan Syawal, maka seolah-olah puasa sepanjang tahun.(H.R. Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkaar III/379)

 

3.  Dari Tsauban maula Rasulullah SAW, sesungguhnya beliau pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :

جَعَلَ اللَّهُ الْحَسَنَةَ بِعَشْرٍ فَشَهْرُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَسِتَّةُ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ تَمَامُ السَّنَةِ

Allah menjadikan kebaikan dengan sepuluh kali lipat pahalanya. Maka satu bulan Ramadhan digandakan menjadi sepuluh bulan dan dengan enam hari sesudah Aidil Fitri sempurnalah  setahun. .(H.R. Ibnu Abd al-Bar dalam al-Istizkaar III/380)

 

4.  Sabda Nabi SAW  dengan sanad hasan :

صيام شَهْرُ رَمَضَانَ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ وَ صيام سِتَّةُ أَيَّامٍ بَبشهرين فذالك صيام السنة

Puasa bulan Ramadhan digandakan pahalanya sepuluh bulan dan puasa enam hari digandakan menjadi dua bulan, maka menjadi puasa setahun (H.R. al-Nisa-i, Mulla al-Qari dalam Mirqah al-Mafaatih Syarah Misykah al-Mashabiih : IV/1416)

 

Hadits-hadits nomor 2,3 dan 4 di atas menegaskan penafsiran yang dikemukakan oleh Imam al-Nawawi di atas.

Selasa, 18 April 2023

Niat dua rakaat tarawih atau dua rakaat sebagian dari tarawih?

 

Salah satu lafazh niat shalat tarawih yang sudah lazim diajarkan oleh ulama dan guru-guru kita dari zaman dahulu, khususnya di Aceh dan Asia Tenggara pada umumnya adalah :

اصلي سنة التراويح ركعتين أداء لله تعالى

“Saya shalat sunnah tarawih dua raka’at secara tunai karena Allah Ta’ala.”

atau

اصلي ركعتين سنة التراويح أداء لله تعالى

“Saya shalat dua rakaat sunnah tarawih secara tunai karena Allah Ta’ala.”

 

Kedua lafazh niat di atas secara makna sama saja. Bedanya yang pertama duluan disebut sunnah tarawih, sedangkan yang kedua duluan disebut raka’ataini. Lafazh niat seperti ini antara lain disebut dalam kitab Arab Jawi, Kifayatul Ghulam karangan Syeikh Ismail Minangkabau, halaman 26 dan kitab Arab Jawi, Perukunan Melayu, halaman 57 . Dua kitab Arab Jawi ini sangat populer dikalangan umat Islam Aceh dan Asia Tenggara pada umumnya. Sejauh pengetahuan kami belum ada ulama kita yang mengatakan lafazh niat tersebut keliru. Pembenaran lafazh niat tarawih seperti ini didasarkan bahwa dua rakaat dari shalat tarawih tersebut dapat dinamakan sebagai shalat tarawih sebagaimana halnya dapat dinamakan untuk semua bilangan rakaatnya. Karenanya, sah meniatkan dua rakaat dari rakaat tarawih sebagai shalat tarawih, tanpa diharuskan meniatkan “sebagian dari tarawih”. Karena itu, Zakariya al-Anshariy dalam kitab Asnaa al-Mathalib mengatakan :

وَلَا يَصِحُّ بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ (يَنْوِي بِإِحْرَامٍ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ التَّرَاوِيحَ، أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ) لِيَتَمَيَّزَ بِذَلِكَ عَنْ غَيْرِهَا

Tidak sah shalat tarawih dengan niat shalat sunnah mutlaq, akan tetapi dalam takbiratul ihram setiap dua rakaat hendaknya meniatkan tarawih atau qiyam Ramadhan supaya dengan sebab demikian berbeda dari selain tarawih.(Asnaa al-Mathaliib : I/201)

 

Ketidakharusan meniatkan dengan “sebagian tarawih” juga ditegaskan oleh syeikh Nawawi al-Bantaniy dalam kitabnya :

وَلَا تصح بنية مُطلقَة بل يَنْوِي رَكْعَتَيْنِ من التَّرَاوِيح أَو من قيام رَمَضَان أَو سنة التَّرَاوِيح

Tidak sah shalat tarawih dengan niat shalat sunnah mutlaq, akan tetapi meniatkan dua rakaat dari tarawih atau dari qiyam Ramadhan ataupun meniatkan sunnah tarawih (Nihayatul Zain : 114)

 

Atas dasar ini pula, apabila seseorang melakukan shalat tarawih sebagian bilangan rakaatnya, tidak sempurna dua puluh raka’at, misalnya dua rakaat atau delapan rakaat, maka menurut penjelasan Ibnu Hajar al-Haitamiy dan Syarwani dihukum sah sebagai tarawih dan mendapat pahala sesuai dengan banyak jumlah rakaat yang dilakukannya. Hal ini karena sebagian bilangan rakaat tarawih seperti dua rakaatnya sah dinamakan tarawih. Dalam Tuhfah al-Muhtaj, al-Haitamiy mengatakan,

وَلَوْ صَلَّى مَا عَدَا رَكْعَةَ الْوِتْرِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يُثَابُ عَلَى مَا أَتَى بِهِ ثَوَابَ كَوْنِهِ مِنْ الْوِتْرِ؛ لِأَنَّهُ يُطْلَقُ عَلَى مَجْمُوعِ الْإِحْدَى عَشْرَةَ وَكَذَا مَنْ أَتَى بِبَعْضِ التَّرَاوِيحِ وَلَيْسَ هَذَا كَمَنْ أَتَى بِبَعْضِ الْكَفَّارَةِ خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَهُ؛ لِأَنَّ خَصْلَةً مِنْ خِصَالِهَا لَيْسَ لَهَا أَبْعَاضٌ مُتَمَايِزَةٌ بِنِيَّاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهَا بِخِلَافِ مَا هُنَا عَلَى أَنَّهُ لَا جَامِعَ بَيْنَهُمَا كَمَا هُوَ وَاضِحٌ.

Jikalau seseorang melakukan shalat witir selain satu raka’at (sepuluh raka’at), maka dhahirnya diberikan pahala sesuai dengan yang dilakukannya sebagai pahala shalat witir, karena nama witir disebut secara ithlaq atas kumpulan sebelas raka’at, demikian juga orang-orang yang melakukan sebagian tarawih. Ini tidak termasuk seperti orang yang melakukan sebagian kifarat. Pendapat ini berbeda dengan yang mendakwakan sama dengan kifarat, karena satu perkara dari perkara-perkara kifarat tidak ada bagian yang dibedakan dengan niat yang berulang-ulang sehingga dibolehkan hanya melakukan sebagiannya saja, ini berbeda dengan apa yang di sini, lebih lebih lagi antara keduanya itu tidak ada persamaannya sebagaimana yang jelas terlihat.(Tuhfah al-Muhtaj : II/225)

 

Syeikh Abd al-Hamid al-Syarwani dalam komentarnya terhadap nash Tuhfah al-Muhtaj di atas mengatakan :

(قَوْلُهُ: وَكَذَا مَنْ أَتَى بِبَعْضِ التَّرَاوِيحِ) أَيْ كَالِاقْتِصَارِ عَلَى الثَّمَانِيَةِ فَيُثَابُ عَلَيْهِمْ ثَوَابَ كَوْنِهَا مِنْ التَّرَاوِيحِ، وَإِنْ قَصَدَ ابْتِدَاءً الِاقْتِصَارَ عَلَيْهَا كَمَا هُوَ الْمُعْتَادُ فِي بَعْضِ الْأَقْطَارِ

(Perkataan pengarang : demikian juga orang-orang yang melakukan sebagian tarawih.) maksudnya seperti melakukan hanya delapan raka’at, maka diberikan pahala kepada mereka sebagai pahala tarawih, meskipun diqashadkan dari awalnya hanya melakukan delapan saja sebagaimana yang menjadi kebiasaan pada sebagian daerah.(Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj : II/225)

Penjelasan senada dengan Ibnu Hajar al-Haitamiy di atas, juga kita temui dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, karangan Imam al-Ramli : II/112.

Kalau muncul pertanyaan, bukankah tarawih itu jama’, sehingga per-dua rakaat shalat tarawih tidak sah dinamakan tarawih, bahkan belum ada satu tarawih sama sekali (tarawih : istirahat sesudah empat rakaat shalat tarawih). Kita jawab, penamaan shalat tarawih ini dengan tarawih dikarenakan pada umat Islam terdahulu melaksanakan shalat ini dengan melakukan sekali istirahat dalam setiap selesai empat raka’at. Dengan i’tibar ini, nama shalat ini menjadi populer menjadi shalat tarawih. Ini hanya sebuah penamaan atau istilah. Karena itu, meskipun melakukan shalat tarawih dua puluh rakaat tanpa istirihat sekalipun, shalat tersebut tetap dinamakan shalat tarawih. Jawaban ini juga berlaku pada ketika seseorang melakukan dua rakaat dari rakaat tarawih, masih dapat dinamakan shalat tarawih.

Kesimpulan

Dalam melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat dengan sekali salam, maka niatnya sah dengan meniatkan dalam takbiratul ihram setiap dua rakaat dengan niat “Saya shalat sunnah tarawih dua raka’at secara tunai karena Allah Ta’ala” tanpa ada niat “sebagian dari tarawih” sebagaimana juga sah dengan niat “Saya shalat dua rakaat dari shalat sunnah tarawih secara tunai karena Allah Ta’ala”.

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

Apakah dosa berbuat maksiat di Bulan Ramadhan, berlipat ganda?

 

Pada dasarnya, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada hambanya dengan berlipat ganda sebagai karunia dan kasih dan sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang bertaqwa dan sebaliknya hal tersebut tidak berlaku pada kejahatan yang dilakukan hamba-Nya, Allah Ta’ala hanya membalasnya dengan siksaan sesuai dengan kejahatannya tanpa ada penggandaannya sebagaimana firman Allah Ta’ala berbunyi :

مَن جَاء بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَن جَاء بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ

Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barang siapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) (QS. Al-An’am: 160).

 

Namun demikian, ada beberapa keterangan yang menjelaskan kepada kita bahwa ada tempat dan zaman tertentu yang Allah lipat-gandakan dosa kejahatan yang dilakukan seorang hamba Allah pada tempat dan zaman tersebut. Misalnya kejahatan yang dilakukan pada bulan Ramadhan. Nabi SAW bersabda :

فَاتَّقُوا شَهْرَ رَمَضَانَ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ تُضَاعَفُ فِيهِ ما لا تضاعف فيما سواه  وَكَذَلِكَ السَّيِّئَاتُ

Takutlah kalian terhadap bulan Ramadhan. Karena pada bulan ini, pahala kebaikan dilipat-gandakan yang tidak dilipat-gandakan pada bulan lain sebagaimana dosa kejahatan juga dilipat-gandakan.(H.R. at-Thabrani)

 

Ibnu Hajar al-Haitamiy menjelaskan, seyogyanya pengertian dilipat-gandakan di sini bermakna kualitas dosa kejahatannya dan kualitas balasan siksaan yang diterimanya, sehingga tidak bertentangan dengan maksud ayat “maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya”. Karena ayat ini membicarakan kuantitas balasannya tidak dilipat-gandakan, meskipun kualitasnya bisa saja dilebihkan karena faktor tempat dan zaman.(Fathul Mubin bi Syarh al-Arba’in : 589)

Senada dengan penjelasan al-Haitamiy di atas, Ibnu ‘Alan mengatakan, kadang-kadang dosa menjadi besar sebab kemuliaan zaman dan tempatnya seperti kejahatan yang dilakukan pada bulan-bulan haram, bulan Ramadhan dan di negeri Makkah atau sebab tinggi derajat pelakunya ataupun kuat ma’rifah dan kedekatannya dengan Allah Ta’ala. Kemudian Ibnu ‘Alan mengatakan :

فإن من عصا السلطان على بساطه أعظم جرماً ممن عصاه على بعده

Sesungguhnya orang yang membangkang rajanya di hamparan permadani raja lebih besar kesalahannya dibanding pembangkangan dari kejauhan.(Dalil al-Falihiin li Thuruqi Riyadhusshalihiin I/82)

 

Contoh lain dilipat-gandakan dosanya sebagaimana dilipat-gandakan pahalanya adalah orang yang merencanakan kejahatan secara dhalim di negeri Makkah. Allah Ta’ala berfirman :

وَمَن يُرِدۡ فِيهِ بِإِلۡحَادِۭ بِظُلۡمٖ نُّذِقۡهُ مِنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ 

Barangsiapa yang bermaksud di dalamnya (negeri Makkah) melakukan kejahatan secara dhalim niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebagian siksa yang pedih (Q.S. al-Hajj : 25)

 

Baru sebatas keinginan berbuat kedhaliman di Makkah saja, Allah sudah memberikan ancaman siksa yang pedih. Padahal di sisi lain, kalau itu dilakukan di luar tanah haram (Makkah), Allah tidak akan menghukumnya kecuali kedhaliman itu sudah dilakukan. Dari pemahaman ayat ini, Ibnu Abbas dan lainnya mengatakan,

إنَّ السَّيِّئَاتِ تُضَاعَفُ بِهَا كَمَا تُضَاعَفُ الْحَسَنَاتُ

Sesungguhnya dosa kejahatan dilipat-gandakan di negeri Makkah sebagaimana dilipat-gandakan kebaikannya.

 

Maksudnya, kualitas dosa kejahatannya di Makkah lebih besar dibandingkan kejahatan pada negeri lain, bukan kuantitasnya, agar tidak bertentangan dengan ayat dan hadits yang menerangkan tidak ada dilipat-gandakan kuantitas dosa kejahatan.(Tuhfah al-Muhtaj : IV/65)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa perbuatan dosa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, kualitas dosanya menjadi lebih besar dibandingkan di bulan-bulan lain  sebagaimana halnya pahala kebaikannya juga berlipat ganda. Apalagi kalau kejahatan tersebut bertepatan dengan malam Lailatul qadar yang penuh berkah. Namun perlu menjadi catatan bahwa berlipat ganda dosa kejahatan di bulan Ramadhan bermakna kualitas dosanya, bukan kuantitasnya sebagaimana sudah dijelaskan di atas.

Wallahua’lam bisshawab

Kiat-kiat berpuasa mencapai tingkatan tertinggi

 

Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa, yaitu : Pertama, puasa orang awam, Puasa tingkatan pertama disebut sebagai shaumul umum atau puasanya orang awam. Praktik puasa yang dilakukan di tingkatan ini sebatas menahan haus dan lapar serta hal-hal lain yang membatalkan puasa secara fiqh.

Kedua, puasanya orang khusus atau puasanya orang-orang spesial. Puasa tingkatan kedua ini adalah puasanya orang-orang shalih. Mereka berpuasa lebih dari sekadar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan. Tapi mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Mulutnya bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah. Imam al-Ghazali menuturkan bahwa puasa tingkatan ini akan sempurna dengan enam perkara, yaitu :

1.  Menghindari dari memandang sesuatu yang tercela dan makruh serta dari setiap yang melalaikan hati dari mengingat Allah Ta’ala

2.  Memelihara lidah dari berkata dusta, ghibah, ucapan yang keji dan kasar, berbantah-bantah serta berlaku riya. Disamping itu, memperbanyak diam dan menyibuk diri dengan berzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an.

3.  Menghindari pendengaran dari menyimak sesuatu yang dibenci syara’, karena setiap yang haram mengatakannya haram juga menyimaknya.

4.  Menghindari anggota tubuh lain dari dosa seperti dosa tangan dan kaki. Demikian juga menghindari perut dari syubhat pada waktu berbuka. Tidak ada makna puasa menahan makan makanan halal, akan tetapi kemudian berbuka dengan makanan haram. Sesungguhnya makanan halal yang banyak dapat memudharat manusia. Karena itu, puasalah yang menguranginya.

5.  Tidak memperbanyak makan yang halal pada waktu berbuka. Ruh dan rahasia puasa adalah melemahkan kekuatan yang merupakan wasilah syaithan untuk kembali  kepada kejahatan. Itu tidak akan berhasil kecuali dengan mengurangi makan.

6.  Hendaknya hati orang yang berpuasa digantung antara rasa khauf (rasa takut kepada Allah) dan rasa rija’ (berharap ridha Allah). Karena seseorang tidak mengetahui apakah puasanya itu diterima di sisi-Nya atau ditolak.

Ketiga, Puasa Orang Super-Khusus. Ini tingkatan yang paling tinggi menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus. Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawiyah, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah. Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah. Bahkan, menurut kelompok ketiga ini puasa dapat terkurangi nilainya dan bahkan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan, meski sedikit saja, atas kekuasaan Allah. Puasa kategori tingkatan ketiga ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin dan muqarrabin.  Puasa tingkatan ketiga inilah yang disebut oleh sebagian ulama sebagai tingkatan muntahi (tingkatan penghujung puasa).

Upaya Imam Al-Ghazali mengklasifikasi orang berpuasa ke dalam tiga tingkatan di atas, tak lain tujuannya adalah agar kita yang setiap tahun berpuasa Ramadhan bisa menapaki tangga yang lebih tinggi dalam kualitas ibadah puasanya. Karena itu, apabila seseorang menginginkan puasanya sempurna dan mencapai tingkat tertinggi, maka hendaknya menyempurnakan puasanya dimulai dari tingkatan pertama dengan memelihara puasanya dari yang membatalkan puasa secara fiqh, kemudian naik ke tingkatan kedua dengan menjaga dirinya dengan menerapkan apa yang harus dilakukannya sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali di atas. Kemudian insya Allah dengan mengharap ridha Allah (dengan penuh rasa rija’ dan khauf) mudah-mudahan dianugerahkan oleh Allah mendapatkan puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

Kemudian, apakah seseorang berdosa kalau puasanya hanya sekedar tahan lapar dan dahaga? Jawabannya, selama puasanya itu tidak dibaringi dengan hal-hal yang membatalkan puasa secara ilmu fiqh, maka puasanya sah dan sudah dihukum sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah. Dengan demikian, dari sisi pandang ini, orang seperti ini tidak berdosa, meskipun dia dapat dihukum berdosa misalnya karena berkata dusta dan lain-lain. Namun demikian, puasa orang ini tidak bernilai di sisi Allah Ta’ala. Karena itu, Nabi SAW bersabda :

رُبَّ صَاىِٔمٍ ليس له مِنْ صِيَامِهِ الا الْجُوْعُ

Berapa banyak orang berpuasa, yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali menahan lapar saja. (H.R. Ibnu Majah)

 

Wallahua’lam bisshawab