وبما تقررعلم ان خطاب الوضع حكم شرعى متعارف وهو ما اختاره ابن الحاجب خلافا لما جرى عليه الأصل وذلك لانه لا يعلم الا بوضع الشرع كالخطاب التكليفى بل قيل انه لاحاجة لذكره لأنه داخل فى الإقتضاء والتخييراذ لامعنى لكون الزوال مثلا سببا لوجود الظهر الا ايجابها عنده ولا لكون الطهارة شرطا للإقدام على البيع الا إباحة الإقدام عندها وتحريمه عند فقدها وقيل انه ليس بحكم حقيقة لأنه ليس بإنشاء بل خبر عن ترتب آثار هذه الأمور عليها قال البرماوى وليس لهذا الخلاف كبير فائدة بل هو خلاف لفظى واذا ثبت ان الحكم خطاب الله ( فَلاَ يُدْرَكُ حُكْمٌ إِلاَّ مِنَ اللَّـهِ ) فلا يدرك العقل شيئا مما يأتى عن المعتزلة المعبر عن بعضه بالحسن والقبح بالمعنى الآتى على الأثر
Dengan hal-hal yang telah tetap sebelumnya, dimaklumi bahwa khithab wadh’i merupakan hukum syar’i yang ma’ruf, yaitu pendapat yang telah dipilih oleh Ibnu al-Hajib,(1) berbeda dengan yang dipegang oleh Asal. Hal itu, karena tidak dapat dimaklumi sebuah hukum kecuali dengan wadha’ syar’i, sama halnya dengan khithab taklifi. Bahkan ada yang mengatakan tidak diperlukan menyebutnya, karena khithab wadh’i masuk dalam bentuk tuntutan dan pilihan. Sebabnya tidak ada makna, umpama keadaan tergelincir matahari menjadi sebab bagi wujud dhuhur kecuali diwajibkan dhuhur itu pada ketika tergelincir matahari dan tidak ada makna keadaan suci merupakan syarat untuk melakukan jual beli kecuali dibolehkan melakukan jual beli pada ketika suci dan haram pada ketika tidak suci. Dikatakan, sesungguhnya khithab wadh’i bukanlah hukum pada hakikat. Karena ia bukan insya’i, tetapi hanya mengabarkan tentang berlakunya sifat perkara-perkara ini atas semua itu. Al-Barmawy(2) mengatakan khilaf ini tidak banyak faedahnya, tetapi ia hanya khilaf lafzhi. Apabila telah fositif sesungguhnya hukum hanyalah titah Allah, (maka tidak didapati suatu hukum kecuali dari Allah) maka akal tidak mendapati sesuatupun, yakni hal-hal yang dikemukakan dari Mu’tazilah yang di-’ibarat dari sebagiannya dengan al-husn (baik) dan al-qabh (buruk) dengan makna yang akan datang kemudian.
Penjelasan
(1)Nama lengkap Ibnu Hajib adalah Abu Amr Usman bin Umar bin Abu Bakar bin Yunus al-Kurdy al-Dawiny. Beliau seorang ulama besar bermazhab Maliki. Wafat di kota al-Iskadariyah pada tahun 646 H. Salah seorang guru beliau adalah al-Syathibi, pengarang kitab al-I’tisham.1
(2)Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Abd al-Daim bin Musa bin Abd al-Daim bin Faris bin Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim al-Nai’my Al-Barmawy, dinisbahkan kepada Barmah, sebuah kampung di sebelah barat Mesir. Beliau lahir tahun 763-831 H, merupakan seorang ulama besar bermazhab Syafi’i dalam bidang fiqh dan Asy’ari dalam bidang akidah. Diantara guru beliau adalah Imam Zarkasyi, al-Bulqainy dan lain-lain 2
DAFTAR PUSTAKA
1.Muqaddimah kitab Rafa’ al-Hajib ‘an Mukhashar Ibn al-Hajib, ‘Alim al-Kutub, Juz. I Hal. 11, 16 dan 26
2.Khalid bin Bakar bin Ibrahim ‘Abid, Fawaid al-Sunniah fi Syarah Alfiah, (Disertasi untuk meraih gelar doctor pada Fak. Syari’ah Ummulquraa) Juz. I, Hal.7-14
Renungan
▼
Sabtu, 30 April 2011
Hadits kefaqiran memdekati kepada kekufuran
كاد الفقر أن يكون كفرا
Artinya : kefaqiran memdekati kepada kekufuran
Menurut keterangan al-Shakhawi hadits ini diriwayat oleh Ahmad bin Muni’ dalam Musnadnya, Abu Na’im dalam al-Hiliyah, Baihaqi dalam Syu’b al-Iman dan Thabrany.1 Al-Shakhawy, menurut kutipan al-Manawy dalam Faidh al-Qadir mengatakan bahwa jalan hadits ini semuanya adalah dha’if, namun Zarkasyi menambahkan bahwa hadits ini disokong oleh hadits riwayat al-Nisa-i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari Abu Sa’id secara marfu’. Hadits tersebut berbunyi :
اللهم إني أعوذ بك من الفقر والكفر فقال رجل ويعتدلان قال نعم
Artinya : Rasulullah SAW berdo’a : Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kemiskinan. Berkata seorang pria apakah keduanya sama? Rasulullah SAW menjawab : “Ya” 2
Kefaqiran mendekati kepada kekufuran, menurut al-Manawy adalah disebabkan antara lain :
1.dapat mengarah kepada dengki kepada orang kaya, sedangkan dengki dapat menghilangkan kebaikan
2.dapat jatuh dalam sikap rendah diri dengan hal-hal yang dapat mencemarkan martabat dan menutupi agamanya
3.dapat mengarah kepada sikap tidak ridha dengan ketetapan Allah
4.dapat mengarah kepada murka kepada rezki 3
DAFTAR PUSTAKA
1.al-Shakhawi, al-Ajwabah al-Mardhiyah, Dar al-Rayyah, Hal. 606
2.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 709
3.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 708
Artinya : kefaqiran memdekati kepada kekufuran
Menurut keterangan al-Shakhawi hadits ini diriwayat oleh Ahmad bin Muni’ dalam Musnadnya, Abu Na’im dalam al-Hiliyah, Baihaqi dalam Syu’b al-Iman dan Thabrany.1 Al-Shakhawy, menurut kutipan al-Manawy dalam Faidh al-Qadir mengatakan bahwa jalan hadits ini semuanya adalah dha’if, namun Zarkasyi menambahkan bahwa hadits ini disokong oleh hadits riwayat al-Nisa-i dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya dari Abu Sa’id secara marfu’. Hadits tersebut berbunyi :
اللهم إني أعوذ بك من الفقر والكفر فقال رجل ويعتدلان قال نعم
Artinya : Rasulullah SAW berdo’a : Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran dan kemiskinan. Berkata seorang pria apakah keduanya sama? Rasulullah SAW menjawab : “Ya” 2
Kefaqiran mendekati kepada kekufuran, menurut al-Manawy adalah disebabkan antara lain :
1.dapat mengarah kepada dengki kepada orang kaya, sedangkan dengki dapat menghilangkan kebaikan
2.dapat jatuh dalam sikap rendah diri dengan hal-hal yang dapat mencemarkan martabat dan menutupi agamanya
3.dapat mengarah kepada sikap tidak ridha dengan ketetapan Allah
4.dapat mengarah kepada murka kepada rezki 3
DAFTAR PUSTAKA
1.al-Shakhawi, al-Ajwabah al-Mardhiyah, Dar al-Rayyah, Hal. 606
2.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 709
3.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 708
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), devinisi hukum, hal. 6-7
وخطاب كالجنس. وخرج باضافته الى الله خطاب غيره وانما وجبت طاعة الرسول والسيد مثلا بإيجاب الله تعالى إياها وبفعل المكلف خطاب الله تعالى المتعلق بذاته وصفاته وذوات المكلفين والجمادات كمدلول الله لااله الاهو خالق كل شئ ولقد خلقنا كم ويوم نسيرالجبال وبالإقتضاء والتخيير والوضع مدلول وما تعملون من قوله والله خلقكم وما تعملون فانه متعلق بفعل المكلف لا باقتضاء ولاتخيير ولا وضع بل من حيث الإخبار بأنه مخلوق لله ولايتعلق الخطاب التكليفى بفعل غيرالمكلف ووليه مخاطب بأداء ما وجب فى ماله منه كما يخاطب صاحب البهيمة بضمان ما أتلفته حيث فرط فى حفظها لتنزل فعلها حينئذ منزلة فعله وصحة عبادة الصبى كصلاته المثاب عليها ليس لأنه مأمور به كما فى البالغ بل ليعتادها فلا يتركها
Perkataan “khithab/titah” seperti jenis. Dengan di-izhafah-nya kepada Allah, keluarlah titah selain Allah. Hanya diwajibkan ta’at kepada semisal Rasul dan majikan (bagi hamba sahaya.Penerj.) adalah dengan sebab diwajibkannya oleh Allah. Dengan perkataan “perbuatan mukallaf” keluarlah titah Allah Ta’ala yang berhubungan dengan zat, sifat-Nya, zat-zat mukallaf dan benda-benda padat seperti yang ditunjuki oleh La ilaha illa huwa khaliqu kulli syai-in,(1) wa laqad khalaqnakum (2) dan wa yaum nusiiru al-jibal. (3) Dengan perkataan “ dalam bentuk tuntutan, pilihan dan wadh’i keluarlah yang ditunjuki oleh wa maa ta’malun dari firman Allah, wallahu khalaqakum wa maa ta’malun.(4) Sesunguhnya itu berhubungan dengan perbuatan mukallaf, tetapi tidak bersifat tuntutan, pilihan dan wadh’i, tetapi hanya dari aspek mengabarkan bahwa hal tersebut adalah makhluk Allah. Khithab taklifi(5) tidak berhubungan dengan perbuatan bukan mukallaf. Oleh karena itu, walinya dititahkan untuk menunaikan apa saja yang wajib pada harta bukan mukallaf sebagaimana dititahkan pada empunya binatang untuk membayar apa saja yang dihilangkan oleh binatang miliknya karena dianggap lalai menjaganya. Hal tersebut dengan menempatkan perbuatan binatang pada posisi perbuatannya. Sedangkan sah ibadah anak-anak seperti shalat yang diberkan pahala karenanya, bukanlah karena itu perbuatan yang diperintah kepada anak-anak sebagaimana orang baligh, tetapi supaya anak-anak menjadi sebuah kebiasaan, maka kemudian tidak meninggalkannya.
Penjelasan
(1). Lengkap ayat ini berbunyi :
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya : (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah, Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu (Q.S. al-An’am : 102)
(2). Lengkap ayat ini berbunyi :
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ
Artinya : Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud. (Q.S. al-A’raf : 11)
(3). Lengkap ayat ini berbunyi :
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا
Artinya : Dan (Ingatlah) akan hari (yang ketika itu) kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka. (Q.S. al-Kahfi : 47)
(4). Lengkap ayat ini berbunyi :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (Q.S. al-Shafaat : 96)
(5). Yang dimaksud dengan khithab taklifi adalah titah Allah yang berhubungan dengan pembebanan hukum, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh, khilaf aula dan mubah. Al-Jarjani menyebutkan bahwa Taklif adalah membebankan suatu beban atas lawan bicara.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Jarjani, al-Ta’rifat, Maktabah Misykah al-Islamiyah,Hal. 48
Perkataan “khithab/titah” seperti jenis. Dengan di-izhafah-nya kepada Allah, keluarlah titah selain Allah. Hanya diwajibkan ta’at kepada semisal Rasul dan majikan (bagi hamba sahaya.Penerj.) adalah dengan sebab diwajibkannya oleh Allah. Dengan perkataan “perbuatan mukallaf” keluarlah titah Allah Ta’ala yang berhubungan dengan zat, sifat-Nya, zat-zat mukallaf dan benda-benda padat seperti yang ditunjuki oleh La ilaha illa huwa khaliqu kulli syai-in,(1) wa laqad khalaqnakum (2) dan wa yaum nusiiru al-jibal. (3) Dengan perkataan “ dalam bentuk tuntutan, pilihan dan wadh’i keluarlah yang ditunjuki oleh wa maa ta’malun dari firman Allah, wallahu khalaqakum wa maa ta’malun.(4) Sesunguhnya itu berhubungan dengan perbuatan mukallaf, tetapi tidak bersifat tuntutan, pilihan dan wadh’i, tetapi hanya dari aspek mengabarkan bahwa hal tersebut adalah makhluk Allah. Khithab taklifi(5) tidak berhubungan dengan perbuatan bukan mukallaf. Oleh karena itu, walinya dititahkan untuk menunaikan apa saja yang wajib pada harta bukan mukallaf sebagaimana dititahkan pada empunya binatang untuk membayar apa saja yang dihilangkan oleh binatang miliknya karena dianggap lalai menjaganya. Hal tersebut dengan menempatkan perbuatan binatang pada posisi perbuatannya. Sedangkan sah ibadah anak-anak seperti shalat yang diberkan pahala karenanya, bukanlah karena itu perbuatan yang diperintah kepada anak-anak sebagaimana orang baligh, tetapi supaya anak-anak menjadi sebuah kebiasaan, maka kemudian tidak meninggalkannya.
Penjelasan
(1). Lengkap ayat ini berbunyi :
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
Artinya : (Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah, Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu (Q.S. al-An’am : 102)
(2). Lengkap ayat ini berbunyi :
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ
Artinya : Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", maka merekapun bersujud kecuali iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud. (Q.S. al-A’raf : 11)
(3). Lengkap ayat ini berbunyi :
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا
Artinya : Dan (Ingatlah) akan hari (yang ketika itu) kami perjalankan gunung-gunung dan kamu akan dapat melihat bumi itu datar dan kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak kami tinggalkan seorangpun dari mereka. (Q.S. al-Kahfi : 47)
(4). Lengkap ayat ini berbunyi :
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya : Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (Q.S. al-Shafaat : 96)
(5). Yang dimaksud dengan khithab taklifi adalah titah Allah yang berhubungan dengan pembebanan hukum, yaitu wajib, sunnat, haram, makruh, khilaf aula dan mubah. Al-Jarjani menyebutkan bahwa Taklif adalah membebankan suatu beban atas lawan bicara.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Jarjani, al-Ta’rifat, Maktabah Misykah al-Islamiyah,Hal. 48
Kamis, 21 April 2011
Hukum perempuan menikahkan diri sendiri
Pada dasarnya dalam mazhab Syafi’i tidak boleh seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri. Fatwa ini berdasarkan dalil :
1.Sabda Nabi SAW :
لا نكاح الا بولي
Artinya : Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali (H.R. at-Turmidzi)1
Ibnu Mulaqqan mengatakan bahwa kualitas hadits ini adalah shahih dan telah diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud, Turmidzi, Ibnu Majah dan al-Khuzaimah. 2
2. Sabda Nabi SAW :
أن رسول الله صلعم قال أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فله المهر بما إستحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikah itu bathil. Nikah itu bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. jika mereka terlunta lunta(tidak mempunyai wali) maka penguasa adalah wali bagi siapa yang tidak mempunyai wali.(H.R. At-Turmidzi)3
Menurut Turmidzi hadits ini adalah hasan. Sedangkan al-Hakim menyatakannya sebagai shahih 4
Namun demikian, Bujairumi mengatakan :
"Apabila seorang perempuan tidak mendapati seorangpun untuk bertahkim urusannya dan dia mengkuatirkan dapat terjadi zina, maka perempuan tersebut boleh mengawinkan dirinya sendiri tetapi dengan syarat diantaranya dan walinya, jaraknya sampai musafah qashar. Kemudian apabila keduanya kembali keperkampungan dan didapati manusia maka diperbaharui kembali ‘akad nikahnya apabila dia tidak taklid kepada ulama yang berpendapat demikian" 5
Pendapat Bujairumi ini juga telah dikutip oleh Al-Bakri al-Damyathi dalam Kitab I’anah al-Thalibin.6
Kesimpulan
1.salah satu persyaratan pernikahan menurut Mazhab Syafi’i adanya wali yang adil
2.namun demikian apabila seorang wanita tidak ada wali dan tidak wujud seorang manusiapun tempat bertahkim urusannya, maka boleh wanita tersebut menikahkan dirinya sendiri dengan syarat apabila ia kembali keperkampungan yang ada manusia, memperbaharui nikahnya kembali.
DAFTAR PUSTAKA
1.At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 280, Nomor Hadits 1107
2.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 543
3.At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 281, No. Hadits : 11080
4.Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 125
5.Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 146
6.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz III, Hal. 318
1.Sabda Nabi SAW :
لا نكاح الا بولي
Artinya : Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali (H.R. at-Turmidzi)1
Ibnu Mulaqqan mengatakan bahwa kualitas hadits ini adalah shahih dan telah diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud, Turmidzi, Ibnu Majah dan al-Khuzaimah. 2
2. Sabda Nabi SAW :
أن رسول الله صلعم قال أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فله المهر بما إستحل من فرجها فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa izin walinya, maka nikah itu bathil. Nikah itu bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. jika mereka terlunta lunta(tidak mempunyai wali) maka penguasa adalah wali bagi siapa yang tidak mempunyai wali.(H.R. At-Turmidzi)3
Menurut Turmidzi hadits ini adalah hasan. Sedangkan al-Hakim menyatakannya sebagai shahih 4
Namun demikian, Bujairumi mengatakan :
"Apabila seorang perempuan tidak mendapati seorangpun untuk bertahkim urusannya dan dia mengkuatirkan dapat terjadi zina, maka perempuan tersebut boleh mengawinkan dirinya sendiri tetapi dengan syarat diantaranya dan walinya, jaraknya sampai musafah qashar. Kemudian apabila keduanya kembali keperkampungan dan didapati manusia maka diperbaharui kembali ‘akad nikahnya apabila dia tidak taklid kepada ulama yang berpendapat demikian" 5
Pendapat Bujairumi ini juga telah dikutip oleh Al-Bakri al-Damyathi dalam Kitab I’anah al-Thalibin.6
Kesimpulan
1.salah satu persyaratan pernikahan menurut Mazhab Syafi’i adanya wali yang adil
2.namun demikian apabila seorang wanita tidak ada wali dan tidak wujud seorang manusiapun tempat bertahkim urusannya, maka boleh wanita tersebut menikahkan dirinya sendiri dengan syarat apabila ia kembali keperkampungan yang ada manusia, memperbaharui nikahnya kembali.
DAFTAR PUSTAKA
1.At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 280, Nomor Hadits 1107
2.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 543
3.At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 281, No. Hadits : 11080
4.Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 125
5.Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 146
6.Al-Bakri al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz III, Hal. 318
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), devinisi hukum, hal. 6
( وَالْحُكْمُ خِطَابُ اللَّـهِ ) تعالى أى كلامه النفسى الأزلى المسمى فى الأزل خطابا على الأصح كما سيأتى ( الْمُتَعَلِّقُ ) اما ( بِفِعْـلِ الْمُكَلَّفِ ) أى البالغ العاقل الذى لم يمتنع تكليفه تعلقا معنويا قبل وجوده أو بعد وجوده قبل البعثة وتنجيزيا بعد وجوده بعد البعثة اذ لاحكم قبلها كما سيأتى ذلك ( إِقْتِضَاءً ) أى طلبا للفعل وجوبا أوندبا أوحرمة أوكراهة أوخلاف الأولى ( أَوْ تَخْيِيْرًا ) بين الفعل وتركه أى إباحة فيشمل ذلك الفعل القلبى الاعتقادى وغيره والقولى وغيره والكف والمكلف الواحد كالنبى صلى الله عليه وسلم فى خصا ئصه والأكثر من الواحد ( وَ ) اما ( بِأَعَمَّ ) من فعل المكلف ( وَضْعًا وَهُوَ ) الخطاب ( الْوَارِدُ ) بكون الشئ ( سَبَبًا وَشَرْطًا وَمَانِعًا وَصَحِيْحًا وَفَاسِدًا ) وسيأتى بيانها فيشمل ذلك فعل المكلف كالزنا سببا لوجوب الحد وغير فعله كالزوال سببا لوجوب الظهر واتلاف غير المكلف كالسكران سببا لوجوب الضمان
(Hukum adalah khithab/titah Allah) Ta’ala , yaitu kalam Allah yang bersifat nafsi(1) dan azali,(2) yang dinamakan dengan khithab pada azal berdasar pendapat yang lebih shahih sebagaimana nantinya (yang ta’alluq/berhubungan), adakalanya (dengan perbuatan mukallaf) yaitu yang baligh dan berakal yang tidak terkendala pentaklifannya. Ta’alluq dengan perbuatan mukallaf adalah ta’alluq ma’nawi(3) apabila titah itu datang sebelum wujud mukallaf atau sesudah wujud mukallaf tetapi sebelum diutus seorang rasul dan ta’alluq tanjizi sesudah wujud mukallaf serta sesudah diutus seorang rasul, karena tidak ada hukum sebelum diutus seorang rasul sebagaimana yang akan datang pembahasannya (dalam bentuk tuntutan) yaitu tuntutan melakukan suatu perbuatan, baik dalam bentuk wujub, sunnat, haram, karahah ataupun khilaf aula (atau dalam bentuk pilihan) antara melakukannya atau meninggalkannya, yakni ibahah. Maka perbuatan tersebut mencakup perbuatan hati yang bersifat i’tiqad (4) dan lainnya, (5) perkataan, (6) dan lainnya (7) serta perbuatan meninggalkan (8) Mukallaf itu ada yang satu seperti Nabi SAW dalam hal kekhususannya dan ada lebih banyak dari satu (dan) adakalanya titah Allah Ta’ala (ta’alluq dengan yang lebih umum) dari perbuatan mukallaf (yaitu wadh’i.(9) Wadh’I adalah) titah Allah Ta’ala (yang datang) untuk menyatakan keadaan sesuatu (adalah sebab, syarat, mani’, shahih dan fasid). Dan nanti akan datang pembahasannya. Wadh’i tersebut mencakup perbuatan mukallaf seperti zina yang menjadi sebab bagi kewajiban had (rajam atau cambuk seratus kali) dan mencakup juga bukan perbuatan mukallaf seperti tergelincir matahari yang menjadi sebab bagi kewajiban shalat dhuhur dan seperti menghilangkan harta orang yang dilakukan oleh yang tidak mukallaf seperti pemabuk, menjadi sebab bagi kewajiban membayar.
Penjelasan
(1). Pengertian kalam nafsi adalah madlul (makna yang yang ditunjuki) oleh kalam lafzhi. Jadi, kalau kalam nafsi disebut sebagai hukum, maka kalam lafzhi adalah (daal) yang menunjuki kepada hukum 1
(2). Azali adalah nisbah kepada azal, yaitu tidak ada permulaan. Azal lebih umum dari qadim, karena qadim adalah tidak ada permulaan bagi wujud sesuatu, maka qadim khusus pada wujudi, berbeda dengan azal. Azal mencakup wujudi dan ‘adami. 2
(3). Ta’alluq ma’nawi di sini dengan makna ta’alluq shulhi (patut ada ta’alluq), yakni apabila terkumpul syarat-syarat taklif, maka titah Allah tersebut ta’alluq dengannya. Jadi, sebelum wujud mukallaf atau sudah wujud, tapi Allah belum mengutus seorang rasul kepadanya, maka syarat taklif belum sempurna untuknya. Oleh karena itu, hukum yang ta’alluq kepadanya disebut ta’alluq shulhi. Ta’alluq shulhi adalah qadim, berbeda halnya dengan ta’alluq tanjizi , yakni ta’alluq dengan perbuatan mukallaf setelah wujud perbuatannya, maka ia baharu. 3
(4).Seperti i’tiqad Allah adalah satu.
(5).Seperti niat pada wudhu’
(6).Seperti takbiratul-ihram
(7).Seperti menunai zakat dan haji.
(8).Seperti meninggalkan zina.
(9).Sebagian Ushuliyuun, seperti Tajuddin al-Subky berpendapat khithab wadh’i tidak termasuk hukum. Oleh karena itu, mereka tidak memasukkan khithab wadh’i dalam devinisi hukum. Yang berpendapat khithab wadh’i adalah hukum, selain pengarang kitab ini juga Ibnu al-Hajib 4
DAFTAR PUSTAKA
1.Abdrrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 47
2.Al-Banany, Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 48
3.Al-Banany, Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 48
4.Al-Banany, Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 52
(Hukum adalah khithab/titah Allah) Ta’ala , yaitu kalam Allah yang bersifat nafsi(1) dan azali,(2) yang dinamakan dengan khithab pada azal berdasar pendapat yang lebih shahih sebagaimana nantinya (yang ta’alluq/berhubungan), adakalanya (dengan perbuatan mukallaf) yaitu yang baligh dan berakal yang tidak terkendala pentaklifannya. Ta’alluq dengan perbuatan mukallaf adalah ta’alluq ma’nawi(3) apabila titah itu datang sebelum wujud mukallaf atau sesudah wujud mukallaf tetapi sebelum diutus seorang rasul dan ta’alluq tanjizi sesudah wujud mukallaf serta sesudah diutus seorang rasul, karena tidak ada hukum sebelum diutus seorang rasul sebagaimana yang akan datang pembahasannya (dalam bentuk tuntutan) yaitu tuntutan melakukan suatu perbuatan, baik dalam bentuk wujub, sunnat, haram, karahah ataupun khilaf aula (atau dalam bentuk pilihan) antara melakukannya atau meninggalkannya, yakni ibahah. Maka perbuatan tersebut mencakup perbuatan hati yang bersifat i’tiqad (4) dan lainnya, (5) perkataan, (6) dan lainnya (7) serta perbuatan meninggalkan (8) Mukallaf itu ada yang satu seperti Nabi SAW dalam hal kekhususannya dan ada lebih banyak dari satu (dan) adakalanya titah Allah Ta’ala (ta’alluq dengan yang lebih umum) dari perbuatan mukallaf (yaitu wadh’i.(9) Wadh’I adalah) titah Allah Ta’ala (yang datang) untuk menyatakan keadaan sesuatu (adalah sebab, syarat, mani’, shahih dan fasid). Dan nanti akan datang pembahasannya. Wadh’i tersebut mencakup perbuatan mukallaf seperti zina yang menjadi sebab bagi kewajiban had (rajam atau cambuk seratus kali) dan mencakup juga bukan perbuatan mukallaf seperti tergelincir matahari yang menjadi sebab bagi kewajiban shalat dhuhur dan seperti menghilangkan harta orang yang dilakukan oleh yang tidak mukallaf seperti pemabuk, menjadi sebab bagi kewajiban membayar.
Penjelasan
(1). Pengertian kalam nafsi adalah madlul (makna yang yang ditunjuki) oleh kalam lafzhi. Jadi, kalau kalam nafsi disebut sebagai hukum, maka kalam lafzhi adalah (daal) yang menunjuki kepada hukum 1
(2). Azali adalah nisbah kepada azal, yaitu tidak ada permulaan. Azal lebih umum dari qadim, karena qadim adalah tidak ada permulaan bagi wujud sesuatu, maka qadim khusus pada wujudi, berbeda dengan azal. Azal mencakup wujudi dan ‘adami. 2
(3). Ta’alluq ma’nawi di sini dengan makna ta’alluq shulhi (patut ada ta’alluq), yakni apabila terkumpul syarat-syarat taklif, maka titah Allah tersebut ta’alluq dengannya. Jadi, sebelum wujud mukallaf atau sudah wujud, tapi Allah belum mengutus seorang rasul kepadanya, maka syarat taklif belum sempurna untuknya. Oleh karena itu, hukum yang ta’alluq kepadanya disebut ta’alluq shulhi. Ta’alluq shulhi adalah qadim, berbeda halnya dengan ta’alluq tanjizi , yakni ta’alluq dengan perbuatan mukallaf setelah wujud perbuatannya, maka ia baharu. 3
(4).Seperti i’tiqad Allah adalah satu.
(5).Seperti niat pada wudhu’
(6).Seperti takbiratul-ihram
(7).Seperti menunai zakat dan haji.
(8).Seperti meninggalkan zina.
(9).Sebagian Ushuliyuun, seperti Tajuddin al-Subky berpendapat khithab wadh’i tidak termasuk hukum. Oleh karena itu, mereka tidak memasukkan khithab wadh’i dalam devinisi hukum. Yang berpendapat khithab wadh’i adalah hukum, selain pengarang kitab ini juga Ibnu al-Hajib 4
DAFTAR PUSTAKA
1.Abdrrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 47
2.Al-Banany, Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 48
3.Al-Banany, Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 48
4.Al-Banany, Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 52
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib adalah seorang ulama terkenal asal Minangkabau, kelahiran Koto Tuo Balai Gurah, Kecamatan IV Angkat Candung, Kabupaten Agam. Beliau memulai dan mengakhiri kariernya sebagai ulama di Makkah Al Mukarramah, dan terkenal dengan panggilan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawy. Kata “Al-Minangkabawy” menunjukkan bahwa beliau berasal dari Ranah Alam Minangkabau.
Begitu meninggalkan Ranah Minang, beliau langsung berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu, sehingga akhirnya beliau menjadi guru, ulama dan syeikh yang terkenal di tanah suci tersebut, dengan pusat kegiatannya Masjidil Haram.
Semenjak berangkat pertama, tidak pernah pulang ke Minangkabau, sampai beliau berpulang ke alam baqa di kota tersebut. Beliau juga menikah dan berketurunan disana. Isteri, anak-anak dan cucu-cucunya adalah semua orang Arab.
Ahmad Khatib adalah anak dari Khatib Nagari yang berasal dari Koto Gadang, hasil perkawinannya dengan “Limbak Urai” yang berasal dari KotoTuo Balai Gurah. Beliau bersaudara sebanyak lima orang yaitu beliau sendiri, H. Aisyah, H. Mahmud, H. Hafsah dan H. Safiah, sedang dari ibu tirinya Kalsum di Koto Gadang, beliau mempunyai saudara yang bernama “Khailan Samsu”. Dari pihak Bapak, beliau mempunyai hubungan dengan Inyiak H. Agus Salim (saudara sepupu) dan dari pihak ibu, Seikh Ahmad Khatib bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang Ulama Falak yang terkenal di tanah Melayu (Malaysia sekarang)
Melihat silsilah keturunan beliau bersambung ke atas, tampaknya beliau juga punya hubungan dengan Tuanku Nan Tuo, seorang guru dari pejuang dan Ulama-ulama Paderi.
1 Ahmad Khatib kecantol dengan seorang puteri Mekkah, yaitu anak dari Saleh Kurdi, pemillik Toko Kitab di Babus Salam, dekat Masjidil Haram Saleh Kurdi dengan kesopanan, kerajinan dan kealiman Ahmad Khatib, yang diperhatikannya setiap hari, sewaktu keluar-masuk Masjidil Haram melewati Toko Kitabnya. Rupanya tidak cukup hanya seorang putri diamanahkan Saleh Kurdi untuk dikawini Ahmad Khatib, bahkan putrinya yang kedua juga dikawinkan dengan Ahmad Khatib setelah putrinya yang
pertama itu meninggal dunia. Dalam istilah Minagkabau hal semacam itu disebut
“mangganti lapiak” (mengganti tikar)
Dari isteri yang pertama itu mendapatkan seorang putra yang bernama Abdul Karim dan dari isteri yang kedua Ahmad Khatib dikurnai tiga orang anak yaitu Abdul Malik, Abdul Hamid dan Siti Khadijah. Dengan demikian Syeikh Ahmad Khatib mempunyai tiga orang putra dan seorang putri dari kedua putri yang bersaudara itu. Ahmad Khatib tidak pernah berpoligami, dan tidak pernah kawin lagi setelah istri yang kedua itu. Amatlah disayangkan, tidak ada putri Minang yang sempat teman hidup Syeikh Ahmad Khatib, sehingga juga tidak ada anak Minangyang berayah kepada beliau. Menurut keterangan seorang cucu beliau yang bernama Zakiyah Tamin di Koto Tuo Balai Gurah, salah seorang putra beliau yang bernama Abdul Hamid (anggota parlemen dan kemudian menjadi Duta Arab Saudi di Karachi) pernah datang ke Indonesia pada tahun 1938 dan berkunjung ke rumah bakonya di Koto Tuo. Terkandung maksud bagi Abdul Hamid untuk menggaet salah seorang putri dikalangan bakonya itu, yang akan dipersuntingnya sebagai istri, dengan tujuan agar pertalian kekeluargaan antara keturunan Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah dengan keluarga Syeikh di Minangkabau selalu terjalin erat dan terus bersambung. Tetapi…….. apa hendak dikata, semua wanita dikalangan bakonya sudah berpunya. Dan untuk menunggu yang baru atau yang akan lahir, rasanya usianya sudah terlalu tua. Maka niatnya itu tidak terkabul sama sekali. Namun surat menyurat masih berjalan terus antara keturunan Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah dengan keluarga yang masih ada di Koto Tuo Balai Gurah . Apa lagi Syeikh Ahmad Khatib dulu telah memanggil beberapa kemenakannya untuk datang dan menetap di Mekkah, mereka pun telah mempunyai keturunan pula disana.
Perkampungan keluarga Syeikh tersebut di Mekkah bernama “Garara Kampung Syamsiyah”. Banyak dianara mereka yang menjadi Syeikh Pelayan Haji dan memeberikan banyak pertolonganya kepada jamaah haji asal Minangkabau apalagi yang punya hubungan dengan Syeikh Ahmad Khatib.
Dari keterangan atau informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebahagian besar keluarga Syeikh Ahmad Khatib bermukim di Mekkah menjadi warga negara Arab Saudi. Dengan perkataan lain Syeikh Ahmad Khatib mempunyai saham yang paling besar dalam menambah kwantitas penduduk Mekkah khususnya dan warga Arab Saudi umumnya. Semoga Allah SWT memberikan keampunan kepada beliau dan menempatkan pada tempat yang Mulia, Amin.
2 Mengenai tahun kelahiran dan tahun keberangkatannya ke Mekkah terdapat perbedaan antara keterangan Hamka dengan keterangan Tamar Djaya. Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib dilahirkan tanggal 6 Zulhijjah 1276 Hijriyah (1860 M) dan berangkat ke Mekkah dalam usia 11 tahun, bersama ayahnya sendiri Khatib Nagari, untuk menunaikan Ibadah Haji dan mendalami ilmu agama dari alim ulama yang berada di Mekkah. Pada mulanya Ahmad Khatib akan memasuki Sekolah Raja di Bukittinggi, tetapi tidak jadi. Menurut Tamar Djaya, setelah Ahmad Khatib menamatkan Sekolah Rendah dikampungnya sendiri (tahun 1877 M). Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah, karena beliau tertarik dengan ilmu agama dan ingin mendalaminya langsung ke sumber aslinya (ke negeri dimana Islam mula-mula diturunkan).
Perbedaan tanggal dan tahun ini tidak begitu penting dan akan dapat dijelaskan dengan Hijrat (catatan autentik tentang kelahiran beliau), tetapi amatlah disayangkan hal itu belum diketemukan dari keluarga Syeikh. Yang jelas adalah beliau ke Mekkah dalam usia muda (belum kawin), belajar agama Islam di sana, kemudian menjadi guru dan akhirnya menjadi syeikh terkenal. Beliau menikah, berketurunan dan meninggal di tanah suci tersebut, tanpa pernah kembali ke Indonesia barang sekalipun. Beliau meninggal hari Senin bulan Jumadil Akhir 1334 (1915 M), dalam usia 63 tahun Ilmu pengetahuan utama yang didalaminya adalah Ilmu Fiqhi, disamping juga mempelajari ilmu agama lainnya dan ilmu umum seperti ilmu Falak, ilmu Hisab, ilmu Al Jabar dsb. Aliran Fiqhi yang dipelajari dan dianutnya adalah Mazhab Syafi’i. Guru-gurunya adalah : Zaid Ahmad Zain Dahlan, Said Bakri Syatta dan Syeikh Yahya Kabli.
Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam menuntut pelajaran, baik diwaktu belajar dikampung halamanny, maupun setelah berada di Mekkah. Kerajinan dan kecerdesannya itulah yang menyebabkan beliau dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, khususnya dalam bidang Hukum Islam. Dengan usaha dan jasa mertuanya Saleh Kurdi, Ahmad Khatib dapat membuat suatu Halakah tempat ia mengajar di dalam Masjidil Haram. Dalam waktu yang singkat ia telah dikelilingi oleh beratus-ratus orang yang ingi menjadi muridnya. Sebagian besar murid itu berasal dari Indonesia dan Semenanjung Malaysia, yang dulu disebut dengan julukan “Orang Jawi”. Kemasyhurannya sebagai Mudarris (guru), meningkat menjadi Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Kerajaan Istambul menggelari Ahmad Khatib dengan “Bey Tunis”, sebagai guru suatu tanda jasa yang diberikan kepada orang yang berjasa besar dalam bidang ilmu pengetahuan, Banyak Raja-raja dan Sultan-sultan di tanah Air dan di daerah Simenanjung yang meminta fatwaagama kepada beliau melalui surat-menyurat, yang selanjutnya diiringi dengan menukar tanda mata. Diantaranya yang beliau kirimkan adalah “Bacaan Khutbah Kedua” yang disebut juga dengan Khutbah “Na’at”, dan inilah yang dibaca oleh Khatib di negeriyang berada dibawah naungan sultan yang meminta fatwa kepada Ahmad Khatib, seperti tersebut diatas.
Beliau juga banyak menulis buku-buku agama mengenai Fiqhi, Ushul Fiqhi, Tashauf dan lain-lain dalam bahasa Melayu dan Bahasa Arab.
(Sumber : Riwayat Hidup dan Perjuangan 20Ulama Besar Sumatera Barat}
(Penerbit : Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981}
* Salah satu karya beliau adalah kitab al-Nufahaat 'ala Syarh al-Warqaat. sebuah kitab dalam bidang ushul fiqh yang banyak dipelajari dikalangan pesantren di Indonesia. (catatan dari Tgk Alizar Usman)
Begitu meninggalkan Ranah Minang, beliau langsung berangkat menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu, sehingga akhirnya beliau menjadi guru, ulama dan syeikh yang terkenal di tanah suci tersebut, dengan pusat kegiatannya Masjidil Haram.
Semenjak berangkat pertama, tidak pernah pulang ke Minangkabau, sampai beliau berpulang ke alam baqa di kota tersebut. Beliau juga menikah dan berketurunan disana. Isteri, anak-anak dan cucu-cucunya adalah semua orang Arab.
Ahmad Khatib adalah anak dari Khatib Nagari yang berasal dari Koto Gadang, hasil perkawinannya dengan “Limbak Urai” yang berasal dari KotoTuo Balai Gurah. Beliau bersaudara sebanyak lima orang yaitu beliau sendiri, H. Aisyah, H. Mahmud, H. Hafsah dan H. Safiah, sedang dari ibu tirinya Kalsum di Koto Gadang, beliau mempunyai saudara yang bernama “Khailan Samsu”. Dari pihak Bapak, beliau mempunyai hubungan dengan Inyiak H. Agus Salim (saudara sepupu) dan dari pihak ibu, Seikh Ahmad Khatib bersaudara ibu dengan H. Thaher Jalaluddin seorang Ulama Falak yang terkenal di tanah Melayu (Malaysia sekarang)
Melihat silsilah keturunan beliau bersambung ke atas, tampaknya beliau juga punya hubungan dengan Tuanku Nan Tuo, seorang guru dari pejuang dan Ulama-ulama Paderi.
1 Ahmad Khatib kecantol dengan seorang puteri Mekkah, yaitu anak dari Saleh Kurdi, pemillik Toko Kitab di Babus Salam, dekat Masjidil Haram Saleh Kurdi dengan kesopanan, kerajinan dan kealiman Ahmad Khatib, yang diperhatikannya setiap hari, sewaktu keluar-masuk Masjidil Haram melewati Toko Kitabnya. Rupanya tidak cukup hanya seorang putri diamanahkan Saleh Kurdi untuk dikawini Ahmad Khatib, bahkan putrinya yang kedua juga dikawinkan dengan Ahmad Khatib setelah putrinya yang
pertama itu meninggal dunia. Dalam istilah Minagkabau hal semacam itu disebut
“mangganti lapiak” (mengganti tikar)
Dari isteri yang pertama itu mendapatkan seorang putra yang bernama Abdul Karim dan dari isteri yang kedua Ahmad Khatib dikurnai tiga orang anak yaitu Abdul Malik, Abdul Hamid dan Siti Khadijah. Dengan demikian Syeikh Ahmad Khatib mempunyai tiga orang putra dan seorang putri dari kedua putri yang bersaudara itu. Ahmad Khatib tidak pernah berpoligami, dan tidak pernah kawin lagi setelah istri yang kedua itu. Amatlah disayangkan, tidak ada putri Minang yang sempat teman hidup Syeikh Ahmad Khatib, sehingga juga tidak ada anak Minangyang berayah kepada beliau. Menurut keterangan seorang cucu beliau yang bernama Zakiyah Tamin di Koto Tuo Balai Gurah, salah seorang putra beliau yang bernama Abdul Hamid (anggota parlemen dan kemudian menjadi Duta Arab Saudi di Karachi) pernah datang ke Indonesia pada tahun 1938 dan berkunjung ke rumah bakonya di Koto Tuo. Terkandung maksud bagi Abdul Hamid untuk menggaet salah seorang putri dikalangan bakonya itu, yang akan dipersuntingnya sebagai istri, dengan tujuan agar pertalian kekeluargaan antara keturunan Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah dengan keluarga Syeikh di Minangkabau selalu terjalin erat dan terus bersambung. Tetapi…….. apa hendak dikata, semua wanita dikalangan bakonya sudah berpunya. Dan untuk menunggu yang baru atau yang akan lahir, rasanya usianya sudah terlalu tua. Maka niatnya itu tidak terkabul sama sekali. Namun surat menyurat masih berjalan terus antara keturunan Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah dengan keluarga yang masih ada di Koto Tuo Balai Gurah . Apa lagi Syeikh Ahmad Khatib dulu telah memanggil beberapa kemenakannya untuk datang dan menetap di Mekkah, mereka pun telah mempunyai keturunan pula disana.
Perkampungan keluarga Syeikh tersebut di Mekkah bernama “Garara Kampung Syamsiyah”. Banyak dianara mereka yang menjadi Syeikh Pelayan Haji dan memeberikan banyak pertolonganya kepada jamaah haji asal Minangkabau apalagi yang punya hubungan dengan Syeikh Ahmad Khatib.
Dari keterangan atau informasi tersebut dapat diketahui bahwa sebahagian besar keluarga Syeikh Ahmad Khatib bermukim di Mekkah menjadi warga negara Arab Saudi. Dengan perkataan lain Syeikh Ahmad Khatib mempunyai saham yang paling besar dalam menambah kwantitas penduduk Mekkah khususnya dan warga Arab Saudi umumnya. Semoga Allah SWT memberikan keampunan kepada beliau dan menempatkan pada tempat yang Mulia, Amin.
2 Mengenai tahun kelahiran dan tahun keberangkatannya ke Mekkah terdapat perbedaan antara keterangan Hamka dengan keterangan Tamar Djaya. Hamka mencatat bahwa Ahmad Khatib dilahirkan tanggal 6 Zulhijjah 1276 Hijriyah (1860 M) dan berangkat ke Mekkah dalam usia 11 tahun, bersama ayahnya sendiri Khatib Nagari, untuk menunaikan Ibadah Haji dan mendalami ilmu agama dari alim ulama yang berada di Mekkah. Pada mulanya Ahmad Khatib akan memasuki Sekolah Raja di Bukittinggi, tetapi tidak jadi. Menurut Tamar Djaya, setelah Ahmad Khatib menamatkan Sekolah Rendah dikampungnya sendiri (tahun 1877 M). Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah, karena beliau tertarik dengan ilmu agama dan ingin mendalaminya langsung ke sumber aslinya (ke negeri dimana Islam mula-mula diturunkan).
Perbedaan tanggal dan tahun ini tidak begitu penting dan akan dapat dijelaskan dengan Hijrat (catatan autentik tentang kelahiran beliau), tetapi amatlah disayangkan hal itu belum diketemukan dari keluarga Syeikh. Yang jelas adalah beliau ke Mekkah dalam usia muda (belum kawin), belajar agama Islam di sana, kemudian menjadi guru dan akhirnya menjadi syeikh terkenal. Beliau menikah, berketurunan dan meninggal di tanah suci tersebut, tanpa pernah kembali ke Indonesia barang sekalipun. Beliau meninggal hari Senin bulan Jumadil Akhir 1334 (1915 M), dalam usia 63 tahun Ilmu pengetahuan utama yang didalaminya adalah Ilmu Fiqhi, disamping juga mempelajari ilmu agama lainnya dan ilmu umum seperti ilmu Falak, ilmu Hisab, ilmu Al Jabar dsb. Aliran Fiqhi yang dipelajari dan dianutnya adalah Mazhab Syafi’i. Guru-gurunya adalah : Zaid Ahmad Zain Dahlan, Said Bakri Syatta dan Syeikh Yahya Kabli.
Ahmad Khatib termasuk murid yang rajin, tekun dan cerdas dalam menuntut pelajaran, baik diwaktu belajar dikampung halamanny, maupun setelah berada di Mekkah. Kerajinan dan kecerdesannya itulah yang menyebabkan beliau dapat menimba ilmu yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, khususnya dalam bidang Hukum Islam. Dengan usaha dan jasa mertuanya Saleh Kurdi, Ahmad Khatib dapat membuat suatu Halakah tempat ia mengajar di dalam Masjidil Haram. Dalam waktu yang singkat ia telah dikelilingi oleh beratus-ratus orang yang ingi menjadi muridnya. Sebagian besar murid itu berasal dari Indonesia dan Semenanjung Malaysia, yang dulu disebut dengan julukan “Orang Jawi”. Kemasyhurannya sebagai Mudarris (guru), meningkat menjadi Imam dan Khatib dalam Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram. Kerajaan Istambul menggelari Ahmad Khatib dengan “Bey Tunis”, sebagai guru suatu tanda jasa yang diberikan kepada orang yang berjasa besar dalam bidang ilmu pengetahuan, Banyak Raja-raja dan Sultan-sultan di tanah Air dan di daerah Simenanjung yang meminta fatwaagama kepada beliau melalui surat-menyurat, yang selanjutnya diiringi dengan menukar tanda mata. Diantaranya yang beliau kirimkan adalah “Bacaan Khutbah Kedua” yang disebut juga dengan Khutbah “Na’at”, dan inilah yang dibaca oleh Khatib di negeriyang berada dibawah naungan sultan yang meminta fatwa kepada Ahmad Khatib, seperti tersebut diatas.
Beliau juga banyak menulis buku-buku agama mengenai Fiqhi, Ushul Fiqhi, Tashauf dan lain-lain dalam bahasa Melayu dan Bahasa Arab.
(Sumber : Riwayat Hidup dan Perjuangan 20Ulama Besar Sumatera Barat}
(Penerbit : Islamic Centre Sumatera Barat tahun 1981}
* Salah satu karya beliau adalah kitab al-Nufahaat 'ala Syarh al-Warqaat. sebuah kitab dalam bidang ushul fiqh yang banyak dipelajari dikalangan pesantren di Indonesia. (catatan dari Tgk Alizar Usman)
Kyai Haji Hasyim Asy'ari : Pendiri NU
Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau.
(sumber : http://sabilulhuda.org/)
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau.
(sumber : http://sabilulhuda.org/)
Zakat untuk ahlul bait
Di bawah ini keterangan para ulama mengenai pemberian zakat untuk ahlul bait, antara lain :
1.Dalam Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyed 'Abdur Rahman Ba’lawy disebutkan :
“Ittifaq (sepakat) jumhur ulama asy-Syafi`iyyah terlarang pemberian zakat dan segala pemberian yang bersifat wajib seperti nazar dan kafarah, kepada ahlil bait, walaupun mereka tidak mendapat hak mereka daripada khumusul khumus. Dan demikianlah pula hukumnya bagi para mawali mereka menurut pemdapat yang lebih shahih. Namun demikian, banyak ulama mutaqaddimun dan mutaakhirun memilih hukum boleh ketika putus hak mereka daripada khumusul khumus. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah al-Ishthikhari, al-Harawi, Ibnu Yahya, Ibnu Abi Hurairah. Telah beramal dan berfatwa dengannya oleh al-Fakhrur Razi, Qadhi Husain, Ibnu Syukail, Ibnu Ziyad, an-Naasyiri dan Ibnu Muthir. Berkata al-Asykhar: "Mereka-mereka ini (yakni para ulama yang tersebut tadi) adalah imam-imam besar yang fatwa mereka mempunyai kekuatan, oleh itu, boleh bertaklid kepada mereka dengan taklid yang sah dengan syaratnya karena darurat dan lepaslah tanggungan ketika itu (yakni lepaslah tanggungan kewajiban mengeluarkan zakat apabila ianya diberi kepada mereka karena ketika itu dihukumkan sah zakat yang dikeluarkan kepada mereka), akan tetapi pendapat ini hanyalah untuk amalan pribadi dan bukan untuk dijadikan fatwa atau dijadikan hukum dengannya. Dan telah menyalahi akan fatwa tersebut al-`Allaamah Sayyid 'Abdullah bin 'Umar bin Abu Bakar Bin Yahya yang berpendapat bahwa: " Tidak boleh memberikan zakat kepada mereka (yakni ahlil bait) secara mutlak, dan sesiapa yang membolehkannya, maka dia telah keluar daripada mazhab yang empat, maka tidak boleh dipegang karena ijma’ mazhab yang empat melarang pemberian zakat kepada mereka” 1
2.Ibnu Shalah ditanyai mengenai ahlul bait menerima hak ‘amil pada zakat, beliau menjawab dengan mengemukakan terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai ini. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh, dengan beralasan bahwa hak ‘amil tetap bersifat dengan zakat dan bukan ongkos sebagaimana yang dimaklumi dalam fiqh. Buktinya hak ‘amil tidak tidak disyaratkan aqad dan syarat lain sebagaimana disyaratkan masalah perongkosan. Pendapat kedua menyatakan bahwa ahlul baid dibolehkan menerima hak ‘amil, dengan beralasan bahwa hak ‘amil pada makna ongkos kerja membagi zakat kepada yang berhak. Jadi tidak sama dengan asnaf lainnya. Buktinya ‘amil menerima menurut qadar ujrah mitsl. Hanya tidak berlaku aqad dan syarat seperti pengongkosan lainnya karena onkos pada zakat telah ditetapkan dengan nash syara’, berbeda dengan lainnya.2
Adapun dalil pengharaman zakat atas ahlul bait antara lain :
1. Hadits Nabi SAW :
عن يزيد بن حيان. قال: قال زيد بن أرقم: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال "أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي". فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Artinya : Dari Yaziid bin Hayyaan ia berkata : Telah berkata Zaid bin Arqam : “Pada satu hari Rasulullah SAW pernah berdiri dan berkhutbah di sebuah mata air yang disebut Khumm. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan kepada kami : “Amma ba’du, ketahuilah wahai sekalian manusia, bahwasannya aku hanyalah seorang manusia sama seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat maut) akan datang dan dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian dua hal yang berat, yaitu : 1) Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an itu dan berpegangteguhlah kepadanya – beliau mendorong dan menghimbau pengamalan Al-Qur’an - ; 2) Ahlul-baitku (keluargaku). Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-bait-ku (beliau mengucapkan tiga kali)”. Hushain berkata kepada Zaid : “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah SAW ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?”. Zaid bin Arqam menjawab : “Istri-istri beliau SAW memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau”. Hushain berkata : “Siapakah mereka itu ?”. Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain berkata : “Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?”. Zaid menjawab : “Ya” [HR. Muslim)3
2. Hadits Nabi SAW :
عن أبي هريرة يقول: أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة. فجعلها في فيه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " كخ كخ. ارم بها. أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
Artinya : Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Al-Hasan bin ‘Aliy pernah mengambil sebutir kurma dari kurma shadaqah yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. Maka Rasulullah SAW bersabda : ‘Kikh, kikh, muntahkan ! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta shadaqah (zakat)?"(H.R. Muslim)4
Kesimpulan
1.Ahlul bait, yakni Bani Hasyim dan Bani al-Muthallib, (kalau di Indonesia dikenal dengan sebutan Sayyed atau Habib), dalam mazhab Syafi’i disepakati haram menerima zakat
2.Namum demikian, jika terputus hak khumusul khumus, ada ulama yang membolehkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed 'Abdur Rahman Ba’lawy, Bughyatul Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 106-107
2.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 138
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1873, No. Hadits : 2408
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 751, No. Hadits : 1069
1.Dalam Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyed 'Abdur Rahman Ba’lawy disebutkan :
“Ittifaq (sepakat) jumhur ulama asy-Syafi`iyyah terlarang pemberian zakat dan segala pemberian yang bersifat wajib seperti nazar dan kafarah, kepada ahlil bait, walaupun mereka tidak mendapat hak mereka daripada khumusul khumus. Dan demikianlah pula hukumnya bagi para mawali mereka menurut pemdapat yang lebih shahih. Namun demikian, banyak ulama mutaqaddimun dan mutaakhirun memilih hukum boleh ketika putus hak mereka daripada khumusul khumus. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah al-Ishthikhari, al-Harawi, Ibnu Yahya, Ibnu Abi Hurairah. Telah beramal dan berfatwa dengannya oleh al-Fakhrur Razi, Qadhi Husain, Ibnu Syukail, Ibnu Ziyad, an-Naasyiri dan Ibnu Muthir. Berkata al-Asykhar: "Mereka-mereka ini (yakni para ulama yang tersebut tadi) adalah imam-imam besar yang fatwa mereka mempunyai kekuatan, oleh itu, boleh bertaklid kepada mereka dengan taklid yang sah dengan syaratnya karena darurat dan lepaslah tanggungan ketika itu (yakni lepaslah tanggungan kewajiban mengeluarkan zakat apabila ianya diberi kepada mereka karena ketika itu dihukumkan sah zakat yang dikeluarkan kepada mereka), akan tetapi pendapat ini hanyalah untuk amalan pribadi dan bukan untuk dijadikan fatwa atau dijadikan hukum dengannya. Dan telah menyalahi akan fatwa tersebut al-`Allaamah Sayyid 'Abdullah bin 'Umar bin Abu Bakar Bin Yahya yang berpendapat bahwa: " Tidak boleh memberikan zakat kepada mereka (yakni ahlil bait) secara mutlak, dan sesiapa yang membolehkannya, maka dia telah keluar daripada mazhab yang empat, maka tidak boleh dipegang karena ijma’ mazhab yang empat melarang pemberian zakat kepada mereka” 1
2.Ibnu Shalah ditanyai mengenai ahlul bait menerima hak ‘amil pada zakat, beliau menjawab dengan mengemukakan terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai ini. Pendapat pertama mengatakan tidak boleh, dengan beralasan bahwa hak ‘amil tetap bersifat dengan zakat dan bukan ongkos sebagaimana yang dimaklumi dalam fiqh. Buktinya hak ‘amil tidak tidak disyaratkan aqad dan syarat lain sebagaimana disyaratkan masalah perongkosan. Pendapat kedua menyatakan bahwa ahlul baid dibolehkan menerima hak ‘amil, dengan beralasan bahwa hak ‘amil pada makna ongkos kerja membagi zakat kepada yang berhak. Jadi tidak sama dengan asnaf lainnya. Buktinya ‘amil menerima menurut qadar ujrah mitsl. Hanya tidak berlaku aqad dan syarat seperti pengongkosan lainnya karena onkos pada zakat telah ditetapkan dengan nash syara’, berbeda dengan lainnya.2
Adapun dalil pengharaman zakat atas ahlul bait antara lain :
1. Hadits Nabi SAW :
عن يزيد بن حيان. قال: قال زيد بن أرقم: قام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما فينا خطيبا. بماء يدعى خما. بين مكة والمدينة. فحمد الله وأثنى عليه. ووعظ وذكر. ثم قال "أما بعد. ألا أيها الناس! فإنما أنا بشر يوشك أن يأتي رسول ربي فأجيب. وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله فيه الهدى والنور فخذوا بكتاب الله. واستمسكوا به" فحث على كتاب الله ورغب فيه. ثم قال "وأهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي. أذكركم الله في أهل بيتي". فقال له حصين: ومن أهل بيته؟ يا زيد! أليس نساؤه من أهل بيته؟ قال: نساؤه من أهل بيته. ولكن أهل بيته من حرم الصدقة بعده. قال: وهم؟ قال: هم آل علي، وآل عقيل، وآل جعفر، وآل عباس. قال: كل هؤلاء حرم الصدقة؟ قال: نعم.
Artinya : Dari Yaziid bin Hayyaan ia berkata : Telah berkata Zaid bin Arqam : “Pada satu hari Rasulullah SAW pernah berdiri dan berkhutbah di sebuah mata air yang disebut Khumm. Beliau memuji Allah, kemudian menyampaikan nasihat dan peringatan kepada kami : “Amma ba’du, ketahuilah wahai sekalian manusia, bahwasannya aku hanyalah seorang manusia sama seperti kalian. Sebentar lagi utusan Rabb-ku (yaitu malaikat maut) akan datang dan dia diperkenankan. Aku akan meninggalkan kepada kalian dua hal yang berat, yaitu : 1) Al-Qur’an yang berisi petunjuk dan cahaya, karena itu laksanakanlah isi Al-Qur’an itu dan berpegangteguhlah kepadanya – beliau mendorong dan menghimbau pengamalan Al-Qur’an - ; 2) Ahlul-baitku (keluargaku). Aku ingatkan kalian kepada Allah tentang Ahlul-bait-ku (beliau mengucapkan tiga kali)”. Hushain berkata kepada Zaid : “Wahai Zaid, siapakah ahlul-bait Rasulullah SAW ? Bukankah istri-istri beliau adalah ahlul-baitnya ?”. Zaid bin Arqam menjawab : “Istri-istri beliau SAW memang ahlul-baitnya. Namun ahlul-bait beliau adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat sepeninggal beliau”. Hushain berkata : “Siapakah mereka itu ?”. Zaid menjawab : “Mereka adalah keluarga ‘Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas”. Hushain berkata : “Apakah mereka semua itu diharamkan menerima zakat ?”. Zaid menjawab : “Ya” [HR. Muslim)3
2. Hadits Nabi SAW :
عن أبي هريرة يقول: أخذ الحسن بن علي تمرة من تمر الصدقة. فجعلها في فيه. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " كخ كخ. ارم بها. أما علمت أنا لا نأكل الصدقة ؟
Artinya : Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Al-Hasan bin ‘Aliy pernah mengambil sebutir kurma dari kurma shadaqah yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. Maka Rasulullah SAW bersabda : ‘Kikh, kikh, muntahkan ! Tidakkah engkau tahu bahwa kita tidak boleh memakan harta shadaqah (zakat)?"(H.R. Muslim)4
Kesimpulan
1.Ahlul bait, yakni Bani Hasyim dan Bani al-Muthallib, (kalau di Indonesia dikenal dengan sebutan Sayyed atau Habib), dalam mazhab Syafi’i disepakati haram menerima zakat
2.Namum demikian, jika terputus hak khumusul khumus, ada ulama yang membolehkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed 'Abdur Rahman Ba’lawy, Bughyatul Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 106-107
2.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Dar al-Hadits, Kairo, Hal. 138
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 1873, No. Hadits : 2408
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 751, No. Hadits : 1069
Azan pada saat menurunkan jenazah pada liang kubur
Berikut keterangan ulama mengenai hukum azan pada saat menurunkan jenazah pada liang kubur
1.Bujairumy mengatakan :
“tidak disunatkan azan ketika menimbun kuburan, khilaf dengan pendapat sebagian ulama”.1
2.Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Azan dan iqamah ketika menimbun kuburan adalah bid’ah. Barang siapa yang mendakwakan sunnah ketika menurunkan kuburan adalah karena diqiyas kepada sunat azan dan iqamah pada anak baru lahir, maka itu tidak benar, karena menghubungkan hukum penghujung suatu dengan permulaannya. Manakah jami’nya di antara dua perkara tersebut ?. Semata-mata itu pada permulaan dan ini pada penghujungnya, tidak menghendaki dapat dihubungkan permulaan dengan penghujungnya".2
3.Berkata al-Bakri al-Dimyathi :
“Ketuhuilah tidak disunat azan ketika masuk kubur, khilaf dengan dengan orang yang berpendapat sunnatnya, karena qiyas keluar seseorang dari dunia kepada masuknya dalam dunia."3
Kesimpulan
Azan pada saat menurunkan jenazah pada kuburan tidak sunnat, namun kalau ada masyarakat kita yang melakukannya, maka tidak perlu dilarang karena ada sebagian ulama kita yang membolehkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Bujairumi, al-Bujairumi ala Fath al-Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 492
2.Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 24
3.Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 230
1.Bujairumy mengatakan :
“tidak disunatkan azan ketika menimbun kuburan, khilaf dengan pendapat sebagian ulama”.1
2.Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Azan dan iqamah ketika menimbun kuburan adalah bid’ah. Barang siapa yang mendakwakan sunnah ketika menurunkan kuburan adalah karena diqiyas kepada sunat azan dan iqamah pada anak baru lahir, maka itu tidak benar, karena menghubungkan hukum penghujung suatu dengan permulaannya. Manakah jami’nya di antara dua perkara tersebut ?. Semata-mata itu pada permulaan dan ini pada penghujungnya, tidak menghendaki dapat dihubungkan permulaan dengan penghujungnya".2
3.Berkata al-Bakri al-Dimyathi :
“Ketuhuilah tidak disunat azan ketika masuk kubur, khilaf dengan dengan orang yang berpendapat sunnatnya, karena qiyas keluar seseorang dari dunia kepada masuknya dalam dunia."3
Kesimpulan
Azan pada saat menurunkan jenazah pada kuburan tidak sunnat, namun kalau ada masyarakat kita yang melakukannya, maka tidak perlu dilarang karena ada sebagian ulama kita yang membolehkannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Bujairumi, al-Bujairumi ala Fath al-Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 492
2.Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 24
3.Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 230
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Muqaddimah, Hal. 6
وعبروا عن الفقه هنا بالعلم وان كان لظنية أدلته ظنا كما عبروا به فى كتاب الإجتهاد لأنه ظن المجتهد الذى هو لقوته قريب من العلم ونكرت العلم والحكم وأفردتهما تبعا للعلامة البرماوى لأن التحديد انما هو للماهية من غير اعتبار كمية أفرادها ولأن فى تعبيرى بحكم لا بالأحكام الذى عبر به الأصل كغيره سلامة من ورود ان العلم بجميع الأحكام ينافى قول كل من أكابر الفقهاء فى مسائل سألوا عنها لا أدرى وان أجيب عنه بأنهم متهيؤن للعلم بأحكامها بمعاودة النظر واطلاق العلم على مثل هذا التهيئ شائع عرفا يقال فلان يعلم النحو ولا يراد ان جميع مسائله حاضرة عنده مفصلة بل انه متهيئ لذلك
Para ulama meng-’ibarat-kan fiqh di sini dengan ilmu, meskipun fiqh itu sendiri adalah zhan sebagaimana ‘ibarat mereka dalam kitab ijtihad karena dalil-dalinya bersifat zhanniyah. Alasannya adalah zhan mujtahid, karena kuatnya dekat dengan ilmu. Di-nakirah-kan perkataan”ilmu” dan “hukm” (1) serta disebut dengan bentuk mufrad karena mengikuti al-Alamah al-Barmawi, dengan alasan bahwa pendevinisiannya hanya terjadi bagi mahiyah-nya tanpa i’tibar jumlah satuannya dan lagi pula ‘ibarat-ku dengan “hukm”, bukan dengan “al-ahkam” sebagaimana yang ‘ibarat oleh asal dan lainnya terpelihara dari kritikan bahwa sesungguhnya pengetahuan dengan semua hukum menafikan perkataan sekumpulan pembesar fuqaha pada masalah yang mereka tanyakan, yaitu perkataan “Saya tidak tahu” , meskipun kritikan itu dapat dijawab dengan bahwa para fuqaha itu adalah orang-orang mempunyai potensi untuk mengetahui semua hukum-hukum dengan mengulangi melakukan pendalaman. Penyebutan perkataan “ilmu” secara mutlaq atas yang semisal potensi ini masyhur pada ‘uruf. Dikatakan, “Sipulan mengetahui Nahu”, maka tidak dimaksudkan bahwa semua masalah Nahu hadir di sisinya secara mendetil, tetapi hanya ia mempunyai potensi untuk itu.
Penjelasan
(1). Dengan di-nakirah-kan “ilmu” dan “hukm”, maka kedua perkataan ini adalah lafazd mutlaq. Sehingga kedua perkataan tersebut tinjauannya hanya kepada mahiyah (zat)-nya saja, tanpa i’tibar jumlah satuannya, karena tinjauan jumlah satuan hanya terjadi pada lafazh ‘am yang ditandai antara lain dengan masuk “al”. Ini apabila “al” tersebut bermakna istighraq al-afrad. Karena sebuah devinisi menguraikan mahiyah sesuatu , maka penyebutan “ilmu” dan “hukm” dengan bentuk nakirah adalah lebih tepat.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Lihat pengertian mutlaq dan nakirah dalam Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha keluarga, Semarang, Hal.82
Para ulama meng-’ibarat-kan fiqh di sini dengan ilmu, meskipun fiqh itu sendiri adalah zhan sebagaimana ‘ibarat mereka dalam kitab ijtihad karena dalil-dalinya bersifat zhanniyah. Alasannya adalah zhan mujtahid, karena kuatnya dekat dengan ilmu. Di-nakirah-kan perkataan”ilmu” dan “hukm” (1) serta disebut dengan bentuk mufrad karena mengikuti al-Alamah al-Barmawi, dengan alasan bahwa pendevinisiannya hanya terjadi bagi mahiyah-nya tanpa i’tibar jumlah satuannya dan lagi pula ‘ibarat-ku dengan “hukm”, bukan dengan “al-ahkam” sebagaimana yang ‘ibarat oleh asal dan lainnya terpelihara dari kritikan bahwa sesungguhnya pengetahuan dengan semua hukum menafikan perkataan sekumpulan pembesar fuqaha pada masalah yang mereka tanyakan, yaitu perkataan “Saya tidak tahu” , meskipun kritikan itu dapat dijawab dengan bahwa para fuqaha itu adalah orang-orang mempunyai potensi untuk mengetahui semua hukum-hukum dengan mengulangi melakukan pendalaman. Penyebutan perkataan “ilmu” secara mutlaq atas yang semisal potensi ini masyhur pada ‘uruf. Dikatakan, “Sipulan mengetahui Nahu”, maka tidak dimaksudkan bahwa semua masalah Nahu hadir di sisinya secara mendetil, tetapi hanya ia mempunyai potensi untuk itu.
Penjelasan
(1). Dengan di-nakirah-kan “ilmu” dan “hukm”, maka kedua perkataan ini adalah lafazd mutlaq. Sehingga kedua perkataan tersebut tinjauannya hanya kepada mahiyah (zat)-nya saja, tanpa i’tibar jumlah satuannya, karena tinjauan jumlah satuan hanya terjadi pada lafazh ‘am yang ditandai antara lain dengan masuk “al”. Ini apabila “al” tersebut bermakna istighraq al-afrad. Karena sebuah devinisi menguraikan mahiyah sesuatu , maka penyebutan “ilmu” dan “hukm” dengan bentuk nakirah adalah lebih tepat.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Lihat pengertian mutlaq dan nakirah dalam Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha keluarga, Semarang, Hal.82
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Muqaddimah, Hal. 5 -6
( وَالْفِقْهُ عِلْمٌ بِحُكْمٍ ) أى نسبة تامة فالعلم بها تصديق بتعلقها لا تصورها لانه من مبادئ أصول الفقه ولا تصديق بثبوتها لأنه من علم الكلام ( شَرْعِيٍ ) أى مأخوذ من الشرع المبعوث به النبى الكريم ( عَمَلِيٍّ ) أى متعلق بكيفية عمل قلبى أو غيره كالعلم بوجوب النية فى الوضوء وبندب الوتر ( مُكْتَسَبٌ ) ذلك العلم لمكتسبه ( مِنْ دَلِيْلٍ تَفْصِيْلِيٍّ ) للحكم فالعلم كالجنس. وخرج بالحكم العلم بالذات والصفة والفعل كتصور الإنسان والبياض والقيام وبالشرعى العلم بالحكم العقلى والحسى واللغوى والوضعى كالعلم بأن الواحد نصف الإثنين وان النار محرقة وان النور الضياء وان الفاعل مرفوع وبالعملى العلم بالحكم الشرعى العلمى أى الإعتقادى كالعلم فى أصول الفقه بأن الإجماع حجة والعلم فى أصول الدين بأن الله واحد وبالمكتسب علم الله وجبريل بما ذكر وكذا علم النبى به الحاصل بوحى وعلمنا به بالضرورة بان علم من الدين بالضرورة كإيجاب الصلاة والزكاة والحج وتحريم الزنا والسرقة وبالدليل التفصيلى العلم بذلك للمقلد فإنه من المجتهد بواسطة دليل إجمالى وهو ان هذا الحكم أفتاه به المفتى وكل ما أفتاه به المفتى فهو حكم الله فى حقه فعلمه مثلا بوجوب النية فى الوضوء كذلك ليس من الفقه
(Fiqh adalah pengetahuan mengenai hukum) yaitu nisbah yang sempurna. Pengetahuan nisbah yang sempurna adalah tashdiq hubungan al-nisbah yang sempurna, bukan tashawwur-nya,(1) karena tashawwur al-nisbah yang sempurna termasuk mubadi ushul fiqh dan bukan juga tsubut al-nisbah(2) yang sempurna, karena ia termasuk dalam ilmu kalam (syar’i) yaitu berasal dari syara’ dimana Nabi yang mulia diutus dengan sebabnya (bersifat amalan) yaitu berhubungan dengan dengan tata cara beramal, baik perbuatan hati maupun lainnya, seperti mengetahui kewajiban niat pada wudhu dan disunatkan witir (yang diusahakan) ilmu itu bagi yang mengusahakannya (dari dalil yang detil) bagi hukum. Maka perkataan “ilmu” seperti jenis. Dengan perkataan “dengan hukum” keluarlah pengetahuan mengenai suatu zat, sifat dan perbuatan, misalnya tashawwur manusia, tashawwur putih dan tashawwur berdiri. Dengan perkataan “syar’i” keluarlah pengetahuan mengenai hukum akal, kasat mata, bahasa dan istilah nahu seperti pengetahuan bahwa satu setengan dari dua, api dapat membakarkan, al-nur adalah cahaya dan al-fa’il adalah marfu’. Dengan perkataan “bersifat amalan” keluarlah pengetahuan mengenai hukum syar’i yang bersifat keyakinan, yaitu i’tiqad seperti pengetahuan dalam ushul fiqh bahwa ijmak merupakan hujjah dan pengetahuan dalam ushuluddin bahwa Allah adalah satu. Dengan perkataan “yang diusahakan” keluarlah pengetahuan Allah dan Jibril mengenai yang telah disebutkan, demikian juga pengetahuan Nabi yang didapatinya dari wahyu dan pengetahuan kita dengan mudah mengenai yang telah disebutkan yakni dimaklum dari agama dengan cara mudah, seperti kewajiban shalat, zakat, haji, haram zina dan mencuri. Dengan perkataan “dalil yang detil” keluarlah pengetahuan muqallid mengenai yang telah disebutkan. Pengetahuan ini bersumber dari mujtahid dengan perantaraan dalil secara global, yaitu hukum ini difatwakan oleh mufti dan setiap yang difatwakan oleh mufti merupakan hukum Allah pada hak muqallid. Maka pengetahuan muqallid misalnya mengenai kewajiban niat pada wudhu’ seperti itu tidak termasuk dari fiqh.
Penjelasan
(1). Sebuah kalam tidak terlepas dari tashawwur dan tashdiq. Tashawwur adalah mendapati gambaran sesuatu tanpa ada hukum dengan nafi atau itsbat padanya. Sedangkan tashdiq adalah mendapati nisbah terjadi atau tidak terjadi. Pada contoh Zaid adalah penulis, maka memahami gambaran Zaid, gambaran penulis dan gambaran nisbah (hubungan) antara Zaid dan penulis merupakan tashawwur. Sedangkan mengetahui bahwa Zaid adalah benar-benar penulis atau tidak, maka disebut tashdiq.1 Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian tashdiq hubungan nisbah yang sempurna adalah mengetahui bahwa hubungan antara mauuzhu’ dan mahmul benar-benar terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh dalam fiqh adalah seorang mujtahid mengetahui bahwa niat pada wudhu’ adalah wajib, mengetahui bahwa basmallah dalam al-Fatihah shalat adalah wajib dan lain-lain.
(2). Pengertian tsubut al-nisbah ialah keyakinan yang memastikan hubungan antara mauzhu’ dan mahmul. Oleh karena itu, tsubut al-nisbah hanya terdapat dalam ilmu kalam. Karena ilmu kalam membicarakan sesuatu i’tiqad yang jazim (pasti). Dengan demikian yang dimaksud dengan tashdiq di sini adalah zhan atau dugaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal.45
(Fiqh adalah pengetahuan mengenai hukum) yaitu nisbah yang sempurna. Pengetahuan nisbah yang sempurna adalah tashdiq hubungan al-nisbah yang sempurna, bukan tashawwur-nya,(1) karena tashawwur al-nisbah yang sempurna termasuk mubadi ushul fiqh dan bukan juga tsubut al-nisbah(2) yang sempurna, karena ia termasuk dalam ilmu kalam (syar’i) yaitu berasal dari syara’ dimana Nabi yang mulia diutus dengan sebabnya (bersifat amalan) yaitu berhubungan dengan dengan tata cara beramal, baik perbuatan hati maupun lainnya, seperti mengetahui kewajiban niat pada wudhu dan disunatkan witir (yang diusahakan) ilmu itu bagi yang mengusahakannya (dari dalil yang detil) bagi hukum. Maka perkataan “ilmu” seperti jenis. Dengan perkataan “dengan hukum” keluarlah pengetahuan mengenai suatu zat, sifat dan perbuatan, misalnya tashawwur manusia, tashawwur putih dan tashawwur berdiri. Dengan perkataan “syar’i” keluarlah pengetahuan mengenai hukum akal, kasat mata, bahasa dan istilah nahu seperti pengetahuan bahwa satu setengan dari dua, api dapat membakarkan, al-nur adalah cahaya dan al-fa’il adalah marfu’. Dengan perkataan “bersifat amalan” keluarlah pengetahuan mengenai hukum syar’i yang bersifat keyakinan, yaitu i’tiqad seperti pengetahuan dalam ushul fiqh bahwa ijmak merupakan hujjah dan pengetahuan dalam ushuluddin bahwa Allah adalah satu. Dengan perkataan “yang diusahakan” keluarlah pengetahuan Allah dan Jibril mengenai yang telah disebutkan, demikian juga pengetahuan Nabi yang didapatinya dari wahyu dan pengetahuan kita dengan mudah mengenai yang telah disebutkan yakni dimaklum dari agama dengan cara mudah, seperti kewajiban shalat, zakat, haji, haram zina dan mencuri. Dengan perkataan “dalil yang detil” keluarlah pengetahuan muqallid mengenai yang telah disebutkan. Pengetahuan ini bersumber dari mujtahid dengan perantaraan dalil secara global, yaitu hukum ini difatwakan oleh mufti dan setiap yang difatwakan oleh mufti merupakan hukum Allah pada hak muqallid. Maka pengetahuan muqallid misalnya mengenai kewajiban niat pada wudhu’ seperti itu tidak termasuk dari fiqh.
Penjelasan
(1). Sebuah kalam tidak terlepas dari tashawwur dan tashdiq. Tashawwur adalah mendapati gambaran sesuatu tanpa ada hukum dengan nafi atau itsbat padanya. Sedangkan tashdiq adalah mendapati nisbah terjadi atau tidak terjadi. Pada contoh Zaid adalah penulis, maka memahami gambaran Zaid, gambaran penulis dan gambaran nisbah (hubungan) antara Zaid dan penulis merupakan tashawwur. Sedangkan mengetahui bahwa Zaid adalah benar-benar penulis atau tidak, maka disebut tashdiq.1 Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian tashdiq hubungan nisbah yang sempurna adalah mengetahui bahwa hubungan antara mauuzhu’ dan mahmul benar-benar terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh dalam fiqh adalah seorang mujtahid mengetahui bahwa niat pada wudhu’ adalah wajib, mengetahui bahwa basmallah dalam al-Fatihah shalat adalah wajib dan lain-lain.
(2). Pengertian tsubut al-nisbah ialah keyakinan yang memastikan hubungan antara mauzhu’ dan mahmul. Oleh karena itu, tsubut al-nisbah hanya terdapat dalam ilmu kalam. Karena ilmu kalam membicarakan sesuatu i’tiqad yang jazim (pasti). Dengan demikian yang dimaksud dengan tashdiq di sini adalah zhan atau dugaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal.45
Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Muqaddimah, Hal. 5
( وَقِيْلَ ) أصول الفقه ( مَعْرِفَتُهَا ) أى معرفة أدلة الفقه وما عطف عليها ورجح الأول لأن الأدلة وما عطف عليها اذا لم تعرف لم تخرج عن كونها أصولا والأصل قال أصول الفقه دلائل الفقه اٌلإجمالية وقيل معرفتها ثم قال والأصولى العارف بها وبطرق استفادتها ومستفيدها مخالفا فى ذلك الأصوليين باعترافه وقرره فى منع الموانع بما لايشفى وقرره شيخنا العلامة الجلال المحلى بما لامزيد عليه واستبعده ايضا شيخه العلامة الشمس البرماوى وقال لا يعرف فى المنسوب زيادة قيد من حيث النسبة على المنسوب اليه وعدلت عن قوله دلائل الى قولى أدلة لأن الموجود هنا جمع قلة لا جمع كثرة ولما قيل ان فعائل لم يأت جمعا لاسم جنس بوزن فعيل وان رد بأنه أتى نادرا كوصائد جمع وصيد واعلم ان لكل علم مبادئ وموضوعا ومسائل فمبادؤه ما يتوقف عليه المقصود بالذات من تعريفه وتعريف أقسامه وفائدته وهى هنا العلم بأحكام الله وما يستمد منه وهو هنا علم الكلام والعربية والأحكام أى تصورها وموضوعه أى ما يبحث فى ذلك العلم عن عوارضه الذاتية كأدلة الفقه هنا ومسائله ما يطلب نسبة محموله الى موضوعه فى ذلك العلم كعلمنا هنا بأن الأمر للوجوب حقيقة والنهى للتحريم كذلك.
(Dikatakan), ushul fiqh (adalah mengenalnya) yaitu mengenal dalil-dalil fiqh dan yang di-’athaf-kan kepadanya.(1) Ditarjih devinisi yang pertama karena dalil-dalil dan yang di-‘athaf-kan atasnya apabila tidak dikenal, maka tidak keluar dari keadaannya sebagai ushul. Asal mengatakan bahwa ushul fiqh dalil-dalil fiqh secara global. Dikatakan, ushul fiqh adalah mengenal dalil-dalil fiqh. Kemudian beliau mengatakan, al-Ushuli adalah orang yang mengenal dalil-dalil fiqh, metode-metode istinbathnya dan mengenal orang-orang yang mengistibathkannya. Beliau mengakui sendiri bahwa pendapat ini berbeda dengan Ushuliyun. Dalam Man’u al-Mawani’,(2) beliau telah menetapkannya dengan keterangan yang tidak memadai. Guru kami al-‘Alamah al-Jalal al-Mahalli juga telah menetapkannya dengan sesuatu yang tidak lebih dari itu. Guru beliau, al-Alamah Syams al-Barmawy juga telah menganggap itu terlalu jauh, beliau mengatakan, tidak dikenal pada mansub ada tambahan qaid atas mansub ilaih-nya dari aspek nisbah-nya. Saya menggantikan perkataan Asal “dalail” kepada kepada perkataanku “adillah” , karena yang maujud di sini adalah jamak qillah, bukan jamak katsurah dan lagi pula dikatakan, bahwa timbangan fa’a-il tidak muncul sebagai jamak bagi isim jenis dengan timbangan fa’il, meskipun pendapat ini ditolak dengan sebab kemunculannya yang jarang. Misalnya washaid jamak dari washiid. Ketahuilah bahwa bagi setiap ilmu ada mubadi, mauzhu’ (objek) dan masalahnya. Mubadi ilmu adalah sesuatu yang tergantung maksud utama atasnya, yaitu devinisinya, devinisi pembagiannya, faedahnya, di sini yaitu mengetahui hukum-hukum Allah, sumbernya, di sini yaitu ilmu kalam dan Bahasa Arab dan hukum, yaitu gambarannya. Mauzhu’ ilmu adalah sesuatu yang dibahas pada suatu ilmu dari aspek ‘awarizh-nya yang al-zatiyah,(3) di sini seperti dalil-dalil fiqh.(4) Sedangkan masalahnya adalah sesuatu yang dituntut menetapkan mahmul kepada mauzhu’ pada suatu ilmu, di sini seperti kita mengetahui bahwa amar bermakna wajib secara hakikat dan nahi bermakna haram secara hakikat juga.
Penjelasan
(1). Dengan demikian, devinisi ushul fiqh menurut pendapat ini adalah mengenal dalil-dalil fiqh secara global, metode-metode istimbath satuan-satuannya dan keadaan orang yang mengistinbathkannya
(2). Man’u al-Mawani’ adalah sebuah karya Tajuddin al-Subky untuk menjawab kritikan-kritikan yang muncul dalam kitab beliau, Jam’u al-Jawami’1
(3). ‘Awarizh al-zatiyah ada tiga macam, yaitu : Pertama, keadaan yang dihubungkan kepada sesuatu karena zat sesuatu, seperti sifat kagum yang dihubungkan kepada manusia karena memang zat manusia ada sifat kagum Kedua, keadaan yang dihubungkan kepada sesuatu karena bagian sesuatu, seperti bergerak dengan sendirinya yang dihubungkan kepada manusia karena manusia adalah hewan. Ketiga, keadaan yang dihubungkan kepada sesuatu karena yang diluar sesuatu, tetapi sama dengan sesuatu, seperti sifat tertawa yang dihubungkan kepada manusia dengan perantaraan bahwa manusia ada sifat kagum. Sifat kagum di sini sama dengan manusia, karena tidak ada manusia yang tidak ada sifat kagum.2 Berdasarkan uraian ini, maka yang menjadi mauzhu’ ilmu ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh secara global yang dibahas dari aspek dalalah-nya (pemahamannya) seperti amar bermakna wajib dan lain-lain.
(4).Contoh lain untuk mauzhu’ ilmu adalah tubuh manusia sebagai mauzhu’ ilmu kedokteran. Karena tubuh manusia menjadi pembahasan ilmu kedokteran dari aspek sehat atau sakitnya dan kata-kata bahasa Arab sebagai mauzhu’ ilmu Nahu. Kata-kata Bahasa Arab menjadi pembahasan ilmu Nahu dari aspek i’rab dan bina’.3 Sehat dan sakit merupakan ‘awarizh al-zatiyah bagi tubuh manusia. Demikian juga i’rab dan bina’ adalah awarizh al-zatiyah bagi kata-kata Bahasa Arab.
DAFTAR PUSTAKA
1.DR. KH. Sahal Muhafuzh, Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, Hal.12
2.Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal.34
3.Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal.34
(Dikatakan), ushul fiqh (adalah mengenalnya) yaitu mengenal dalil-dalil fiqh dan yang di-’athaf-kan kepadanya.(1) Ditarjih devinisi yang pertama karena dalil-dalil dan yang di-‘athaf-kan atasnya apabila tidak dikenal, maka tidak keluar dari keadaannya sebagai ushul. Asal mengatakan bahwa ushul fiqh dalil-dalil fiqh secara global. Dikatakan, ushul fiqh adalah mengenal dalil-dalil fiqh. Kemudian beliau mengatakan, al-Ushuli adalah orang yang mengenal dalil-dalil fiqh, metode-metode istinbathnya dan mengenal orang-orang yang mengistibathkannya. Beliau mengakui sendiri bahwa pendapat ini berbeda dengan Ushuliyun. Dalam Man’u al-Mawani’,(2) beliau telah menetapkannya dengan keterangan yang tidak memadai. Guru kami al-‘Alamah al-Jalal al-Mahalli juga telah menetapkannya dengan sesuatu yang tidak lebih dari itu. Guru beliau, al-Alamah Syams al-Barmawy juga telah menganggap itu terlalu jauh, beliau mengatakan, tidak dikenal pada mansub ada tambahan qaid atas mansub ilaih-nya dari aspek nisbah-nya. Saya menggantikan perkataan Asal “dalail” kepada kepada perkataanku “adillah” , karena yang maujud di sini adalah jamak qillah, bukan jamak katsurah dan lagi pula dikatakan, bahwa timbangan fa’a-il tidak muncul sebagai jamak bagi isim jenis dengan timbangan fa’il, meskipun pendapat ini ditolak dengan sebab kemunculannya yang jarang. Misalnya washaid jamak dari washiid. Ketahuilah bahwa bagi setiap ilmu ada mubadi, mauzhu’ (objek) dan masalahnya. Mubadi ilmu adalah sesuatu yang tergantung maksud utama atasnya, yaitu devinisinya, devinisi pembagiannya, faedahnya, di sini yaitu mengetahui hukum-hukum Allah, sumbernya, di sini yaitu ilmu kalam dan Bahasa Arab dan hukum, yaitu gambarannya. Mauzhu’ ilmu adalah sesuatu yang dibahas pada suatu ilmu dari aspek ‘awarizh-nya yang al-zatiyah,(3) di sini seperti dalil-dalil fiqh.(4) Sedangkan masalahnya adalah sesuatu yang dituntut menetapkan mahmul kepada mauzhu’ pada suatu ilmu, di sini seperti kita mengetahui bahwa amar bermakna wajib secara hakikat dan nahi bermakna haram secara hakikat juga.
Penjelasan
(1). Dengan demikian, devinisi ushul fiqh menurut pendapat ini adalah mengenal dalil-dalil fiqh secara global, metode-metode istimbath satuan-satuannya dan keadaan orang yang mengistinbathkannya
(2). Man’u al-Mawani’ adalah sebuah karya Tajuddin al-Subky untuk menjawab kritikan-kritikan yang muncul dalam kitab beliau, Jam’u al-Jawami’1
(3). ‘Awarizh al-zatiyah ada tiga macam, yaitu : Pertama, keadaan yang dihubungkan kepada sesuatu karena zat sesuatu, seperti sifat kagum yang dihubungkan kepada manusia karena memang zat manusia ada sifat kagum Kedua, keadaan yang dihubungkan kepada sesuatu karena bagian sesuatu, seperti bergerak dengan sendirinya yang dihubungkan kepada manusia karena manusia adalah hewan. Ketiga, keadaan yang dihubungkan kepada sesuatu karena yang diluar sesuatu, tetapi sama dengan sesuatu, seperti sifat tertawa yang dihubungkan kepada manusia dengan perantaraan bahwa manusia ada sifat kagum. Sifat kagum di sini sama dengan manusia, karena tidak ada manusia yang tidak ada sifat kagum.2 Berdasarkan uraian ini, maka yang menjadi mauzhu’ ilmu ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh secara global yang dibahas dari aspek dalalah-nya (pemahamannya) seperti amar bermakna wajib dan lain-lain.
(4).Contoh lain untuk mauzhu’ ilmu adalah tubuh manusia sebagai mauzhu’ ilmu kedokteran. Karena tubuh manusia menjadi pembahasan ilmu kedokteran dari aspek sehat atau sakitnya dan kata-kata bahasa Arab sebagai mauzhu’ ilmu Nahu. Kata-kata Bahasa Arab menjadi pembahasan ilmu Nahu dari aspek i’rab dan bina’.3 Sehat dan sakit merupakan ‘awarizh al-zatiyah bagi tubuh manusia. Demikian juga i’rab dan bina’ adalah awarizh al-zatiyah bagi kata-kata Bahasa Arab.
DAFTAR PUSTAKA
1.DR. KH. Sahal Muhafuzh, Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayah al-Wushul, Hal.12
2.Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal.34
3.Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah al-Shabban ‘ala Syarah al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal.34
Rabu, 20 April 2011
Mukhtashar dan nadham dari kitab Minhaj al-Thalibin
Al-Minhaj al-Thalibin, disamping banyak syarahnya, juga ada para ulama yang meringkasnya dalam bentuk mukhtashar. Mukhtashar-mukhtashar itu antara lain :
1.Al-Wahaj fii Ikhtishar al-Minhaj, karya Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy
2.Al-Manhaj al-Thulab, karya Zakariya al-Anshary. Kitab ini kemudian disyarah oleh pengarangnya sendiri dengan nama Fath al-Wahab
Al-Suyuthi salah seorang ulama Syafi’iyah abad ke X H, untuk memudah kaum muslimin menghafal kitab al-Minhaj, beliau telah membuat isi al-Minhaj dalam bentuk nadham dengan nama al-Ibtihaj ila Nadham al-Minhaj.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 21-23
1.Al-Wahaj fii Ikhtishar al-Minhaj, karya Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy
2.Al-Manhaj al-Thulab, karya Zakariya al-Anshary. Kitab ini kemudian disyarah oleh pengarangnya sendiri dengan nama Fath al-Wahab
Al-Suyuthi salah seorang ulama Syafi’iyah abad ke X H, untuk memudah kaum muslimin menghafal kitab al-Minhaj, beliau telah membuat isi al-Minhaj dalam bentuk nadham dengan nama al-Ibtihaj ila Nadham al-Minhaj.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 21-23
Riwayat hidup pengarang Minhaj al-Thalibin, Imam al-Nawawi
Al-Imam al-Allamah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi atau lebih dikenal sebagai Imam Nawawi, adalah salah seorang ulama besar mazhab Syafi'i. Beliau lahir di Desa Nawa, dekat kota Damaskus, pada tahun 631 H (1233 M) dan wafat pada tahun 676 H (1277 M) Kedua tempat tersebut kemudian menjadi nisbat nama beliau, an-Nawawi ad-Dimasyqi. Ia adalah seorang pemikir muslim di bidang fiqih dan hadits. Al-Nawawi seorang pakar hadits, fiqh, teologi, tafsir, sejarah, bahasa dan lain-lain. Dalam bidang fiqh, beliau mengikuti Mazhab Syafi’i dan dalam bidang teologi bermazhab al-Asy’ari.
Imam Nawawi merupakan seorang ulama yang sangat produktif dalam bidang tulis menulis. Kitab-kitab karya beliau antara lain :
1. Syarh Shahih Muslim (penjelasan kitab Shahih Muslim)
2. Riyadhus Shalihin (kumpulan hadits mengenai etika, sikap dan tingkah laku )
3. Syarh Shahih al-Bukhari
4. Al-Azkar (kitab mengenai zikir dan do’a)
5. Al-Arba’in al-Nawawiyah (kumpulan hadits shahih)
6. Al-Irsyad fii ‘Ulum al-hadits
7. al-Taqrib wal-Taisir
8. Raudhah al-Thalibin
9. Majmu’ Syarah al-Muhazzab
10. Minhaj al-Thalibin
11. Tahrir Alfazh al-Tanbih
12. Al-Tahqiq
13. Syarh al-Wasith
14. Al-Idhah fil-Manasik
15. al-Fatawa
16. Bustan al-Arifin.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad Idrus Ramli, Mazhab al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, Hal. 146-147
Imam Nawawi merupakan seorang ulama yang sangat produktif dalam bidang tulis menulis. Kitab-kitab karya beliau antara lain :
1. Syarh Shahih Muslim (penjelasan kitab Shahih Muslim)
2. Riyadhus Shalihin (kumpulan hadits mengenai etika, sikap dan tingkah laku )
3. Syarh Shahih al-Bukhari
4. Al-Azkar (kitab mengenai zikir dan do’a)
5. Al-Arba’in al-Nawawiyah (kumpulan hadits shahih)
6. Al-Irsyad fii ‘Ulum al-hadits
7. al-Taqrib wal-Taisir
8. Raudhah al-Thalibin
9. Majmu’ Syarah al-Muhazzab
10. Minhaj al-Thalibin
11. Tahrir Alfazh al-Tanbih
12. Al-Tahqiq
13. Syarh al-Wasith
14. Al-Idhah fil-Manasik
15. al-Fatawa
16. Bustan al-Arifin.1
DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad Idrus Ramli, Mazhab al-Asy’ari, Khalista, Surabaya, Hal. 146-147
Selasa, 19 April 2011
Sanad kitab Minhaj al-Thalibin
Dalam mengarang al-Minhaj ini, Imam al-Nawawi mengambil ilmu dan tarjih dari gurunya, Imam ‘Alamah al-Kamal Salaar dari ‘Alamah Badr al-Din pengarang al-Syamil al-Shaghir. Beliau mengambil dari Syekh Islam Abd al-Ghafar al-Quzwainy pengarang al-Hawy al-Shaghir, beliau mengambil dari Abu al-Qasim al-Quzwainy al-Rafi’i dari Syekh Badruddin Muhammad bin al-Fadhal dari Imam ‘Izzuddin Muhammad bin Yahya. Beliau mengambil dari Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dari Imam al-Haramain Abu al-Ma’aaly abd al-Mulk bin Muhammad al-Juwainy dari ayahnya Syekh Islam Muhammad al-Juwainy dari Abu Bakar al-Qufal al-Maruzy dari Abu Zaid al-Maruzy dari ‘Alamah Ibnu Suraij dari Zainuddin Abu Sa’id al-Anmaathy. Beliau mengambil dari Isma’il bin Yahya al-Muzny, beliau mengambil dari Imam Mazhab Sulthan Ulama Muhammad Idris al-Syafi’i. 1
Adapun matan al-Minhaj merupakan ringkasan dari al-Muharrar karya al-Rafi’i yang beliau ringkas dari kitab al-Wajiz karya al-Ghazali. Al-Ghazali sendiri meringkasnya dari karya beliau sendiri yang bernama al-Wasith yang diringkas dari al-Basith yang juga karya beliau. Al-Ghazali meringkaskan Kitab al-Basith ini dari kitab al-Nihayah karya Imam al-Haramain. Kitab al-Nihayah merupakan syarah Mukhtashar al-Muzny, sedangkan Mukhtashar al-Muzny diringkas dari al-Um. Pendapat lain mengatakan kitab al-Nihayah merupakan ringksan dari empat kitab, yaitu al-Um, al-Imla’, al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzny. 2
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 19
2.Sayyed Alwy bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 41-42
Adapun matan al-Minhaj merupakan ringkasan dari al-Muharrar karya al-Rafi’i yang beliau ringkas dari kitab al-Wajiz karya al-Ghazali. Al-Ghazali sendiri meringkasnya dari karya beliau sendiri yang bernama al-Wasith yang diringkas dari al-Basith yang juga karya beliau. Al-Ghazali meringkaskan Kitab al-Basith ini dari kitab al-Nihayah karya Imam al-Haramain. Kitab al-Nihayah merupakan syarah Mukhtashar al-Muzny, sedangkan Mukhtashar al-Muzny diringkas dari al-Um. Pendapat lain mengatakan kitab al-Nihayah merupakan ringksan dari empat kitab, yaitu al-Um, al-Imla’, al-Buwaithi dan Mukhtashar al-Muzny. 2
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 19
2.Sayyed Alwy bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 41-42
Syarah kitab Minhaj al-Thalibin
Kitab al-Minhaj merupakan sebuah kitab fiqh karya al-Nawawi yang dianggap penting dalam Mazhab Syafi’i, sehinggga banyak para ulama yang hidup sesudah al-Nawawi yang mensyarahnya, supaya pengikut Syafi’i dapat memahaminya dengan mudah dan benar. Syarah-syarah tersebut antara lain :
1.Al-Bahr al-Mawaj ila Syarh al-Minhaj, karya Shafiuddin Ahmad bin al-‘Imad al-Aqfahasy
2.Al-Diibaj ila Syarh al-Minhaj, karya Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi
3.Tashhih al-Minhaj, karya Sirajuddin Umar bin Ruslan al-Bulqainy
4.Dar al-Taj fi I’rab Masykal al-Minhaj, karya al-Suyuthi
5.Al-Bahr al-Mawaj, karya Muhammad bin Fakhruddin al-Abar al-Maaridiny
6.Al-Najm al-Wahaj ila Syarh al-Minhaj, karya Jamaluddin Muhammad bin Musa al-Damiry
7.Syarh al-Minhaj, karya Taqiyuddin Abu Bakar bin Ahmad bin Syahbah
8.Badayah al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Syahbah al-Asaady
9.Irsyad al-Mihtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Syahbah al-Asaady
10.Hadi al-Raghibin ila Syarh Minhaj al-Thalibin, karya Muhammad bin Abdullah bin Qadhi ‘Ajilun
11.Tuhfah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Hajar al-Haitamy
12.Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Muhammad bin Ahmad al-Ramly
13.Mughni al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Khatib Syarbainy
14.Syarh al-Minhaj, karya Jalaluddin al-Mahally
15.Syarh al-Minhaj, karya Ahmad bin Hamdan al-Azra’i
16.Al-Ibtihaj ila Syarh al-Minhaj, karya Taqiyuddin al-Subky
17.Syarh al-Minhaj, karya al-Asnawy
18.Syarh al-Minhaj, karya Farj bin Muhammad al-Ardibily
19.Syarh al-Minhaj, karya Zakariya al-Anshary
20.I’anah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Sayyed Muhammad bin Ahmad Abd al-Barry al-Ahdal
21.Dan lain-lain.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 24-28
1.Al-Bahr al-Mawaj ila Syarh al-Minhaj, karya Shafiuddin Ahmad bin al-‘Imad al-Aqfahasy
2.Al-Diibaj ila Syarh al-Minhaj, karya Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi
3.Tashhih al-Minhaj, karya Sirajuddin Umar bin Ruslan al-Bulqainy
4.Dar al-Taj fi I’rab Masykal al-Minhaj, karya al-Suyuthi
5.Al-Bahr al-Mawaj, karya Muhammad bin Fakhruddin al-Abar al-Maaridiny
6.Al-Najm al-Wahaj ila Syarh al-Minhaj, karya Jamaluddin Muhammad bin Musa al-Damiry
7.Syarh al-Minhaj, karya Taqiyuddin Abu Bakar bin Ahmad bin Syahbah
8.Badayah al-Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Syahbah al-Asaady
9.Irsyad al-Mihtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Syahbah al-Asaady
10.Hadi al-Raghibin ila Syarh Minhaj al-Thalibin, karya Muhammad bin Abdullah bin Qadhi ‘Ajilun
11.Tuhfah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Ibnu Hajar al-Haitamy
12.Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Muhammad bin Ahmad al-Ramly
13.Mughni al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Khatib Syarbainy
14.Syarh al-Minhaj, karya Jalaluddin al-Mahally
15.Syarh al-Minhaj, karya Ahmad bin Hamdan al-Azra’i
16.Al-Ibtihaj ila Syarh al-Minhaj, karya Taqiyuddin al-Subky
17.Syarh al-Minhaj, karya al-Asnawy
18.Syarh al-Minhaj, karya Farj bin Muhammad al-Ardibily
19.Syarh al-Minhaj, karya Zakariya al-Anshary
20.I’anah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, karya Sayyed Muhammad bin Ahmad Abd al-Barry al-Ahdal
21.Dan lain-lain.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Faqih Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, Hal. 24-28
Teungku Syiah Kuala
Syekh Abdurrauf Singkil (Singkil, Aceh 1024 H/1615 M - Kuala Aceh, Aceh 1105 H/1693 M) adalah seorang ulama besar Aceh yang terkenal. Ia memiliki pengaruh yang besar dalam penyebaran agama Islam di Sumatera dan Nusantara pada umumnya. Sebutan gelarnya yang juga terkenal ialah Teungku Syiah Kuala (bahasa Aceh, artinya Syekh Ulama di Kuala).
Masa muda
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Pengajaran dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
-Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
-Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
-Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
-Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
-Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
-Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
Sumber : http://www.bluefame.com
Masa muda
Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Menurut riwayat masyarakat, keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13. Pada masa mudanya, ia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri. Ia kemudian juga belajar pada ulama-ulama di Fansur dan Banda Aceh. Selanjutnya, ia pergi menunaikan ibadah haji, dan dalam proses pelawatannya ia belajar pada berbagai ulama di Timur Tengah untuk mendalami agama Islam.
Tarekat Syattariyah
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, syaikh untuk Tarekat Syattariyah Ahmad al-Qusyasyi adalah salah satu gurunya. Nama Abdurrauf muncul dalam silsilah tarekat dan ia menjadi orang pertama yang memperkenalkan Syattariyah di Indonesia. Namanya juga dihubungkan dengan terjemahan dan tafsir Al-Qur’an bahasa Melayu atas karya Al-Baidhawi berjudul Anwar at-Tanzil Wa Asrar at-Ta'wil, yang pertama kali diterbitkan di Istanbul tahun 1884.
Pengajaran dan karya
Ia diperkirakan kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M dan mengajarkan serta mengembangkan tarekat Syattariah yang diperolehnya. Murid yang berguru kepadanya banyak dan berasal dari Aceh serta wilayah Nusantara lainnya. Beberapa yang menjadi ulama terkenal ialah Syekh Burhanuddin Ulakan (dari Pariaman, Sumatera Barat) dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan (dari Tasikmalaya, Jawa Barat).
Azyumardi Azra menyatakan bahwa banyak karya-karya Abdurrauf Singkil yang sempat dipublikasikan melalui murid-muridnya. Di antaranya adalah:
Mir'at al-Thullab fî Tasyil Mawa'iz al-Badî'rifat al-Ahkâm al-Syar'iyyah li Malik al-Wahhab. Karya di bidang fiqh atau hukum Islam, yang ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin.
-Tarjuman al-Mustafid. Merupakan naskah pertama Tafsir Al Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu.
-Terjemahan Hadits Arba'in karya Imam Al-Nawawi. Kitab ini ditulis atas permintaan Sultanah Zakiyyatuddin.
-Mawa'iz al-Badî'. Berisi sejumlah nasehat penting dalam pembinaan akhlak.
-Tanbih al-Masyi. Kitab ini merupakan naskah tasawuf yang memuat pengajaran tentang martabat tujuh.
-Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al-Qâilin bi Wahdatil Wujud. Memuat penjelasan tentang konsep wahadatul wujud.
-Daqâiq al-Hurf. Pengajaran mengenai taswuf dan teologi.
Wafat
Abdurrauf Singkil meninggal dunia pada tahun 1693, dengan berusia 73 tahun. Ia dimakamkan di samping masjid yang dibangunnya di Kuala Aceh, desa Deyah Raya Kecamatan Kuala, sekitar 15 Km dari Banda Aceh.
Sumber : http://www.bluefame.com
Abu Kruet Lintang
Silsilah
Teungku Haji Muhammad Yusuf lebih dikenal dengan nama panggilan Abu Kruet Lintang. Ia merupakan anak keempat dari Teungku Ibrahim bin Teungku Mahmud bin Teungku Amin Silang bin Teungku Rampah Tarung bin Teungku Shalahuddin. Teungku Shalahuddin lebih dikenal dengan nama panggilan Teungku Chik Keurukon yang konon berasal dari Yaman.
Abu Kruet Lintang lahir pada tanggal 21 Agustus 1917 di desa Kruet Lintang, Kemukiman Rambong Payong, Peureulak Aceh Timur. Ketika berusia 10 tahun, orang tuanya meninggal dunia dan selanjutnya Abu Kruet Lintang diasuh oleh pamannya yaitu Teungku Usman bin Mahmud. Saudara Abu Kruet Lintang yang lain adalah Abdul Manaf, Aisyah, dan Sakinah. Ibunda Abu Kruet Lintang bernama Ummi Hamidah binti Teungku Mahmud atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku Chik Mud Julok bin Abdul Muin. Teungku Chik Mud juga seorang ulama terkenal dan tokoh masyarakat di daerahnya yang mempunyai andil besar dalam perjuangan melawan penjajah serta dalam bidang dakwah Islam. Abu Kruet Lintang nikah dengan seorang perempuan yang bernama Ummi Aminah binti Teungku Chik Ahmad Simpang ulim. Dari perkawinan itu, Abu Kruet Lintang dikarunia delapan orang anak, yaitu teungku Abdurrahman, Teungku Abdurrani, Hamdan, Ramlah, Muhammad, Syafur, Maryam, serta Abdullah.
Pendidikan
Sebagaimana lazimnya anak –anak di Aceh bahwa pendidikan pertama ia peroleh dari orang tuanya dirumah, apalagi jika orang tuanya juga seorang yang alim. Setelah orang tuanya meninggal, ia kemudian belajar pada pamannya seperti belajar membaca Alquran dan kitab – kitab agama dalam bahasa Jawi. Sedangkan pada pagi hari ia belajar pada Sekolah Rakyat (SR). Alue Nireh. Disekolah ini beliau hanya belajar hingga kelas tiga, selanjutnya beliau lebih banmyak belajar di lembaga pendidikan Dayah. Pendidikan di Dayah yang dilaluinya tidak hanya pada satu dayah saja tetapi dari satu Dayah ke Dayah yang lain. Hal itu karena ia memiliki kecendrungan menuntut ilmu dalam berbagai bidang. Di antara Dayah tempat ia belajar adalah Dayah Cot Plieng, Bayu, selama delapan bulan dibawah asuhan Teungku Cut Ahmad. Ketika pimpinan Dayah itu meninggal, Abu Kruet Lintang pindah ke Dayah Krueng Kalee, Aceh Besar pada tahun 1939 yang dipimpin oleh Teungku Hasan Krueng Kalee. Setelah itu Abu Kruet Lintang belajar pula pada Dayah Blang Batee Peureulak pada tahun 1942, di bawah asuhan Teungku Muhammad Ali. Pada Dayah Blang Batee ini Abu Kruet Lintang memperdalam ilmu Tauhid, Tafsir, ilmu Kalam dan lain – lain selama satu tahun.Aktivitas Sosial dan Keagamaan. Dengan kecerdasan dan pengetahuannya tentang agama Islam yang ia miliki, Teungku Muhammad Ali (pimpinan Dayah Blang Batee) meminta Abu Kruet Lintang untuk kembali ke Dayah Mutaallimin di Aceh Timur untuk memimpin Dayah itu sebagai pengganti pamannya yang sudah meninggal. Pada tahun 1943 Abu Kruet Lintang mulai memimpin Dayah itu dan sekaligus melakukan berbagai pembenahan menyangkut sistem pendidikan. Sebagai seorang ulama motivasinya beraktivitas dalam melaksanakan pendidikan umat semata-mata karena mengharap ridha Allah. Ilmu yang telah ia kuasai selanjutnya diajarkan kepada masyrakat daan santri – santri di Dayah Darul Mutaallimin. Dengan ketinggian ilmu agama yang dimiliki oleh Abu Kruet Lintang, selanjutnya beliau mendapat pengakuan masyarakat sebagai ulama. Apalagi dilihat dari latar belakang keluarga dan pendidikan, Abu Kruet Lintang memang terkenal dari keluarga ulama. Dengan demikian tidak heran apabila ia menghabiskan usianya demi pendidikan dakwah Islam. Kepedulian Abu Kruet Lintang terhadap problem – problem masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan sangat tinggi. Akibatnya masyarakat mudah sekali terpengaruh oleh ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam yang sebenarnya. Misalnya masyarakat banyak yang terjerumus dalam kesyirikan, bidah, khurafat dan sebagainya karena tidak memiki pengetahuan. Problem itu mendorong Abu Kruet Lintang mencoba menumbuhkan sikap keagamaan masyarakat berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu masalah pertama yang dilakukan dalam memulai dakwahnya adalah dengan pembenahan keyakinan karena akidah atau keyakinan itu merupakanprinsip dasar yang harus dipahami dengan benar oleh setiap muslim. Apabila keyakinan seorang muslim rusak maka sia – sialah ia melaksanakan amalan lain dalam Islam. Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah pembersihan setiap amalan dari unsur bidah dan khurafat yang tidak ada contohnya dalam Islam. Selain mengajar ilmu agama di Dayah, Abu Kruet Lintang juga member pengajian diberbagai tempat di Aceh Timur. Dalam pengajian itu beliau membahas berbagai permasalahan agama, terutama menyangkut amalan praktis seperti shalat, puasa, zakat, haji, thaharah dan sebagainya. Abu Kruet Lintang mempunyai peranan yang penting sebagai ulama dan pimpinan masyarakat dalam menegakkan ajaran Islam yang benar dan mempersatukan umat dari perselisihan. Beliau telah membina dan mendidik masyarakat dari kerusakan akidah kepada yang benar sebagaimana Alquran dan Hadits. Pada tahun 1963 Teungku Hasan Krueng Kalee mengirim surat kepada Abu Kruet Lintang yang isinya menyebut agar Abu Kruet Lintang mendirikan organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islam) di Aceh Timur. Abu Kruet Lintang lalu bermusyawarah dan bermufakat dengan berbagai pimpinan dayah di Aceh Timur dalam rangka pendirian organisasi PERTI tersebut. Dalam musyawarah itu terpilih pula Abu Kruet Lintang sebagai ketu umum PERTI di Aceh Timur dengan sekretarisnya Teungku Mukhtar Juned Amin. Organisasi itu kemudian beliau kembangkan dan sosialisasikan ke masyarakat terutama melalui dayah. Langkah pertama yang dilakukan oleh Abu Kruet Lintang adalah mengintruksikan kepada setiap dayah yang tergabung dakla morganisasi PERTI wajib mencetak kader dakwah dan calon ulama yang terampil. Dalam pembinaan kader dakwah cara yang ditempuh oleh Abu Kruet Lintang adalah dengan cara membuka latihan – latihan dan kursus – kursus kepada masyarakat terutama melalui pendidikan did ayah. Selanjutnya usaha Abu Kruet Lintang dalam bidang pendidikan adalah dengan menganjurkan kepada setiap pimpinan PERTi di daerah untuk mempersiapkan anak – anak muslim yang terpelajar. Untuk itu dibukalah Madrasah Ibtidaiyah dan pengajian Alquran disetiap daerah sehingga mulai saat itu bermunculan Madrasah Ibtidayah di Peureulak. Akhir hayat. Manusia boleh berencana tetapi ketentuan hanya di tangan Tuhan. Begitulah yang terjadi pada diri Abu Kruet Lintang. Ketika beliau masih aktif berdakwah dan ingin mengembangkan terus sistem pendidikan kea rah yang lebih baik tetapi Tuhan menghendaki lain, sehingga beliau berpulang kerahmatullah pada tahun 1985. Kepergiannya tidak sia –sia karena ia telah berbuat banyak terhadap umat dan menjadi tugas generasi sesudahnya untuk melanjutkanperjuangan beliau. Semoga amalnya diterima disisi Allah.
#Ditulis oleh : Tgk Zulfahmi MR,staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif, merupakan nukilan dari buku:" Biografi Ulama Aceh abad XX Jilid II".
Teungku Haji Muhammad Yusuf lebih dikenal dengan nama panggilan Abu Kruet Lintang. Ia merupakan anak keempat dari Teungku Ibrahim bin Teungku Mahmud bin Teungku Amin Silang bin Teungku Rampah Tarung bin Teungku Shalahuddin. Teungku Shalahuddin lebih dikenal dengan nama panggilan Teungku Chik Keurukon yang konon berasal dari Yaman.
Abu Kruet Lintang lahir pada tanggal 21 Agustus 1917 di desa Kruet Lintang, Kemukiman Rambong Payong, Peureulak Aceh Timur. Ketika berusia 10 tahun, orang tuanya meninggal dunia dan selanjutnya Abu Kruet Lintang diasuh oleh pamannya yaitu Teungku Usman bin Mahmud. Saudara Abu Kruet Lintang yang lain adalah Abdul Manaf, Aisyah, dan Sakinah. Ibunda Abu Kruet Lintang bernama Ummi Hamidah binti Teungku Mahmud atau lebih dikenal dengan sebutan Teungku Chik Mud Julok bin Abdul Muin. Teungku Chik Mud juga seorang ulama terkenal dan tokoh masyarakat di daerahnya yang mempunyai andil besar dalam perjuangan melawan penjajah serta dalam bidang dakwah Islam. Abu Kruet Lintang nikah dengan seorang perempuan yang bernama Ummi Aminah binti Teungku Chik Ahmad Simpang ulim. Dari perkawinan itu, Abu Kruet Lintang dikarunia delapan orang anak, yaitu teungku Abdurrahman, Teungku Abdurrani, Hamdan, Ramlah, Muhammad, Syafur, Maryam, serta Abdullah.
Pendidikan
Sebagaimana lazimnya anak –anak di Aceh bahwa pendidikan pertama ia peroleh dari orang tuanya dirumah, apalagi jika orang tuanya juga seorang yang alim. Setelah orang tuanya meninggal, ia kemudian belajar pada pamannya seperti belajar membaca Alquran dan kitab – kitab agama dalam bahasa Jawi. Sedangkan pada pagi hari ia belajar pada Sekolah Rakyat (SR). Alue Nireh. Disekolah ini beliau hanya belajar hingga kelas tiga, selanjutnya beliau lebih banmyak belajar di lembaga pendidikan Dayah. Pendidikan di Dayah yang dilaluinya tidak hanya pada satu dayah saja tetapi dari satu Dayah ke Dayah yang lain. Hal itu karena ia memiliki kecendrungan menuntut ilmu dalam berbagai bidang. Di antara Dayah tempat ia belajar adalah Dayah Cot Plieng, Bayu, selama delapan bulan dibawah asuhan Teungku Cut Ahmad. Ketika pimpinan Dayah itu meninggal, Abu Kruet Lintang pindah ke Dayah Krueng Kalee, Aceh Besar pada tahun 1939 yang dipimpin oleh Teungku Hasan Krueng Kalee. Setelah itu Abu Kruet Lintang belajar pula pada Dayah Blang Batee Peureulak pada tahun 1942, di bawah asuhan Teungku Muhammad Ali. Pada Dayah Blang Batee ini Abu Kruet Lintang memperdalam ilmu Tauhid, Tafsir, ilmu Kalam dan lain – lain selama satu tahun.Aktivitas Sosial dan Keagamaan. Dengan kecerdasan dan pengetahuannya tentang agama Islam yang ia miliki, Teungku Muhammad Ali (pimpinan Dayah Blang Batee) meminta Abu Kruet Lintang untuk kembali ke Dayah Mutaallimin di Aceh Timur untuk memimpin Dayah itu sebagai pengganti pamannya yang sudah meninggal. Pada tahun 1943 Abu Kruet Lintang mulai memimpin Dayah itu dan sekaligus melakukan berbagai pembenahan menyangkut sistem pendidikan. Sebagai seorang ulama motivasinya beraktivitas dalam melaksanakan pendidikan umat semata-mata karena mengharap ridha Allah. Ilmu yang telah ia kuasai selanjutnya diajarkan kepada masyrakat daan santri – santri di Dayah Darul Mutaallimin. Dengan ketinggian ilmu agama yang dimiliki oleh Abu Kruet Lintang, selanjutnya beliau mendapat pengakuan masyarakat sebagai ulama. Apalagi dilihat dari latar belakang keluarga dan pendidikan, Abu Kruet Lintang memang terkenal dari keluarga ulama. Dengan demikian tidak heran apabila ia menghabiskan usianya demi pendidikan dakwah Islam. Kepedulian Abu Kruet Lintang terhadap problem – problem masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan sangat tinggi. Akibatnya masyarakat mudah sekali terpengaruh oleh ajaran yang menyimpang dari tuntunan Islam yang sebenarnya. Misalnya masyarakat banyak yang terjerumus dalam kesyirikan, bidah, khurafat dan sebagainya karena tidak memiki pengetahuan. Problem itu mendorong Abu Kruet Lintang mencoba menumbuhkan sikap keagamaan masyarakat berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu masalah pertama yang dilakukan dalam memulai dakwahnya adalah dengan pembenahan keyakinan karena akidah atau keyakinan itu merupakanprinsip dasar yang harus dipahami dengan benar oleh setiap muslim. Apabila keyakinan seorang muslim rusak maka sia – sialah ia melaksanakan amalan lain dalam Islam. Langkah selanjutnya yang ditempuh adalah pembersihan setiap amalan dari unsur bidah dan khurafat yang tidak ada contohnya dalam Islam. Selain mengajar ilmu agama di Dayah, Abu Kruet Lintang juga member pengajian diberbagai tempat di Aceh Timur. Dalam pengajian itu beliau membahas berbagai permasalahan agama, terutama menyangkut amalan praktis seperti shalat, puasa, zakat, haji, thaharah dan sebagainya. Abu Kruet Lintang mempunyai peranan yang penting sebagai ulama dan pimpinan masyarakat dalam menegakkan ajaran Islam yang benar dan mempersatukan umat dari perselisihan. Beliau telah membina dan mendidik masyarakat dari kerusakan akidah kepada yang benar sebagaimana Alquran dan Hadits. Pada tahun 1963 Teungku Hasan Krueng Kalee mengirim surat kepada Abu Kruet Lintang yang isinya menyebut agar Abu Kruet Lintang mendirikan organisasi PERTI (Persatuan Tarbiyah Islam) di Aceh Timur. Abu Kruet Lintang lalu bermusyawarah dan bermufakat dengan berbagai pimpinan dayah di Aceh Timur dalam rangka pendirian organisasi PERTI tersebut. Dalam musyawarah itu terpilih pula Abu Kruet Lintang sebagai ketu umum PERTI di Aceh Timur dengan sekretarisnya Teungku Mukhtar Juned Amin. Organisasi itu kemudian beliau kembangkan dan sosialisasikan ke masyarakat terutama melalui dayah. Langkah pertama yang dilakukan oleh Abu Kruet Lintang adalah mengintruksikan kepada setiap dayah yang tergabung dakla morganisasi PERTI wajib mencetak kader dakwah dan calon ulama yang terampil. Dalam pembinaan kader dakwah cara yang ditempuh oleh Abu Kruet Lintang adalah dengan cara membuka latihan – latihan dan kursus – kursus kepada masyarakat terutama melalui pendidikan did ayah. Selanjutnya usaha Abu Kruet Lintang dalam bidang pendidikan adalah dengan menganjurkan kepada setiap pimpinan PERTi di daerah untuk mempersiapkan anak – anak muslim yang terpelajar. Untuk itu dibukalah Madrasah Ibtidaiyah dan pengajian Alquran disetiap daerah sehingga mulai saat itu bermunculan Madrasah Ibtidayah di Peureulak. Akhir hayat. Manusia boleh berencana tetapi ketentuan hanya di tangan Tuhan. Begitulah yang terjadi pada diri Abu Kruet Lintang. Ketika beliau masih aktif berdakwah dan ingin mengembangkan terus sistem pendidikan kea rah yang lebih baik tetapi Tuhan menghendaki lain, sehingga beliau berpulang kerahmatullah pada tahun 1985. Kepergiannya tidak sia –sia karena ia telah berbuat banyak terhadap umat dan menjadi tugas generasi sesudahnya untuk melanjutkanperjuangan beliau. Semoga amalnya diterima disisi Allah.
#Ditulis oleh : Tgk Zulfahmi MR,staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif, merupakan nukilan dari buku:" Biografi Ulama Aceh abad XX Jilid II".
Senin, 18 April 2011
Abu BUDI Lamno
Bila kita melakukan perjalanan dari Banda Aceh kearah Meulaboh, setelah melewati puncak tertinggi di daerah tersebut yaitu puncak gunung Geurute maka kita akan memasuki sebuah kota yang terkenal dengan kota Lamno atau Peukan Lamno. Di daerah Lamno inilah dulu pernah berdiri kerajaan Daya yang pernah mengalahkan pasukan Portugis dan mengislamkan mereka serta mendirikan perkampungan etnis Portugis, sehingga daerah ini juga dikenal dengan perkampungan Si Mata Biru. Diatas puncak bukit di daerah Kuala Daya terdapat perkuburan raja – raja Daya yang terkenal dengan Almarhum Daya atau dalam bahasa Aceh biasa disebut dengan Meureuhom Daya, karena itulah daerah ini dikenal juga dengan negeri Meureuhom Daya.
Setelah peleburan kerajaan Daya menjadi kerajaan Aceh Darussalam di tahun 1520 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah nama Daya terasa hilang seiring perjalanan waktu. Kemudian semenjak didirikan pesantren BUDI di tahun 1967 oleh Teungku Haji Ibrahim Ishak, nama daerah Meureuhom Daya atau Lamno kembali mencuat kepermukaan, terutama bagi yang ingin mengecap pendidikan agama.A. Silsilah
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Budi Lamno lahir di Mukhan, Lamno, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya) pada tahun 1936. Beliau berumah tangga dengan seorang perempuan bernama Hajjah Sunainiyah. Dari perkawinan itu beliau dikarunia empat orang anak yaitu Nabhani, Chairiati, Afifuddin dan Nurhidayati.
B. Pendidikan
Ketika umurnya telah sampai usia menuntut ilmu, Teungku Ibrahim dimasukkan oleh orang tuanya untuk mengecap pendidikan dasar pada Sekolah Rakyat (SR). Dengan ketekunan dan kedisiplinannya, beliau menyelesaikan pendidikan di sekolah ini pada tahun 1949. Walaupun pendidikan dasarnya pada lembaga pendidikan umum, namun orang tuanya melihat putranya ini memiliki bakat dan minat pada pendidikan agama. Karenanya Teungku Ibrahim Ishak selanjutnya dikirim ke Labuhan Haji untuk belajar di Dayah Darussalam yang dipimpin oleh Abuya Muda Waly. Lama beliau belajar di dayah ini hingga tahun 1958.
Seiring dengan kepulangan guru beliau Teungku Abdul Aziz (Abon Samalanga) dari Labuhan Haji ke Samalanga pada tahun 1958 untuk memimpin Dayah MUDI MESRA (Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya), maka Teungku Ibrahim Ishak ikut serta ke Samalanga guna untuk menambah ilmu yang dirasakan belum cukup serta untuk membantu Abon Samalanga mengajar di MUDI MESRA. Teungku Ibrahim Ishak mengabdi di Samalanga hingga tahun 1963. Kehausan terhadap ilmu agama tidak pernah membuat Teungku Ibrahim Ishak merasa puas sehingga dari Samalanga beliau berangkat ke Sumatera Barat untuk belajar di sana hingga tahun 1966.
C. Kiprah terhadap masyarakat
Pada tahun 1967 atau sekembali dari memperdalam ilmu agama di Sumatera Barat, Teungku Ibrahim Ishak membuka lembaga pengajian di kampung halamannya. Lembaga pengajian ini bernama Dayah Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah, dayah ini disingkat dan lebih dikenal oleh masyarakat dengan dayah BUDI, maka terkenallah beliau dengan panggilan Abu Budi. Semenjak beliau dirikan pesantren ini hingga akhir hayatnya, beliau selalu memimpin lembaga pendidikan ini dan membina santri – santri yang berdatangan dari seluruh wilayah Aceh serta ada beberapa santri dari luar propinsi Aceh. Beliau seolah – olah tidak mempunyai perasaan bosan dan jenuh untuk membina dan memberi semangat kepada para guru dan santri untuk selalu giat belajar. Abu Budi berpandangan bahwa ilmu akan mudah didapat apabila para pelajar agresif, maka Abu Budi menganjurkan agar dihidupkan Munazharah (berdebat Hukum agama) di setiap pengajian. Oleh karena itu dayah BUDI Lamno terkenal dengan ciri khasnya yaitu diadakannya munazharah disetiap pengajian.
Kepiawan Abu Budi dalam mengupas hukum – hukum agama dengan menggunakan dalil aqli dan naqli dalam setiap pengajian dan acara mubahasah agama dengan gaya beliau yang khas membuat beliau sangat terkenal, sehingga ada yang menjuluki beliau sebagai ulama Mantiq dan juga terasa hambar acara mubahasah agama tanpa kehadiran beliau. Lokasi dayah yang tidak begitu strategis karena berada di muara sungai Lamno yang membuat air di situ menjadi payau dan krisis air bersih, tapi karena karisma Abu Budi yang terkenal membuat santri dari berbagai daerah bahkan yang sudah menjadi guru di pesantren yang lain berdatangan ke dayah BUDI karena ingin menimba ilmu di dayah tersebut. Dayah ini dikenal oleh masyarakat umum, ada 800 orang santri pria dan 700 orang santri perempuan belajar di dayah ini pada tahun 1997, tercatat ada yang berasal dari Jambi, Lampung, Padang, Sulawesi dan Malaysia.
Pada tahun 1990 Abu Budi menjabat sebagai ketua MUI (sekarang MPU) kecamatan Jaya dan pengurus Persatuan Dayah Inshafuddin. Jabatan lain yang dijabatnya hingga akhir hayat adalah ketua IPHI Kecamatan Jaya, ketua DPC PERTI Aceh Barat, wakil ketua MPW PPP Aceh dan ketua DPC PPP Aceh Barat. Semenjak usia muda, Teungku Haji Ibrahim Ishak sangat aktif di bidang pendidikan agama dan sangat berperan dalam bidang sosial kemasyarakatan dalam upaya membantu berbagai program pemerintah. Setiap pemilu Teungku Haji Ibrahim Ishak aktif berkampanye untuk PPP.
D. Akhir hayat
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau Abu Budi Lamno salah seorang ulama karismatik Aceh meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1997 dalam usia 61 tahun. Pimpinan dayah BUDI Lamno itu menghembus nafas terakhir dirumahnya desa Jangeut Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya).
Menjelang detik – detik ajalnya , Abu Budi sempat menitip sebuah amanah kepada keluarga, santri dan dewan guru "jagalah dayah ini baik – baik", demikian pesan Abu Budi yang diulang sebanyak tiga kali. Berita meninggalnya Abu Budi begitu cepat menyebar. Gelombang masyarakat tak pernah henti berdatangan hingga berlangsungnya pemakaman di desa Jangeut, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.#
Ditulis oleh : Tgk Zulfahmi MR; staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif, Cot Trueng. Tulisan ini merupakan nukilan dari buku "Biografi Ulama Aceh Abad XX Jilid II".
Catatan:
Abu Budi merupakan salah seorang ulama Aceh yang sangat gigih mempertahankan i'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah (catatan dari Tgk Alizar usman)
Setelah peleburan kerajaan Daya menjadi kerajaan Aceh Darussalam di tahun 1520 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah nama Daya terasa hilang seiring perjalanan waktu. Kemudian semenjak didirikan pesantren BUDI di tahun 1967 oleh Teungku Haji Ibrahim Ishak, nama daerah Meureuhom Daya atau Lamno kembali mencuat kepermukaan, terutama bagi yang ingin mengecap pendidikan agama.A. Silsilah
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau lebih dikenal dengan panggilan Abu Budi Lamno lahir di Mukhan, Lamno, Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya) pada tahun 1936. Beliau berumah tangga dengan seorang perempuan bernama Hajjah Sunainiyah. Dari perkawinan itu beliau dikarunia empat orang anak yaitu Nabhani, Chairiati, Afifuddin dan Nurhidayati.
B. Pendidikan
Ketika umurnya telah sampai usia menuntut ilmu, Teungku Ibrahim dimasukkan oleh orang tuanya untuk mengecap pendidikan dasar pada Sekolah Rakyat (SR). Dengan ketekunan dan kedisiplinannya, beliau menyelesaikan pendidikan di sekolah ini pada tahun 1949. Walaupun pendidikan dasarnya pada lembaga pendidikan umum, namun orang tuanya melihat putranya ini memiliki bakat dan minat pada pendidikan agama. Karenanya Teungku Ibrahim Ishak selanjutnya dikirim ke Labuhan Haji untuk belajar di Dayah Darussalam yang dipimpin oleh Abuya Muda Waly. Lama beliau belajar di dayah ini hingga tahun 1958.
Seiring dengan kepulangan guru beliau Teungku Abdul Aziz (Abon Samalanga) dari Labuhan Haji ke Samalanga pada tahun 1958 untuk memimpin Dayah MUDI MESRA (Ma'hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya), maka Teungku Ibrahim Ishak ikut serta ke Samalanga guna untuk menambah ilmu yang dirasakan belum cukup serta untuk membantu Abon Samalanga mengajar di MUDI MESRA. Teungku Ibrahim Ishak mengabdi di Samalanga hingga tahun 1963. Kehausan terhadap ilmu agama tidak pernah membuat Teungku Ibrahim Ishak merasa puas sehingga dari Samalanga beliau berangkat ke Sumatera Barat untuk belajar di sana hingga tahun 1966.
C. Kiprah terhadap masyarakat
Pada tahun 1967 atau sekembali dari memperdalam ilmu agama di Sumatera Barat, Teungku Ibrahim Ishak membuka lembaga pengajian di kampung halamannya. Lembaga pengajian ini bernama Dayah Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah, dayah ini disingkat dan lebih dikenal oleh masyarakat dengan dayah BUDI, maka terkenallah beliau dengan panggilan Abu Budi. Semenjak beliau dirikan pesantren ini hingga akhir hayatnya, beliau selalu memimpin lembaga pendidikan ini dan membina santri – santri yang berdatangan dari seluruh wilayah Aceh serta ada beberapa santri dari luar propinsi Aceh. Beliau seolah – olah tidak mempunyai perasaan bosan dan jenuh untuk membina dan memberi semangat kepada para guru dan santri untuk selalu giat belajar. Abu Budi berpandangan bahwa ilmu akan mudah didapat apabila para pelajar agresif, maka Abu Budi menganjurkan agar dihidupkan Munazharah (berdebat Hukum agama) di setiap pengajian. Oleh karena itu dayah BUDI Lamno terkenal dengan ciri khasnya yaitu diadakannya munazharah disetiap pengajian.
Kepiawan Abu Budi dalam mengupas hukum – hukum agama dengan menggunakan dalil aqli dan naqli dalam setiap pengajian dan acara mubahasah agama dengan gaya beliau yang khas membuat beliau sangat terkenal, sehingga ada yang menjuluki beliau sebagai ulama Mantiq dan juga terasa hambar acara mubahasah agama tanpa kehadiran beliau. Lokasi dayah yang tidak begitu strategis karena berada di muara sungai Lamno yang membuat air di situ menjadi payau dan krisis air bersih, tapi karena karisma Abu Budi yang terkenal membuat santri dari berbagai daerah bahkan yang sudah menjadi guru di pesantren yang lain berdatangan ke dayah BUDI karena ingin menimba ilmu di dayah tersebut. Dayah ini dikenal oleh masyarakat umum, ada 800 orang santri pria dan 700 orang santri perempuan belajar di dayah ini pada tahun 1997, tercatat ada yang berasal dari Jambi, Lampung, Padang, Sulawesi dan Malaysia.
Pada tahun 1990 Abu Budi menjabat sebagai ketua MUI (sekarang MPU) kecamatan Jaya dan pengurus Persatuan Dayah Inshafuddin. Jabatan lain yang dijabatnya hingga akhir hayat adalah ketua IPHI Kecamatan Jaya, ketua DPC PERTI Aceh Barat, wakil ketua MPW PPP Aceh dan ketua DPC PPP Aceh Barat. Semenjak usia muda, Teungku Haji Ibrahim Ishak sangat aktif di bidang pendidikan agama dan sangat berperan dalam bidang sosial kemasyarakatan dalam upaya membantu berbagai program pemerintah. Setiap pemilu Teungku Haji Ibrahim Ishak aktif berkampanye untuk PPP.
D. Akhir hayat
Teungku Haji Ibrahim Ishak atau Abu Budi Lamno salah seorang ulama karismatik Aceh meninggal dunia pada tanggal 14 Mei 1997 dalam usia 61 tahun. Pimpinan dayah BUDI Lamno itu menghembus nafas terakhir dirumahnya desa Jangeut Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Barat (sekarang Aceh Jaya).
Menjelang detik – detik ajalnya , Abu Budi sempat menitip sebuah amanah kepada keluarga, santri dan dewan guru "jagalah dayah ini baik – baik", demikian pesan Abu Budi yang diulang sebanyak tiga kali. Berita meninggalnya Abu Budi begitu cepat menyebar. Gelombang masyarakat tak pernah henti berdatangan hingga berlangsungnya pemakaman di desa Jangeut, Kecamatan Jaya, Aceh Jaya.#
Ditulis oleh : Tgk Zulfahmi MR; staf pengajar di Dayah Raudhatul Ma'arif, Cot Trueng. Tulisan ini merupakan nukilan dari buku "Biografi Ulama Aceh Abad XX Jilid II".
Catatan:
Abu Budi merupakan salah seorang ulama Aceh yang sangat gigih mempertahankan i'tiqad Ahlussunnah wal Jama'ah (catatan dari Tgk Alizar usman)
Azab kubur menurut Islam
Kaum Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat beri’tiqad bahwa orang-orang kafir dan orang-orang beriman yang berbuat maksiat akan mendapat azab kubur dengan kehendak Allah. Yang dimaksud dengan kubur di sini adalah alam barzakh, bukan hanya kuburan saja. Disebutkan azab kubur, karena mengingat ghalib (kebiasaan). Keyakinan seperti ini sesuai dengan keterangan Ahmad al-Shawi, salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bermazhab Maliki, yaitu :
“Termasuk yang wajib mengimaninya adalah membenarkan azab kubur. Yang dimaksud dengan qubur adalah alam barzakh. Disandarkan kepada kubur, karena itu merupakan kebiasaan. Jika bukan karena mengingat kebiasaan, maka setiap mayat yang diiradah oleh Allah mengazabnya, Allah akan mengazabnya, baik dikubur atau tidak, meskipun dia telah dimakan oleh binatang atau telah terbakar ataupun telah diterbang di udara”.1
Keterangan ulama lain mengenai azab kubur, antara lain :
1. Imam an-Nawawi mengatakan :
“Dalam bab ini (Bab Sunat Ta’auz dari Azab Kubur dan Azab Jahannam dari Kitab Shahih Muslim) dapat dipahami penetapan azab dan fitnah kubur. Ini adalah mazhab ahlul haq, khilaf dengan Mu’tazilah.”2
2. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan :
“Termasuk yang wajib dii’tiqadkan adalah azab kubur dan nikmatnya.”3
3. Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah telah menulis muqaddimah untuk kitab Al-Baihaqi, Istbat ‘Azb al-Qabri, dalam Muddimah tersebut, beliau mengatakan :
“Sepakat Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa manusia ditanyai di dalam kuburannya dan diberi nikmat atau azab di dalamnya. Itu terjadi atas ruh dan jasad.”4
4. Imam al-Ghazali, setelah menyebut i’tiqad adanya azab kubur sebagai pokok kepercayaan agama, beliau berkata :
“Telah masyhur dari Rasulullah SAW dan Salaf al-Shalih tentang isti’azah (minta perlindungan dari azab kubur) dan itu memungkinkan, oleh karena itu, wajib membenarkannya.”5
Kewajiban mengi’tiqad adanya azab kubur ini karena banyak ayat al-Qur’an dan hadits mutawatir yang menjadi dalil penetapannya. Pengarang Syarah al-‘Aqidah al-Thahawiyah mengatakan :
“Sesungguhnya hadits Rasulullah SAW mengenai penetapan azab kubur dan nikmatnya bagi ahlinya adalah mutawatir. Demikian juga pertanyaan dua malaikat (dalam kubur). Oleh karena itu, wajib mengi’tiqad penetapan azab kubur dan mengimaninya”6
Al-Baihaqi, dalam Kitab Istbat ‘Azb al-Qabri telah mengumpulkan hadits-hadits yang menunjukan kepada adanya azab kubur yang diriwayat oleh tiga puluh sembilan sahabat Nabi. Tabi’in dan Tabi’ al-tabi’in yang meriwayat dari mereka melebihi dari jumlah para sahabat Nabi tersebut.7
Dalil-dalil adanya azab kubur dalam al-Qur’an, antara lain :
1.Firman Allah Q.S. al-An’am : 93
وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آَيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
Artinya : Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.(Q.S. al-An’am : 93)
Ini merupakan perkataan yang diajukan kepada mereka pada saat mati. Para malaikat mengabarkan bahwa pada saat itu orang-orang yang dhalim itu diberi pembalasan, berupa penyiksaan yang hina. Seandainya siksaan itu ditunda hingga kiamat tiba, sungguh tidak dikatakan : “Di hari ini kalian di balas”. Ibnu Abbas pada ketika menjelaskan ayat di atas, mengatakan :
“Ini adalah pada ketika maut” 8
2.Firman Allah Q.S. al-Sajdah : 21
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya : Dan Sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).(Q.S. al-Sajdah : 21)
3.Firman Allah Q.S. Thaha : 124
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Artinya : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (Q.S. Thahaa : 124)
Berkata Jalalain :
“Ditafsirkan مَعِيشَةً ضَنْكًا dalam hadits dengan azab orang kafir dalam kuburnya.”9
4.Firman Allah yang mengisahkan kaum Fir’un dalam Q. S. al-Mukmin : 46
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Artinya : Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat) : “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras (Q.S. Ghafir : 46)
Al-Qurthubi mengatakan :
“Jumhur ulama mengatakan bahwa penampakan neraka itu terjadi di alam barzakh” 10
5. Firman Allah yang mengisahkan kaum Nuh dalam Q.S. Nuh : 25
مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْصَارًا
Artinya : Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka tenggelam lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.(Q.S. Nuh : 25)
Huruf ‘fa’ menunjukkan berurutan, maka masuk neraka tersebut sehabis tenggelam yang terjadi di alam barzakh, sebelum hari qiamat.
Hadits-hadits yang membicarakan tentang azab qubur, antara lain :
Hadits-hadits mengenai azab kubur adalah hadits ahad tetapi ia termasuk dalam mutawatir dari sudut makna, yaitu antara lain :
1. Sabda Rasulullah SAW :
إذا فرغ أحدكم من التشهد الآخر فليتعوذ بالله من أربع من عذاب جهنم ومن عذاب القبر ومن فتنة المحيا والممات ومن شر المسيح الدجال
Artinya : Apabila seseorang kamu telah selesai dari tasyahud akhir, maka hendaklah berlindung dengan Allah dari empat, yaitu dari azab jahannam, azab kubur, fitnah kehiduapan dan kematian dan keburukan al-Masih al-Dajjal. (H.R. Muslim)11
2. Hadits riwayat Aisyah r.a., beliau berkata :
دخلت على عجوزان من عجز يهود المدينة. فقالتا: إن أهل القبور يعذبون في قبورهم. قالت: فكذبتهما. ولم أنعم أن أصدقهما. فخرجتا. ودخل علي رسول الله صلى اله عليه وسلم فقلت له: يا رسول الله! إن عجوزين من عجز يهود المدينة دخلتا على. فزعمتا أن أهل القبور يعذبون في قبورهم. فقال "صدقتا. إنهم يعذبون عذابا تسمعه البهائم". قالت: فما رأيته، بعد، في صلاة، إلا يتعوذ من عذاب القبر.
Artinya : Dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku. Keduanya berkata: penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Aku pun menganggap keduanya tidak benar. Aku merasa tidak senang membenarkan perkataan keduanya, kemudian keduanya keluar. Kemudian Rasulullah saw. datang menemuiku dan aku berkata: Wahai Rasulullah, dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku, mereka meyakini bahwa penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Beliau menjawab: Mereka benar. Sesungguhnya penghuni kubur akan disiksa dengan siksaan yang dapat didengar oleh hewan ternak. Setelah itu aku lihat beliau selalu mohon perlindungan dari siksa kubur setiap salat. (H.R. Muslim) 12
3. Hadits riwayat Bukhari :
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَسْعَى بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ قَالَ ثُمَّ أَخَذَ عُودًا رَطْبًا فَكَسَرَهُ بِاثْنَتَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى قَبْرٍ ثُمَّ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Rasulullah SAW pernah melewati dua kuburan, beliau bersabda : “Sesungguhnya keduanya itu sedang diazab dan mereka berdua tidaklah diazab disebabkan dosa-dosa besar yang mereka lakukan tetapi disebabkan salah seorang mereka memecah belahkan masyarakat dengan adu domba dan salah seorang lagi tidak dapat menutup air kencingnya. Kemudian Rasulullah mengambil kayu gaharu yang belum kering dan membelah dua. Kemudian memancang keduanya pada kubur. Kemudian beliau bersabda : “mudah-mudahan meringankannya selama belum kering kedua kayu itu. (H.R. Bukhari)13
4. Berkata Aisyah r.a
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى صَلَاةً إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Artinya : Tidak pernah aku melihat Rasulullah SAW kecuali berdo’a berlindung dari azab qubur setelah shalatnya (H.R. Bukahri)14
5. Banyak lagi hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan adanya azab kubur.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad al-Shawy, Syarah al-Shawy ala Jauharah al-Tauhid, Dar Ibnu Katsir, Beirut, Hal. 96
2.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. V, Hal. 85
3.Muhammad Amin al-Kurdy, Tanwirul Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 58
4.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 8
5.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 114
6.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
7.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
8.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi , Darul Furqan, Hal. 10
9.Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dalam Tafsir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. III, Hal. 68
10.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
11.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 412, No. hadits : 588
12.Imam Muslim, Shahih Muslim, Makatabah Dahlan, Juz. I, Hal. 411, No. Hadits : 586
13.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 99, No. Hadits : 1378
14.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 98, No. Hadits : 1372
“Termasuk yang wajib mengimaninya adalah membenarkan azab kubur. Yang dimaksud dengan qubur adalah alam barzakh. Disandarkan kepada kubur, karena itu merupakan kebiasaan. Jika bukan karena mengingat kebiasaan, maka setiap mayat yang diiradah oleh Allah mengazabnya, Allah akan mengazabnya, baik dikubur atau tidak, meskipun dia telah dimakan oleh binatang atau telah terbakar ataupun telah diterbang di udara”.1
Keterangan ulama lain mengenai azab kubur, antara lain :
1. Imam an-Nawawi mengatakan :
“Dalam bab ini (Bab Sunat Ta’auz dari Azab Kubur dan Azab Jahannam dari Kitab Shahih Muslim) dapat dipahami penetapan azab dan fitnah kubur. Ini adalah mazhab ahlul haq, khilaf dengan Mu’tazilah.”2
2. Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan :
“Termasuk yang wajib dii’tiqadkan adalah azab kubur dan nikmatnya.”3
3. Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah telah menulis muqaddimah untuk kitab Al-Baihaqi, Istbat ‘Azb al-Qabri, dalam Muddimah tersebut, beliau mengatakan :
“Sepakat Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa manusia ditanyai di dalam kuburannya dan diberi nikmat atau azab di dalamnya. Itu terjadi atas ruh dan jasad.”4
4. Imam al-Ghazali, setelah menyebut i’tiqad adanya azab kubur sebagai pokok kepercayaan agama, beliau berkata :
“Telah masyhur dari Rasulullah SAW dan Salaf al-Shalih tentang isti’azah (minta perlindungan dari azab kubur) dan itu memungkinkan, oleh karena itu, wajib membenarkannya.”5
Kewajiban mengi’tiqad adanya azab kubur ini karena banyak ayat al-Qur’an dan hadits mutawatir yang menjadi dalil penetapannya. Pengarang Syarah al-‘Aqidah al-Thahawiyah mengatakan :
“Sesungguhnya hadits Rasulullah SAW mengenai penetapan azab kubur dan nikmatnya bagi ahlinya adalah mutawatir. Demikian juga pertanyaan dua malaikat (dalam kubur). Oleh karena itu, wajib mengi’tiqad penetapan azab kubur dan mengimaninya”6
Al-Baihaqi, dalam Kitab Istbat ‘Azb al-Qabri telah mengumpulkan hadits-hadits yang menunjukan kepada adanya azab kubur yang diriwayat oleh tiga puluh sembilan sahabat Nabi. Tabi’in dan Tabi’ al-tabi’in yang meriwayat dari mereka melebihi dari jumlah para sahabat Nabi tersebut.7
Dalil-dalil adanya azab kubur dalam al-Qur’an, antara lain :
1.Firman Allah Q.S. al-An’am : 93
وَلَوْ تَرَى إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنْتُمْ عَنْ آَيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
Artinya : Sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu". Di hari ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.(Q.S. al-An’am : 93)
Ini merupakan perkataan yang diajukan kepada mereka pada saat mati. Para malaikat mengabarkan bahwa pada saat itu orang-orang yang dhalim itu diberi pembalasan, berupa penyiksaan yang hina. Seandainya siksaan itu ditunda hingga kiamat tiba, sungguh tidak dikatakan : “Di hari ini kalian di balas”. Ibnu Abbas pada ketika menjelaskan ayat di atas, mengatakan :
“Ini adalah pada ketika maut” 8
2.Firman Allah Q.S. al-Sajdah : 21
وَلَنُذِيقَنَّهُمْ مِنَ الْعَذَابِ الْأَدْنَى دُونَ الْعَذَابِ الْأَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya : Dan Sesungguhnya kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), Mudah-mudahan mereka kembali (ke jalan yang benar).(Q.S. al-Sajdah : 21)
3.Firman Allah Q.S. Thaha : 124
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Artinya : Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (Q.S. Thahaa : 124)
Berkata Jalalain :
“Ditafsirkan مَعِيشَةً ضَنْكًا dalam hadits dengan azab orang kafir dalam kuburnya.”9
4.Firman Allah yang mengisahkan kaum Fir’un dalam Q. S. al-Mukmin : 46
النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ
Artinya : Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat) : “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras (Q.S. Ghafir : 46)
Al-Qurthubi mengatakan :
“Jumhur ulama mengatakan bahwa penampakan neraka itu terjadi di alam barzakh” 10
5. Firman Allah yang mengisahkan kaum Nuh dalam Q.S. Nuh : 25
مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْصَارًا
Artinya : Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka tenggelam lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.(Q.S. Nuh : 25)
Huruf ‘fa’ menunjukkan berurutan, maka masuk neraka tersebut sehabis tenggelam yang terjadi di alam barzakh, sebelum hari qiamat.
Hadits-hadits yang membicarakan tentang azab qubur, antara lain :
Hadits-hadits mengenai azab kubur adalah hadits ahad tetapi ia termasuk dalam mutawatir dari sudut makna, yaitu antara lain :
1. Sabda Rasulullah SAW :
إذا فرغ أحدكم من التشهد الآخر فليتعوذ بالله من أربع من عذاب جهنم ومن عذاب القبر ومن فتنة المحيا والممات ومن شر المسيح الدجال
Artinya : Apabila seseorang kamu telah selesai dari tasyahud akhir, maka hendaklah berlindung dengan Allah dari empat, yaitu dari azab jahannam, azab kubur, fitnah kehiduapan dan kematian dan keburukan al-Masih al-Dajjal. (H.R. Muslim)11
2. Hadits riwayat Aisyah r.a., beliau berkata :
دخلت على عجوزان من عجز يهود المدينة. فقالتا: إن أهل القبور يعذبون في قبورهم. قالت: فكذبتهما. ولم أنعم أن أصدقهما. فخرجتا. ودخل علي رسول الله صلى اله عليه وسلم فقلت له: يا رسول الله! إن عجوزين من عجز يهود المدينة دخلتا على. فزعمتا أن أهل القبور يعذبون في قبورهم. فقال "صدقتا. إنهم يعذبون عذابا تسمعه البهائم". قالت: فما رأيته، بعد، في صلاة، إلا يتعوذ من عذاب القبر.
Artinya : Dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku. Keduanya berkata: penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Aku pun menganggap keduanya tidak benar. Aku merasa tidak senang membenarkan perkataan keduanya, kemudian keduanya keluar. Kemudian Rasulullah saw. datang menemuiku dan aku berkata: Wahai Rasulullah, dua orang nenek Yahudi Madinah datang kepadaku, mereka meyakini bahwa penghuni kubur akan disiksa di dalam kuburnya. Beliau menjawab: Mereka benar. Sesungguhnya penghuni kubur akan disiksa dengan siksaan yang dapat didengar oleh hewan ternak. Setelah itu aku lihat beliau selalu mohon perlindungan dari siksa kubur setiap salat. (H.R. Muslim) 12
3. Hadits riwayat Bukhari :
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ مِنْ كَبِيرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَسْعَى بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ قَالَ ثُمَّ أَخَذَ عُودًا رَطْبًا فَكَسَرَهُ بِاثْنَتَيْنِ ثُمَّ غَرَزَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا عَلَى قَبْرٍ ثُمَّ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Artinya : Rasulullah SAW pernah melewati dua kuburan, beliau bersabda : “Sesungguhnya keduanya itu sedang diazab dan mereka berdua tidaklah diazab disebabkan dosa-dosa besar yang mereka lakukan tetapi disebabkan salah seorang mereka memecah belahkan masyarakat dengan adu domba dan salah seorang lagi tidak dapat menutup air kencingnya. Kemudian Rasulullah mengambil kayu gaharu yang belum kering dan membelah dua. Kemudian memancang keduanya pada kubur. Kemudian beliau bersabda : “mudah-mudahan meringankannya selama belum kering kedua kayu itu. (H.R. Bukhari)13
4. Berkata Aisyah r.a
فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ صَلَّى صَلَاةً إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Artinya : Tidak pernah aku melihat Rasulullah SAW kecuali berdo’a berlindung dari azab qubur setelah shalatnya (H.R. Bukahri)14
5. Banyak lagi hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan adanya azab kubur.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ahmad al-Shawy, Syarah al-Shawy ala Jauharah al-Tauhid, Dar Ibnu Katsir, Beirut, Hal. 96
2.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. V, Hal. 85
3.Muhammad Amin al-Kurdy, Tanwirul Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 58
4.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 8
5.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 114
6.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
7.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
8.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi , Darul Furqan, Hal. 10
9.Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dalam Tafsir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. III, Hal. 68
10.Dr. Syarf Mahmud al-Qudhah, Muqaddimah Itsbat ‘Azb al-Qabri lil Baihaqi, Darul Furqan, Hal. 11
11.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 412, No. hadits : 588
12.Imam Muslim, Shahih Muslim, Makatabah Dahlan, Juz. I, Hal. 411, No. Hadits : 586
13.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 99, No. Hadits : 1378
14.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 98, No. Hadits : 1372
Minggu, 17 April 2011
Ruqyah menurut syara’
Ruqyah adalah bacaan sebagai pengobatan syar’i untuk melindungi diri dan untuk mengobati orang sakit. Bacaan ruqyah berupa ayat ayat al-Qur’an dan doa-doa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW atau lainnya. Berikut Pendapat ulama mengenai hukum melakukan ruqyah, yaitu :
1.Imam Nawawi mengatakan :
“Mustahab (dianjurkan) dibaca al-Fatihah atas orang yang kena sengatan dan orang sakit”.1
2.Sayyed ‘Alawi al-Saqaf berkata :
“Mustahab (dianjurkan) ruqyah dan tidak khusus serta tidak tergantung hanya kepada orang sakit, khilaf dengan yang berpendapat syaz. Yang lebih afdhal adalah ruqyah dengan yang warid, kemudian dengan ucapan ta’awuz, karena kandungannya minta perlindungan dari segala hal-hal yang tidak disukai secara global dan rinci”.
Sayyed ‘Alawi al-Saqaf, selanjutnya mengatakan :
“Kebolehan itu dengan syarat pada setiap ruqyah jauh dari nama-nama dan perkataan-perkataan yang tidak diketahui maknanya, karena nama dan perkataan-perkataan tersebut kadang-kadang mengandung kekufuran karena mengandung sumpah dengan malaikat atau jin dan membesarkan jin dengan seperti mensifatinya dengan ta’tsir (memberi bekas) atau ketuhanan”.2
Dalil-dalil fatwa di atas, sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT Q.S. Fushilat: 44
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
Artinya : Katakanlah, Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang orang yang beriman.(Q.S. Fushilat: 44)
2.Firman Allah SWT Q.S. Al-Isra’ : 82
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang orang yang beriman.(Q.S. Al-Isra’ : 82)
3.Firman Allah SWT Q.S. Yunus : 57,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit penyakit (yang berada) didalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S. Yunus: 57)
4. Hadits riwayat ‘Auf bin Malik al-Asyja’i
عن عوف بن مالك الأشجعي قال كنا نرقي في الجاهلية فقلنا يا رسول الله كيف ترى في ذلك ؟ فقال اعرضوا على رقاكم لا بأس بالرقى ما لم يكن فيه شرك
Artinya : Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i, beliau berkata, “Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab, ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’. (HR. Muslim)3
Pada masa jahiliyah, telah dikenal pengobatan ruqyah. Namun ruqyah kala itu banyak mengandung kesyirikan. Misalnya menyandarkan diri kepada sesuatu selain Allah, meyakini kesembuhan dari benda benda tertentu dan lainnya. Setelah Islam datang, maka Rasulullah SAW melarang ruqyah-ruqyah secara mutlaq kecuali yang tidak mengandung kesyirikan. Berdasarkan hadits ini, juga dapat dipahami bahwa tidak boleh melakukan ruqyah yang terdiri dari perkataan-perkataan tidak diketahui maknanya sebagaimana fatwa Sayyed ‘Alawi al-Saqaf di atas.
5. Hadits riwayat Abu Said Al-Khudri r.a.:
أن ناسا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم كانوا في سفر فمروا بحي من أحياء العرب فاستضافوهم فلم يضيفوهم فقالوا لهم هل فيكم راق ؟ فإن سيد الحي لديغ أو مصاب فقال رجل منهم نعم فأتاه فرقاه بفاتحة الكتاب فبرأ الرجل فأعطي قطيعا من غنم فأبى أن يقبلها وقال حتى أذكر ذلك للنبي صلى الله عليه و سلم فأتى النبي صلى الله عليه و سلم فذكر ذلك له فقال يا رسول الله والله ما رقيت إلا بفاتحة الكتاب فتبسم وقال وما أدراك أنها رقية ؟ ثم قال خذوا منهم واضربوا لي بسهم معكم
Artinya : Bahwa beberapa orang di antara sahabat Rasulullah SAW sedang berada dalam perjalanan melewati salah satu dari perkampungan Arab. Mereka berharap dapat menjadi tamu penduduk kampung tersebut. Namun ternyata penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Tetapi ada yang menanyakan: Apakah di antara kalian ada yang dapat menjampi? Karena kepala kampung terkena sengatan atau terluka. Seorang dari para sahabat itu menjawab: Ya, ada. Orang itu lalu mendatangi kepala kampung dan menjampinya dengan surat Al-Fatihah. Ternyata kepala kampung itu sembuh dan diberikanlah kepadanya beberapa ekor kambing. Sahabat itu menolak untuk menerimanya dan berkata: Aku akan menanyakannya dahulu kepada kepada Nabi SAW. Dia pun pulang menemui Nabi SAW dan menuturkan peristiwa tersebut. Dia berkata: Ya Rasulullah! Demi Allah, aku hanya menjampi dengan surat Al-Fatihah. Mendengar penuturan itu: Rasulullah saw. tersenyum dan bersabda: Tahukah engkau bahwa Al-Fatihah itu merupakan jampi? Kemudian beliau melanjutkan: Ambillah imbalan dari mereka dan sisihkan bagianku bersama kalian. (H.R. Muslim)4
Imam Nawawi mengatakan hadits ini menerangkan bahwa al-Fatihah dapat menjadi ruqyah. Oleh karena itu mustahab (dianjurkan) dibaca atas orang yang kena sengatan binatang dan orang sakit”.5
DAFTAR PUSTAKA
1.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal. 188
2.Sayyed ‘Alawi al-Saqaf, al-Qaul al-Jami’ al-Matiin fi Ba’dh al-Muhim min Huquq Ikhwanina al-Muslimin, dicetak dalam Kitab Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal, 154
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 1727, No. Hadits : 2200.
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 1727, No. Hadits : 2201
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal. 188
1.Imam Nawawi mengatakan :
“Mustahab (dianjurkan) dibaca al-Fatihah atas orang yang kena sengatan dan orang sakit”.1
2.Sayyed ‘Alawi al-Saqaf berkata :
“Mustahab (dianjurkan) ruqyah dan tidak khusus serta tidak tergantung hanya kepada orang sakit, khilaf dengan yang berpendapat syaz. Yang lebih afdhal adalah ruqyah dengan yang warid, kemudian dengan ucapan ta’awuz, karena kandungannya minta perlindungan dari segala hal-hal yang tidak disukai secara global dan rinci”.
Sayyed ‘Alawi al-Saqaf, selanjutnya mengatakan :
“Kebolehan itu dengan syarat pada setiap ruqyah jauh dari nama-nama dan perkataan-perkataan yang tidak diketahui maknanya, karena nama dan perkataan-perkataan tersebut kadang-kadang mengandung kekufuran karena mengandung sumpah dengan malaikat atau jin dan membesarkan jin dengan seperti mensifatinya dengan ta’tsir (memberi bekas) atau ketuhanan”.2
Dalil-dalil fatwa di atas, sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT Q.S. Fushilat: 44
قُلْ هُوَ لِلَّذِينَ آَمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ
Artinya : Katakanlah, Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang orang yang beriman.(Q.S. Fushilat: 44)
2.Firman Allah SWT Q.S. Al-Isra’ : 82
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآَنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang orang yang beriman.(Q.S. Al-Isra’ : 82)
3.Firman Allah SWT Q.S. Yunus : 57,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit penyakit (yang berada) didalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S. Yunus: 57)
4. Hadits riwayat ‘Auf bin Malik al-Asyja’i
عن عوف بن مالك الأشجعي قال كنا نرقي في الجاهلية فقلنا يا رسول الله كيف ترى في ذلك ؟ فقال اعرضوا على رقاكم لا بأس بالرقى ما لم يكن فيه شرك
Artinya : Dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i, beliau berkata, “Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyyah. Lalu kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang hal itu?’ Beliau menjawab, ‘Tunjukkan kepadaku ruqyah-ruqyah kalian. Ruqyah-ruqyah itu tidak mengapa selama tidak mengandung syirik’. (HR. Muslim)3
Pada masa jahiliyah, telah dikenal pengobatan ruqyah. Namun ruqyah kala itu banyak mengandung kesyirikan. Misalnya menyandarkan diri kepada sesuatu selain Allah, meyakini kesembuhan dari benda benda tertentu dan lainnya. Setelah Islam datang, maka Rasulullah SAW melarang ruqyah-ruqyah secara mutlaq kecuali yang tidak mengandung kesyirikan. Berdasarkan hadits ini, juga dapat dipahami bahwa tidak boleh melakukan ruqyah yang terdiri dari perkataan-perkataan tidak diketahui maknanya sebagaimana fatwa Sayyed ‘Alawi al-Saqaf di atas.
5. Hadits riwayat Abu Said Al-Khudri r.a.:
أن ناسا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم كانوا في سفر فمروا بحي من أحياء العرب فاستضافوهم فلم يضيفوهم فقالوا لهم هل فيكم راق ؟ فإن سيد الحي لديغ أو مصاب فقال رجل منهم نعم فأتاه فرقاه بفاتحة الكتاب فبرأ الرجل فأعطي قطيعا من غنم فأبى أن يقبلها وقال حتى أذكر ذلك للنبي صلى الله عليه و سلم فأتى النبي صلى الله عليه و سلم فذكر ذلك له فقال يا رسول الله والله ما رقيت إلا بفاتحة الكتاب فتبسم وقال وما أدراك أنها رقية ؟ ثم قال خذوا منهم واضربوا لي بسهم معكم
Artinya : Bahwa beberapa orang di antara sahabat Rasulullah SAW sedang berada dalam perjalanan melewati salah satu dari perkampungan Arab. Mereka berharap dapat menjadi tamu penduduk kampung tersebut. Namun ternyata penduduk kampung itu tidak mau menerima mereka. Tetapi ada yang menanyakan: Apakah di antara kalian ada yang dapat menjampi? Karena kepala kampung terkena sengatan atau terluka. Seorang dari para sahabat itu menjawab: Ya, ada. Orang itu lalu mendatangi kepala kampung dan menjampinya dengan surat Al-Fatihah. Ternyata kepala kampung itu sembuh dan diberikanlah kepadanya beberapa ekor kambing. Sahabat itu menolak untuk menerimanya dan berkata: Aku akan menanyakannya dahulu kepada kepada Nabi SAW. Dia pun pulang menemui Nabi SAW dan menuturkan peristiwa tersebut. Dia berkata: Ya Rasulullah! Demi Allah, aku hanya menjampi dengan surat Al-Fatihah. Mendengar penuturan itu: Rasulullah saw. tersenyum dan bersabda: Tahukah engkau bahwa Al-Fatihah itu merupakan jampi? Kemudian beliau melanjutkan: Ambillah imbalan dari mereka dan sisihkan bagianku bersama kalian. (H.R. Muslim)4
Imam Nawawi mengatakan hadits ini menerangkan bahwa al-Fatihah dapat menjadi ruqyah. Oleh karena itu mustahab (dianjurkan) dibaca atas orang yang kena sengatan binatang dan orang sakit”.5
DAFTAR PUSTAKA
1.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal. 188
2.Sayyed ‘Alawi al-Saqaf, al-Qaul al-Jami’ al-Matiin fi Ba’dh al-Muhim min Huquq Ikhwanina al-Muslimin, dicetak dalam Kitab Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal, 154
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 1727, No. Hadits : 2200.
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 1727, No. Hadits : 2201
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XIV, Hal. 188
Tafsir “saahuun” pada Q.S. al-Maa’un : 4-5
Al-Qur’an Surat. al-Maa’un : 4-5, lengkapnya berbunyi :
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(5)
Artinya : Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,(Q.S. al-Maa’un :4-5)
Keterangan para ulama mengenai makna saahuun pada ayat tersebut, antara lain :
1. Berkata Ibnu Shalah :
“الساهون adalah orang-orang lalai dari shalat, yaitu yang meninggalkannya”.1
2. Berkata Ibnu Abbas :
“Yakni orang-orang munafiq, yang shalat didepan orang dan meninggalkannya pada ketika sendirian”.2
3.Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan makna saahuun, yaitu : orang-orang yang lalai yang menunda shalatnya dengan mengeluarkan dari waktunya.3
Dengan demikian ayat di atas, tidak tepat digunakan sebagai dalil haram tidak melaksanakan shalat pada awal waktu. Tetapi ayat tersebut merupakan dalil haram mengeluarkan shalat dari waktunya. Namun demikian, shalat pada awal waktu merupakan amalan yang utama dan lebih baik sebagaimana dimaklumi berdasarkan dalil-dalilnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm ‘Alim al-Kutub, Beirut, Juz. I, Hal. 150
2.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. VIII, Hal. 493
3.Al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, dicetak dalam Tafsir as-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 355
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(5)
Artinya : Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,(Q.S. al-Maa’un :4-5)
Keterangan para ulama mengenai makna saahuun pada ayat tersebut, antara lain :
1. Berkata Ibnu Shalah :
“الساهون adalah orang-orang lalai dari shalat, yaitu yang meninggalkannya”.1
2. Berkata Ibnu Abbas :
“Yakni orang-orang munafiq, yang shalat didepan orang dan meninggalkannya pada ketika sendirian”.2
3.Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan makna saahuun, yaitu : orang-orang yang lalai yang menunda shalatnya dengan mengeluarkan dari waktunya.3
Dengan demikian ayat di atas, tidak tepat digunakan sebagai dalil haram tidak melaksanakan shalat pada awal waktu. Tetapi ayat tersebut merupakan dalil haram mengeluarkan shalat dari waktunya. Namun demikian, shalat pada awal waktu merupakan amalan yang utama dan lebih baik sebagaimana dimaklumi berdasarkan dalil-dalilnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Maktabah al-‘Ulum wa al-Hukm ‘Alim al-Kutub, Beirut, Juz. I, Hal. 150
2.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. VIII, Hal. 493
3.Al-Mahalli dan as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, dicetak dalam Tafsir as-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 355
Selasa, 12 April 2011
Penampakan (menjelma seperti manusia) bangsa Jin dan kesurupan
Sebagai umat Islam yang berakidah ahlusunnah wal jama’ah, maka wajib meyakini :
1.Meyakini bahwa jin itu ada
Berikut pernyataan ulama tentang kewajiban meyakini keberadaan jin
1). Berkata Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy :
“Wajib mengimani adanya jin dengan sebab ijmak ulama yang didasarkan demikian itu dengan al-Kitab dan as-Sunnah pada beberapa tempat yang lebih populer dari yang disebutkan, seperti firman Allah Ta’ala :
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya : Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.(Q.S. Ar-Rahman : 15)
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
Artinya : Hai golongan jin dan manusia, (Q.S. Al-An’am : 130)
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآَنَ
Artinya : Dan (Ingatlah) ketika kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, (Q.S. Al-Ahqaf : 29)
dan ayat-ayat lainnya. Mereka (golongan jin) adalah jisim halus yang dapat berbentuk dengan bentuk yang berbeda-beda dan mampu atas perbuatan yang sukar. Sebagian mereka ada yang tha’at dan ada yang maksiat, ada yang mukmin dan ada yang kafir. Sebagian mereka adalah syaithan yang kejadiannya jahat, menyesatkan dan menjerumuskan manusia dalam perbuatan fasid dengan menyebut sebab-sebab maksiat dan kelezatan. Ketahuilah sesungguhnya tidak tertegah nampak malaikat, jin dan syaithan atas sebagian pandangan pada sebagian ahwal”1
2) Berkata Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf :
“Ketahuilah sesungguhnya hadits-hadits tentang wujudnya jin dan syaithan tidak terhingga banyaknya, demikian juga sya’ir-sya’ir dan cerita-cerita Arab. Oleh karena itu, perdakwaan tentang itu adalah menyangkal suatu yang yang maklum dengan cara mutawatir”2
2. Bangsa jin dapat menampakkan diri.
Bangsa jin dapat menampakkan dirinya kepada manusia dan makhluk lainnya. Hal ini berdasarkan dalil dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Artinya: Sesungguhnya setan telah menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku untuk menghadapinya (baca: mengalahkannya), sehingga aku dapat mendorongnya dengan kuat. Sungguh, sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian dapat menontonnya di pagi harinya. Tapi aku teringat akan ucapan saudaraku Nabi Sulaiman a.s.: ‘Ya Rabbi, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.”(H.R. Bukhari)3
Adapun lafadz riwayat Al- Imam Muslim adalah sebagai berikut:
Artinya : Sesungguhnya ‘Ifrit dari kalangan jin telah menampakkan diri di hadapanku tadi malam untuk memutus shalatku. Namun Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku untuk menghadapinya (baca: mengalahkannya), sehingga aku dapat mendorongnya dengan kuat. Sungguh, sebenarnya aku ingin mengikatnya di salah satu tiang masjid hingga kalian semua dapat menontonnya di pagi harinya. Tapi aku teringat akan ucapan saudaraku Nabi Sulaiman a.s.: ‘Ya Rabbi, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.”(H.R. Muslim)4
Imam an-Nawawi mengatakan :
“Hadits ini menunjukkan bahwa jin itu ada dan dapat dilihat oleh sebagian anak Adam.”5
3. Memungkinkan terjadi kesurupan dengan masuk jin kedalam tubuh manusia.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta,ala Surat Al-Baqarah: 275
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Artinya: Orang-orang yang makan riba itu tidaklah berdiri (bangkit dari kuburnya) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275)
Berikut pendapat para ahli tafsir dalam mentafsirkan ayat di atas :
1. Al-Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata:
“Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah orang yang kesurupan di dunia, yang mana setan merasukinya hingga menjadi gila (rusak akalnya).”6
2. Al-Imam Ibnu Katsir berkata:
“Orang-orang pemakan riba itu tidaklah dibangkitkan dari kubur mereka di hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan saat setan merasukinya, yaitu berdiri dalam keadaan sempoyongan”.7
3. Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Di dalam ayat ini terdapat argumen tentang rusaknya pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin. Juga argumen tentang rusaknya anggapan bahwa itu hanyalah proses alamiah yang terjadi pada tubuh manusia, serta rusaknya anggapan bahwa setan tidak dapat merasuki tubuh manusia.”8
Di dalam hadits sahih, Nabi SAW bersabda:
Artinya : Sesungguhnya setan itu dapat berjalan pada tubuh anak cucu Adam melalui aliran darah.(HR. Al-Bukhari)9
Di bawah ini pernyataan Imam Ahmad r.a. yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dan pernyataan Abu Hasan al-Asy’ari, dimana menurut penulis dapat menjadi kesimpulan kita dalam masalah kesurupan.
a. Pernyataan Ahmad r.a. yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy :
“ Karena itu, ditanyai kepada Imam Ahmad r.a. sesungguhnya suatu golongan berpendapat bahwa jin tidak dapat masuk dalam badan orang kesurupan, maka beliau menjawab: “Mereka itu dusta”. Jin itu berbicara dengan lisan orang kesurupan, maksudnya masuk dalam badan orang kesurupan. Ini adalah Mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah”.10
b. Pernyataan Abu Hasan al-Asy’ari 11:
“Sesungguhnya ahlussunnah wal jama’ah berpendapat jin itu dapat masuk dalam badan orang kesurupan sebagaimana firman Allah Ta’ala :
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
DAFTAR PUSTAKA
1.Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy, Tanwirul Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal.52
2.Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , al-Kaukab Ahkam al-Malaikat wal-Jin wal-Syayathin wa-Ya’juj wa Ma’juj, di cetak dalam kitab Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 200
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 64, No. Hadits : 1210
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 384, No. Hadits : 541
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. V, Hal. 29
6.Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Muassasah al-Risalah, Juz. VI, Hal 8
7.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. I, Hal. 708
8.Al-Qurthubi, Tafsir Qurthubi, Dar ‘Alim al-Kutub, Riyadh, Juz. III, Hal. 355
9.Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. 9, Hal. 70 No. Hadits 7171
10.Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 53
11.As-Suyuthi, Laqth al-Marjan fi Ahkam al-Jan, Maktabah al-Qur’an, Hal. 88-89
1.Meyakini bahwa jin itu ada
Berikut pernyataan ulama tentang kewajiban meyakini keberadaan jin
1). Berkata Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy :
“Wajib mengimani adanya jin dengan sebab ijmak ulama yang didasarkan demikian itu dengan al-Kitab dan as-Sunnah pada beberapa tempat yang lebih populer dari yang disebutkan, seperti firman Allah Ta’ala :
وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ
Artinya : Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.(Q.S. Ar-Rahman : 15)
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
Artinya : Hai golongan jin dan manusia, (Q.S. Al-An’am : 130)
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآَنَ
Artinya : Dan (Ingatlah) ketika kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, (Q.S. Al-Ahqaf : 29)
dan ayat-ayat lainnya. Mereka (golongan jin) adalah jisim halus yang dapat berbentuk dengan bentuk yang berbeda-beda dan mampu atas perbuatan yang sukar. Sebagian mereka ada yang tha’at dan ada yang maksiat, ada yang mukmin dan ada yang kafir. Sebagian mereka adalah syaithan yang kejadiannya jahat, menyesatkan dan menjerumuskan manusia dalam perbuatan fasid dengan menyebut sebab-sebab maksiat dan kelezatan. Ketahuilah sesungguhnya tidak tertegah nampak malaikat, jin dan syaithan atas sebagian pandangan pada sebagian ahwal”1
2) Berkata Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf :
“Ketahuilah sesungguhnya hadits-hadits tentang wujudnya jin dan syaithan tidak terhingga banyaknya, demikian juga sya’ir-sya’ir dan cerita-cerita Arab. Oleh karena itu, perdakwaan tentang itu adalah menyangkal suatu yang yang maklum dengan cara mutawatir”2
2. Bangsa jin dapat menampakkan diri.
Bangsa jin dapat menampakkan dirinya kepada manusia dan makhluk lainnya. Hal ini berdasarkan dalil dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Artinya: Sesungguhnya setan telah menampakkan diri di hadapanku untuk memutus shalatku. Namun Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku untuk menghadapinya (baca: mengalahkannya), sehingga aku dapat mendorongnya dengan kuat. Sungguh, sebenarnya aku ingin mengikatnya di sebuah tiang hingga kalian dapat menontonnya di pagi harinya. Tapi aku teringat akan ucapan saudaraku Nabi Sulaiman a.s.: ‘Ya Rabbi, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.”(H.R. Bukhari)3
Adapun lafadz riwayat Al- Imam Muslim adalah sebagai berikut:
Artinya : Sesungguhnya ‘Ifrit dari kalangan jin telah menampakkan diri di hadapanku tadi malam untuk memutus shalatku. Namun Allah SWT memberikan kekuatan kepadaku untuk menghadapinya (baca: mengalahkannya), sehingga aku dapat mendorongnya dengan kuat. Sungguh, sebenarnya aku ingin mengikatnya di salah satu tiang masjid hingga kalian semua dapat menontonnya di pagi harinya. Tapi aku teringat akan ucapan saudaraku Nabi Sulaiman a.s.: ‘Ya Rabbi, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku’. Maka Allah mengusirnya dalam keadaan hina.”(H.R. Muslim)4
Imam an-Nawawi mengatakan :
“Hadits ini menunjukkan bahwa jin itu ada dan dapat dilihat oleh sebagian anak Adam.”5
3. Memungkinkan terjadi kesurupan dengan masuk jin kedalam tubuh manusia.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta,ala Surat Al-Baqarah: 275
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Artinya: Orang-orang yang makan riba itu tidaklah berdiri (bangkit dari kuburnya) melainkan seperti berdirinya orang yang kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. (Al-Baqarah: 275)
Berikut pendapat para ahli tafsir dalam mentafsirkan ayat di atas :
1. Al-Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath-Thabari berkata:
“Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah orang yang kesurupan di dunia, yang mana setan merasukinya hingga menjadi gila (rusak akalnya).”6
2. Al-Imam Ibnu Katsir berkata:
“Orang-orang pemakan riba itu tidaklah dibangkitkan dari kubur mereka di hari kiamat melainkan seperti bangkitnya orang yang kesurupan saat setan merasukinya, yaitu berdiri dalam keadaan sempoyongan”.7
3. Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Di dalam ayat ini terdapat argumen tentang rusaknya pendapat orang yang mengingkari adanya kesurupan jin. Juga argumen tentang rusaknya anggapan bahwa itu hanyalah proses alamiah yang terjadi pada tubuh manusia, serta rusaknya anggapan bahwa setan tidak dapat merasuki tubuh manusia.”8
Di dalam hadits sahih, Nabi SAW bersabda:
Artinya : Sesungguhnya setan itu dapat berjalan pada tubuh anak cucu Adam melalui aliran darah.(HR. Al-Bukhari)9
Di bawah ini pernyataan Imam Ahmad r.a. yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dan pernyataan Abu Hasan al-Asy’ari, dimana menurut penulis dapat menjadi kesimpulan kita dalam masalah kesurupan.
a. Pernyataan Ahmad r.a. yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy :
“ Karena itu, ditanyai kepada Imam Ahmad r.a. sesungguhnya suatu golongan berpendapat bahwa jin tidak dapat masuk dalam badan orang kesurupan, maka beliau menjawab: “Mereka itu dusta”. Jin itu berbicara dengan lisan orang kesurupan, maksudnya masuk dalam badan orang kesurupan. Ini adalah Mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah”.10
b. Pernyataan Abu Hasan al-Asy’ari 11:
“Sesungguhnya ahlussunnah wal jama’ah berpendapat jin itu dapat masuk dalam badan orang kesurupan sebagaimana firman Allah Ta’ala :
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبَا لاَ يَقُوْمُوْنَ إِلاَّ كَمَا يَقُوْمُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
DAFTAR PUSTAKA
1.Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy, Tanwirul Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal.52
2.Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , al-Kaukab Ahkam al-Malaikat wal-Jin wal-Syayathin wa-Ya’juj wa Ma’juj, di cetak dalam kitab Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 200
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 64, No. Hadits : 1210
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 384, No. Hadits : 541
5.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. V, Hal. 29
6.Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Muassasah al-Risalah, Juz. VI, Hal 8
7.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. I, Hal. 708
8.Al-Qurthubi, Tafsir Qurthubi, Dar ‘Alim al-Kutub, Riyadh, Juz. III, Hal. 355
9.Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. 9, Hal. 70 No. Hadits 7171
10.Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 53
11.As-Suyuthi, Laqth al-Marjan fi Ahkam al-Jan, Maktabah al-Qur’an, Hal. 88-89
Senin, 11 April 2011
Hukum Melaknat Yazid bin Mu’awiyah dan orang muslim lainnya
Laknat adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah. Seseorang yang melaknat berarti mengharapkan seseorang dijauhkan dari rahmat Allah. Berikut keterangan para ulama mengenai pengertian dan hukum melaknat, mudah-mudahan dapat menjawab hukum melaknat oYazid bin Mu’awiyah dan orang Islam lainnya, yaitu :
1.Penjelasan Imam an-Nawawi :
“Laknat pada do’a adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah”. 1
2.Berkata al-Ghazaly :
“Laknat adalah ‘ibarat dari menjauhi dari Allah (rahmat-Nya). Yang demikian itu tidak boleh kecuali atas orang-orang yang bersifat dengan sifat yang menjauh diri dari Allah Azza wa Jalla, yaitu kufur dan dhalim, dengan mengatakan : “laknat Allah atas orang-orang dhalim dan kafir”.
Selanjutnya pada halaman yang sama beliau berkata :
“Sifat-sifat yang menghendaki adanya laknat adalah tiga, yaitu kufur, fasiq dan bid’ah. Masing-masing dari itu ada tiga martabat, yaitu pertama : melaknat dengan sifat yang umum, seperti katamu : “laknat Allah atas orang kafir, pelaku bid’ah dan fasiq”, kedua : melaknat dengan sifat yang lebih khusus, seperti katamu : “laknat Allah atas Yahudi, Nashara, Majusi, atas kaum Qadariyah, Khawarij, Rafidhi, atau atas penzina, orang yang dhalim atau pemakan riba”. Semua itu dibolehkan, tetapi dalam melaknat sifat pelaku bid’ah ada bahayanya, karena mengenal bid’ah merupakan suatu yang sulit dan pula mengenainya, tidak datang lafadh yang ma’tsur (tidak ada atsarnya). Oleh karena itu, sepatutnya orang awam mencegah diri darinya (melaknat pelaku bid’ah), karena itu dapat mendatangkan pertentangan dengan yang sebanding dengannya dan dapat menyebar pertengkaran dan kebinasaan antara manusia, ketiga : melaknat orang tertentu. Ini ada bahayanya, seperti katamu : “SiZaid semoga melaknat oleh Allah”. Sedangkan dia adalah kafir, fasiq atau pelaku bid’ah. Rinciannya adalah setiap orang yang positif dilaknatnya pada syara’, maka boleh melaknatnya, seperti katamu : “Semoga Allah melaknat Fir’un” atau “Semoga Allah melaknat Abu Jahal”, karena telah positf mereka ini mati dalam keadaan kafir dan maklum pada syara’. Adapun orang tertentu pada zaman kita seperti katamu : “Semoga Allah melaknat si Zaid”, sedangkan Zaid misalnya Yahudi, maka ini berbahaya, karena kadang-kadang dia masuk Islam dan mati dalam keadaan mendekatkan diri kepada Allah, maka bagaimana dihukumnya sebagai orang yang terlaknat”.
Pada halaman berikutnya Al-Ghazali, setelah mengutip beberapa hadits, menyimpulkan bahwa melaknat orang fasiq tertentu adalah tidak boleh.2
3.Dalam Ihya, Al-Ghazali juga mengatakan :
“Maka jika dikatakan, apakah boleh melaknat Yazid, karena Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya ?”. Kami jawab : “Ini tidak tsabit (positf) pada asal. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya, selama tidak ada berita yang tsabit, apalagi melaknatnya, karena tidak boleh menyandarkan seorang muslim dengan dosa besar dengan tanpa kepastian”.3
4.Berkata Ibnu Shalah :
“Tidak sahih di sisi kita Yazid telah memerintah membunuh Husain r.a.. Yang terpelihara beritanya adalah yang memerintah dan menyebabkan terbunuh Husain karramahullah adalah Ubaidullah bin Ziyad, pengauasa Iraq ketika itu. Adapun mencela dan melaknat Yazid, maka tidak termasuk sifat seorang yang beriman. Jikapun shahih, Yazid membunuh Husain atau memerintah membunuhnya, maka ada hadits yang terpelihara bahwa melaknat orang Islam sama dengan membunuhnya. Pembunuh Husain r.a tidak mengakibatkan seseorang menjadi kafir tetapi hanya ditimpa dosa besar. Yang menjadi kafir dengan sebab membunuh adalah hanya pembunuh Nabi dari nabi-nabi SAW”.4
Dalil keharaman perbuatan melaknat dengan beberapa pengecualian adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah :
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Artinya : Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. an-Nisa’ : 148)
2.Firman Allah :
وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya : Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Hujuraat : 11)
3. Hadits Nabi SAW :
ومن لعن مؤمناً فهو كقتله، ومن قذف مؤمناً بكفر فهو كقتله
Artinya : Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya dan menuduhnya kafir seperti membunuhnya.(H.R. Bukhari)5
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan bahwa melaknat orang muslim seperti membunuhnya adalah karena apabila melaknatnya, seolah-olah berdo’a supaya ia dapat celaka.6
4. Hadits Nabi SAW :
لا ينبغي لصديق أن يكون لعانا
Artinya : Tidak pantas bagi seorang yang mengikuti kebenaran menjadi tukang laknat. (HR Muslim)7
5. Hadits Nabi SAW :
لا يكون اللعانون شفعاء ولا شهداء، يوم القيامة
Artinya : Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat. (HR Muslim)8
DAFTAR PUSTAKA
1.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XVI, Hal. 148
2.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 120-121
3.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 121
4.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Darul Hadits, Kairo, Hal. 102-104
5.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VIII, Hal. 15, No. Hadits : 6047
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 467
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 2005, No. Hadits : 2597
8.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 2006, No. Hadits : 2598
1.Penjelasan Imam an-Nawawi :
“Laknat pada do’a adalah menjauhkan sesuatu dari rahmat Allah”. 1
2.Berkata al-Ghazaly :
“Laknat adalah ‘ibarat dari menjauhi dari Allah (rahmat-Nya). Yang demikian itu tidak boleh kecuali atas orang-orang yang bersifat dengan sifat yang menjauh diri dari Allah Azza wa Jalla, yaitu kufur dan dhalim, dengan mengatakan : “laknat Allah atas orang-orang dhalim dan kafir”.
Selanjutnya pada halaman yang sama beliau berkata :
“Sifat-sifat yang menghendaki adanya laknat adalah tiga, yaitu kufur, fasiq dan bid’ah. Masing-masing dari itu ada tiga martabat, yaitu pertama : melaknat dengan sifat yang umum, seperti katamu : “laknat Allah atas orang kafir, pelaku bid’ah dan fasiq”, kedua : melaknat dengan sifat yang lebih khusus, seperti katamu : “laknat Allah atas Yahudi, Nashara, Majusi, atas kaum Qadariyah, Khawarij, Rafidhi, atau atas penzina, orang yang dhalim atau pemakan riba”. Semua itu dibolehkan, tetapi dalam melaknat sifat pelaku bid’ah ada bahayanya, karena mengenal bid’ah merupakan suatu yang sulit dan pula mengenainya, tidak datang lafadh yang ma’tsur (tidak ada atsarnya). Oleh karena itu, sepatutnya orang awam mencegah diri darinya (melaknat pelaku bid’ah), karena itu dapat mendatangkan pertentangan dengan yang sebanding dengannya dan dapat menyebar pertengkaran dan kebinasaan antara manusia, ketiga : melaknat orang tertentu. Ini ada bahayanya, seperti katamu : “SiZaid semoga melaknat oleh Allah”. Sedangkan dia adalah kafir, fasiq atau pelaku bid’ah. Rinciannya adalah setiap orang yang positif dilaknatnya pada syara’, maka boleh melaknatnya, seperti katamu : “Semoga Allah melaknat Fir’un” atau “Semoga Allah melaknat Abu Jahal”, karena telah positf mereka ini mati dalam keadaan kafir dan maklum pada syara’. Adapun orang tertentu pada zaman kita seperti katamu : “Semoga Allah melaknat si Zaid”, sedangkan Zaid misalnya Yahudi, maka ini berbahaya, karena kadang-kadang dia masuk Islam dan mati dalam keadaan mendekatkan diri kepada Allah, maka bagaimana dihukumnya sebagai orang yang terlaknat”.
Pada halaman berikutnya Al-Ghazali, setelah mengutip beberapa hadits, menyimpulkan bahwa melaknat orang fasiq tertentu adalah tidak boleh.2
3.Dalam Ihya, Al-Ghazali juga mengatakan :
“Maka jika dikatakan, apakah boleh melaknat Yazid, karena Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya ?”. Kami jawab : “Ini tidak tsabit (positf) pada asal. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Yazid telah membunuh Husain atau memerintahnya, selama tidak ada berita yang tsabit, apalagi melaknatnya, karena tidak boleh menyandarkan seorang muslim dengan dosa besar dengan tanpa kepastian”.3
4.Berkata Ibnu Shalah :
“Tidak sahih di sisi kita Yazid telah memerintah membunuh Husain r.a.. Yang terpelihara beritanya adalah yang memerintah dan menyebabkan terbunuh Husain karramahullah adalah Ubaidullah bin Ziyad, pengauasa Iraq ketika itu. Adapun mencela dan melaknat Yazid, maka tidak termasuk sifat seorang yang beriman. Jikapun shahih, Yazid membunuh Husain atau memerintah membunuhnya, maka ada hadits yang terpelihara bahwa melaknat orang Islam sama dengan membunuhnya. Pembunuh Husain r.a tidak mengakibatkan seseorang menjadi kafir tetapi hanya ditimpa dosa besar. Yang menjadi kafir dengan sebab membunuh adalah hanya pembunuh Nabi dari nabi-nabi SAW”.4
Dalil keharaman perbuatan melaknat dengan beberapa pengecualian adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah :
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Artinya : Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S. an-Nisa’ : 148)
2.Firman Allah :
وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya : Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.(Q.S. al-Hujuraat : 11)
3. Hadits Nabi SAW :
ومن لعن مؤمناً فهو كقتله، ومن قذف مؤمناً بكفر فهو كقتله
Artinya : Melaknat seorang mukmin adalah seperti membunuhnya dan menuduhnya kafir seperti membunuhnya.(H.R. Bukhari)5
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan bahwa melaknat orang muslim seperti membunuhnya adalah karena apabila melaknatnya, seolah-olah berdo’a supaya ia dapat celaka.6
4. Hadits Nabi SAW :
لا ينبغي لصديق أن يكون لعانا
Artinya : Tidak pantas bagi seorang yang mengikuti kebenaran menjadi tukang laknat. (HR Muslim)7
5. Hadits Nabi SAW :
لا يكون اللعانون شفعاء ولا شهداء، يوم القيامة
Artinya : Tukang-tukang laknat tidak akan menjadi pemberi syafaat dan pemberi kesaksian pada hari kiamat. (HR Muslim)8
DAFTAR PUSTAKA
1.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. XVI, Hal. 148
2.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 120-121
3.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 121
4.Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Darul Hadits, Kairo, Hal. 102-104
5.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VIII, Hal. 15, No. Hadits : 6047
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 467
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 2005, No. Hadits : 2597
8.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal. 2006, No. Hadits : 2598