Renungan

Jumat, 26 April 2024

Berargumentasi dengan al-Dalil al-Naafii

 Salah satu cara berargumentasi dalam fiqh yang menjadi pembahasan dalam kajian ushul fiqh adalah dalil yang dinamai dengan al-naafi. Zakariya al-Anshari mengatakan,

.(و) دخل فيه قطعا (قولهم) أي العلماء (الدليل يقتضي أن لا يكون) الأمر (كذا خولف) الدليل (في كذا) أي في صورة مثلاً، (لمعنى مفقود في صورة النزاع فتبقى) هي (على الأصل) الذي اقتضاه الدليل

Termasuk dalam katagori istidlal tanpa khilaf adalah perkataan ulama, “Dalil menunjukkan bahwa suatu perkara tidaklah berlaku demikian, namun dalam hal ini (suatu kasus tertentu) akan menyalahi dalil tersebut karena ada makna (‘illah) yang tidak terdapat pada kasus yang menjadi perselisihan pendapat. Karena itu, kasus yang menjadi perselisihan pendapat tetap berada pada posisi asal yang merupakan petunjuk dalil. (Ghayah al-Wishul: 144)

 

Dalam narasi yang lebih mudah dipahami, al-dalil al-naafi adalah perkataan ulama ketika berargumentasi, “Menurut dalil  yang disepakati, suatu perkara tidak berlaku demikian, namun dalam satu kasus tertentu akan bisa berbeda hukumnya karena kekhususan  ‘illahnya, namun ‘illahnya itu tidak terdapat dalam kasus yang menjadi perselisihan pendapat. Karena itu, status hukum kasus yang menjadi perselisihan pendapat) tetap berada pada status hukum asalnya sesuai dengan keumuman dalil.”

Cara berargumentasi ini dinamai dengan al-naafi sebagaimana dikemukakan oleh Zarkasyi. (Tasmii’ al-Masaami’ bi Jam’i al-Jawami’: III/413)

Contohnya secara dalil yang bersifat umum ada larangan mengawini perempuan secara mutlaq, baik perkawinan yang dilakukan oleh walinya maupun oleh dirinya sendiri, karena itu merupakan penghinaan terhadap perempuan dengan melakukan persetubuhan atau lainnya. Karena kemuliaannya, mengawini perempuan merupakan tindakan yang tidak disenangi oleh sifat kemanusiaannya. Namun dalam kasus perkawinan dimana walinya (laki-laki) bertindak sebagai wali pernikahannya dapat dibenarkan, karena alasan sempurna akal walinya. Alasan ini (‘iilahnya) tidak terdapat dalam kasus seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki dimana yang bertindak sebagai wali adalah dirinya sendiri (kasus ini terjadi perbedaan pendapat antara ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah), karena dalam agama, perempuan dianggap kurang akalnya. Karena itu, masalah perempuan menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki tanpa wali tetap berada dalam posisi hukum larangan sesuai dengan petunjuk dalil yang bersifat umum di atas. (Ghayah al-Wushul: 144).

Diantara dalil yang bersifat umum yang menjadi petunjuk larangan mengawini seorang perempuan adalah firman Allah berbunyi:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ 

Sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak cucu Adam (Q.S. al-Isra’: 70).

 

Contoh lain yang dikemukakan oleh al-Zarkasyi, menurut dalil yang bersifat umum, membunuh manusia adalah terlarang. Namun dalam beberapa kasus pembunuhan dapat dibenarkan dalam agama karena adalah alasan hukum (‘illah) yang bersifat khusus sehingga dikecualikan dari pentunjuk dalil umum. (Tasmii’ al-Masaami’ bi Jam’i al-Jawami’: III/413). Berdasarkan ini, semua jenis pembunuhan selama tidak ada dalil atau ‘illah yang mengecualikannya tetap berada pada posisi larangan sesuai dengan petunjuk dalil yang bersifat umum.

Diantara dalil yang bersifat umum yang menjadi petunjuk larangan secara mutlaq melakukan pembunuhan adalah firman Allah berbunyi:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (Q.S. Al-Nisa’: 93)

 

Wallahua’lam bisshawab




Sabtu, 20 April 2024

Qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

 

Salah satu metode berargumetasi (istidlal) yang dibahas dalam ushul fiqh adalah qiyas al-‘akas. Dalam kitab Ghayah al-Wushul, Zakariya al-Anshari mendevinisikan qiyas al-‘akas sebagai berikut:

وهو إثبات عكس حكم شيء لمثله لتعاكسهما في العلة

Yaitu menetapkan lawan dari hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum. (Ghayah al-Wushul: 144)

 

Al-Zarkasyi dalam menjelaskan qiyas al-‘akas mengatakan,

النَّوْعُ الثَّالِثُ قِيَاسُ الْعَكْسِ وَهُوَ إثْبَاتُ نَقِيضِ الْحُكْمِ فِي غَيْرِهِ لِافْتِرَاقِهِمَا فِي عِلَّةِ الْحُكْمِ، كَذَا عَرَّفَهُ صَاحِبُ الْمُعْتَمَدِ وَالْأَحْكَامِ وَغَيْرِهِمَا

Pembagian ketiga dari qiyas adalah qiyas al-‘akas, yaitu menetapkan lawan hukum pada selainnya karena berbeda keduanya pada ‘illah hukum. Demikian telah didevinisikannya oleh pengarang kitab al-Mu’tamad dan kitab al-Ahkam dan juga selain keduanya. (Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60)

 

Dalam narasi yang lebih mudah dipahami, qiyas al-‘akas adalah sebuah qiyas dimana metode istidlalnya dengan cara menetapkan lawan dari hukum sesuatu pada kasus yang lain karena berlawanan keduanya pada ‘illah hukum.

Contoh qiyas al-‘akas yang sering dikemukakan para ulama adalah riwayat yang mencerita para sahabat Nabi SAW bertanya kepada Rasulullah SAW:

قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah SAW menjawab : “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala. (H.R. Muslim)


Dalam hadits ini, dalam rangka menjawab pertanyaan para sahabat, Rasulullah SAW membandingkan kasus memenuhi syahwat yang halal kepada kasus memenuhi syahwat yang haram. Artinya jika syahwat yang haram mendapat dosa karena haramnya, maka memenuhi syahwat yang halal akan mendapatkan pahala, karena halalnya. Berlawanan hukum dalam dua kasus ini karena berlawanan ‘illah hukum keduanya, yaitu yang satu haram sedangkan yang satu lagi adalah halal. Ini dinamakan sebagai qiyas al-‘akas dalam pembahasan istidlal dalam ushul fiqh. (Ghayah al-Wusul: 135)


Contoh lain qiyas al-‘akas terdapat dalam ucapan Ibnu Mas’ud r.a berikut ini:

قال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وسلم: من مات لا يشرك باللَّه شيئًا دخل الجنة وأنا أقول: من مات يشرك باللَّه شيئًا دخل النار

Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga. Aku (Ibnu Mas’ud) mengatakan, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia akan masuk neraka.

 

Ibnu Hajar al-Haitamiy telah menjadikan ucapan Ibnu mas’ud r.a. di atas sebagai contoh qiyas al-‘akas.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 440). Disebut sebagai qiyas al-‘akas, karena di sini Ibnu Mas’ud r.a telah mengambil kesimpulan seseorang akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah dan beliau berargumentasi  dengan  sabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, maka ia akan masuk surga”. Jika seseorang bisa masuk surga dengan sebab tidak menyekutukan Allah, maka ia juga bisa akan masuk neraka dengan sebab menyekutukan Allah. Perbedaan hukum antara keduanya karena berlawanan ‘illah hukumnya. Yang satu ‘illahnya karena tidak menyekutukan Allah, sedangkan yang satu lagi karena menyekutukan Allah.


Contoh lain lagi adalah firman Allah Ta’ala berbunyi:

لَوْ كَانَ فِيهِمَا آلِهَةٌ إِلا اللَّهُ لَفَسَدَتَا

Seandainya pada langit dan bumi ada tuhan-tuhan selain Allah, maka tentu keduanya telah binasa. (Q.S. al-Anbiya: 22).

 

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengajarkan kita berargumentasi dengan qiyas al-‘akas. Yakni jika ada tuhan selain Allah, maka kedua langit dan bumi pasti binasa. Karena itu, jika sekarang nampak dalam kasat mata kita bahwa langit dan bumi tidak binasa, maka hanya Allah satu-satunya tuhan sekalian alam ini. Hukum keduanya berbeda, yang pertama ada tuhan selain Allah dan yang kedua, Allah satu-satunya tuhan sekalian alam. Perbedaan ini didasari karena ‘illahnya berbeda. Yakni ‘illah hukum yang pertama adalah telah binasa langit dan bumi, sedangkan ‘illah hukum yang kedua tidak binasa langit dan bumi. Contoh ini telah disebut sebagai qiyas al-‘akas oleh al-Zarkasyi.(Bahr al-Muhith fi Ushul Fiqh: VII/60).


Termasuk dalam contoh qiyas al-‘akas adalah kesimpulan wajib qadha shalat seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu jika meninggalkannya pada waktu tersebut, jika kesimpulan ini dipahami dari perkataan yang dikemukakan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Perkataan Imam al-Suyuthi ini menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Perbedaan pendapat ulama dalam menggunakan qiyas al-‘akas dalam berargumentasi

Terjadi perbedaan ulama terkait keabsahan qiyas al-‘akas sebagai salah satu metode berargumentasi (istidlal). Namun sesuai dengan tarjih kebanyakan para ulama ushul fiqh dan para fuqaha, qiyas al-‘akas ini adalah metode berargumentasi (istidlal) yang shahih dalam menetapkan suatu hukum fiqh. Berikut ini penjelasan beberapa ulama tentang ini:

1.   Pernyataan Zakariya al-Anshari:

(و) دخل فيه (في الأصح قياس العكس)

Menurut pendapat yang lebih shahih, qiyas al-‘akas termasuk metode istidlal (Ghayah al-Wushul:144)

 

2.   Pernyataan Ibnu Hajar al-Haitamiy:

ومخالفةُ بعض الأصوليين في قياس العكس ضعيفٌ،

Penolakan qiyas al-‘akas oleh sebagian ulama ushul adalah dhaif (.(al-Fath al-Mubin bi Syarh al-Arba’in: 441)

 

3.   Pernyataan Imam al-Nawawi:

وَاخْتَلَفَ الْأُصُولِيُّونَ فِي الْعَمَلِ بِهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ دليل لِمَنْ عَمِلَ بِهِ وَهُوَ الْأَصَحُّ

Terjadi perbedaan pendapat para ulama ushul dalam hal mengamalkan qiyas al-‘akas. Hadits ini (hadits pada contoh pertama di atas) merupakan dalil bagi orang yang mengamalkannya. Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih shahih. (Syarah Muslim: VII/92)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

Menggunakan obat penunda haidh untuk ibadah haji/umrah dan puasa Ramadhan

 

Sebagian dari rukun haji atau umrah mengharuskan seorang perempuan suci dari haidh (menstruasi) karena ia harus tawaf dan sa’i di lingkungan Masjidil Haram. Belum lagi ketika seseorang berada di Madinah. Ia harus menggunakan kesempatannya untuk beribadah di Masjid Nabawi. Pada zaman sekarang, sudah ma’ruf di kalangan kaum perempuan yang akan berangkat haji atau umrah, mereka mesti mengonsumsi obat penunda haidh agar manasik mereka lancar di tanah suci. Karena jika tidak dikonsumsi, mereka akan kehilangan moment-moment ibadah penting kala itu. Bagaimana hukum Islam sendiri mengenai penggunaan obat penghalang haidh semacam ini? Demikian juga jika menggunakan obat penunda haidh demi untuk melaksanakan puasa Ramadhan.

Jawaban:

Pada dasarnya, usaha seorang perempuan menunda haidh dengan meminum obat tertentu hukumnya boleh dengan catatan tidak membahayakan bagi pelaku/pengguna dan ada izin dari suami apabila ia mempunyai suami. Dalam Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad disebutkan:

 وَفِي فَتَاوَى الْقِمَاطِ مَا حَاصِلُهُ جَوَازُ اسْتِعْمَالِ الدَّوَاءِ لِمَنْعِ الْحَيْضِ  

Dan kesimpulan dalam Fatawa al-Qimath adalah boleh menggunakan obat-obatan untuk mencegah haidh.(Ghayah Talkhish al-Murad min Fatawa Ibn Ziyad (dicetak pada hamisy Bughyah al-Musytarsyidin), Hal. 247)

 

Perlu izin suami karena menunda haidh dengan menggunakan obat tertentu berpotensi terputus atau tertunda keturunan.

Namun apakah jika haidh terputus karena minum obat akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh sebagaimana lazimnya?. Untuk menjawab ini kita kutip penjelasan Imam al-Nawawi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً للحيض فَحَاضَتْ لَمْ يَلزمها  القَضَاءُ

Jika seorang perempuan minum obat demi berhaidh, kemudian ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: III/ 10)

 

Hal yang sama juga dikemukan oleh Imam al-Suyuthi berikut ini:

وَلَوْ شَرِبَتْ دَوَاءً فَحَاضَتْ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهَا قَضَاءُ الصَّلَاةِ قَطْعًا

Jika seorang perempuan minum obat dan karena obat tersebut ia berhaidh, maka tidak wajib atasnya qadha shalat tanpa khilaf. (al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Dua keterangan di atas menjelaskan kepada kita, tidak wajib qadha shalat apabila seorang perempuan yang tidak berhaidh, kemudian minum obat tertentu untuk memunculkan kembali haidhnya. Tidak wajib qadha karena perempuan tersebut memang tidak wajib shalat pada waktu itu, sehingga konsekwensi hukumnya tidak wajib qadha apabila ia meninggalkan shalat pada waktu berhaidh karena faktor rekayasa dengan obat. Alasan hukum yang dapat kita cerna dalam kasus ini, alasannya adalah berhaidh, meskipun faktor rekayasa dengan obat. Konsekwensi logis (qiyas ‘akas) dari alasan hukum ini adalah sebaliknya tetap wajib shalat dan wajib qadha apabila meninggalkannya jika terjadi rekayasa untuk tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu. Artinya rekayasa berhaidh atau tidak berhaidh dengan menggunakan obat tertentu tidak mempengaruhi hukum. Yang menjadi tinjauan adalah seorang perempuan tersebut berhaidh atau tidak, baik berhaidh atau tidaknya  tersebut dengan cara alami maupun faktor rekayasa dengan menggunakan obat.

Apabila kita sepakat dengan kesimpulan di atas, dapat dipahami bahwa seorang perempuan yang terputus haidhnya karena meminum obat tertentu akan berlaku hukum perempuan suci dari haidh. Dengan demikian, jawaban untuk kasus seorang perempuan yang menunda haidhnya dengan minum obat tertentu demi dapat melaksanakan rukun haji atau umrah yang mengharuskannya suci dari haidh seperti tawaf dapat dibenarkan syara’. Demikian juga dalam kasus menunda haidh dengan minum obat demi melaksanakan puasa Ramadhan.

Adapun qaidah fiqh berbunyi:

مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ

Barangsiapa yang menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan diberikan sanksi keharaman sesuatu tersebut atasnya.

 

Menurut penjelasan Imam al-Suyuthi, nyaris tidak ada kasus yang dapat dimasukkan dalam qaidah fiqh ini. Karena kebanyakan fiqh Syafi’iyah berbeda dengan kandungan qaidah ini. Dalam mengomentari qaidah ini, Imam al-Suyuthi mengatakan,

إذَا تَأَمَّلْت مَا أَوْرَدْنَاهُ عَلِمْت أَنَّ الصُّوَرَ الْخَارِجَةَ عَنْ الْقَاعِدَةِ أَكْثَرُ مِنْ الدَّاخِلَةِ فِيهَا. بَلْ فِي الْحَقِيقَةِ، لَمْ يَدْخُلْ فِيهَا غَيْرُ حِرْمَانِ الْقَاتِلِ الْإِرْثَ.

Apabila kamu memikirkan apa yang telah kami datangkan di sini (contoh-contohnya), maka kasus-kasus yang keluar dari qaidah ini lebih banyak dari yang masuk di dalamnya, bahkan pada hakikatnya tidak masuk dalam qaidah ini kecuali haram atas  sipembunuh warisan dari orang yang dibunuhnya.(al-Asybah wa al-Nadhair: 153)

 

Wallahu’alam bisshawab