Renungan

Selasa, 04 April 2023

Apakah belajar tauhid harus mengikuti metode ilmu kalam?

 

Ilmu kalam sebagaimana penjelasan Ibnu Khaldun adalah :

هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والرد على المبتدعة المنحرفين في الاعتقادات عن مذاهب السلف واهل السنة

Ilmu yang membahas tentang argumentasi tentang aqidah keimanan dengan berlandaskan kepada akal serta membantah golongan ahli bid’ah yang menyimpang dari akidah mazhab salaf dan kaum ahlussunah. (Muqaddimah Ibnu Khaldun : 458)


Dengan kata lain, ilmu kalam merupakan argumentasi-argumentasi rasional untuk mempertahankan aqidah Islam dari rongrongan syubhat-syubhat dan kesesatan baik dari internal umat Islam yang menyimpang maupun dari pihak eksternal. Karena itu, Ibnu Khaldun pada halaman selanjutnya mengatakan :

فموضوع علم الكلام عند اهله انما هو العقائد الإيمانية بعد فرضها صحيحة من الشرع من حيث يمكن ان يستدل عليها بالأدلة العقلية فترفع البدعة وتزول الشكوك والشبيه عن تلك العقائد

Objek ilmu kalam di sisi ahlinya adalah aqidah keimanan sesudah ada penetapan aqidah tersebut shahih pada syara’ dimana padanya dimungkinkan diberi argumentasi rasioal. Karena dengannya dapat menolak bid’ah dan menghilangkan keragu-raguan serta syubhat dari aqidah. (Muqaddimah Ibnu Khaldun : 466)

 

Argumentasi-argumentasi teologis dalam ilmu kalam tergolong rumit bagi kebanyakan orang awam. Tidak semua orang mampu mengenal Tuhan dengan cara dialektis (qiyas ‘aqli), seperti misalnya menyusun argumen: “Alam ini berubah, setiap yang berubah pastilah baharu, setiap yang baharu pasti ada penciptanya, pencipta dari segalanya adalah Tuhan”. Demikian juga seperti teori kemustahilan daur dan tasalsul untuk argumentasi qadim Allah serta argumentasi-argumentasi rasional lainnya yang membutuhkan pengenalan istilah-istilah tertentu dalam ilmu kalam. Apabila orang-orang yang terdidik mampu memahami argumentasi yang rumit itu sehingga kualitas keimanannya tidak bisa digoyahkan sedikitpun, lalu bagaimanakah para Muslim awam yang kebanyakan tidak mampu memikirkan hal-hal sedemikian? Apakah keimanan mereka bermasalah? Dalam Syarah Umm al-Baraahiin, Imam al-Sanusi menjelaskan kepada kita :

ولا يشترط معرفة النظر على طريق المتكلمين من تحرير الادلة وترتيبها ودفع الشبهة الواردة عليها

Tidak disyaratkan mengenal nadhar (dalil) dengan metode para ahli kalam dalam hal mengonsep dan penyusunan dalil serta menolak syubhat yang muncul atasnya.(Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh Umm al-Baraahiin : 67)

 

Dalam kitab lain, beliau menjelaskan sebagai berikut:  

 ولا نزاع بين المتكلمين في عدم وجوب المعرفة بالدليل التفصيلي على الأعيان وإنما هو كفاية

Tidak ada pertentangan di antara ahli kalam tentang tidak wajibnya mengetahui dalil mendetail (dalil tafshiliy) terhadap masing-masing orang. Itu tidak lain hanyalah fardhu kifayah. (‘Umdat Ahl at-Taufîq :13).

 

Jadi, orang awam memang tidak diwajibkan mengetahui argumentasi-argumentasi ilmu kalam  yang mendetail itu. Mereka hanya perlu untuk meyakini dengan mantap bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Allah, bahwa Allah senantiasa mengurus seisi alam ini, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang layak disembah, bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan seterusnya. Mereka tidak boleh sedikit pun meragukan keyakinan semacam ini meskipun hanya dengan argumentasi yang sederhana (dalil ijmaliy). Adapun menguasai dalil-dalil terperinci dalam ilmu tauhid (dalil tafshiliy) yang digunakan untuk menjelaskan seluruh konsep akidah yang rumit, yang dapat dipakai untuk mempertahankan ajaran agama dari para penentang, maka ini hanya diwajibkan bagi orang yang mampu saja di masing-masing daerah.

Dalam kitab-kitab akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dalil yang sering dikemukakan sebagai contoh dalil ijmaliy adalah wujud alam sebagai dalil adanya Tuhan tanpa ada penjelasan lebih lanjut apakah wujud alam sebagai dalil adanya Tuhan tersebut dilihat dari aspek bahwa alam merupakan suatu yang mungkin wujud atau alam merupakan sesuatu yang ada sesudah tidak ada. Dalil ijmaliy ini merupakan fardhu a’in yang wajib dipahami oleh semua kaum muslimin. Adapun dalil dengan menjelaskan aspek mungkin wujud atau sesuatu yang ada sesudah tidak ada dengan segala premisnya (dalil tafshiliy), ini merupakan ranah para ulama dimana hukumnya adalah fardhu kifayah.(Lihat Kitab Hasyiah al-Bajuri ‘ala Kifayatul ‘Awam : 15-16)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar