Salah satu cara berargumentasi dalam fiqh yang menjadi pembahasan dalam kajian ushul fiqh adalah dalil yang dinamai dengan al-naafi. Zakariya al-Anshari mengatakan,
.(و) دخل فيه قطعا (قولهم) أي
العلماء (الدليل يقتضي أن لا يكون) الأمر (كذا خولف) الدليل (في كذا) أي في صورة
مثلاً، (لمعنى مفقود في صورة النزاع فتبقى) هي (على الأصل) الذي اقتضاه الدليل
Termasuk
dalam katagori istidlal tanpa khilaf adalah perkataan ulama, “Dalil menunjukkan
bahwa suatu perkara tidaklah berlaku demikian, namun dalam hal ini (suatu kasus
tertentu) akan menyalahi dalil tersebut karena ada makna (‘illah) yang tidak
terdapat pada kasus yang menjadi perselisihan pendapat. Karena itu, kasus yang
menjadi perselisihan pendapat tetap berada pada posisi asal yang merupakan petunjuk
dalil. (Ghayah al-Wishul: 144)
Dalam
narasi yang lebih mudah dipahami, al-dalil al-naafi adalah perkataan ulama ketika berargumentasi, “Menurut dalil yang disepakati, suatu perkara tidak berlaku
demikian, namun dalam satu kasus tertentu akan bisa berbeda hukumnya karena
kekhususan ‘illahnya, namun ‘illahnya
itu tidak terdapat dalam kasus yang menjadi perselisihan pendapat. Karena itu,
status hukum kasus yang menjadi perselisihan pendapat) tetap berada pada status
hukum asalnya sesuai dengan keumuman dalil.”
Cara
berargumentasi ini dinamai dengan al-naafi sebagaimana dikemukakan oleh
Zarkasyi. (Tasmii’ al-Masaami’ bi Jam’i al-Jawami’: III/413)
Contohnya
secara dalil yang bersifat umum ada larangan mengawini perempuan secara mutlaq,
baik perkawinan yang dilakukan oleh walinya maupun oleh dirinya sendiri, karena
itu merupakan penghinaan terhadap perempuan dengan melakukan persetubuhan atau
lainnya. Karena kemuliaannya, mengawini perempuan merupakan tindakan yang tidak
disenangi oleh sifat kemanusiaannya. Namun dalam kasus perkawinan dimana walinya
(laki-laki) bertindak sebagai wali pernikahannya dapat dibenarkan, karena alasan
sempurna akal walinya. Alasan ini (‘iilahnya) tidak terdapat dalam kasus seorang
perempuan menikah dengan seorang laki-laki dimana yang bertindak sebagai wali
adalah dirinya sendiri (kasus ini terjadi perbedaan pendapat antara ulama Syafi’iyah
dan Hanafiyah), karena dalam agama, perempuan dianggap kurang akalnya. Karena itu,
masalah perempuan menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki tanpa
wali tetap berada dalam posisi hukum larangan sesuai dengan petunjuk dalil yang
bersifat umum di atas. (Ghayah al-Wushul: 144).
Diantara dalil
yang bersifat umum yang menjadi petunjuk larangan mengawini seorang perempuan adalah
firman Allah berbunyi:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Sesungguhnya kami
telah memuliakan anak-anak cucu Adam (Q.S. al-Isra’: 70).
Contoh lain
yang dikemukakan oleh al-Zarkasyi, menurut dalil yang bersifat umum, membunuh
manusia adalah terlarang. Namun dalam beberapa kasus pembunuhan dapat
dibenarkan dalam agama karena adalah alasan hukum (‘illah) yang bersifat khusus
sehingga dikecualikan dari pentunjuk dalil umum. (Tasmii’ al-Masaami’ bi Jam’i
al-Jawami’: III/413). Berdasarkan ini, semua jenis pembunuhan selama tidak ada
dalil atau ‘illah yang mengecualikannya tetap berada pada posisi larangan sesuai
dengan petunjuk dalil yang bersifat umum.
Diantara dalil
yang bersifat umum yang menjadi petunjuk larangan secara mutlaq melakukan
pembunuhan adalah firman Allah berbunyi:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا
مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah jahannam,
kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya. (Q.S. Al-Nisa’: 93)
Wallahua’lam
bisshawab