A. Pengertian Daur
Devinisi
daur yang dikemukakan oleh Syeikh al-Dusuqi sebagai berikut :
توقف الشيئ
على ما يتوقف عليه
Bergantungnya sesuatu kepada sesuatu yang lain yang
bergantung kepada sesuatu itu.(Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahiin : 154)
Maksudnya, bergantung wujud sesuatu kepada yang lain,
sedangkan yang lain ini juga bergantung wujudnya kepada sesuatu tersebut
(saling ketergantungan). Daur ini terbagi
menjadi dua, pertama daur sharih, kedua daur mudhmar.
Daur Sharih adalah daur dengan dua martabat
atau dua nisbah (dua sisi pandang). Misalnya Zaid menciptakan si Umar,
sedangkan Umar menciptakan si Zaid. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahiin :
155). Pada contoh ini, Umar bergantung
wujudnya kepada Zaid, pada saat yang sama Zaid juga bergantung wujudnya kepada
Umar yang bergantung wujudnya kepada Zaid. Maka apabila dilihat dari dua sisi pandang,
yaitu dirinya sebagai pencipta yang lain dan yang lain sebagai pencipta
dirinya, maka masing-masing dari wujud Zaid dan wujud Umar terdahulu dari
dirinya sendiri. Demikian juga apabila dilihat dari dua sisi pandang lain,
yaitu dirinya sebagai ciptaan yang lain dan yang lain sebagai ciptaan dirinya,
maka masing-masing dari wujud Zaid dan wujud Umar terkemudian dari dirinya
sendiri. Dari penjelasan ini, maka dapat dirincikan sebagai berikut :
Dua nisbah
pada taqaddum (terdahulu)
1.
Dilihat sisi pandang dirinya sebagai pencipta Umar dan sekaligus
sebagai ciptaan Umar, maka wujud Zaid terdahulu dari dirinya sendiri. (nisbah
pertama)
2.
Dilihat sisi dirinya sebagai pencipta Umar, maka wujud Zaid
terdahulu dari Umar (nisbah kedua)
Dua nisbah
pada taakhur (belakangan)
1.
Dilihat sisi pandang dirinya sebagai ciptaan Umar dan
sekaligus sebagai pencipta Umar, maka wujud Zaid belakangan dari dirinya
sendiri. (nisbah pertama)
2.
Dilihat sisi dirinya sebagai ciptaan Umar, maka wujud Zaid belakangan
dari Umar (nisbah kedua)
(Hasyiah
al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Hudhudiy : 102)
Daur Mudhmar
atau daur
tersembunyi adalah daur dengan banyak martabat atau nisbah (lebih
dari dua sisi pandang). Misalnya, Zaid menciptakan Umar, sedangkan Umar
menciptakan Bakri, lalu Bakri menciptakan Zaid. Setiap masing-masing dari tiga
ini duluan wujud dari dirinya sendiri dengan tiga sisi pandang. (Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahiin : 155). Dalam Hasyiah al-Syarqawi disebut contohnya,
Zaid menciptakan Umar, sedangkan Umar menciptakan Bakri, lalu salah satu dari
keduanya, yaitu Bakri atau Umar menciptakan Zaid. Pada contoh ini, apabila Zaid
diciptakan oleh Umar, maka yang terjadi adalah sebagaimana pada daur sharih. Adapun
apabila Zaid diciptakan oleh Bakri, maka Zaid terdahulu dari dirinya sendiri
dalam tiga sisi pandang dan belakangan dari dirinya sendiri dalam tiga sisi
pandang juga, yaitu :
Tiga
nisbah pada taqaddum (terdahulu)
1.
Dilihat sisi pandang dirinya sebagai pencipta Umar dan
sekaligus sebagai ciptaan Bakri, maka
wujud Zaid terdahulu dari dirinya sendiri. (nisbah pertama)
2.
Dilihat sisi pandang dirinya sebagai pencipta Umar, maka
wujud Zaid terdahulu dari Umar (nisbah kedua)
3.
Dilihat sisi pandang Bakri belakangan dari Umar karena
Umarlah yang menciptakan Bakri, maka
wujud Zaid terdahulu dari Bakri (nisbah ketiga)
Tiga nisbah
pada taakhur (belakangan)
1.
Dilihat sisi pandang dirinya sebagai ciptaan Bakri dan
sekaligus sebagai pencipta Umar yang menciptakan Bakri, maka wujud Zaid
belakangan dari dirinya sendiri (nisbah pertama)
2.
Dilihat sisi pandang Umar sebagai pencipta Bakri dan Bakri
sebagai pencipta Zaid, maka wujud Zaid belakangan dari Umar (nisbah kedua)
3.
Dilihat sisi pandang Zaid sebagai pencipta Umar, dan Umar
sebagai pencipta Bakri dan Bakri sebagai pencipta Zaid, maka wujud Zaid
belakangan dari Bakri (nisbah ketiga)
(Hasyiah
al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Hudhudiy : 102)
Mengapa daur mustahil adanya?
Dalam uraian di atas, secara
gamblang (dharuri) kita dapat menemukan dari daur pada uraian taqaddum dan
taakhur keniscayaan terjadi saling bertentangan satu sama lainnya sesuai dengan
rincian berikut :
1. Pada daur sharih ;
- Nisbah pertama pada taqaddum
saling bertentangan dengan nisbah pertama pada taakhur
- Nisbah kedua pada taqaddum
saling bertentangan dengan nisbah kedua pada taakhur
2. Pada daur mudhmar ;
- Nisbah pertama pada taqaddum
saling bertentangan dengan nisbah pertama pada taakhur
- Nisbah kedua pada taqaddum
saling bertentangan dengan nisbah kedua pada taakhur
- Nisbah ketiga pada taqaddum
saling bertentangan dengan nisbah ketiga pada taakhur
Saling bertentangan yang
terjadi pada satu fenomena ini adalah mustahil dan tidak rasional menurut akal
sehat. Disamping itu, akal sehat kita dapat dipastikan tidak akan menerima seandainya
suatu wujud lebih dahulu wujudnya dari wujud dirinya sendiri. Ini jelas
mustahil.
B. Pengertian Tasalsul
Devinisi daur
yang dikemukakan oleh Syeikh al-Dusuqi sebagai berikut :
ترتيب أمور غير متناهية
Rangkaian sesuatu yang tidak terbatas .(Hasyiah
al-Dusuqi ‘ala Umm al-Barahiin : 154)
Atau dengan kata lain, tasalsul adalah satu rangkaian yang
tak terbatas dari sebab-sebab dan akibat-akibat dimana tak akan pernah berhenti
pada sebab pertama. Misalnya alam yang nampak dengan kasat mata ini merupakan
akibat dari wujud (A) yang merupakan akibat dari wujud (B) dan wujud (B)
sebagai akibat dari wujud (C) dan juga wujud (C) adalah akibat dari wujud (D)
dan seterusnya dan rangkaian ini terus berlanjut hingga tak terbatas dan tak
berakhir. Rangkaian yang tidak terbatas ini para ulama ilmu kalam menamakannya
dengan tasalsul dan mereka sepakat dihukum mustahil keberadaannya.
Mengapa Tasalsul mustahil adanya?
Jawabannya : seandainya kita
terima wujud rangkaian
yang tidak terbatas sebagaimana dalam uraian di atas, maka akan ada rangkaian
banyak hawadits (yang baharu) yang tidak ada awal sampai tidak terbatas yang
dimulai dari alam ini sampai ke A, B,C,D dan seterusnya dan seterusnya sampai
tidak terbatas. Mari kita buktikan dengan burhan al-thathbiiq dengan pengandaian
menjadikan rangkaian mulai dari akibat (ma’lul) yang terakhir yaitu (D) sampai
kepada yang tidak terbatas menjadi satu penjumlahan (penjumlahan pertama). Kemudian
menjadikan rangkaian dari akibat (ma’lul) sebelumnya yaitu (C) kemudian (D) sampai
kepada yang tidak terbatas menjadi satu penjumlahan (penjumlahan kedua).
Apabila kita jumlahkan masing-masing dari kedua penjumlahan tadi (penjumlahan
pertama dan kedua), yaitu (D) + (yang tidak terbatas) = tidak terbatas.
Kemudian (C) + (D) + (yang tidak terbatas) = tidak terbatas. maka hasilnya
sama, yaitu jumlah yang tidak terbatas. Ini menghasilkan suatu yang mustahil. Karena
konsekwensinya, bagian (naaqis) menjadi sama dengan yang sempurna (kaamil).
Penjumlahan pertama bagian dari penjumlahan kedua. Karena setiap rangkaian pada
pertama merupakan bagian dari penjumlahan kedua, tidak sebaliknya. Karena (C)
pada penjumlahan kedua tidak termasuk rangkaian pertama. (Hasyiah al-Dusuqi
‘ala Umm al-Barahiin : 154)
C. Daur dan Tasalsul dalam pembuktian adanya Tuhan
Para ahli ilmu kalam membagi al-maujudat (zat
yang ada) menjadi dua :
1. Mumkin al-wujud Lizatih (sesuatu yang boleh ada
dan boleh tidak ada)
2. Wajib al-wujud lizatih (sesuatu yang harus ada dan
mustahil tidak ada)
Segala sesuatu yang ada tidak akan pernah keluar dari
dua jenis eksistensi tersebut. Jika kita mengatakan sesuatu yang ada ini merupakan
mumkin al-wujud, maka adanya tersebut bisa jadi dia diadakan atau diciptakan
oleh yang wajib ada tanpa ada sebab lagi diatasnya (wajibul wujud). Jika benar
seperti itu maka kita sudah menemukan kesimpulan yang kita cari, yaitu Tuhan
itu ada. Tapi jika kita katakan yang ada tersebut (mumkin al-wujud) disebabkan
oleh mumkinul wujud yang lain, maka akan lahir tiga kemungkinan :
1. ia akan tetap berakhir kepada wajib al-wujud sebagai
Pencipta segalanya,
2. akan terjadi daur
3. dan yang ketiga akan terjadi tasalsul
Kemungkinan kedua dan ketiga, mustahil terjadi
sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam pembahasan daur dan tasalsul di awal
tulisan ini, maka tersisa kemungkinan pertama yaitu adanya Tuhan sebagai
pencipta sesuatu yang mumkin al-wujud
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar