Renungan

Minggu, 31 Maret 2024

Tanqih al-Manath dalam kajian Ushul Fiqh

 

Secara bahasa, tanqih artinya: menyaring atau memilah. Sedangkan al-manath bermakna tempat diikatkan atau disangkutkan sesuatu. Yang dimaksud dengan al-manath di sini adalah illat yang menjadi tempat diikatkan atau disangkutkan suatu hukum. Adapun tanqih al-mananth adalah usaha untuk menyaring atau memilah dengan jalan ijtihad dari sekian kemungkinan ‘illah hukum yang ada, sehingga bisa ditentukan mana ‘illah hukum yang paling tepat. Tanqih al-manath ini termasuk salah satu metode penetapan ‘illah hukum (masaalik ‘illah) yang dikaji dalam Ushul Fiqh. Para ulama membagi tanqih al-manath ini dalam dua pembagian, yaitu:

1.   Ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari suatu sifat dan menjadikan aspek umumnya menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

(التاسع) من مسالك العلة (تنقيح المناط بأن يدل نص ظاهر على التعليل) لحكم (بوصف فيحذف خصوصه عن الاعتبار بالاجتهاد ويناط) الحكم (بالأعم)

Yang ketujuh dari masaalik ‘illah adalah tanqih al-manath, yaitu ketika terdapat dalil secara dhahir menunjukkan illat sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari sifat tersebut dan menjadikan aspek umumnya menjadi illath hukum. (Ghayah al-Wushul: 133)

 

Misalnya kisah yang diceritakan oleh Abu Hurairah r.a, beliau mengatakan,

بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ قَالَ مَا لَكَ قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا قَالَ لَا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لَا فَقَالَ فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لَا قَالَ فَمَكَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Ketika kami sedang duduk bersama Nabi SAW tiba-tiba datang seorang laki-laki (seorang Arab Badui) lalu berkata: "Wahai Rasulullah, binasalah aku". Beliau bertanya: "Ada apa denganmu?". Orang itu menjawab: "Aku telah berhubungan dengan isteriku sedangkan aku sedang berpuasa". Maka Rasulullah SAW bertanya: "Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?". Orang itu menjawab: "Tidak". Lalu Beliau bertanya lagi: "Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?". Orang itu menjawab: "Tidak". Sejenak Nabi SAW terdiam. (H.R. Bukhari)

Di dalam hadits ini, Rasulullah SAW menetapkan hukum wajib membayar kafarat kepada a’rabi tersebut. Secara dhahir teks, ada beberapa sifat atau kriteria yang dimungkinkan menjadi illat atas hukum wajib kafarat;, yaitu:

a.    Melakukan jimak pada siang Ramadhan

b.    pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui)

c.     perempuan yang dijimak berstatus istri

d.    Jimak dilakukan di kemaluan qubul

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah dalam memilah aspek-aspek yang disebut di dalam kandungan hadits di atas mengabaikan aspek khususnya dan mengambil aspek umumnya sebagai ‘illah hukum yaitu tindakan sengaja membatalkan puasa. Artinya, setiap tindakan sengaja membatalkan puasa baik dengan jimak atau yang lain mengakibatkan kewajiban kafarat. (Ghayah al-Wushul: 133). Mereka mengatakan, tidak ada perbedaan antara jimak dan lainnya seperti makan dan minum sebagai wasilah membatalkan puasa sebagaimana halnya wasilah pembunuhan, baik benda tajam atau benda tumpul yang berat. Karena itu, keduanya tetap mengakibatkan kewajiban kifarat apabila dengan sebabnya membatalkan puasa.

Contoh lain untuk pembagian ini sabda Nabi SAW berbunyi:

 لايحكم أحد بين اثنين وهو غضبان

Seseorang tidak memutuskan perkara antara dua orang yang bersengketa, sedangkan ia dalam keadaan marah (H.R. Bukhari)

 

Dalam memahami hadits ini, para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu dalam keadaan marah dan mengambil aspek umumnya sebagai illah hukum, yaitu keadaan mengacaukan pikiran, baik disebabkan marah, sangat lapar atau haus ataupun dengan sebab lainnya. Sehingga seorang hakim makruh hukumnya memutuskan suatu perkara dalam keadaan marah, sangat lapar ataupun haus.

Contoh lainnya adalah firman Allah Ta’ala:

فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ

Apabila mereka (hamba sahaya perempuan) telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Q.S. al-Nisa’: 25)

 

Ayat ini menjelaskan kapada kita bahwa hamba sahaya perempuan yang berzina dikenakan hukum hudud setengah dari hukuman perempuan merdeka, yaitu lima puluh kali cambuk. Namun para ulama mengabaikan aspek khususnya, yaitu sifat keperempuanannya sebagai ‘illah hukum dan mengambil aspek umumnya, yaitu hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga yang dikenakan hukuman cambuk lima puluh kali bukan hanya hamba sahaya perempuan saja, akan tetapi juga hamba sahaya laki-laki dengan cara mengqiyaskan kepada hamba sahaya perempuan dengan ‘illah hukumnya sama-sama hamba sahaya.

2.   Ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah hukum. Dalam menjelaskan pembagian yang kedua ini, Zakariya al-Anshari mengatakan,

)أو (بأن )تكون (في محل الحكم )أوصاف فيحذف بعضها (عن الاعتبار  بالاجتهاد )ويناط (الحكم )بباقيها(

atau terdapat beberapa sifat yang dimungkinkan menjadi ‘illah sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi ‘illah. (Ghayah al-Wushul: 133)

Misalnya, dalam memahami hadits di atas, Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i memilih hanya sifat jimak pada siang Ramadhan sebagai ‘illah hukum dan mengabaikan sifat-sifat yang lain yang disebut di atas. (Ghayah al-Wushul: 133). Adapun sifat-sifat yang lain diabaikan karena:

a.    Pelaku jimak yang a’rabi (Arab Badui). Sifat ini diabaikan karena hukum Islam berlaku universal, tidak mengkhususkan kepada suatu suku atau bangsa kecuali ada dalil yang mengkhususkannya.

b.    Perempuan yang dijimak berstatus istri. Sifat ini diabaikan karena bersetubuh dengan bukan isteri malah dosanya lebih besar. Karena itu tidak mungkin syara’ hanya memberlakukan kewajiban kifarat hanya pada persetubuhan dengan isteri saja.

c.     Jimak dilakukan di kemaluan qubul. Sifat ini diabaikan, karena dosa bersetubuh di kemaluan dubur dosanya lebih besar dibandingkan jimak di qubul.

Sedangkan hal-hal yang menjadi pertimbangan tidak memilih aspek umumnya sebagaimana halnya pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah di atas adalah sebagai berikut:

a.   Untuk menghadapi syahwat makan dan minum memadai dengan penetapan dosa bagi yang melakukannya di siang Ramadhan. Adapun syahwat jimak pada sebagian manusia disamping penetapan dosa, perlu dibaringi dengan hukuman di dunia dalam bentuk kifarat

b.   Kifarat disyari’atkan demi menghapus dosa maksiat. Maka atas orang yang mengugurkan puasanya dengan melakukan jimak, seharusnya layak atasnya diwajibkan kifarat. Ini berbeda dengan makan dan minum dimana syahwatnya lebih rendah dibandingkan syahwat jimak, maka upaya menahan diri dari makan dan minum di siang Ramadhan relatif  lebih mudah. Karenanya, tidak memadai demi menghapus dosanya dengan kifarat.

 

Wallahua’lam bisshawab

Kamis, 28 Maret 2024

Apakah makanan yang manis lebih utama untuk berbuka puasa

 

Banyak beredar di kalangan masyarakat yang mengira bahwa berbuka puasa dengan yang manis-manis merupakan anjuran langsung atau kebiasaan dari Nabi SAW yang dijadikan sebagai sunnah puasa jika tidak menemukan kurma untuk berbuka. Padahal tidaklah demikian dan hal tersebut bukanlah merupakan hadits Nabi SAW. Meskipun kita tidak menafikan kesunnahannya dimana tingkatan keutamaannya berada pada posisi setelah makanan/minuman yang tersebut dalam hadits Nabi SAW. Adapun makanan/minuman yang dianjurkan dengannya berbuka puasa sesuai dengan sabda Nabi SAW dapat diperhatikan dalam hadits Anas bin Malik r.a, beliau berkata,

ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮ ﻝُ ﺍﻟﻠِّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪً ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٍ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺼَﻠِّﻲَ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﺗَﻜُﻦْ ﺭُﻃَﺒَﺎﺕٌ ﻓَﻌَﻠَﻰ ﺗَﻤَﺮَﺍﺕٍ ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢ ﺗَﻜُﻦْ ﺣَﺴَﺎ ﺣَﺴَﻮﺍﺕٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ

Rasulullah SAW biasanya berbuka dengan kurma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan kurma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air. (H.R. Abu Dawud dan Turmidzi, beliau menyatakan hadits ini hasan)

 

Dalam hadits lain disebutkan:

إذا كان أحدكم صائماً فليفطر على التمر، فإن لم يجد التمر فعلى الماء؛ فإنه طهور

Apabila salah seorang kamu berpuasa, maka berbukalah dengan kurma, jika tidak ada kurma, maka berbukalah dengan air. Sesungguhnya air itu suci. (Hadits riwayat sunan yang empat. Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih, Ibnu Hibban dan al-Hakim mengatakan, shahih)

 

Berdasarkan hadis tersebut kita mengetahui bahwa kebiasaan Rasulullah SAW dalam mengawali berbuka puasa, dengan kurma. Namun jika tidak ada kurma, beliau berbuka dengan air putih saja, bukan makanan/minuman yang manis-manis sebagaimana dipahami sebagian masyarakat kita selama ini. Urutan keutamaannya adalah ruthab (kurma basah), kemudian tamr (kurma kering) dan kemudian air putih. Para ulama dalam memahami hadits di atas, memandang kesunahan berbuka puasa dengan kurma yang terkandung sifat manis di dalamnya. Berdasarkan pemahaman ini, makanan/minuman yang manis-manis termasuk dalam katagori sunnah mengawali berbuka dengannya, akan tetapi karena ini tidak terdapat dalam hadits Nabi SAW dan hanya merupakan hasil ijtihad para ulama, maka urutan keutamaannya berada pada posisi setelah yang disebut dalam hadits, yaitu kurma dan air putih. Dalam I’anah al-Thalibin disebutkan,

والحاصل أن الأفضل أن يفطر بالرطب، ثم التمروفي معناه العجوة، ثم البسر، ثم الماء وكونه من ماء زمزم أولى، ثم الحلو وهو ما لم تمسه النار كالزبيب، واللبن، والعسل - واللبن أفضل من العسل، واللحم أفضل منهما، ثم الحلواء

Alhasil, sesungguhnya yang lebih utama adalah berbuka dengan ruthab (kurma basah), kemudian tamr (kurma kering). Yang semakna dengan tamr adalah kurma ajwa kemudian kurma muda. Setelah itu air putih, dimana air zamzam lebih utama dari air lainnya. Kemudian makanan/minuman yang manis-manis, yakni yang tidak sentuh api seperti anggur, susu dan madu. Susu lebih utama dari madu. Daging lebih utama dari keduanya. Setelah itu halwaa (makanan manis yang disentuh api). (I’anah al-Thalibin: II/278)

 

Setelah kurma, air putih lebih utama dari makanan/minuman lain, karena air putih ini bersama kurma ada disebut dalam hadits Nabi SAW sebagaimana dalam hadits di atas. Adapun selainnya merupakan hasil  ijtihad para ulama. Dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj disebutkan,

وَقَوْلُهُ: فَمَاءٌ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ بَقِيَّةِ أَنْوَاعِ الْحَلْوَى كَالْعَسَلِ وَغَيْرِهِ لِوُرُودِ الْخَبَرِ فِيهِ.

Perkataan pengarang: maka air, yakni air itu lebih utama dari jenis makanan/minum yang manis-manis yang lain seperti madu dan lainnya, karena ada hadits terkait air. (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj: II/328)

 

Sesuai dengan penjelasan di atas, penempatan posisi makanan/minuman yang manis-manis dalam urutan kedua setelah kurma adalah dha’if. Dalam Fathul Mu’in disebutkan:

قال الشيخان لا شيء افضل بعد التمر غير الماء فقول الروياني الحلو افضل من الماء ضعيف

Dua Syeikh (Imam al-Nawawi dan al-Rafi’i) mengatakan, tidak ada yang lebih utama setelah kurma selain air. Karena itu, pendapat al-Rauyani bahwa yang manis lebih utama dari air adalah pendapat yang dha’if. (I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/278-279)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Minggu, 24 Maret 2024

Hal-hal yang dianggap sepele, tetapi membatalkan puasa

 

Kewajiban berpuasa bagi umat muslim termaktub di dalam firman Allah dalam Surat al-Baqarah Ayat 183 berbunyi:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183).

 

Sebagaimana lazimnya sebuah ibadah, para ulama telah mengajarkan kita bahwa puasa tersebut mempunyai rukun dan syaratnya sehingga apabila tidak terpenuhi rukun dan syaratnya dapat mengakibatkan batal puasa. Dalam pembahasan kita kali ini adalah menyangkut hal-hal sepele yang membatalkan puasa. Hal-hal sepele di sini tidak dimaknai dengan makna ada yang membatalkan puasa sesuatu yang tidak dianggap penting. Karena semua yang membatalkan puasa cukup dianggap penting untuk dipahami oleh kita semua. Akan tetapi makna sepele di sini adalah hal-hal yang membatalkan puasa, namun sering dilupakan oleh sebagian umat Islam awam, sementara hal tersebut sering dilakukan pada saat melaksanakan ibadah puasa. Kenapa terlupakan?. Karena sebagian kita kadang-kadang menggunakan logika awam atau logika di luar disiplin ilmu fiqh dalam memahami hukum agama, sehingga melahirkan suatu pemahaman hukum yang keluar dari koridor ilmu fiqh.

Berikut ini hal-hal sepele yang membatalkan puasa, antara lain:

1.   Mengorek lobang telinga. Ini termasuk membatalkan puasa, karena termasuk dalam katagori memasukkan sesuatu benda dalam rongga terbuka.  Firman Allah Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Makan dan minumlah kamu sehingga sampai kelihatan benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar. (Q.S. al-Baqarah: 187)

 

Substansi dari kandungan ayat ini adalah larangan memasukkan sesuatu dalam rongga terbuka pada saat berpuasa, meskipun bukan dengan cara  makan atau minum. Kesimpulan ini didukung oleh sabda Nabi SAW:

وبَالغْ فِي الاسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أنْ تكونَ صَائِمًا

Lakukanlah istinsyaq (memasukkan air dalam hidung pada waktu berwudhu’) secara berlebihan kecuali kamu dalam keadaan berpuasa.(Hadits shahih riwayat imam-iman hadits, al-Turmidzi mengatakan hadits hasan shahih dan al-Hakim mengatakan, hadits shahih)

 

Dalam hadits di atas, Rasulullah SAW melarang istinsyaq secara berlebihan seseorang yang sedang berpuasa karena dikuatirkan dapat masuk air dalam dalam hidung. Hal itu karena dapat membatalkan puasa. Rongga-rongga terbuka lainnya seperti telinga sama hukumnya dengan hidung. Apakah yang masuk dalam rongga terbuka tersebut haruslah suatu benda yang dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan kita?. Jawabannya, tidak mesti makanan. Dalam hal ini, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan:

و ان كانت اقل ما يدرك من نحو حجر

Meskipun itu sekecil-kecil benda yang dapat dilihat semisal batu. (Tuhfah al-Muhtaj:III/400)

 

2.   Masuk air dalam lobang bagian terdalam hidung tanpa sengaja pada saat melakukan istinsyaq secara berlebihan sebagaimana dipahami dari hadits di atas.

3.   Masuk air dalam lobang telinga terdalam tanpa sengaja pada saat mandi yang bukan perintah syariat seperti mandi sekedar mendinginkan tubuh meskipun mandinya bukan dengan cara menyelam. Demikan juga pada saat mandi wajib yang dilakukan dengan cara menyelam. Karena makruh hukumnya menyelam pada saat puasa. Abubakar Syatha menyimpulkan hukum kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dengan perkataan beliau berikut ini :

)والحاصل) أن القاعدة عندهم أن ما سبق لجوفه من غير مأمور به، يفطر به، أو من مأمور به ولو مندوبا لم يفطر.ويستفاد من هذه القاعدة ثلاثة أقسام: الأول: يفطر مطلقا بالغ أو لا وهذا فيما إذا سبق الماء إلى جوفه في غير مطلوب كالرابعة، وكانغماس في الماء لكراهته للصائم وكغسل تبرد أو تنظف.الثاني: يفطر إن بالغ، وهذا فيما إذا سبقه الماء في نحو المضمضة المطلوبة في نحو الوضوء.الثالث: لا يفطر مطلقا، وإن بالغ، وهذا عند تنجس الفم لوجوب المبالغة في غسل النجاسة على الصائم وعلى غيره لينغسل كل ما في حد الظاهر

Alhasil, sesungguhnya aturannya menurut para ulama, kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga dimana memasukkan air tersebut bukanlah merupakan perintah syariat membatalkan puasa atau merupakan perintah meskipun perintah tersebut hanya sunnah, maka tidak membatalkan puasa. Berdasarkan qaidah ini dipahami tiga pembagian, Pertama, membatalkan secara mutlaq, baik dengan mubalaghah (berlebihan) atau tidak. Ini berlaku pada kemasukan air tanpa sengaja ke dalam rongga pada bukan perintah seperti mandi kali ke-empat dan seperti menyelam dalam air karena makruh bagi orang puasa atau seperti mandi untuk menyegarkan tubuh ataupun membersihkn tubuh. Kedua, membatalkan puasa, jika dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku apabila kemasukan air tanpa sengaja pada seperti berkumur-berkumur yang diperintahkan pada wudhu’. Ketiga, tidak membatalkan secara mutlaq, meskipun dilakukan secara mubalaghah. Ini berlaku pada saat membasuh mulut yang bernajis, karena wajib atas orang puasa dan yang tidak puasa mubalaghah membasuh najisnya agar terbasuh semua yang ada pada batasan dhahir mulut. (I’anah al-Thalibin: II/265)

 

4.   Muntah dengan sengaja

Sabda Nabi SAW:

من ذرَعه القيء فليس عليه قضاء ، ومن استقاء عمداً فَلْيَقض

Barangsiapa terpaksa muntah tidaklah wajib mengqadha puasanya dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka hendaklah dia mengqadha puasanya. (Hadits hasan riwayat al-Darimy, Sunan yang empat dan Ibnu Hibban)

 

Adapun yang tidak membatalkan puasa, antara lain:

1.   Memakai obat tetes mata pada saat puasa.  Dalam Minhaj al-Thalibin berserta syarahnya al-Mahalli disebutkan :

)وَلَا) ‌يَضُرُّ (‌الِاكْتِحَالُ وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ) أَيْ الْكُحْلِ (بِحَلْقِهِ) لِأَنَّهُ لَا مَنْفَذَ مِنْ الْعَيْنِ إلَى الْحَلْقِ وَالْوَاصِلِ إلَيْهِ مِنْ الْمَسَامِّ

Dan tidak bermasalah memakai celak mata, meskipun ditemukan rasa celak di tenggorokannya, karena tidak ada rongga penghubung dari mata ke tenggorokan. Yang sampai di tenggorokan adalah dari pori-pori (Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala Syarh al-Mahalli: II/72)

Menggunakan obat tetes mata dapat disamakan dengan menggunakan celak mata. Karena rasanya seandainya masuk ke tenggorokan, maka itu melalui pori-pori, bukan melalui rongga penghubung antara mata dan tenggorokan.

2.   memasukkan sesuatu dalam bukan rongga terbuka seperti memasukkan obat cair melalui suntikan.

3.   Berpuasa dalam keadaan berjunub. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan:

قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدركه الفجر في رمضان وهو جنب من غيرحلم فيغتسل ويصوم

Rasulullah SAW pernah mendapati fajar pada bulan Ramadhan, sedangkan beliau dalam keadaan berjunub bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan kemudian melaksanakan puasa.(H.R. Muslim)

Wallahua’lam bisshawab




 

 

 

 

 

 

 

Senin, 11 Maret 2024

‘Illah hukum harus dhahir dan terukur

 

‘Illah hukum merupakan salah satu rukun qiyas dan sangat dominan dalam menentukan sahnya sebuah qiyas. Karenanya, kajian tentang illah sangat penting untuk mengetahui apakah sebuah qiyas sah atau tidak, sehingga tidak heran pembahasan berkisar masalah ‘illah dalam qiyas lebih banyak dalam kitab-kitab ushul fiqh dibandingkan rukun qiyas lainnya. Devinisi ‘illah sebagaimana dikemukakan dalam kitab ushul fiqh adalah:

)الأصح )أنها (أي العلة) المعرف للحكم ( فمعنى كون الإسكار مثلاً علة أنه معرف أي علامة على حرمة المسكر

Menurut pendapat yang lebih shahih, ‘illah adalah yang memperkenalkan hukum. Karena itu, makna keadaan memabukkan merupakan ‘illah (sebagai contoh) adalah keadaan memabukan itu dapat memperkenalkan  atau menjadi tanda atas keharaman setiap benda yang memabukkan. (Ghayah al-Wushul).

 

Apabila kita menjadikan menyakiti sebagai ‘illah keharaman mengatakan “ah” kepada orangtua berdasarkan firman Allah :

فلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ

Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" (Q.S. al-Isra’: 23)

 

Maka itu artinya kita menjadikan menyakiti sebagai tanda atas keharaman setiap bentuk sikap yang dapat menyakiti orangtua seperti memukul, mencubit, memarahinya dan lain-lain.

Ditinjau dari aspek substansinya, Zakariya al-Anshari mengklasifikasikan ‘illah kepada lima pembagian, yaitu:

1.   Washaf hakiki yang dhahir (tidak tersembunyi) dan terzhabith (terukur). Yang dimaksud dengan washaf hakiki di sini adalah

ما يتعقل في نفسه من غير توقف على عرف أو غيره.

Suatu sifat yang dapat tergambar dalam pikiran tentang substansinya tanpa tergantung kepada ‘uruf atau lainnya.

 

Contohnya makanan sebagai ‘illah ribawi.

2.   Washaf ‘urfi yang itthirad (tidak berubah dengan sebab perbedaan waktu). Sesuai dengan namanya, washaf ini dipahami tergantung pada ‘uruf yang berlaku. Karenanya, kadang-kadang washaf ‘urfi berubah seiring perubahan waktu dan tempat. Misalnya sifat mulia dan hina pada kafaah dalam pernikahan

3.   Washaf lughawiyah, yakni washaf berdasarkan penamaannya menurut lughat. Misalnya ‘illah pengharaman nabiiz (anggur) karena penamaannya sebagai khamar dalam Bahasa  Arab.

4.   Hukum syar’i, baik ma’lulnya (hukum yang diperkenalkan oleh ‘illah) hukum sya’r’i juga ataupun suatu perkara yang hakiki. Contoh yang pertama, menjadikan kebolehan menjual sesuatu milik bersama sebagai ‘illah kebolehan menggadainya. Contoh yang kedua, menjadikan keharaman menyentuh rambut dengan sebab terjadi thalaq dan halal dengan sebab nikah sebagai ‘illah ada kehidupan pada rambut sama halnya dengan tangan.

5.   Washaf yang murakkab (tersusun dari beberapa unsur). Misalnya menjadikan pembunuhan yang sengaja dan secara bermusuhan kepada orang yang setara sebagai  ‘illat wujud qishas. Ada empat unsur di sini, yaitu pembunuhan, faktor kesengajaan, dilakukan karena bermusuhan dan kesetaraan antara pembunuh dan yang terbunuh. Keempat unsur ini menjadi ‘illah bagi wujud qishas atas si pembunuh. (Ghayah al-Wushul).

Beberapa catatan tentang pembagian di atas

1.   Dhahir dan terukur (terdhabith) merupakan syarat ‘illah dalam semua pembagiannya, bukan hanya menjadi syarat bagi washaf hakiki (pembagian pertama) sebagamana dhahir kalam pengarang Ghayah al-Wushul di atas. Karena itu, Syeikh al-‘Ithar dalam Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’ mengatakan,

وَلَمْ يُقَيِّدْهُ وَمَا بَعْدَهُ بِكَوْنِهِ ظَاهِرًا مُنْضَبِطًا؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ إلَّا كَذَلِكَ

Pengarang tidak mengqaidkan pembagian washaf ‘urfi dan pembagian sesudahnya bahwa  keadaannya dhahir dan terdhabith, karena pembagian-pembagian tersebut tidak ada kecuali demikian adanya (dhahir dan terdhabith) (Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’: II/275)

 

2.   Sebagaimana dikemukakan di atas, ‘illah hukum harus bersifat dhahir. Artinya sebuah washaf yang tersembunyi (khafaa’) tidak dapat menjadi ‘illah sebuah hukum. Para ulama menafsirkan makna khafaa’ di sini dengan makna:

مَا لَا يُمْكِنُ الِاطِّلَاعُ عَلَيْهِ

Sesuatu yang tidak memungkinkan diketahui.

 

Contoh washaf tersembunyi adalah keridhaan dalam akad. Pemindahan hak milik dalam suatu jual beli didasarkan kepada keridhaan antara dua pihak  berdasarkan hadits Nabi SAW:

إنَّما البيعُ عن تراضٍ

Jual beli hanya berdasarkan saling meridhai (H.R. Ibnu Majah)

 

Namun kita tidak dapat menggantungkan keabsahan jual beli tersebut kepada washaf keridhaan pihak-pihak. Karena keridhaan adalah suatu sifat yang tersembunyi dalam hati-hati masing-masing pihak yang tidak mungkin diketahui oleh pihak lain. Karena itu, keabsahan jual beli harus digantungkan kepada suatu washaf lain yang dhahir dan terdhabith yang diduga mengandung washaf keridhaan tersebut (madhinnah), yaitu lafazh ijab qabul yang dapat didengar oleh pihak-pihak yang berakad.

Namun al-Zarkasyi mengkritik devinisi ini. Menurut beliau, seandainya yang menjadi maksudnya adalah sesuatu yang tidak memungkinkan diketahui sama sekali, baik dengan i’tibar dirinya sendiri ataupun dengan i’tibar washaf lain yang dapat menjadi petunjuk kepadanya (madhinnahnya), maka bagaimana bisa membenarkan menjadikannya sebagai tanda pengenal (amaarah) hukum, baik dengan i’tibar sendirinya ataupun dengan i’tibar madhinnahnya. Ada penafsiran lain atas devinisi di atas, yaitu dengan maksud tidak memungkinkan diketahui dengan i’tibar washaf itu sendiri, akan tetapi dimungkinkan diketahuinya dengan i’tibar washaf lain (menjadi ‘illah) yang memberi petunjuk kepada adanya washaf tersebut. Namun al-Zarkasyi mengatakan, apabila maksudnya seperti yang kedua ini, maka kritikan di atas dianggap kecil dan sepele. Karena yang tidak memungkinkan diketahui hanya dengan i’tibar dirinya sendiri, akan tetapi masih memungkinkan mengetahuinya dengan memperhatikan atsarnya (gejala-gejalanya). (Lihat: al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh: VII/170-171)

Disamping penafsiran di atas, ada penafsiran lain terhadap makna khafaa’ (tersembunyi) dalam bab ‘illah hukum, yaitu suatu washaf yang tidak dapat diketahui dengan indera dhahir manusia. Penafsiran seperti ini dapat dipahami dari beberapa kitab ushul fiqh karya ulama kontemporer seperti dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh karya ‘Abdul Wahab Khalaf. Dalam kitab ini beliau menjelaskan:

ومعنى ظهوره أن يكون محسا يدرك بحاسة من الحواس الظاهرة؛ لأن العلة هي المعرف للحكم في الفرع فلا بد أن تكون أمرا ظاهرا يدرك بالحس في الأصل ويدرك بالحس وجوده في الفرع

Pengertian washaf dhahir adalah washaf tersebut dapat diketahui dengan indera dhahir, karena ‘illah adalah pengenal hukum pada furu’. Karena itu diharuskan merupakan sesuatu yang dhahir yang dapat diketahui dengan indera pada ashal dan juga dapat diketahui keberadaannya dengan indera pada furu’.

 

Kemudian beliau melanjutkan:

لهذا لا يصح التعليل بأمر خفي لا يدرك بحاسة ظاهرة؛ لأنه لا يمكن التحقق من وجوده ولا عدمه

Karena itu, tidak sah menjadi ‘illah dengan suatu yang tersembunyi, yang tidak dapat diketahui dengan indera dhahir. Karena tidak dapat dipastikan wujudnya dan juga tidak adanya.

 

Berdasarkan kriteria ini, ‘Abdul Wahab Khalaf menyebut beberapa contoh berikut ini:

a.    nuthfah suami yang ada dalam rahim isterinya tidak dapat menjadi ‘illah hukum penetapan nasab, akan tetapi dikembalikan illahnya kepada madhinnahnya yang dhahir, yaitu akad pernikahan yang shahih.

b.   Saling ada keridhaan dalam jual beli tidak dapat menjadi ‘illah hukum pemindahan hak milik dalam perkara pertukaran harta, akan tetapi dikembalikan ‘illahnya kepada madhinnah dhahirnya, yaitu ijab dan qabul

c.   Sempurna akal tidak dapat menjadi ‘illah hukum mencapai akil baligh seseorang, akan tetapi dikembalikan kepada madhinnah dhahirnya, yaitu berumur seseorang anak 15 tahun atau muncul tanda-tanda baligh sebelum berumur 15 tahun. (Ilmu Ushul Fiqh: 66)

 

Pengertian dhahir ‘illat sebagaimana dikemukakan ‘Abdul Wahab Khalaf juga dikemukakan Wahbah al-Zuhaili dalam kitab beliau, Ushul Fiqh al-Islami berikut ini:

ومعنى ظهورالعلة كما عرف سابقا أن تكون مدركة بحاسة من الحواس الظاهرة

Pengertian dhahir ‘illah sebagaimana devinisi sebelumnya adalah ‘illah tersebut dapat diketahui dengan salah satu indera yang lima. (Ushul Fiqh al-Islami: I/654)

 

3.   Terdhabith dapat diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan makna terukur, yakni tidak berbeda dengan sebab perbedaan orang yang mengalaminya sebab pengaruh waktu dan kondisi yang berbeda-beda. Pengarang Hasyiah al-‘Ithar mengatakan,

)قَوْلُهُ: مُنْضَبِطًا (أَيْ لَا يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَفْرَادِ

Perkataan pengarang: “mundhabith”, maknanya tidak berbeda dengan sebab perbedaan contoh kasusnya.

 

Seterusnya beliau mengatakan,

فَخَرَجَ الْمَشَقَّةُ بِالنَّظَرِ إلَى الْقَصْرِ وَالْفِطْرِ فَلَا يُعَلَّلُ بِهِ بَلْ يُعَلَّلُ بِالْمُسافةِ 

Karena itu, kesukaran tidak termasuk ‘illah untuk qashar shalat dan berbuka puasa. Akan tetapi ‘illah untuknya adalah jarak perjalanan.

(Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarh Jam’ul Jawami’: II/257)

 

Menjadikan jarak perjalanan sebagai ‘illah kebolehan qashar shalat dan berbuka puasa, karena jarak perjalanan merupakan ukuran yang jelas (dhahir) dan terdhabith, dimana dalam ukuran jarak perjalanan tersebut berpotensi terjadi kesukaran.

4.   Berdasarkan uraian point 3 di atas, maka hikmah tidak boleh menjadi ‘illah hukum kalau memang hikmah tersebut tidak memenuhi kriteria ‘terdhabith’. Zakariya al-Anshari mengatakan,

(ولا يجوز في الأصح كونها الحكمة إن لم تنضبط) كالمشقة في السفر لعدم انضباطها، فإن انضبطت جاز كما رجحه الآمدي وابن الحاجب وغيرهما لانتفاء المحذور،

Menurut pendapat yang lebih shahih tidak boleh keadaan ‘illat itu berupa hikmah jika hikmah tersebut tidak terukur (terdhabith) seperti kesukaran dalam musafir, karena kesukarannya tidak dapat diukur. Karena itu, jika hikmah tersebut terukur, maka boleh menjadi ‘illah sebagaimana tarjih al-Aamadiy, Ibnu al-Haajib dan lainnya karena tidak ada yang perlu dihindari. (Ghayah al-Wushul: 121).

 

Wallahua’lam bisshawab