Ungkapan di atas merupakan terjemahan
dari qaidah fiqh berbunyi :
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ
حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
Asal dari
segala sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Qaidah di atas merupakan qaidah fiqh
menurut mazhab Syafi’i. Adapun menurut mazhab Abu Hanifah berbunyi sebaliknya :
الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ التَّحْرِيمُ
حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى الْإِبَاحَةِ
Asal dari segala
sesuatu adalah haram kecuali ada dalil yang menunjukkan kepada mubah. (Al-Asybah wa al-Nadhair karangan al-Suyuthi : 69)
Dalil qaidah pertama menurut mazhab
Syafi’i, antara lain :
1. Sabda Nabi SAW berbunyi :
ومَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ
وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنْ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ
اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
Apa yang telah dihalalkan oleh Allah, maka
hukumnya adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka hukumnya adalah haram. Adapun
yang didiamkan oleh Allah, maka itu adalah pemaafan.
Maka terimalah pemaafan dari Allah. Sungguhnya Allah tidak pelupa.
Hadits ini ditakrij oleh al-Bazar dan
al-Thabraaniy dari hadits Abu al-Darda’ dengan sanad hasan. (Al-Asybah wa al-Nadhair karangan al-Suyuthi : 69)
2. Sabda
Nabi SAW berbunyi :
إنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ
أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسَكَتَ
عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا
Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka
janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah melarang beberapa hal
maka janganlah kalian melanggarnya. . Dia telah menetapkan
batasan-batasan hukum maka janganlah kalian melampauinya. Dan Allah juga mendiamkan
beberapa perkara, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya.(H.R.
al-Thabraniy)
Sesuai dengan khilafiyah antara Imam
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah di atas, maka yang dimaksud dengan halal menurut Imam
Syafi’i adalah :
مَا لَمْ
يَدُلَّ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ
Sesuatu yang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya
Sedangkan halal menurut Imam Abu Hanifah adalah :
مَا دَلَّ
الدَّلِيلُ عَلَى حِلِّهِ
Sesuatu yang ada dalil yang menunjukkan kehalalannya.
Berdasarkan ini, maka yang maskuut ‘anhu (yang tidak
ada dalil syara’), hukumnya halal menurut mazhab Syafi’i dan haram menurut
mazhab Abu Hanifah. (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah II/70)
Karena itu, hewan yang sulit pemecahan status hukumnya. Dalam mazhab
Syafi’i terdapat dua pendapat. Pendapat yang kuat, halal sebagaimana pendapat
Imam al-Rafi’i. Demikian juga tumbuh-tumbuhan yang tidak dikenal namanya.
Menurut al-Mutawalliy haram memakannya, akan tetapi Imam al-Nawawi berpendapat
halal. Pendapat halal lebih mendekati dan sesuai dengan yang dihikayah dari
Imam Syafi’i dan pendapat haram lebih mendekati dan sesuai dengan yang
dihikayah dari Imam Abu Hanifah. (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah II/71)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar