Renungan

Senin, 31 Juli 2023

Pengertian Wajib di dalam Ushul Fiqh

 

Zakariya al-Anshari dalam kitab ushulnya mengatakan,

فإن اقتضى فعلاً غير كف اقتضاء جازما فإيجاب أوغيرجازم فندب أو كفا جازما فتحريم أوغير جازم بنهي مقصود فكراهة أو بغير مقصود فخلاف الأولى أو خيرفإباحة

Dengan demikian, jika titah tersebut menuntut perbuatan yang bukan meninggalkan sebagai tuntutan yang mesti dilakukan, maka adalah ijab atau yang tidak mesti dilakukan, maka adalah nadab atau menuntut meninggalkannya dengan tuntutan yang mesti ditinggalkan maka adalah tahrim atau yang tidak mesti ditinggalkan dengan larangan yang diqashadkan maka adalah karahah atau dengan larangan yang bukan diqashadkan maka adalah khilaful aula ataupun titah tersebut merupakan pilihan, maka adalah ibahah.(Ghayah al-Wushul : 10-11)

 

Dari nash di atas, dipahami bahwa hukum taklifi yang merupakan titah Allah Ta’ala adakalanya tuntutannya ditujukan untuk melakukan perbuatan dan adakalanya ditujukan untuk meninggalkan perbuatan. Apabila tuntutan melakukan perbuatan tersebut, sifatnya mesti dilakukan, maka dinamakan dengan ijaab dan apabila melakukan perbuatan tersebut, sifatnya tidak mesti dilakukan, maka dinamakan dengan nadab. Demikian juga, apabila tuntutan meninggalkan perbuatan tersebut, sifatnya mesti dilakukan, maka dinamakan tahrim dan apabila meninggalkan perbuatan tersebut, sifatnya tidak mesti dilakukan serta larangannya dipahami dari larangan yang diqashadkan maka adalah karahah. Adapun apabila larangannya dipahami dari larangan yang bukan diqashadkan, maka dinamakan khilaful aula. Adapun wajib, mandub, mahzhur/muhram, makruh, khilaful aula dan mubah adalah nama dari perbuatan yang merupakan sasaran (muta’llaq) dari hukum taklifi berupa ijaab, nadab, tahrim, karahah, khilaful aula dan ibahah.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka seharusnya yang menjadi pembagian hukum adalah ijaab, nadab, tahrim, karahah, khilaful aula dan ibahah, bukan wajib, mandub, mahzhur/muhram, makruh, khilaful aula dan mubah. Karena itu, penisbatan wajib, nadab dan seterusnya kepada hukum bukanlah penisbatan hakikat, akan tetapi dengan jalan majaz sebagaimana dikemukakan oleh Syeikh Abd al-Hamiid dalam kitabnya :

وعلم مما تقررته ان جعل الناظم كالاصل الاحكام السبعة الواجب والمندوب الخ حيث ذكرها بقوله والحكم واجب و مندوب وما ابيح أي ومباح والمكروه مع ما حرما أي الحرام مع الصحيح مطلقا اي سواء كان واجبا او غيره والفاسد فيه تجوز من اطلاق المتعلق بفتح اللام على المتعلق بكسرها لان هذه التي ذكرها هي متعلق الاحكام لا الاحكام نفسه فان الفعل اللذي يتعلق به الوجوب هو الواجب

Dimaklumi dari apa yang telah aku tegaskan, bahwa penyusun nadham sebagaimana halnya asal, menjadi hukum terbagi tujuh, yaitu wajib, mandub, dan seterusnya dimana telah menyebut dengan perkataannya ; hukum itu wajib, mandub, mubah, makruh, haram, shahih secara mutlaq, baik wajib maupun bukan, dan fasid, ini adalah majaz dengan jalan menyebut muta’allaq  (cara bacanya fatah lam) atas muta’alliq (cara bacanya kasrah lam). Karena yang telah disebutkan ini merupakan muta’allaq hukum (objek hukum), bukan hukum itu sendiri. Sesungguhnya perbuatan yang merupakan sasaran dari wujub adalah wajib.(Lathaif al-Isyaraat : 10)

 

Muta’allaq adalah perbuatan yang menjadi objek hukum, sedangkan muta’alliq adalah hukum dimana suatu perbuatan menjadi objeknya

 

Devinisi Wajib

Dari uraian di atas, kita sudah dapat memahami pengertian wajib, yaitu suatu perbuatan dimana tuntutan melakukan perbuatan tersebut, sifatnya mesti dilakukan. Dalam Ghayatul Wushul, Zakariya al-Anshari menyebut devinisi wajib :

الفعل غير الكف المطلوب طلبا جازما

Perbuatan yang bukan meninggalkan yang dituntut sebagai tuntutan yang mesti dilakukan.(Ghayatul Wushul : 11)

 

Keniscayaan (laziim) dari kandungan devinisi ini, maka setiap perbuatan yang bersifat dengan wajib akan berikan pahala apabila dilakukan dan akan disiksa apabila ditinggalkan. Sesuai dengan ini, Imam al-Haramain mendevinisikan wajib sebagai berikut :

فالواجب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه

Maka wajib adalah sesuatu (perbuatan) yang diberikan pahala karena melakukannya dan disiksa apabila meninggalkannya. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).

 

Namun demikian, devinisi ini tidak terlepas dari kemungkinan kritikan. Setidaknya ada dua kritikan yang dapat dikemukakan di dalam tulisan ini, yaitu :

1.  Adanya contoh perbuatan yang bersifat dengan wajib, akan tetapi pada saat yang sama juga bersifat dengan haram. misalnya melakukan shalat wajib pada lokasi hasil rampasan. Pada contoh kasus ini, perbuatan shalat tersebut akan mendapat siksaan apabila dilakukan. Ini tentu tidak sesuai dengan kandungan devinisi wajib dia atas.

2.  Yang dipahami dari devinisi wajib di atas adalah setiap yang meninggalkan perbuatan wajib akan disiksa kelak, padahal dalam akidah Islam yang benar tidak semua orang yang meninggalkan perbuatan wajib akan mendapat siksaan. Karena Allah Ta’ala bisa saja memaafkan bagi sebagian manusia sesuai kehendak dan karunia-Nya.

Kritikan di atas, oleh Jalal al-Mahalli yang mensyarah risalah al-Warqaat Imam al-Haramain memberikan jawaban sebagai berikut :

1.  Devinisi wajib yang dikemukan Imam al-Haramain di atas adalah dari sudut pandang perbuatan wajib bersifat dengan wujub. Artinya, suatu perbuatan wajib, dipandang dari sisi ia bersifat dengan wujub, maka akan diberikan pahala apabila dilakukan dan akan disiksa apabila ditinggalkannya, meskipun memungkinkan akan diberikan siksaan apabila dilakukan perbuatan tersebut dipandang dari sisi ia bersifat dengan haram. Sesuai dengan uraian ini, Jalal al-Mahalli dalam syarahnya menambah perkataan ; “minhaitsu washfuhu bil wujub”  dalam devinisi wajib di atas sebagai penegasan bantahan terhadap kritikan tersebut, sehingga devinisi wajib secara lengkap adalah :

فالواجب من حيث وصفه بالوجوب ما يثاب على فعله ويعاقب على تركه

Maka wajib dipandang dari sisi ia bersifat dengan wujub adalah sesuatu (perbuatan) yang diberikan pahala karena melakukannya dan disiksa apabila meninggalkannya. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).

 

Berdasarkan penambahan Jalal al-Mahalli ini, maka wajib, mandub, haram dan seterusnya masing-masing pembagian ini adalah mutadaakhalah, bukan mutabaayanah. Misalnya shalat wajib dalam lokasi hasil rampasan dan shalat wajib di tempat pemandian umum. Maka tidak saling menafikan antara pemberian pahala dan siksaan, karena keduanya dengan sisi pandang yang berbeda. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).

Pengertian mutadaakhalah di sini adalah setiap dua atau lebih dari pembagian muta’allaq hukum di atas memungkinkan menjadi washaf bagi satu perbuatan. Adapun mutabaayanah adalah sebaliknya.

Dengan demikian, shalat wajib dalam lokasi hasil rampasan dari sisi pandang ia bersifat dengan wujub, maka mendapat pahala apabila dikerjakan dan dari sisi pandang ia bersifat dengan tahrim karena dilakukan pada milik orang tanpa izin (yang dirampas), maka mendapat siksaan karena melakukannya. Uraian yang sama juga berlaku pada contoh shalat wajib di tempat pemandian umum, yang hukumnya makruh.

2.  Jawaban untuk kritikan yang kedua ; Adanya siksaan atas satu orang saja serta diampuni yang lain di hari akhirat kelak sudah memadai untuk membenarkan adanya siksaan. Artinya, konsekwensi meninggalkan perbuatan wajib mendapat siksaan di hari akhirat kelak sudah terbenar dengan satu orang yang disiksa, sedangkan yang lain diampuni. Karena itu, Jalal al-Mahalli berkata, boleh ditambah dalam devinisi wajib di atas sebagai ganti “wa yu’aqaabu ‘ala tarkihi” dengan perkataan  : “wa yutarattabu al-‘iqaab ‘ala tarkihi”, sehingga lengkapnya :

فالواجب من حيث وصفه بالوجوب ما يثاب على فعله ويترتب العقاب على تركه

Maka wajib dipandang dari sisi ia bersifat dengan wujub adalah sesuatu (perbuatan) yang diberikan pahala karena melakukannya dan dipersiapkan siksaan apabila meninggalkannya. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4).

 

Pengertian yutarattabu di sini bermakna dipersiapkan, maksudnya kemungkinan mendapatkan siksaan, meskipun tidak disiksa.

Terkait dengan kritikan nomor 2 di atas, Syeikh Abd al-Hamiid dalam kitabnya, Lathaif al-Isyaraat menjawab dengan salah satu dari dua jawaban berikut ini :

1.  Sesuai dengan jawaban Jalal al-Mahalli di atas

2.  Yang dimaksud “dihukum dengan siksaan dengan sebab meninggalkan” adalah tarattubu istihqaaq al-‘iqaab ‘ala tarkihi, yaitu dipersiapkan kemungkinan mendapat siksaan dengan sebab meninggalkannya.

Kemudian Syeikh Abd al-Hamiid menawarkan devinisi wajib dalam bentuk nadham yang lebih terang menurut beliau, yaitu :

فالفرض ما في فعله الثواب وتركه يقتضى به العقاب

Maka fardhu itu adalah sesuatu yang melakukannya mendapat pahala dan meninggalkannya menghendaki siksa. .(Lathaif al-Isyaraat : 11)

 

Fardhu dan beberapa lafazh lain bermakna wajib.

Syeikh Abd al-Hamiid menyebut beberapa lafazh lain bermakna wajib, yaitu al-laazim, al-muhtam, al-maktub dan fardhu. Semua lafazh ini merupakan lafazh muradif (sinonim). (Lathaif al-Isyaraat : 11).

Zakariya al-Anshari mengatakan, menurut Istilah Ushul Fiqh, lafazh wajib dan fardhu mempunyai makna yang sama (muradif). Namun ulama Hanafiyah berpendapat keduanya mempunyai makna yang berbeda. Mereka mengatakan, apabila perbuatan tersebut ditetapkan dengan dalil qath’i seperti al-Qur’an, maka namanya fardhu. Misalnya membaca al-Qur’an dalam shalat yang ditetapkan dengan firman Allah Ta’ala :

فاقرأوا ما تيسر من القرآن

Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran (Q.S. al-Muzzammil : 20)

 

Adapun apabila ditetapkan dengan dalil dhanni seperti hadits ahad, maka namanya wajib. Misalnya membaca al-Fatihah dalam shalat yang ditetapkan dengan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi :

لا صَلَاةَ لمنْ لَم يقرأبفاتِحَةِ الكِتابِ

Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihah al-Kitab (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Menurut ulama Hanafiyah, meninggalkan membaca al-Fatihah mengakibatkan dosa, akan tetapi tidak membatalkan shalat, berbeda dengan meninggalkan membaca ayat al-Qur’an. (Ghayatul Wushul : 11)

Pernyataan lafazh wajib dan fardhu mempunyai makna yang sama (muradif) sebagaimana pendapat yang ditarjih oleh Zakariya al-Anshari di atas, ini tidak menafikan adanya perbedaan makna antara keduanya dalam beberapa masalah fiqh.. Contohnya, fatwa jatuh talaq, apabila seorang suami mengatakan, “Talaq wajib atasku” dan fatwa tidak jatuh talaq apabila seorang suami mengatakan, “Talaq fardhu atasku”. Mengingat hal tersebut didasarkan kepada makna ‘uruf yang berlaku atau istilah lain. (Ghayatul Wushul : 11)

Contoh yang lain adalah makna wajib haji dalam bab haji. Untuk membedakan dengan rukun haji, para ulama mengatakan, wajib haji adalah sesuatu amalan yang sah haji tanpanya, namun wajib membayar dam dan berdosa apabila tanpa ‘uzur. Adapun rukun haji adalah suatu amalan yang dengannya tergantung sah ibadah haji dan tidak dapat diganti dengan dam dan lainnya. (Busyra al-Kariim : 614 dan 641)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar