Renungan

Jumat, 26 Januari 2024

Tata cara tayamum saat ada luka yang diperban

 

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Tgk,, saya mau nanya terkait hukum fiqih tentang mandi junub. Pada satu kejadian, bilamana seseorang dalam kondisi sakit dengan kaki diperban karena sebab operasi atau luka, dan mendapati dirinya dalam keadaan junub (semisalnya mengalami mimpi basah). lalu bagaimana dia mensucikannya? bolehkah dia tayamum atau tetap mandi dengan mengguyur air ke seluruh badannya?

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr. Wb.

Sebagaimana dimaklumi dalam fiqh, apabila seseorang dalam keadaan berjunub, maka wajib atasnya mandi hadats besar dengan membasuh seluruh tubuhnya. Apabila seseorang masih dalam keadaan berjunub haram atasnya (juga tidak sah) melakukan shalat, thawaf dan lainnya. Lalu muncul pertanyaan sebagaimana di atas, bilamana seseorang dalam kondisi sakit dengan kaki diperban karena sebab operasi atau luka, dan mendapati dirinya dalam keadaan junub. Apa yang harus dilakukannya?. Jawabannya adalah sebagai berikut:

1.   Jika dilepaskan perban tersebut dapat mendatangkan kemudharatan seperti  cacat, lambat sembuh, bertambah sakit atau kemudharatan lainnya, maka kewajiban mandi karena junub tetap wajib dilaksanakan sebatas yang memungkinkan. Karena itu, wajib membasuh semua anggota tubuh yang tidak luka (bagian tubuh yang sehat)

2.   Kemudian usap dengan tangan yang basah atas perban sebagai ganti membasuh anggota tubuh yang luka

3.   Kemudian bertayamumlah dengan mengusap debu pada wajah dan tangan sebagaimana diatur dalam bab tayamum. Tayamum ini sebagai ganti membasuh anggota tubuh yang sehat yang ditutupi perban. (menutup luka dengan perban tentunya juga akan menutupi sebagian tubuh yang sehat).

Zainuddin al-Malibari mengatakan,

وإذا امتنع استعماله في عضو وجب تيمم وغسل صحيح ومسح كل الساتر الضار نزعه بماء، ولا ترتيب بينهما لجنب.

Apabila terhalang menggunakan air pada satu anggota tubuh, maka wajib tayamum dan membasuh anggota yang sehat serta mengusap dengan air setiap bagian pembalutnya yang mendatangkan mudharat apabila dilepaskannya. Tidak ada tertib antara membasuh dan tayamum bagi yang  berjunub (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

Yang dimaksud dengan pembalut anggota tubuh (saatir) di sini mencakup jabirah (kayu yang dibuat secara khusus untuk membalut anggota tubuh yang patah), plester luka, saleb, perban dan sejenisnya. Abu Bakar Syatha, pengarang I’anah al-Thalibin dalam menjelaskan pengertian saatir di atas, mengatakan,

والساتر كجبيرة، وهي أخشاب أو قصب تسوى وتشد على موضع الكسر ليلتحم، وكلصوق ومرهم وعصابة.

Saatir (pembalut) adalah seperti jabirah yaitu kayu atau rotan yang dibuat rapi kemudian diikat pada anggota tubuh yang patah agar dapat merapat kembali dan seperti plester luka, saleb dan perban. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

4.   Apabila perban terdapat pada anggota tayamum, maka tidak wajib mengusap debu atas perban dan memadai pada bagian lain yang sehat saja. Jalaluddin al-Mahalli dalam penjelasannya mengatakan,

وَاحْتَرَزَ بِمَاءٍ عَنْ التُّرَابِ فَلَا يَجِبُ مَسْحُهَا بِهِ إذَا كَانَتْ فِي مَحَلِّ التَّيَمُّمِ

Debu tanah dikecualikan dari hukum air. Karena itu, tidak wajib mengusap pembalut dengan debu apabila pembalut tersebut berada pada anggota tayamum. (Qalyubi ‘ala Syarh al-Mahalli: I/97)

 

Kemudian berikut ini beberapa catatan yang perlu diperhatikan, yaitu:

1.   Apabila perban terdapat pada anggota tayamum (wajah dan tangan), maka shalatnya wajib diulangi kembali ketika sehat. Karena  mandi dan tayamum, kedua-duanya tidak sempurna

2.   Apabila perban tidak terdapat pada anggota tayamum, akan tetapi perban tersebut menutupi anggota yang sehat dalam ukuran melebihi yang diperlukan sebagaimana biasanya kita lihat pada pasien di rumah sakit kita , maka shalatnya juga wajib diulangi kembali ketika sehat

3.   Demikian juga shalatnya wajib diulangi Kembali ketika sehat apabila seseorang pada saat meletakkan perban pembalut luka dalam keadaan berhadats. Ini berbeda halnya apabila seseorang dalam keadaan suci dari hadats kecil maupun besar saat diletakkan perban, kemudian datang junub, maka dalam kondisi ini, tidak perlu lagi mengulangi shalatnya dan memadai dengan shalat yang sudah dilakukan saat ada perban pada anggota tubuhnya.

Penjelasan di atas dapat diperhatikan dari keterangan berikut ini:

واعلم أن الساتر إن كان في أعضاء التيمم وجبت إعادة الصلاة مطلقا لنقص البدل والمبدل جيمعا، وإن كان في غير أعضاء التيمم فإن أخذ من الصحيح زيادة على قدر الاستمساك وجبت الإعادة، سواء وضعه على حدث أو وضعه على طهر وكذا تجب إن أخذ من الصحيح بقدر الاستمساك ووضعه على حدث،

Ketahuilah, sesungguhnya pembalut anggota tubuh yang sakit itu jika ada pada anggota tayamum, maka shalatnya wajib diulangi kembali secara mutlaq (baik pada saat perban diletakkan pada anggota sakit dalam keadaan berhadats atau tidak), karena tidak sempurna semuanya , yaitu pengganti (tayamum) dan yang diganti (mandi). Adapun jika pembalutnya tidak berada di atas anggota tayamum, akan tetapi menutupi anggota yang sehat melebihi ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut tersebut, maka shalatnya wajib diulangi kembali, baik pembalut diletakkan dalam keadaan berhadats atau suci. Demikian juga wajib mengulangi shalatnya jika pembalut menutupi anggota yang sehat dalam ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut tersebut, namun diletakkannya dalam keadaan berhadats. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

4.   Orang yang bertayamum hanya dapat menggunakan satu tayamumnya untuk satu shalat fardhu dan beberapa shalat sunnah. Karena itu, jika seseorang mau melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka wajib tayamum lagi. Dalam penjelasan selanjutnya, Zainuddin al-Malibari mengatakan,

ولا يصلي به إلا فرضا واحدا ولو نذرا

Seseorang tidak melaksanakan shalat dengan tayamum kecuali satu fardhu, meskipun dalam bentuk shalat nadzar. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jumat, 19 Januari 2024

Tiga perkara yang tidak terputus apabila ajal tiba

 

Ada tiga perkara yang tidak terputus apabila seseorang sudah meninggalkan alam fana ini, yakni sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh yang berdoa kepada ibu bapaknya. Penjelasan ini merupakan kandungan makna harfiyah dari hadits di bawah ini. Nabi SAW bersabda:

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Apabila seorang manusia menimpa ajalnya, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah jariah, ilmu yang dimanfaatkan orang lain dan anak shaleh yang berdoa untuknya. (H.R. Muslim)

 

Al-Iraqi mengatakan hadits ini telah diriwayat oleh Muslim, Abu Daud dan al-Turmudzi. Al-Turmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih.(Takrij Ahadits Ihya Ulumuddin, karya al-Zabidiy: I/79)

Tafsir hadits

Bila kita ingin memahami lebih dalam makna hadits ini, ada beberapa penjelasan berikut ini yang perlu diketengahkan di sini, yaitu:

1.   Yang terputus bukanlah amal sebagaimana makna dhahirnya. Karena tidak ada makna penegasan putus amal, karena nyawa seseorang apabila sudah meninggalkan raganya, tentunya tidak dapat beramal tanpa ada pengecualian. Karena itu, para ulama memahami bahwa yang terputus dalam hadits ini adalah pahala amal, bukan amalnya. Dalam kitab  I’anah al-Thalibin disebutkan:

وقوله انقطع عمله، أي ثواب عمله

Sabda Nabi SAW: terputus amalnya, artinya terputus pahala amalnya (I’anah al-Thalibin: III/186)

 

Dalam penjelasan Imam al-Nawawi tentang hadits ini, beliau mengatakan,

قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ عَمَلَ الْمَيِّتِ يَنْقَطِعُ بِمَوْتِهِ وَيَنْقَطِعُ تَجَدُّدُ الْثوَابِ لَهُ إِلَّا فِي هَذِهِ الْأَشْيَاءِ الثَّلَاثَةِ لِكَوْنِهِ كَانَ سَبَبَهَا فَإِنَّ الْوَلَدَ مِنْ كَسْبِهِ وَكَذَلِكَ الْعِلْمُ الَّذِي خَلَّفَهُ مِنْ تَعْلِيمٍ أَوْ تَصْنِيفٍ وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ وَهِيَ الْوَقْفُ

Para ulama mengatakan, makna hadits ini adalah amal orang yang sudah mati terputus dengan sebab mati dan terputus mengalir pahala yang baru baginya kecuali pada tiga perkara ini, karena ia merupakan sebab bagi tiga perkara tersebut. Anak merupakan hasil usahanya, demikian juga ilmu yang ia tinggalkan dalam bentuk mengajar atau tulisan. Dan demikian juga sadaqah jariah, yakni waqaf.(Syarah Muslim: XI/85)

 

2.   Sebagaimana lafazh hadits di atas, yang teputus adalah pahala amal yang pernah dilakukan si mati pada masa hidupnya. Karena itu, hadits ini tidak dapat dijadi hujjah untuk menafikan pahala amal orang yang masih hidup yang diperuntukkan bagi si mati seperti doa bagi si mati, sadaqah yang diniatkan pahalanya untuk si mati, haji badal dan lain-lain.

3.   Pengertian sadaqah jariah adalah sadaqah yang pahalanya terus mengalir. Pahalanya bukan hanya pahala sekali beramal sebagaimana umumnya ibadah lainnya, akan tetapi setelah diperuntukkan suatu pahala karena sadaqahnya tersebut, bagi yang melakukannya terus menerus mengalir pahala yang sama selama sadaqahnya itu dimanfaatkan (tajaddud tsawab) dan itu tidak terputus dengan sebab kematian. Sadaqah model ini adalah sadaqah dalam bentuk waqaf sebagaimana penafsiran Imam al-Nawawi di atas. Karena itu tidak heran kalau para ulama mensyaratkan waqaf haruslah dalam bentuk kekal bendanya, tidak boleh seperti makanan yang hilang wujud bendanya apabila dimanfaatkan dengan memakannya.

4.   Pengertian ilmu yang dimanfaatkan oleh orang lain adalah seperti mengajar dan mengarang. Namun menurut Imam al-Subkiy mengarang lebih utama dibandingkan mengajar, karena tulisan dalam bentuk karangan lebih lama bertahan dalam perjalanan masanya. Al-Munawi mengutip perkataan al-Subkiy sebagai berikut:

والتصنيف أقوى لطول بقائه على ممر الزمان

Mengarang lebih kuat karena lama kekalnya dalam perjalanan masanya. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Namun demikian, al-Munawi menyambung pernyataan al-Subkiy di atas dengan perkataan beliau:

لكن شرط بعض شراح مسلم لدخول التصنيف فيه اشتماله على فوائد زائدة على ما في الكتب المتقدمة فإن لم يشتمل إلا على نقل ما فيها فهو تحبير للكاغد فلا يدخل في ذلك وكذا التدريس فإن لم يكن في الدرس زيادة تستفاد من الشيخ مزيدة على ما دونه الماضون لم يدخل

Akan tetapi sebagian pensyarah hadits Muslim untuk masuk mengarang di dalam “Ilmu yang dimanfaatkan orang lain” mensyaratkan harus mencakup faedah-faedah yang merupakan tambahan dari kitab-kitab yang lebih duluan ada. Karena itu, apabila karangan tersebut hanya merupakan kutipan dari kitab-kitab sebelumnya, maka itu hanya tinta pada kertas. Karenanya tidak masuk dalam “ilmu yang dimanfaatkan orang lain”. Demikian juga mengajar apabila dalam pengajaran tersebut tidak ada tambahan dari apa yang diterima dari gurunya melebihi dari apa yang sudah pernah dibukukan oleh orang-orang sebelumnya, maka juga tidak termasuk dalamnya. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Pengutamaan mengarang dari mengajar ini tidak berlaku mutlaq. Menurut ‘Ali Syibran al-Malasiy, apabila di sebuah kawasan tertentu tidak terdapat seorang pengajar, maka dalam kondisi seperti ini, mengajar akan menjadi lebih utama dari mengarang. Tersebut dalam Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:

وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ أَنَّهُ إنْ كَانَ ثَمَّ مَنْ يَقُومُ عَنْهُ بِالتَّعْلِيمِ كَانَ التَّصْنِيفُ أَوْلَى وَإِلَّا فَالتَّعْلِيمُ أَوْلَى اهـ.ع ش

Pendapat yang dianggap kuat adalah apabila terdapat orang yang mampu mengajar, maka mengarang lebih utama. Adapun jika tidak ada, maka mengajar lebih utama. Demikian dari ‘Ali Syibran al-Malasiy (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/236)

 

5.   Pengertian anak shaleh yang berdoa untuknya. Pengertian shaleh di sini adalah muslim, baik dia shaleh atau tidak. Disebut shaleh di sini karena ghalibnya hanya anak yang shaleh yang mau berdoa kepada orangtuanya. Dalam kitab  I’anah al-Thalibin disebutkan:

وقوله أي مسلم، أي أن المراد بالصالح: المسلم، فأطلق الخاص وأراد العام

Perkataan pengarang “maksudnya muslim” bermakna sesungguhnya makna shaleh adalah muslim. Di sini disebut khusus, akan tetapi maksudnya umum.(I’anah al-Thalibin: III/187)

 

Sejatinya doa bukan hanya dari anak kepada orangtuanya saja dapat bermanfaat, tetapi bisa juga dari yang bukan anaknya. Di sini ada penyebutan secara khusus pada anak karena dalam rangka menggerakkan hati anak untuk sungguh-sungguh berdoa kepada orangtuanya. Ini sebagaimana dikemukakan oleh Abu Bakar Syatha di berikut ini:

(قوله أو ولد) فائدة التقييد به، مع أن دعاء الغير ينفعه، تحريض الولد على الدعاء لأصله.

Sabda Nabi SAW: ”atau anak…”. Faedah mengkhususkan dengan anak, sementara doa selain anak juga bermanfaat karena menggerakkan anak untuk berdoa kepada orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/187)

 

Alhasil, anak yang beriman dan berakidah muslim, baik shaleh maupun tidak, yang berdoa untuk orangtuanya dapat bermanfaat doanya itu untuk orangtua dan termasuk dalam tiga perkara yang tidak terputus pahala amal seseorang yang dilakukan pada masa hidupnya. Dinyatakan sebagai amal orangtuanya karena orangtua menjadi sebab wujud anaknya, menjadi sebab keshalihannya dan terpetunjuk kepada kebenaran. Al-Munawi mengatakan,

(أو ولد صالح) أي مسلم (يدعو له) لأنه هو السبب لوجوده وصلاحه وإرشاده إلى الهدى

Atau anak yang shaleh, yaitu seorang muslim yang berdoa untuknya. Karena dia menjadi sebab wujud anaknya, keshalihan dan terpetunjuknya kepada kebenaran. (Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)

 

Suatu doa disebut bermanfaat apabila tujuan doanya itu berhasil diraih. Ini tentunya apabila Allah Ta’ala menjawab doanya, sedangkan jawaban terhadap doa hanya semata-mata merupakan karunia Allah Ta’ala. Adapun pahala berdoa itu sendiri karena doa merupakan suatu ibadah hanya diperuntukkan untuk orang yang berdoa. Namun memperhatikan hadits di atas, khusus doa anak yang shaleh untuk orangtuanya, manfaatnya bukan hanya jawaban doa dari Allah, akan tetapi pahala berdoa juga bisa sampai kepada orangtua. Berdasarkan ini, maka ada dua manfaat doa seorang anak kepada orangtuanya, yaitu jawaban Allah atas doa yang dituju kepada orangtua (syafaat doa) dan pahala berdoa itu sendiri. Jadi di sini ada dua variabel yaitu syafaat doa dan pahala berdoa itu sendiri. Berbeda dengan doa orang lain, menfaatnya hanya syafa’at doa, tidak pahala berdoanya. Abu Bakar Syatha mengatakan,

أما نفس الدعاء وثوابه فهو للداعي، لانه شفاعة أجرها للشافع، ومقصودها للمشفوع له نعم، دعاء الولد يحصل ثوابه نفسه للوالد الميت، لان عمل ولده لتسببه في وجوده من جملة عمله، كما صرح به خبر ينقطع عمل ابن آدم إلا من ثلاث ثم قال: أو ولد صالح، أي مسلم، يدعو له حمل دعاءه من عمل الوالد

Adapun doa itu sendiri dan pahalanya adalah untuk diri orang yang berdoa, karena doa adalah syafaat dimana pahalanya bagi yang memberi syafaat, sedangkan tujuan syafaat diperuntukkan bagi yang diberikan syafaat. Akan tetapi doa seorang anak, pahala doanya itu sendiri juga diperuntukkan bagi orangtuanya yang sudah mati, karena amalan anaknya termasuk dalam katagori amalan orangtua karena orangtua menjadi sebab wujud anaknya sebagaimana diterangkan dalam hadits “Terputus amal anak Adam kecuali tiga perkara, kemudian berkata, “atau anak shaleh (muslim) yang berdoa kepadanya, maka dipertempatkan doa anak  dalam amalan orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/257)

 

Wallahua’lam bisshawab

Kamis, 18 Januari 2024

Membaca ta’awudz dan basmalah sebelum ayat al-Qur’an Ketika berhujjah

 

Sebelum mulai membaca ayat-ayat suci dalam al-Qur'an, umat Islam biasanya mengawali dengan ucapan ta'awudz dan basmalah, meskipun pembacaan ayat al-Qur’an tersebut dimulai di pertengahan surat. Pengertian ta’awudz di sini adalah ucapan, “a’uu dzubillahi minassyaithanirrajiim” dan pengertian basmalah adalah ucapan “bismillahirrahmanirrahiim”.

Anjuran membaca ta’awudz dapat dipahami antara lain dalam firman Allah Ta’ala:

فَإِذَا قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ

Apabila kamu membaca Al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (Q.S. An-Nahl ayat: 98)

Adapun dalil anjuran membaca basmalah berdasarkan keumuman hadits Nabi SAW berbunyi:

كل أمر ذي بال لايبدأ فيه ببسم الله فهو أقطع

Sesuatu pekerjaan yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama Allah adalah buntung, yakni tidak ada hasilnya. (H.R. Abu Daud)

 

Imam al-Nawawi mengatakan, hadits ini kualitasnya hasan.(al-Azkar/103). Sesuai dengan maksud hadits ini, Zainuddin al-Malibary mengatakan dalam kitabnya:

تسن التسمية لتلاوة القران و لو من اثناء سورة فى صلاة او خارجها و لغسل و تيمم و ذبح

Disunnahkan membaca basmalah ketika membaca al-Qur'an meskipun berada di tengah-tengah surat baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Sunnah juga ketika mandi, tayamum dan menyembelih. (Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): I/44)

 

Dalam Kitabusshalah kitab Fathul Muin juga, Zainuddin al-Malibarry bahkan menegaskan bahwa kesunnahan membaca basmallah ketika mulai membaca di tengah-tengah surat merupakan nash dari Imam Syafi’i. Perkataan al-Malibarry tersebut adalah :

ويسن لمن قرأها من أثناء السورة البسملة نص عليه الشافعي

Sunnah membaca basmallah bagi orang-orang yang membacanya pada tengah-tengah surat. Ini merupakan nash Imam Syafi’i. (Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): I/49)      

                                     

Sebagian umat Islam anjuran membaca ta’awudz dan basmalah ini dipahami sampai melebar kepada ketika membaca ayat al-Qur’an dalam rangka berhujjah dan mengemukan dalil dalam diskusi maupun ceramah agama lainnya. Ucapan dalam berhujjah biasanya dengan mengucapkan, “Qaalallahu Ta’ala fiil qur’anilkarim” atau dalam Bahasa Indonesia “Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an yang mulia” atau yang semakna dengannya, kemudian membaca ta’awudz, kemudian membaca basmalah. Ada juga membaca ta’awudz saja atau basmalah saja. Sesudah itu baru membaca ayat al-Qur’an yang ingin dibacakan. Untuk lebih memahami rangkain kalam ini, perhatikan contoh berikut ini:

“Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah, ayat 2: A’uu dzubillahi minassyaithanirrajiim, Bismillahirrahmanirrahiim,

ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Rangkaian kalam seperti ini, tentunya akan mengakibatkan kerancuan maknanya serta dapat mengakibatkan kesalahpahaman pendengar dalam menentukan mana yang menjadi firman Allah Ta;ala. Karena penempatan ta’awudz dan basmalah sesudah ucapan ““Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an” telah menempatkan ta’awudz dan basmalah termasuk dalam rangkaian firman Allah. Ini tentu menyalahi dengan yang sebenarnya. Karena itu, Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, beliau mengatakan, 

وإن قال أعوذ بالله من الشيطان الرجيم وذكر الآية ففيه من الفساد جعل الاستعاذة مقولا الله وليست من قوله

Jika seseorang mengatakan, “Auu’dzu billahi minassyaithanirrajiim, kemudian menyebut ayat, maka di sini muncul kerancuan sebab menjadikan ta’awudz bagian dari firman Allah, sedangkan ia bukan firman Allah.(al-Hawi lil Fatawi; I/353)

 

Hal yang sama tentunya juga berlaku apabila seseorang membaca basmalah sebelum pengucapan ayat al-Qur’an dalam berhujjah sebagaimana pengucapan ta’awudz sebelum pengucapan ayat al-Qur’an. Karena akan menempatkan basmalah menjadi bagian dari ayat al-Qur’an yang dibaca.

Pada halaman sebelumnya, Imam al-Suyuthi mengatakan,        

فأقول الذي ظهر لي من حيث النقل والاستدلال أن الصواب أن يقول قال الله تعالى ويذكر الآية ولا يذكر الاستعاذة فهذا هو الثابت في الأحاديث والآثار من فعل النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة والتابعين فمن بعدهم

Aku mengatakan, pendapat yang dhahir menurutku setelah memperhatikan dalil naqli dan pendaliliannya, maka yang benar adalah seseorang mengatakan, “Allah Ta’ala berfirman”, kemudian menyebut ayat al-Qur’an, tanpa menyebut ta’awudz. Inilah yang shahih dalam hadits-hadits dan atsar berupa perbuatan Nabi SAW, para Sahabat dan Tabi’in serta ulama-ulama sesudahnya.(al-Hawi lil Fatawi; I/352)

 

Imam al-Suyuthi menyebut beberapa hadits yang dapat dijadikan contoh pengucapan ayat al-Qur’an tanpa ucapan ta’awudz sebelumnya dalam mengemukakan dalil dalam bentuk ucapan “Allah Ta’ala berfirman” atau sejenisnya sebelum pengucapan ayat al-Qur’an, antara lain:

عن أنس قال: قال: أبو طلحة يا رسول الله إن الله يقول لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وإن أحب أموالي إلي بيرحاء

Dari Anas, beliau berkata, Abu Thalhah berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah berfirman, “Kalian tidak akan mendapat kebaikan sehingga kalian infaqkan dari apa yang kalian cintai.” dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha' itu (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim dan al-Nisa’i)

 

عن علي قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من ملك زادا وراحلة ولم يحج بيت الله فلا يضره مات يهوديا أو نصرانيا وذلك بأن الله تعالى يقول ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين

Dari Ali berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memiliki bekal dan kendaraan yang cukup untuk dijadikan bekal ke Baitullah, namun dia tidak pergi haji, aku tidak peduli jika dia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani. Karena Allah berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah dan siapa saja yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam” (H.R. Turmidzi)

عن سماك بن الوليد أنه سأل ابن عباس ما تقول في سلطان علينا يظلمونا ويعتدون علينا في صدقاتنا أفلا نمنعهم قال لا الجماعة الجماعة إنما هلكت الأمم الخالية بتفرقها أما سمعت قول الله واعتصموا بجبل الله جميعا ولا تفرقوا

Dari Samaak bin al-Waliid sesungguh beliau menanyakan kepada Ibnu Abbas,”Apa pendapatmu tentang sulthan yang berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap sadaqah kita, apakah engkau tidak mencegahnya?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, jama’ah adalah jama’ah, sesungguhnya umat sebelumnya celaka dengan sebab mereka bercerai berai. Apakah engkau tidak mendengar firman Allah: “Berpeganglah kalian semua kepada tali Allah dan jangan bercerai berai”.(H.R. Ibnu Abi Hatim)

 

Kemudian pada halaman berikutnya, Imam al-Suyuthi menegaskan,

فالصواب الاقتصار على إيراد الآية من غير استعاذة اتباعا للوارد في ذلك فإن الباب باب اتباع، والاستعاذة المأمور بها في قوله تعالى (فإذا قرأت القرآن فاستعذ) إنما هي عند قراءة القرآن للتلاوة أما إيراد آية منه للاحتجاج والاستدلال على حكم فلا

Maka yang benar adalah mencukupi mendatangkan ayat tanpa ada ta’awudz karena ittiba’ (mengikuti) hadits yang datang tentang itu. Sesungguhnya bab ini adalah bab ittiba’. Adapun pengucapan ta’awudz yang diperintahkan berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka mintalah perlindungan (membaca ta’awudz)”, ayat ini hanya diposisikan ketika membaca al-Qur’an secara tilawah. Adapun ketika mendatangkan ayat al-Qur’an dalam rangka berhujjah dan mengemukakan dalil atas suatu hukum, maka tidak dianjurkannya. (al-Hawi lil Fatawi; I/353)

Kesimpulan

1.   Membaca basmalah dan ta’awudz sebelum pembacaan ayat al-Qur’an dalam berhujjah dan mengemukakan dalil seperti mengucapkan, “Qaalallahu Ta’ala fiil qur’anilkarim” atau dalam Bahasa Indonesia “Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an yang mulia” atau yang semakna dengannya, kemudian membaca ta’awudz, kemudian membaca basmalah, kemudian baru membaca ayat al-Qur’an telah menempatkan ta’awudz dan basmalah termasuk dalam rangkaian firman Allah yang dibacakan. Ini tentu menyalahi dengan yang sebenarnya.

2.   Tidak ada contoh dari perbuatan Nabi SAW, atsar para sahabat dan ulama sesudahnya membaca basmalah dan ta’awudz sebelum pembacaan ayat al-Qur’an dalam berhujjah dan mengemukakan dalil, bahkan sebagaimana yang dipahami dari penjelasan Imam al_Suyuthi di atas, yang benar adalah pengucapan ayat al-Qur’an tanpa basmalah dan ta’awudz sebelumnya.

3.   Adapun ayat yang memerintah membaca ta’awudz sebelum membaca ayat al-Qur’an  hanya diposisikan ketika membaca al-Qur’an secara tilawah tidak dalam berhujjah atau mengemukakan dalil hukum.

Wallahua’lam bisshawab