Renungan

Selasa, 25 Juli 2023

Antara tawakal dan iktisaab (berusaha) menurut Syeikh Zakariya al-Anshari (Ghayatul Wushul, Hal. 166-167)

 

Syeikh Zakariya al-Anshari pada penutup dari kitab beliau, Ghayatul Wushul mengatakan,

)و) الأصح (أن التفضيل بين التوكل والاكتساب يختلف باختلاف الناس)

Yang lebih shahih, sesungguhnya yang lebih utama antara tawakal dan berusaha adalah terjadi perbedaan sesuai dengan perbedaan manusia.

 

Al-Banaaniy menerangkan, yang dimaksudnya dengan tawakal di sini adalah tark al-ihtisaab (meninggalkan usaha) sebagaimana penjelasan pensyarah, bukan bermakna al-i’timaad ‘alallahi ta’ala (berpegang dan bersandar kepada Allah Ta’ala). Karena hal itu tidak dalam posisi khilafiyah para ulama. Karena itu, berusaha tidaklah menafikan tawakal dengan makna yang kedua. Bahkan tawakal dengan makna kedua ini merupakan perbuatan yang dituntut syara’ tanpa khilaf. (Hasyiah al-Banaaniy ‘ala Syarh al-Jam’u al-Jawami’ : II/436).

Berdasarkan makna tawakal yang pertama yang dikemukakan oleh al-Banaaniy di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana lebih utama antara tawakal dan berusaha. Menurut pendapat yang shahih yang dikemukakan Zakariya al-Anshari di atas, jawabannya adalah tidak bersifat mutlaq, akan tetapi tergantung keadaan dan posisi seseorang. Karena keadaan dan posisinya, kadang-kadang tawakal lebih utama bagi seseorang dan karena keadaan dan posisinya juga, kadang-kadang berusaha lebih utama baginya. Karena itu, Zakariya al-Anshari selanjutnya menegaskan,

 فمن يكون في توكله لا يتسخط عند ضيق الرزق عليه، ولا يتطلع لسؤال أحد من الخلق، فالتوكل في حقه أفضل لما فيه من الصبر والمجاهدة للنفس، ومن يكون في توكله بخلاف ما ذكر، فالاكتساب في حقه أفضل حذرا من التسخط والتطلع،

Karena itu, barangsiapa dalam tawakalnya, keadaannya tidak mengeluh pada saat sempit rezekinya dan tidak muncul keinginan meminta-minta kepada seorang makhluq, maka ketika itu, tawakal pada dirinya lebih utama, karena di sini ada kesabaran dan mujahadah bagi jiwa. Adapun bagi orang-orang pada tawakalnya, keadaannya sebalik dari tersebut, maka berusaha pada dirinya lebih utama, karena menghindari dari mengeluh dan muncul keinginan meminta-minta.

 

Kemudian beliau melanjutkan,

 وإذا اختلف التفضيل بينهما باختلاف الناس، (فإرادة التجريد) عما يشغل عن الله تعالى. (مع داعية الأسباب) من الله في مريد ذلك (شهوة خفية) من المريد، (وسلوك الأسباب) الشاغلة عن الله (مع داعية التجريد) من الله في سالك ذلك. (انحطاط) له (عن الرتبة العلية) إلى الرتبة الدنية،

Apabila terjadi perbedaan keutamaan antara tawakal dan berusaha sesuai dengan perbedaan manusia, maka keinginan tajrid dari kesibukan-kesibukan yang menjauhkannya dari Allah Ta’ala, sementara ia berada pada maqam asbab (maqam sebab akibat) yang datang dari Allah yang berkehendak demikian, ini merupakan syahwat yang tersembunyi darinya. Demikian juga, menjalani maqam asbab yang dapat menyibukkan dirinya menjauh dari Allah, sementara ia berada pada maqam tajrid yang datang dari Allah, ini merupakan penurunan dari martabat yang tinggi kepada martabat rendah.

 

Al-Asbab adalah :

ما يتوصل به الى ما ينال في الدنيا

Sesuatu yang sampai dengannya kepada maksud yang dicapai di dalam dunia

 

Sedangkan al-Tajrid adalah :

عدم تشاغله بتلك الاسباب

Melepaskan diri dari asbab.

(al-Hikam Pada Menyatakan Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasauf, karangan Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly : I/ 21)

Maka yang lebih tepat adalah sesuai dengan penjelasan Zakariya al-Anshari berikut ini :

فالأصلح لمن قدر الله فيه داعية الأسباب سلوكها دون التجريد ولمن قدر الله فيه داعية التجريد سلوكه دون الأسباب.

Maka yang lebih tepat bagi seseorang yang ditaqdirkan Allah atasnya berada pada maqam al-asbab adalah menjalani asbab tersebut, bukan tajrid dan yang lebih tepat bagi seseorang yang ditaqdirkan Allah atasnya berada pada maqam al-tajrid adalah menjalani tajrid itu, bukan asbab

Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly mengatakan, manusia dalam penghidupan terbagi kepada dua macam :

1.  Manusia yang ditentukan Allah dalam status al-asbab.

Manusia dalam status ini, untuk menghasilkan penghidupan dalam dunia adalah dengan jalan bekerja. Apabila tidak bekerja maka tidak boleh (tidak dapat) hidup. Sebagaimana dimaklumi, pekerjaan manusia dalam mengatasi hidup banyak sekali corak sifatnya, adakalanya sebagai pedagang, pegawai, supir, guru, petani dan lain-lain sebagainya. Apabila hidup kita selamat tenteram atau dapat diatasi dengan pekerjaan kita yang kita kerjakan itu, maka menurut akhlaq ilmu tasauf tidak diperbolehkan kita meninggalkan pekerjaan tersebut untuk kita pindah pada status yang lain, yakni meninggalkan pekerjaan yang sudah berkah itu karena tujuannya semata-mata melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2.  Manusia yang ditentukan Allah dalam status al-tajrid

Manusia dalam tingkatan status ini sudah tinggi nilainya pada sisi Allah. Penghidupannya telah dimudahkan Allah sehingga ia tidak sulit lagi dalam mengatasi hidup dan kehidupannya, dia tidak perlu bekerja dan berusaha untuk menghasilkan rezeki, tetapi rezekilah yang datang kepadanya.

Kemudian beliau mengatakan, hamba-hamba Allah yang telah diangkat martabatnya oleh Allah ke maqam tajrid seperti dalam dua bagian di atas, maka akhlaq tasauf menganjurkan kepadanya supaya jangan turun ke maqam asbab. Apabila ia turun ke maqam asbab berarti ia menurunkan nilai dirinya dari himmah (tekat) yang bermutu tinggi.

(al-Hikam Pada Menyatakan Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasauf, karangan Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly : I/ 22-24)

Namun patut menjadi catatan, kadang-kadang manusia tertipu dengan godaan syaithan yang membisik agar manusia membuang aspek qudrah dan iradah Allah Ta’ala dalam bentuk asbab  dan bermalasan dalam bentuk tawakal. Karena itu, Zakariya al-Anshari mengatakan,

 (وقد يأتي الشيطان) للإنسان (باطراح جانب الله تعالى في صورة الأسباب أو بالكسل في صورة التوكل) ، كيدا منه، كأن يقول لسالك التجريد الذي سلوكه له أصلح من تركه له إلى متى تترك الأسباب، ألم تعلم أن تركها يطمع القلوب لما في أيدي الناس، فاسلكها لتسلم من ذلك، وينتظر غيرك منك ما كنت تنتظره من غيرك ويقول لسالك الأسباب الذي سلوكه لها أصلح من تركه لها لو تركتها وسلكت التجريد، فتوكلت على الله لصفا قلبك، وأتاك ما يكفيك من عند الله فاتركها ليحصل لك ذلك. فيؤدّي تركها الذي هوغير أصلح له إلى الطلب من الخلق والاهتمام بالرزق

Kadang-kadang syaithan datang menghampiri manusia dengan jalan membuang aspek Allah Ta’ala dalam bentuk asbab dan bermalasan dalam bentuk tawakal karena tipuan darinya. Misalnya, syaithan berkata kepada orang yang menjalani tajrid (saalik al-tajriid) dimana menjalaninya lebih tepat dari pada meninggalkannya, “Sampai kapan kamu tinggalkan asbab ?. Apakah kamu tidak mengetahuinya, meninggalkan asbab akan membuat tamak hati kepada nikmat yang ada ditangan manusia. Maka jalanilah asbab tersebut supaya kamu selamat dari hal itu dan ingatlah, selainmu akan melihat darimu apa yang kamu lihat dari selainmu”. Dan syaithan berkata kepada orang yang menjalani asbab (saalik al-asbab) dimana menjalani asbab  lebih tepat baginya dari pada meninggalkannya, “Seandainya kamu meninggalkan asbab dan menjalani tajrid dan  bertawakal kepada Allah, maka sungguh akan bersih hatimu dan akan tiba kecukupanmu dari sisi Allah. Karena itu, tinggalkanlah asbab itu agar yang demikian berhasil untukmu. Maka yang terjadi kemudian adalah meninggalkan asbab yang tidak tepat baginya mengakibatkan meminta-minta kepada makhluq dan mementingkan rezeki.

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar