Renungan

Minggu, 25 Februari 2024

Hukum nadzar ketika 'turun mandi anak', anak tersebut keluar lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah.

 

Assalamualaikum wr. wb

Mohon penjelasan syariat Islam tentang nadzar dan hukum menunaikan jika bentuk nadzar tidak ada unsur pendekatan kepada Allah atau bahkan dilarang agama. Ada kasus nazar, jika dikarunia anak, di sembelih kambing di tengah mesjid. Ini kan bahaya, membuat tempat suci bernajis. Kedua mungkin unsur mubah, namun agak aneh, nadzar jika anak sehat dan tidak kurang sesuatu apapun, ketika 'turun mandi anak' keluar lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah. Terima kasih atas jawabannya

Wa’alaikumussalam wr.wb

Nadzar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut pengertian syara’ adalah:

الْتِزَامُ قُرْبَةٍ لَمْ تَتَعَيَّنْ أَيْ شَأْنُهُ ذَلِكَ،

Mewajibkan menyanggupi melakukan qurbah (perbuatan taat kepada Allah) yang bukan merupakan hal fardhu ‘ain bagi seseorang, yakni substansinya bukan fardhu ‘ain. (Qalyubi ‘ala al-Syarh al-Mahalli: IV/289)

 

Nadzar ini terbagi dua macam, yaitu nadzar lajjaaj dan nadzar tabarrur.

1.   Nadzar lajaaj adalah nadzar yang muncul dari seseorang dalam kondisi marah bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang atau orang lain melakukan suatu hal, atau meyakinkan kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh seseorang. Pengarang Tuhfah al-Muhtaj adalah:

وَهُوَ أَنْ يَمْنَعَ نَفْسَهُ أَوْ غَيْرَهَا مِنْ شَيْءٍ أَوْ يَحُثَّ عَلَيْهِ أَوْ يُحَقِّقَ خَبَرًا غَضَبًا بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ 

Yaitu seseorang dalam keadaan kondisi marah mencegah dirinya atau selain dirinya dari sesuatu atau memotivasi melakukan sesuatu ataupun meyakinkan kebenaran sebuah berita dengan cara membenani dirinya dengan suatu qurbah (perbuatan taat).

 

Contoh nadzar lajaaj yang berupa pencegahan, seperti ketika seseorang mengatakan “Jika aku berbicara lagi dengan fulan, maka karena Allah, atasku  puasa satu hari”. Nadzar ini dimaksudkan agar dirinya tidak lagi berhubungan dengan fulan. Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan puasa. Sehingga nadzar ini dimaksudkan agar seseorang tercegah untuk melakukan suatu hal yang tidak ia senangi. Adapun contoh bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, seperti seseorang mengatakan, “Jika aku tidak berbicara lagi dengan fulan, maka karena Allah, atasku puasa satu hari”. Nadzar ini dimaksudkan agar dirinya termotivasi tetap berhubungan dengan fulan. Sebab jika ia tidak melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban melaksanakan puasa. Sedangkan contoh nadzar lajaaj yang bertujuan untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang, misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan “Jika kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk berpuasa satu hari”. Dengan ucapan ini, orang yang diajak bicara diharapkan akan merasa yakin atas kebenaran berita yang disampaikan olehnya.

Terjadi perbedaan pendapat para ulama Syafi’iyah terhadap konsekwensi hukum akibat pelanggaran nadzar lajaaj ini antara membayar kifarat sumpah atau membayar sesuai dengan yang telah dibebankan kepada dirinya atau bebas memilih keduanya. Namun menurut Imam al-Nawawi dan pendapat yang ditarjih oleh ulama Iraq, pendapat yang dianggap lebih dhahir adalah memilih antara keduanya, yaitu boleh membayar kifarat dan juga boleh membayar sesuai dengan yang telah dibebankan kepada dirinya. Karena dari sisi membebankan qurbah, nadzar lajaaj menyerupai nadzar, sedang dari sisi tujuannya menyerupai tujuan sumpah. Perbedaan pendapat di atas apabila yang dibebani dalam nadzar lajaaj tersebut merupakan suatu qurbah. Adapun apabila bukan suatu qurbah, maka wajib membayar kifarat sumpah. Pengarang Tuhfah al-Muhtaj mengatakan,

أَمَّا إذَا الْتَزَمَ غَيْرَ قُرْبَةٍ كَلَا آكُلُ الْخُبْزَ فَيَلْزَمُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ بِلَا نِزَاعٍ

Adapun pembebanan dirinya dengan yang bukan qurbah seperti “Tidak akan aku makan roti”, maka wajib atasnya kifarat sumpah tanpa khilaf.

 

2.   Nadzar tabarrur sebagaimana dikemukakan pengarang Tuhfah al-Muhtaj adalah:

)وَنَذْرُ تَبَرُّرٍ) سُمِّيَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ لِطَلَبِ الْبِرِّ أَوْ التَّقَرُّبِ إلَى اللَّهِ تَعَالَى (بِأَنْ يَلْتَزِمَ قُرْبَةً) أَوْ صِفَتَهَا الْمَطْلُوبَةَ فِيهَا كَمَا يَأْتِي آخِرَ الْبَابِ (إنْ حَدَثَتْ نِعْمَةٌ) تَقْتَضِي سُجُودَ الشُّكْرِ كَمَا يُرْشِدُ إلَيْهِ تَعْبِيرُهُمْ بِالْحُدُوثِ (أَوْ ذَهَبَتْ نِقْمَةٌ) تَقْتَضِي ذَلِكَ أَيْضًا،

Nadzar tabarrur  adalah mewajibkan menyanggupi melakukan suatu qurbah atau sifat qurbah yang ada tuntutan sebagaimana nantinya di akhir bab, jika datang suatu nikmat yang mengakibatkan disyariatkan sujud syukur sebagaimana ‘ibarat para ulama dengan perkataan “al-huduts” ataupun hilang suatu yang dibenci yang juga mengakibatkan sujud syukur.

(Lihat: Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/69-71)

 

Nadzar tabarrur ini terbagi kepada dua macam, yakni nazar munajjaz, yaitu nadzar yang sifatnya mutlaq dilakukan tanpa mengaitkannya dengan keberhasilan melakukan sesuatu dan nadzar mu’allaq, yaitu nazar yang mengaitkannya dengan keberhasilan melakukan sesuatu. Nadzar munajjaz wajib dipenuhi seketika itu juga begitu lafazh nadzar diucapkan. Adapun nazdar mu’allaq wajib dipenuhi nadzarnya apabila keadaan yang dikaidkan dalam nadzarnya itu menjadi kenyataan. Nabi SAW bersabda:

مَن نَذَرَ أنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، ومَن نَذَرَ أنْ يَعْصِيَهُ فلا يَعْصِهِ.

Siapa yang bernadzar ketaatan kepada Allah, hendaknya dia melakukan ketaatannya. Dan siapa yang bernadzar melakukan kemaksiatan, maka jangan melakukan kemaksiatannya (H.R. Bukhari)

 

Nadzar dengan suatu yang mubah

Para ulama menyatakan bahwa jika seseorang bernazar dengan perbuatan yang mubah seperti “Jika aku lulus UN, maka aku akan makan lontong,” maka hukum nazarnya tidak sah dan tidak memiliki akibat apa-apa. Hal tersebut berdasarkan hadis riwayat Abu Daud:

لَا نَذْرَ إلَّا فِيمَا اُبْتُغِيَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ تَعَالَى

Tidak ada nazar kecuali untuk hal-hal yang bertujuan mencari keredhaan Allah SWT. (H.R. Abu Daud)

 

Oleh karena itu, jika seseorang terlanjut bernadzar dengan perbuatan yang mubah, maka menurut pendapat yang kuat, ia tidak wajib menunaikan apa yang ia nadzarkan. Dan jika nadzar yang mubah saja tidak sah, maka apalagi nadzar dengan yang makruh atau maksiat.  Pengarang Tuhfah al-Muhtaj mengatakan,

)وَلَوْ نَذَرَ فِعْلَ مُبَاحٍ أَوْ تَرْكَهُ) كَأَكْلٍ وَنَوْمِ مِنْ كُلِّ مَا اسْتَوَى فِعْلُهُ وَتَرْكُهُ أَيْ: فِي الْأَصْلِ وَإِنْ رَجَّحَ أَحَدَهُمَا بِنِيَّةِ عِبَادَةٍ بِهِ كَالْأَكْلِ لِلتَّقَوِّي عَلَى الطَّاعَةِ (لَمْ يَلْزَمْهُ)

Jika seseorang bernadzar dengan melakukan suatu perbuatan mubah atau meninggalkannya seperti makan, tidur atau setiap yang asalnya sama nilainya antara melakukannya dan meninggalkannya, meskipun bisa lebih utama dengan sebab niat ibadah seperti makan dengan tujuan berbuat taqwa kepada ketaatan, maka tidak wajib melakukan apa yang menjadi nadzarnya itu. (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)

 

Qaidah fiqh berbunyi:

ما ثبت بالشرع مقدم على ما ثبت بالشرط

Sesuatu yang ditetapkan dengan syara’ lebih didahulukan dari yang ditetapkan dengan syarat (penetapan manusia)

 

Namun para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat apakah wajib kifarat sumpah apabila menyalahi nadzarnya tersebut. Namun pendapat mu’tamad (yang menjadi pegangan) tidak ada kifarat secara mutlaq. Pendapat ini telah dibenarkan Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan dinyatakan shahih dalam Raudhah. (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: X/81)

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan di atas dapat dijawab sebagai berikut:

1.   Kasus nadzar “jika anak sehat ketika 'turun mandi anak', anak tersebut keluar rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah”, hukum nadzarnya tidak sah. Karena keluar rumah lewat tulak angen (ventilasi udara) rumah tidak termasuk qurbah, hanya perbuatan mubah saja. Di atas telah dijelaskan, nadzar dengan suatu yang mubah, hukum nadzarnya tidak sah.

2.   Kasus nadzar jika dikarunia anak, maka disembelih kambing di tengah masjid, hukumnya tidak sah, bahkan menjadi haram melepas nadzar tersebut. Karena syara’ melarang melakukan sesuatu perbuatan yang mengakibatkan bernajis rumah Allah (masjid).

Wallahua’lam bisshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar