Assalamu’alaikum
wr. Wb.
Tgk,, saya mau
nanya terkait hukum fiqih tentang mandi junub. Pada satu kejadian, bilamana
seseorang dalam kondisi sakit dengan kaki diperban karena sebab operasi atau
luka, dan mendapati dirinya dalam keadaan junub (semisalnya mengalami mimpi
basah). lalu bagaimana dia mensucikannya? bolehkah dia tayamum atau tetap mandi
dengan mengguyur air ke seluruh badannya?
Jawaban:
Wa’alaikumussalam
wr. Wb.
Sebagaimana dimaklumi dalam fiqh, apabila
seseorang dalam keadaan berjunub, maka wajib atasnya mandi hadats besar dengan
membasuh seluruh tubuhnya. Apabila seseorang masih dalam keadaan berjunub haram
atasnya (juga tidak sah) melakukan shalat, thawaf dan lainnya. Lalu muncul
pertanyaan sebagaimana di atas, bilamana seseorang dalam kondisi sakit dengan
kaki diperban karena sebab operasi atau luka, dan mendapati dirinya dalam
keadaan junub. Apa yang harus dilakukannya?. Jawabannya adalah sebagai berikut:
1. Jika dilepaskan perban tersebut dapat
mendatangkan kemudharatan seperti cacat,
lambat sembuh, bertambah sakit atau kemudharatan lainnya, maka kewajiban mandi
karena junub tetap wajib dilaksanakan sebatas yang memungkinkan. Karena itu,
wajib membasuh semua anggota tubuh yang tidak luka (bagian tubuh yang sehat)
2. Kemudian usap dengan tangan yang basah atas
perban sebagai ganti membasuh anggota tubuh yang luka
3. Kemudian bertayamumlah dengan mengusap debu
pada wajah dan tangan sebagaimana diatur dalam bab tayamum. Tayamum ini sebagai
ganti membasuh anggota tubuh yang sehat yang ditutupi perban. (menutup luka
dengan perban tentunya juga akan menutupi sebagian tubuh yang sehat).
Zainuddin
al-Malibari mengatakan,
وإذا امتنع
استعماله في عضو وجب تيمم وغسل صحيح ومسح كل الساتر الضار نزعه بماء، ولا ترتيب
بينهما لجنب.
Apabila terhalang menggunakan air pada satu
anggota tubuh, maka wajib tayamum dan membasuh anggota yang sehat serta
mengusap dengan air setiap bagian pembalutnya yang mendatangkan mudharat
apabila dilepaskannya. Tidak ada tertib antara membasuh dan tayamum bagi yang berjunub (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath
al-Mu’in: 1/72)
Yang dimaksud dengan pembalut anggota tubuh (saatir)
di sini mencakup jabirah (kayu yang dibuat secara khusus untuk membalut anggota
tubuh yang patah), plester luka, saleb, perban dan sejenisnya. Abu Bakar
Syatha, pengarang I’anah al-Thalibin dalam menjelaskan pengertian saatir di
atas, mengatakan,
والساتر كجبيرة، وهي أخشاب أو قصب تسوى وتشد على موضع الكسر ليلتحم،
وكلصوق ومرهم وعصابة.
Saatir (pembalut) adalah seperti jabirah yaitu
kayu atau rotan yang dibuat rapi kemudian diikat pada anggota tubuh yang patah
agar dapat merapat kembali dan seperti plester luka, saleb dan perban. (I’anah
al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in: 1/72)
4. Apabila perban terdapat pada
anggota tayamum, maka tidak wajib mengusap debu atas perban dan memadai pada
bagian lain yang sehat saja. Jalaluddin al-Mahalli dalam penjelasannya
mengatakan,
وَاحْتَرَزَ
بِمَاءٍ عَنْ التُّرَابِ فَلَا يَجِبُ مَسْحُهَا بِهِ إذَا كَانَتْ فِي مَحَلِّ
التَّيَمُّمِ
Debu tanah dikecualikan dari hukum air. Karena
itu, tidak wajib mengusap pembalut dengan debu apabila pembalut tersebut berada
pada anggota tayamum. (Qalyubi ‘ala Syarh al-Mahalli: I/97)
Kemudian berikut ini beberapa catatan yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Apabila perban terdapat pada
anggota tayamum (wajah dan tangan), maka shalatnya wajib diulangi kembali
ketika sehat. Karena mandi dan tayamum, kedua-duanya
tidak sempurna
2. Apabila perban tidak terdapat pada
anggota tayamum, akan tetapi perban tersebut menutupi anggota yang sehat dalam
ukuran melebihi yang diperlukan sebagaimana biasanya kita lihat pada pasien di
rumah sakit kita , maka shalatnya juga wajib diulangi kembali ketika sehat
3. Demikian juga shalatnya wajib
diulangi Kembali ketika sehat apabila seseorang pada saat meletakkan perban pembalut
luka dalam keadaan berhadats. Ini berbeda halnya apabila seseorang dalam
keadaan suci dari hadats kecil maupun besar saat diletakkan perban, kemudian
datang junub, maka dalam kondisi ini, tidak perlu lagi mengulangi shalatnya dan
memadai dengan shalat yang sudah dilakukan saat ada perban pada anggota
tubuhnya.
Penjelasan di
atas dapat diperhatikan dari keterangan berikut ini:
واعلم أن الساتر إن كان في أعضاء التيمم وجبت إعادة الصلاة مطلقا لنقص
البدل والمبدل جيمعا، وإن كان في غير أعضاء التيمم فإن أخذ من الصحيح زيادة على
قدر الاستمساك وجبت الإعادة، سواء وضعه على حدث أو وضعه على طهر
وكذا
تجب إن أخذ من الصحيح بقدر الاستمساك ووضعه على حدث،
Ketahuilah, sesungguhnya pembalut anggota
tubuh yang sakit itu jika ada pada anggota tayamum, maka shalatnya wajib
diulangi kembali secara mutlaq (baik pada saat perban diletakkan pada anggota
sakit dalam keadaan berhadats atau tidak), karena tidak sempurna semuanya ,
yaitu pengganti (tayamum) dan yang diganti (mandi). Adapun jika pembalutnya
tidak berada di atas anggota tayamum, akan tetapi menutupi anggota yang sehat
melebihi ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut tersebut, maka
shalatnya wajib diulangi kembali, baik pembalut diletakkan dalam keadaan
berhadats atau suci. Demikian juga wajib mengulangi shalatnya jika pembalut
menutupi anggota yang sehat dalam ukuran yang diperlukan untuk mengokohkan pembalut
tersebut, namun diletakkannya dalam keadaan berhadats. (I’anah al-Thalibin ‘ala
Fath al-Mu’in: 1/72)
4. Orang yang bertayamum hanya dapat
menggunakan satu tayamumnya untuk satu shalat fardhu dan beberapa shalat
sunnah. Karena itu, jika seseorang mau melaksanakan shalat fardhu lainnya, maka
wajib tayamum lagi. Dalam penjelasan selanjutnya, Zainuddin al-Malibari
mengatakan,
ولا يصلي به
إلا فرضا واحدا ولو نذرا
Seseorang tidak
melaksanakan shalat dengan tayamum kecuali satu fardhu, meskipun dalam bentuk shalat
nadzar. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fath
al-Mu’in: 1/72)
Wallahua’lam bisshawab