Syeikh Zakariya al-Anshari pada penutup
dari kitab beliau, Ghayatul Wushul mengatakan,
)و) الأصح (أن التفضيل بين التوكل
والاكتساب يختلف باختلاف الناس)
Yang lebih shahih, sesungguhnya yang lebih utama antara
tawakal dan berusaha adalah terjadi perbedaan sesuai dengan perbedaan manusia.
Al-Banaaniy menerangkan, yang
dimaksudnya dengan tawakal di sini adalah tark al-ihtisaab (meninggalkan
usaha) sebagaimana penjelasan pensyarah, bukan bermakna al-i’timaad
‘alallahi ta’ala (berpegang dan bersandar kepada Allah Ta’ala).
Karena hal itu tidak dalam posisi khilafiyah para ulama. Karena itu, berusaha
tidaklah menafikan tawakal dengan makna yang kedua. Bahkan tawakal dengan makna
kedua ini merupakan perbuatan yang dituntut syara’ tanpa khilaf. (Hasyiah
al-Banaaniy ‘ala Syarh al-Jam’u al-Jawami’ : II/436).
Berdasarkan makna tawakal yang pertama
yang dikemukakan oleh al-Banaaniy di atas, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan mana lebih utama antara tawakal dan berusaha. Menurut pendapat yang
shahih yang dikemukakan Zakariya al-Anshari di atas, jawabannya adalah tidak
bersifat mutlaq, akan tetapi tergantung keadaan dan posisi seseorang. Karena
keadaan dan posisinya, kadang-kadang tawakal lebih utama bagi seseorang dan karena
keadaan dan posisinya juga, kadang-kadang berusaha lebih utama baginya. Karena
itu, Zakariya al-Anshari selanjutnya menegaskan,
فمن يكون في توكله لا
يتسخط عند ضيق الرزق عليه، ولا يتطلع لسؤال أحد من الخلق، فالتوكل في حقه أفضل لما
فيه من الصبر والمجاهدة للنفس، ومن يكون في توكله بخلاف ما ذكر، فالاكتساب في حقه
أفضل حذرا من التسخط والتطلع،
Karena itu, barangsiapa dalam tawakalnya, keadaannya tidak
mengeluh pada saat sempit rezekinya dan tidak muncul keinginan meminta-minta
kepada seorang makhluq, maka ketika itu, tawakal pada dirinya lebih utama,
karena di sini ada kesabaran dan mujahadah bagi jiwa. Adapun bagi orang-orang
pada tawakalnya, keadaannya sebalik dari tersebut, maka berusaha pada dirinya lebih
utama, karena menghindari dari mengeluh dan muncul keinginan meminta-minta.
Kemudian beliau melanjutkan,
وإذا اختلف التفضيل بينهما
باختلاف الناس، (فإرادة التجريد) عما يشغل عن الله تعالى. (مع داعية الأسباب) من
الله في مريد ذلك (شهوة خفية) من المريد، (وسلوك الأسباب) الشاغلة عن الله (مع
داعية التجريد) من الله في سالك ذلك. (انحطاط) له (عن الرتبة العلية) إلى الرتبة
الدنية،
Apabila terjadi perbedaan keutamaan antara tawakal dan
berusaha sesuai dengan perbedaan manusia, maka keinginan tajrid dari kesibukan-kesibukan
yang menjauhkannya dari Allah Ta’ala, sementara ia berada pada maqam asbab
(maqam sebab akibat) yang datang dari Allah yang berkehendak demikian, ini
merupakan syahwat yang tersembunyi darinya. Demikian juga, menjalani maqam
asbab yang dapat menyibukkan dirinya menjauh dari Allah, sementara ia berada
pada maqam tajrid yang datang dari Allah, ini merupakan penurunan dari martabat
yang tinggi kepada martabat rendah.
Al-Asbab adalah :
ما يتوصل به الى ما ينال في الدنيا
Sesuatu yang sampai dengannya kepada maksud yang dicapai di
dalam dunia
Sedangkan al-Tajrid adalah :
عدم تشاغله بتلك الاسباب
Melepaskan diri dari asbab.
(al-Hikam Pada Menyatakan Hakikat
Hikmah Tauhid dan Tasauf, karangan Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly : I/
21)
Maka yang lebih tepat adalah sesuai
dengan penjelasan Zakariya al-Anshari berikut ini :
فالأصلح لمن قدر الله فيه
داعية الأسباب سلوكها دون التجريد ولمن قدر الله فيه داعية التجريد سلوكه دون
الأسباب.
