Renungan

Kamis, 20 Juli 2023

Asal dari segala sesuatu adalah mubah

 

Ungkapan di atas merupakan terjemahan dari qaidah fiqh berbunyi :

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ

 Asal dari segala sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. 

 

Qaidah di atas merupakan qaidah fiqh menurut mazhab Syafi’i. Adapun menurut mazhab Abu Hanifah berbunyi sebaliknya :

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ التَّحْرِيمُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى الْإِبَاحَةِ

Asal dari segala sesuatu adalah haram kecuali ada dalil yang menunjukkan kepada mubah. (Al-Asybah wa al-Nadhair karangan al-Suyuthi : 69)

 

Dalil qaidah pertama menurut mazhab Syafi’i, antara lain :

1.  Sabda Nabi SAW berbunyi :

ومَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنْ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا

Apa yang telah dihalalkan oleh Allah, maka hukumnya adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka hukumnya adalah haram. Adapun yang didiamkan oleh Allah, maka itu adalah pemaafan. Maka terimalah pemaafan dari Allah. Sungguhnya Allah tidak pelupa.

 

Hadits ini ditakrij oleh al-Bazar dan al-Thabraaniy dari hadits Abu al-Darda’ dengan sanad hasan. (Al-Asybah wa al-Nadhair karangan al-Suyuthi : 69)

2.  Sabda Nabi SAW berbunyi :

إنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا

Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah melarang beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya. . Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum maka janganlah kalian melampauinya. Dan Allah juga mendiamkan beberapa perkara, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya.(H.R. al-Thabraniy)

Sesuai dengan khilafiyah antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah di atas, maka yang dimaksud dengan halal menurut Imam Syafi’i adalah :

مَا لَمْ يَدُلَّ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ

Sesuatu yang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya

 

Sedangkan halal menurut Imam Abu Hanifah adalah :

مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى حِلِّهِ

Sesuatu yang ada dalil yang menunjukkan kehalalannya.

 

Berdasarkan ini, maka yang maskuut ‘anhu (yang tidak ada dalil syara’), hukumnya halal menurut mazhab Syafi’i dan haram menurut mazhab Abu Hanifah. (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah II/70)

Karena itu, hewan yang sulit pemecahan status hukumnya. Dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pendapat. Pendapat yang kuat, halal sebagaimana pendapat Imam al-Rafi’i. Demikian juga tumbuh-tumbuhan yang tidak dikenal namanya. Menurut al-Mutawalliy haram memakannya, akan tetapi Imam al-Nawawi berpendapat halal. Pendapat halal lebih mendekati dan sesuai dengan yang dihikayah dari Imam Syafi’i dan pendapat haram lebih mendekati dan sesuai dengan yang dihikayah dari Imam Abu Hanifah. (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah II/71)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar