Pensyariatan
qurban pada saat Hari Raya ‘Idul Adha merupakan salah satu syiar dalam agama
Islam. Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Sungguh, Kami
telah memberimu telaga kautsar, maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan
berqurbanlah. (QS Al-Kautsar: 1-2).
Pelaksanaan
qurban ini, substansinya adalah dalam rangka ihraqah al-dam (mengalirkan
darah) sebagaimana firman Allah Ta’ala berbunyi :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ
عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
Dan bagi
tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya mereka
menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah
kepada mereka. (Al-Hajj : 34)
Ibnu
Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan, Allah Ta’ala mengabarkan,
senantiasa penyembelihan qurban dan ihraqah al-dam (mengalirkan darah)
atas nama Allah menjadi syari’at pada semua agama Allah (Tafsir Ibnu Katsir :
V/424). Bertolak dari ayat di atas dengan penafsiran Ibnu Katsir tersebut,
dapat dipahami bahwa qurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah al-dam
(penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk
dalam bentuk uang. Kesimpulan ini lebih tegas lagi apabila kita memperhatikan
hadits di bawah ini :
ما عمل ادمي من عمل يوم النهر أحب الى الله من إهراق الدم إنه ليأتي
يوم القيامهة بقرونها وأشعارها و أظلافها
Tidak ada
sebuah amalan pada hari raya dari pada amalan anak Adam yang terlebih cinta
kepada Allah melebihi menumpah darah (saat sembelihan), karena sesungguhnya
sembelihan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. (H.R.
at-Turmidzi)
Karena
itu, qurban haruslah terdiri dari hewan ternak dengan melakukan penyembelihan,
tidak boleh diganti dalam bentuk lain seperti dihargakan dalam bentuk uang. Berdasarkan
ayat di atas juga, Syeikh Zakaria al-Anshary mensyaratkan qurban dengan binatang
ternak, yaitu unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri, baik betina, khuntsa
atau jantan, meskipun yang sudah dikebiri (Fathul Wahab : II/231).
Adapun
daging qurban apabila qurban tersebut qurban sunnah, sebagiannya (dalam
ukuran terbenar disebut daging) wajib
disadaqahkan kepada minimal satu orang fakir miskin dalam bentuk daging segar
dan tidak dimasak. Selebihnya boleh di makan oleh yang berqurban sendiri dan untuk
orang yang tidak termasuk katagori fakir miskin (Al-Mahalli IV/255). Penjelasan
ini berdasarkan qiyas kepada hadyu tathawu’ dalam bab haji yang warid
dalam firman Allah Ta’ala berbunyi :
فَكُلُوا
مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Maka makanlah darinya dan beri
makan orang yang sangat fakir (al-Hajj : 28)
Dan firman Allah yang berbunyi :
فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ ٱلۡقَانِعَ وَٱلۡمُعۡتَرَّۚ
Maka
makanlah darinya dan beri makan peminta-minta dan yang tidak meminta-minta. (al-Hajj : 36)
Sedangkan
qurban wajib dengan sebab nazar, yang berqurban sama sekali tidak boleh
memakannya. (I’anah al-Thalibin II/378)
Menyalurkan
daging qurban di luar domisili yang berqurban
Menjawab
pertanyaan dari sdr Firmando Selian dari Aceh Tenggara Kutacane di atas, yang
intinya apakah dimungkinkan dalam fiqh menyalurkan sebagian daging qurban ke
daerah perbatasan Aceh di Aceh Tenggara. Untuk itu, dapat kami jawab sebagai
berikut :
1. Dalam mazhab Syfi’i yang mayoritas dianut di Aceh dan Indonesia,
berpendapat memindahkan qurban keluar dari domisili yang berqurban tidak
dibenarkan, sama halnya dengan hukum memindahkan zakat. Imam al-Ramli salah
seorang ulama besar Syafi’iyah mengatakan :
وَيُمْتَنَعُ
نَقْلُهَا عَنْ بَلَدِ الْأُضْحِيَّةِ كَالزَّكَاةِ
Terlarang memindahkan qurban dari domisili qurban sama halnya
dengan zakat.(Nihayah al-Muhtaj : VIII/142)
Namun larangan pemindahan ini dimaksudkan adalah daging qurban wajib
dengan sebab nazar atau sebab lainnya, atau daging qurban yang wajib disadaqahkan
kepada fakir miskin setempat dalam hal qurban sunnah, yakni ukuran yang terbenar
disebut daging, misalnya satu suap makan.
2. Karena itu, apabila berqurban dengan cara mengirim sejumlah uang
kepada seseorang yang berada di luar domisilinya agar membeli ternak, kemudian
melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik uang, maka ini tidak termasuk
yang terlarang. Demikian juga tidak terlarang menyalurkan daging qurban sunnah keluar
domisili yang berqurban selain daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir
miskin. Dan demikian juga tidak terlarang seseorang yang berqurban mengirim dalam bentuk
ternak yang belum disembelih kepada seseorang yang berada di luar domisilinya
agar kemudian melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik ternak.
Kesimpulan
point no 1 dan 2 di atas berdasarkan nash-nash ulama besar dari kalangan
Syafi’iyah berikut ini :
a. Abubakar Syatha dalam I’anah al-Thalibin mengatakan :
ثم إنه علم مما تقرر أن الممنوع نقله هو ما عين للأضحية بنذر أو جعل،
أو القدر الذي يجب التصدق به من اللحم في الأضحية المندوبة.وأما نقل دراهم من بلد
إلى بلد أخرى ليشتري بها أضحية فيها فهو جائز.
Kemudian
sesungguhnya dari apa yang sudah ada ketetapannya dimaklumi bahwa yang
terlarang memindahnya adalah hewan qurban yang telah ditentukan untuk qurban
(qurban wajib) dengan sebab nazar atau ja’al ataupun daging qurban kadar yang wajib
disadaqahkan pada qurban sunnah. Adapun memindah dirham (mata uang) dari satu
balad ke balad lain agar dibeli ternak qurban di balad tersebut, maka ini
boleh.(I’anah al-Thalibin : II/380)
b. Dalam Hasiyah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :
وَلَا يَجُوزُ
نَقْلُ الْأُضْحِيَّةَ عَنْ بَلَدِهَا كَمَا فِي نَقْلِ الزَّكَاةِ مُغْنِي
وَنِهَايَةٌ أَيْ مُطْلَقًا سَوَاءٌ الْمَنْدُوبَةُ، وَالْوَاجِبَةُ، وَالْمُرَادُ
مِنْ الْحُرْمَةِ فِي الْمَنْدُوبَةِ حُرْمَةُ نَقْلِ مَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ
بِهِ عَلَى الْفُقَرَاءِ
Tidak boleh memindahkan qurban dari baladnya
sebagaimana dalam hal pemindahan zakat. Demikian dalam muqhni dan nihayah.
Yakni secara mutlaq baik qurban sunnah maupun wajib. Adapun maksud haram pada
qurban sunnah adalah haram memindah daging yang wajib disadaqahkan kepada fakir
miskin.(Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj : IX/365)
c. ‘Ali Syibran al-Malasiy mengatakan,
(قَوْلُهُ: وَيُمْتَنَعُ نَقْلُهَا) أَيْ نَقْلُ الْأُضْحِيَّةِ
مُطْلَقًا سَوَاءٌ الْمَنْدُوبَةُ وَالْوَاجِبَةُ
وَالْمُرَادُ
مِنْ الْمَنْدُوبَةِ حُرْمَةُ نَقْلِ مَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِهِ مِنْهَا
(Perkataan
pengarang terlarang memindahnya) maksudnya memindah qurban secara mutlaq, baik
qurban sunnah maupun qurban wajib. Adapun maksud terlarang pada qurban sunnah
adalah haram memindah daging qurban yang wajib disadaqahkannya.(Hasyiah ‘Ali
Syibran al-Malasiy ‘ala Nihayah al-Muhtaj : VIII/142)
d. Sulaiman al-Jamal mengatakan,
يَمْتَنِعُ نَقْلُ
الْأُضْحِيَّةِ فَهَلْ الْمُرَادُ أَنَّهُ يَجِبُ ذَبْحُهَا فِي الْمَكَانِ
الَّذِي يَكُونُ بِهِ وَقْتَ الْوُجُوبِ أَوْ لَا يَجِبُ ذَلِكَ بَلْ فِي أَيِّ
مَكَان أَرَادَ ذَبْحَهَا فِيهِ امْتَنَعَ نَقْلُهَا عَنْهُ بِخِلَافِ الْفِطْرَةِ
حَيْثُ يَجِبُ إخْرَاجُهَا فِي مَكَانِ الْوُجُوبِ وَهُوَ الْمَكَانُ الَّذِي
غَرُبَتْ فِيهِ الشَّمْسُ قَالَ م ر بِالثَّانِي بَحْثًا وَفَرَّقَ بِأَنَّهُ
بِمُجَرَّدِ الْغُرُوبِ تَثْبُتُ الْفِطْرَةُ فِي الذِّمَّةِ وَبِمُجَرَّدِ
مُضِيِّ الرَّكْعَتَيْنِ وَالْخُطْبَتَيْنِ مِنْ يَوْمِ النَّحْرِ لَا تَثْبُتُ
الْأُضْحِيَّةُ فِي الذِّمَّةِ وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهَا حَقُّ الْفُقَرَاءِ إلَّا
بَعْدَ الذَّبْحِ بِالْفِعْلِ لِأَنَّهَا غَيْرُ وَاجِبَةٍ وَيَجُوزُ تَرْكُهَا
Terlarang memindahkan qurban, namun apakah maksudnya wajib disembelihnya pada tempat dimana waktu wajibnya pada tempat tersebut atau tidak wajib akan tetapi maksudnya adalah terlarang memindahnya dari tempat yang direncanakan sembelihnya. Ini berbeda dengan zakat fitrah yang wajib disalurkan pada tempat wajib zakatnya, yakni tempat dimana seseorang berada pada waktu terbenam matahari (malam satu syawal). Al-Ramli dalam pembahasannya berpendapat dengan pendapat kedua. Perbedaannya adalah dengan semata-mata terbenam matahari, zakat fitrah tsubut dalam zimmah. Adapun qurban, dengan semata-mata berlalu dua rakaat shalat ‘id serta dua khutbah pada Hari Raya ‘Id Adha tidak tsubut qurban dalam zimmah dan tidak tersangkut hak fakir miskin kecuali setelah terjadi penyembelihan secara nyata, karena qurban tidak wajib dan boleh meninggalkannya.. (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarah al-Manhaj : V/256)
Kesimpulan
Dalam
rangka menyahuti kebutuhan saudara-saudara kita seiman dan seakidah di Aceh Tenggara
sebagaimana diceritakan sdr Firmando Selian dalam pertanyaan di atas dan berdasarkan uraian di atas, maka kaum muslimin
yang berada di luar kawasan tersebut dapat melakukan sebagai berikut :
1. Mengirim sejumlah uang kepada seseorang yang berada di kawasan
muslim minoritas tersebut agar membeli ternak, kemudian melakukan penyembelihan
atas nama qurban pemilik uang.
2. Atau mengirim dalam bentuk ternak yang belum disembelih kepada
seseorang yang berada di kawasan muslim minoritas tersebut agar kemudian
melakukan penyembelihan atas nama qurban pemilik ternak.
3. Ataupun menyalurkan daging qurban sunnah selain daging yang wajib
disadaqahkan kepada fakir miskin tempat domisilinya ke kawasan muslim minoritas
tersebut