Maka yang lebih tepat bagi seseorang
yang ditaqdirkan Allah atasnya berada pada maqam al-asbab adalah menjalani
asbab tersebut, bukan tajrid dan yang lebih tepat bagi seseorang yang ditaqdirkan
Allah atasnya berada pada maqam al-tajrid adalah menjalani tajrid itu, bukan asbab
Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly
mengatakan, manusia dalam penghidupan terbagi kepada dua macam :
1. Manusia yang ditentukan Allah dalam status al-asbab.
Manusia dalam status ini, untuk
menghasilkan penghidupan dalam dunia adalah dengan jalan bekerja. Apabila tidak
bekerja maka tidak boleh (tidak dapat) hidup. Sebagaimana dimaklumi, pekerjaan
manusia dalam mengatasi hidup banyak sekali corak sifatnya, adakalanya sebagai
pedagang, pegawai, supir, guru, petani dan lain-lain sebagainya. Apabila hidup
kita selamat tenteram atau dapat diatasi dengan pekerjaan kita yang kita
kerjakan itu, maka menurut akhlaq ilmu tasauf tidak diperbolehkan kita
meninggalkan pekerjaan tersebut untuk kita pindah pada status yang lain, yakni
meninggalkan pekerjaan yang sudah berkah itu karena tujuannya semata-mata melaksanakan
ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Manusia yang ditentukan Allah dalam status al-tajrid
Manusia dalam tingkatan status ini
sudah tinggi nilainya pada sisi Allah. Penghidupannya telah dimudahkan Allah
sehingga ia tidak sulit lagi dalam mengatasi hidup dan kehidupannya, dia tidak
perlu bekerja dan berusaha untuk menghasilkan rezeki, tetapi rezekilah yang
datang kepadanya.
Kemudian beliau mengatakan, hamba-hamba
Allah yang telah diangkat martabatnya oleh Allah ke maqam tajrid seperti dalam dua
bagian di atas, maka akhlaq tasauf menganjurkan kepadanya supaya jangan turun
ke maqam asbab. Apabila ia turun ke maqam asbab berarti ia menurunkan nilai
dirinya dari himmah (tekat) yang bermutu tinggi.
(al-Hikam Pada Menyatakan Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasauf, karangan Abuya
Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly : I/ 22-24)
Namun patut menjadi catatan,
kadang-kadang manusia tertipu dengan godaan syaithan yang membisik agar manusia
membuang aspek qudrah dan iradah Allah Ta’ala dalam bentuk asbab dan bermalasan dalam bentuk tawakal. Karena
itu, Zakariya al-Anshari mengatakan,
(وقد يأتي الشيطان)
للإنسان (باطراح جانب الله تعالى في صورة الأسباب أو بالكسل في صورة التوكل) ،
كيدا منه، كأن يقول لسالك التجريد الذي سلوكه له أصلح من تركه له إلى متى تترك
الأسباب، ألم تعلم أن تركها يطمع القلوب لما في أيدي الناس، فاسلكها لتسلم من ذلك،
وينتظر غيرك منك ما كنت تنتظره من غيرك ويقول لسالك الأسباب الذي سلوكه لها أصلح
من تركه لها لو تركتها وسلكت التجريد، فتوكلت على الله لصفا قلبك، وأتاك ما يكفيك
من عند الله فاتركها ليحصل لك ذلك. فيؤدّي تركها الذي هوغير أصلح له إلى الطلب من
الخلق والاهتمام بالرزق
Kadang-kadang syaithan datang menghampiri manusia dengan
jalan membuang aspek Allah Ta’ala dalam bentuk asbab dan bermalasan dalam
bentuk tawakal karena tipuan darinya. Misalnya, syaithan berkata kepada orang
yang menjalani tajrid (saalik al-tajriid) dimana menjalaninya lebih tepat dari
pada meninggalkannya, “Sampai kapan kamu tinggalkan asbab ?. Apakah kamu tidak
mengetahuinya, meninggalkan asbab akan membuat tamak hati kepada nikmat yang ada
ditangan manusia. Maka jalanilah asbab tersebut supaya kamu selamat dari hal
itu dan ingatlah, selainmu akan melihat darimu apa yang kamu lihat dari
selainmu”. Dan syaithan berkata kepada orang yang menjalani asbab (saalik
al-asbab) dimana menjalani asbab lebih
tepat baginya dari pada meninggalkannya, “Seandainya kamu meninggalkan asbab
dan menjalani tajrid dan bertawakal
kepada Allah, maka sungguh akan bersih hatimu dan akan tiba kecukupanmu dari
sisi Allah. Karena itu, tinggalkanlah asbab itu agar yang demikian berhasil
untukmu. Maka yang terjadi kemudian adalah meninggalkan asbab yang tidak tepat
baginya mengakibatkan meminta-minta kepada makhluq dan mementingkan rezeki.
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar