Ilmu kalam sebagaimana penjelasan Ibnu Khaldun
adalah :
هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية
بالأدلة العقلية والرد على المبتدعة المنحرفين في الاعتقادات عن مذاهب السلف واهل
السنة
Ilmu yang membahas tentang argumentasi tentang
aqidah keimanan dengan berlandaskan kepada akal serta membantah golongan ahli
bid’ah yang menyimpang dari akidah mazhab salaf dan kaum ahlussunah. (Muqaddimah
Ibnu Khaldun : 458)
Dengan kata lain, ilmu kalam merupakan
argumentasi-argumentasi rasional untuk mempertahankan aqidah Islam dari rongrongan
syubhat-syubhat dan kesesatan baik dari internal umat Islam yang menyimpang
maupun dari pihak eksternal. Karena itu, Ibnu Khaldun pada halaman selanjutnya mengatakan
:
فموضوع علم الكلام عند اهله انما هو العقائد
الإيمانية بعد فرضها صحيحة من الشرع من حيث يمكن ان يستدل عليها بالأدلة العقلية
فترفع البدعة وتزول الشكوك والشبيه عن تلك العقائد
Objek ilmu kalam di sisi ahlinya adalah aqidah
keimanan sesudah ada penetapan aqidah tersebut shahih pada syara’ dimana
padanya dimungkinkan diberi argumentasi rasioal. Karena dengannya dapat menolak
bid’ah dan menghilangkan keragu-raguan serta syubhat dari aqidah. (Muqaddimah Ibnu Khaldun : 466)
Argumentasi-argumentasi
teologis dalam ilmu kalam tergolong rumit bagi kebanyakan orang awam. Tidak
semua orang mampu mengenal Tuhan dengan cara dialektis (qiyas ‘aqli), seperti
misalnya menyusun argumen: “Alam ini berubah, setiap yang berubah pastilah baharu,
setiap yang baharu pasti ada penciptanya, pencipta dari segalanya adalah
Tuhan”. Demikian juga seperti teori kemustahilan daur dan tasalsul
untuk argumentasi qadim Allah serta argumentasi-argumentasi rasional lainnya yang
membutuhkan pengenalan istilah-istilah tertentu dalam ilmu kalam. Apabila orang-orang
yang terdidik mampu memahami argumentasi yang rumit itu sehingga kualitas
keimanannya tidak bisa digoyahkan sedikitpun, lalu bagaimanakah para Muslim
awam yang kebanyakan tidak mampu memikirkan hal-hal sedemikian? Apakah keimanan
mereka bermasalah? Dalam Syarah Umm al-Baraahiin, Imam al-Sanusi menjelaskan
kepada kita :
ولا يشترط معرفة النظر على طريق
المتكلمين من تحرير الادلة وترتيبها ودفع الشبهة الواردة عليها
Tidak
disyaratkan mengenal nadhar (dalil) dengan metode para ahli kalam dalam hal
mengonsep dan penyusunan dalil serta menolak syubhat yang muncul atasnya.(Hasyiah
al-Dusuqi ‘ala Syarh Umm al-Baraahiin : 67)
Dalam kitab
lain, beliau menjelaskan sebagai berikut:
ولا نزاع بين المتكلمين في عدم وجوب المعرفة بالدليل التفصيلي
على الأعيان وإنما هو كفاية
Tidak
ada pertentangan di antara ahli kalam tentang tidak wajibnya mengetahui dalil
mendetail (dalil tafshiliy) terhadap masing-masing orang. Itu tidak lain
hanyalah fardhu kifayah. (‘Umdat Ahl at-Taufîq :13).
Jadi, orang
awam memang tidak diwajibkan mengetahui argumentasi-argumentasi ilmu kalam yang mendetail itu. Mereka hanya perlu untuk
meyakini dengan mantap bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Allah, bahwa Allah
senantiasa mengurus seisi alam ini, bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang
layak disembah, bahwa Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui dan seterusnya. Mereka
tidak boleh sedikit pun meragukan keyakinan semacam ini meskipun hanya dengan
argumentasi yang sederhana (dalil ijmaliy). Adapun menguasai dalil-dalil
terperinci dalam ilmu tauhid (dalil tafshiliy) yang digunakan untuk menjelaskan
seluruh konsep akidah yang rumit, yang dapat dipakai untuk mempertahankan
ajaran agama dari para penentang, maka ini hanya diwajibkan bagi orang yang
mampu saja di masing-masing daerah.
Dalam
kitab-kitab akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dalil yang sering dikemukakan
sebagai contoh dalil ijmaliy adalah wujud alam sebagai dalil adanya Tuhan tanpa
ada penjelasan lebih lanjut apakah wujud alam sebagai dalil adanya Tuhan
tersebut dilihat dari aspek bahwa alam merupakan suatu yang mungkin wujud atau
alam merupakan sesuatu yang ada sesudah tidak ada. Dalil ijmaliy ini merupakan
fardhu a’in yang wajib dipahami oleh semua kaum muslimin. Adapun dalil dengan menjelaskan
aspek mungkin wujud atau sesuatu yang ada sesudah tidak ada dengan segala
premisnya (dalil tafshiliy), ini merupakan ranah para ulama dimana hukumnya adalah
fardhu kifayah.(Lihat Kitab Hasyiah al-Bajuri ‘ala Kifayatul ‘Awam : 15-16)
Wallahua’lam
bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar