Salah satu lafazh niat shalat tarawih
yang sudah lazim diajarkan oleh ulama dan guru-guru kita dari zaman dahulu,
khususnya di Aceh dan Asia Tenggara pada umumnya adalah :
اصلي سنة التراويح ركعتين أداء لله تعالى
“Saya shalat sunnah tarawih dua raka’at
secara tunai karena Allah Ta’ala.”
atau
اصلي ركعتين سنة التراويح أداء لله تعالى
“Saya shalat dua rakaat sunnah tarawih secara
tunai karena Allah Ta’ala.”
Kedua lafazh niat di atas secara makna
sama saja. Bedanya yang pertama duluan disebut sunnah tarawih, sedangkan yang
kedua duluan disebut raka’ataini. Lafazh niat seperti ini antara lain disebut
dalam kitab Arab Jawi, Kifayatul Ghulam karangan Syeikh Ismail Minangkabau,
halaman 26 dan kitab Arab Jawi, Perukunan Melayu, halaman 57 . Dua kitab Arab
Jawi ini sangat populer dikalangan umat Islam Aceh dan Asia Tenggara pada
umumnya. Sejauh pengetahuan kami belum ada ulama kita yang mengatakan lafazh
niat tersebut keliru. Pembenaran lafazh niat tarawih seperti ini didasarkan
bahwa dua rakaat dari shalat tarawih tersebut dapat dinamakan sebagai shalat
tarawih sebagaimana halnya dapat dinamakan untuk semua bilangan rakaatnya.
Karenanya, sah meniatkan dua rakaat dari rakaat tarawih sebagai shalat tarawih,
tanpa diharuskan meniatkan “sebagian dari tarawih”. Karena itu, Zakariya
al-Anshariy dalam kitab Asnaa al-Mathalib mengatakan :
وَلَا يَصِحُّ
بِنِيَّةٍ مُطْلَقَةٍ بَلْ (يَنْوِي بِإِحْرَامٍ كُلَّ رَكْعَتَيْنِ
التَّرَاوِيحَ، أَوْ قِيَامَ رَمَضَانَ) لِيَتَمَيَّزَ بِذَلِكَ عَنْ غَيْرِهَا
Tidak sah shalat tarawih dengan niat shalat
sunnah mutlaq, akan tetapi dalam takbiratul ihram setiap dua rakaat hendaknya
meniatkan tarawih atau qiyam Ramadhan supaya dengan sebab demikian berbeda dari
selain tarawih.(Asnaa al-Mathaliib : I/201)
Ketidakharusan meniatkan dengan “sebagian
tarawih” juga ditegaskan oleh syeikh Nawawi al-Bantaniy dalam kitabnya :
وَلَا تصح بنية
مُطلقَة بل يَنْوِي رَكْعَتَيْنِ من التَّرَاوِيح أَو من قيام رَمَضَان أَو سنة
التَّرَاوِيح
Tidak sah shalat tarawih dengan niat shalat sunnah
mutlaq, akan tetapi meniatkan dua rakaat dari tarawih atau dari qiyam Ramadhan
ataupun meniatkan sunnah tarawih (Nihayatul Zain : 114)
Atas dasar ini
pula, apabila seseorang melakukan shalat tarawih sebagian bilangan rakaatnya,
tidak sempurna dua puluh raka’at, misalnya dua rakaat atau delapan rakaat, maka
menurut penjelasan Ibnu Hajar al-Haitamiy dan Syarwani dihukum sah sebagai
tarawih dan mendapat pahala sesuai dengan banyak jumlah rakaat yang
dilakukannya. Hal ini karena sebagian bilangan rakaat tarawih seperti dua
rakaatnya sah dinamakan tarawih. Dalam Tuhfah al-Muhtaj, al-Haitamiy
mengatakan,
وَلَوْ صَلَّى مَا عَدَا رَكْعَةَ الْوِتْرِ فَالظَّاهِرُ
أَنَّهُ يُثَابُ عَلَى مَا أَتَى بِهِ ثَوَابَ كَوْنِهِ مِنْ الْوِتْرِ؛ لِأَنَّهُ
يُطْلَقُ عَلَى مَجْمُوعِ الْإِحْدَى عَشْرَةَ وَكَذَا مَنْ أَتَى بِبَعْضِ
التَّرَاوِيحِ وَلَيْسَ هَذَا كَمَنْ أَتَى بِبَعْضِ الْكَفَّارَةِ خِلَافًا
لِمَنْ زَعَمَهُ؛ لِأَنَّ خَصْلَةً مِنْ خِصَالِهَا لَيْسَ لَهَا أَبْعَاضٌ
مُتَمَايِزَةٌ بِنِيَّاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ يَجُوزُ الِاقْتِصَارُ عَلَى بَعْضِهَا
بِخِلَافِ مَا هُنَا عَلَى أَنَّهُ لَا جَامِعَ بَيْنَهُمَا كَمَا هُوَ وَاضِحٌ.
Jikalau seseorang melakukan shalat witir
selain satu raka’at (sepuluh raka’at), maka dhahirnya diberikan pahala sesuai
dengan yang dilakukannya sebagai pahala shalat witir, karena nama witir disebut
secara ithlaq atas kumpulan sebelas raka’at, demikian juga orang-orang yang
melakukan sebagian tarawih. Ini tidak termasuk seperti orang yang melakukan
sebagian kifarat. Pendapat ini berbeda dengan yang mendakwakan sama dengan
kifarat, karena satu perkara dari perkara-perkara kifarat tidak ada bagian yang
dibedakan dengan niat yang berulang-ulang sehingga dibolehkan hanya melakukan
sebagiannya saja, ini berbeda dengan apa yang di sini, lebih lebih lagi antara
keduanya itu tidak ada persamaannya sebagaimana yang jelas terlihat.(Tuhfah
al-Muhtaj : II/225)
Syeikh Abd al-Hamid al-Syarwani dalam
komentarnya terhadap nash Tuhfah al-Muhtaj di atas mengatakan :
(قَوْلُهُ: وَكَذَا مَنْ أَتَى بِبَعْضِ التَّرَاوِيحِ) أَيْ
كَالِاقْتِصَارِ عَلَى الثَّمَانِيَةِ فَيُثَابُ عَلَيْهِمْ ثَوَابَ كَوْنِهَا
مِنْ التَّرَاوِيحِ، وَإِنْ قَصَدَ ابْتِدَاءً الِاقْتِصَارَ عَلَيْهَا كَمَا هُوَ
الْمُعْتَادُ فِي بَعْضِ الْأَقْطَارِ
(Perkataan pengarang : demikian juga
orang-orang yang melakukan sebagian tarawih.) maksudnya seperti melakukan hanya
delapan raka’at, maka diberikan pahala kepada mereka sebagai pahala tarawih,
meskipun diqashadkan dari awalnya hanya melakukan delapan saja sebagaimana yang
menjadi kebiasaan pada sebagian daerah.(Hawasyi Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj
: II/225)
Penjelasan senada dengan Ibnu Hajar al-Haitamiy di atas, juga kita temui
dalam kitab Nihayah al-Muhtaj, karangan Imam al-Ramli : II/112.
Kalau muncul pertanyaan, bukankah tarawih itu jama’, sehingga per-dua
rakaat shalat tarawih tidak sah dinamakan tarawih, bahkan belum ada satu tarawih
sama sekali (tarawih : istirahat sesudah empat rakaat shalat tarawih). Kita
jawab, penamaan shalat tarawih ini dengan tarawih dikarenakan pada umat Islam
terdahulu melaksanakan shalat ini dengan melakukan sekali istirahat dalam setiap
selesai empat raka’at. Dengan i’tibar ini, nama shalat ini menjadi populer
menjadi shalat tarawih. Ini hanya sebuah penamaan atau istilah. Karena itu,
meskipun melakukan shalat tarawih dua puluh rakaat tanpa istirihat sekalipun,
shalat tersebut tetap dinamakan shalat tarawih. Jawaban ini juga berlaku pada
ketika seseorang melakukan dua rakaat dari rakaat tarawih, masih dapat dinamakan
shalat tarawih.
Kesimpulan
Dalam melaksanakan shalat tarawih dua puluh rakaat dengan sekali salam, maka
niatnya sah dengan meniatkan dalam takbiratul ihram setiap dua rakaat dengan
niat “Saya shalat sunnah
tarawih dua raka’at secara tunai karena Allah Ta’ala” tanpa ada niat “sebagian
dari tarawih” sebagaimana juga sah dengan niat “Saya shalat dua rakaat dari
shalat sunnah tarawih secara tunai karena Allah Ta’ala”.
Wallahua’lam bisshawab