Senin, 26 November 2012

Guru dan Karyanya di Aceh Pada Abad XVII dan XIX Oleh: Rusdi Sufi

Ketika Kerajaan Aceh telah mencapai puncak kejayaannya (abad XVII) banyak dikunjungi para cendikiawan (ulama dan pujangga), baik dari manca negara maupun domestik. Di antara mereka yang datang ini ada yang kemudian menetap di Aceh dan ada pula yang kembali ke negeri asalnya. Selama di Aceh mereka ada yang berprofesi guru sebagai pengajar khususnya dalam ilmu agama dan ada juga sebagai pengarang buku tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Karena banyaknya guru dan pengarang yang berdomisili di Aceh menjadikan Aceh sebagai "kiblat" studi tentang Islam dan ilmu pengetahuan lainnya di Nusantara pada waktu itu.
Berikut ini dipaparkan sejumlah mereka (guru dan pujangga) yang pernah berkiprah di Aceh pada kurun waktu tersebut di atas. Di antaranya adalah Muhammad Azhari sebagai pengajar ilmu metafisika; Syeikh Abdul Khair ibn Syeikh ibn Al Hajar pengarang kitab AZaif al Qathi, seorang yang ahli dalam masalah dogmatic dan mystic; Muhammad Yamani seorang guru dalam ilmu usul. Selain itu terdapat pula Syeikh Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid yang berasal dari Gujarat pengajar ilmu Mantik, Ma'ani, bayan, ilmu usul dan ilmu Fiqh.1 Selain itu juga Syeikh Bokhari al Jauhari, pengarang kitab Tajussalatin atau mahkota segala Raja-raja. Kitab ini mempunyai nilai-nilai keagamaan dan merupakan pedoman untuk raja-raja yang memerintah kerajaan pada waktu itu. Kitab ini demikian besar pengaruhnya di Kepulauan Nusantara, sehingga sampai abad XIX di kalangan kraton-kraton Jawa Tengah dan Semenanjung Tanah Melayu masih digunakan.2
Guru lainnya yang cukup dikenal dan menjadi bahan studi para ilmuwan dan sastrawan sampai sekarang ini ialah Hamzah Fansuri. Ia dilahirkan di Fansur, sebuah desa yang letaknya diperkirakan tidak seberapa jauh dari Barus dan dekat letaknya dengan Singkel sekarang. Kemudian ia mengembara, antara lain, sampai ke ibukota Bandar Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Muda Ali Riayat Syah (1604-1607) dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia merupakan seorang pujangga dan guru agama yang terkenal dengan ajaran tasawuf Wujudiyah.3 Jasanya yang paling menonjol dalam bidang pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu dengan kata-kata Arab, sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dunia lainnya pada waktu itu. Karenanya, Hamzah Fansuri dapat dianggap sebagai perintis pertama dalam mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang sampai sekarang maju pesat (bahasa Indonesia dan bahasa Melayu). Di antara karya-karyanya yang berbentuk prosa ialah Asrar al-Arifin fi Bayan 'ilmu al Suluk wal Tauhid, Syarb al Asyikin wa Zinatul Muwahidin dan Al Muntahi. Ketiga kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu dan pada dasarnya membahas masalah-masalah Tauhid, syari'ah, tarekat, hakekat, ma'rifat dan paham wujudiyah. Sebagai seorang pujangga, Hamzah Fansuri juga menulis syair-syair, di antaranya yang terkenal ialah Syair si Burung Pungguk, Syair si Burung Pungai, Syair si Dang Fakir dan Syair Perahu, serta Ruba'i Hamzah Fansuri.4
Guru penting lainnya yang juga menjabat Qadli Malikul Adil dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda ialah Syamsuddin as Sumathrani atau lebih terkenal dengan nama Syamsuddin Pasei. Seperti terlihat dari namanya itu, ia dilahirkan di Samudra Pasei, tetapi tahun kelahirannya tidak jelas diketahui; dan meninggal pada 12 Rajab 1039 H (1630 M). Ia adalah murid dari Hamzah Fansuri dan yang memperkembang-kan paham Wujudiyah di Aceh.5 Kitab-kitab yang ditulis Syamsuddin Pasei adalah Durrat al Fara'id, Hidayah al Habib, Miratul Mukmin, Miratul Muhakikin, Miratul Al Qulub, Syarah Ruba'i Hamzah Fansuri (pembahasan mengenai Ruba'i Hamzah Fansuri) dan beberapa karya Sifat Dua Puluh dan Martabat Tujuh.6 Studi yang dilakukan para ahli terhadapnya antara lain: C.A.O. Nieuwenhuise, Sjamsuldin van Pasai dan Raymond le Roy Archer dalam Muhammadan Mysticism in Sumatra menunjukkan bahwa ia jua termasuk salah seorang ulama besar pada masanya, sehingga tidak mengherankan apabila ia berhasil menduduki jabatan penting di pusat Kerajaan Aceh.
Tokoh guru dan pujangga Islam lain yang pernah pula menetap di Kerajaan Aceh Darussalam ialah Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Nama lengkapnya ialah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri al-Quraisyi asy-Syafi'i, keturunan Arab, dilahirkan di Ranir dekat Surat di Gujarat (India).7 Setelah menjadi ulama, hijrah ke Aceh dan mendapat kedudukan penting dalam badan pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1636-1641) dan juga pada awal pemerintahan Sultan Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675). Tampaknya ia, bersama dengan Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, merupakan tokoh pendidikan yang paling berpengaruh di Aceh selama abad XVII dan karenanya telah mengundang sejumlah ahli untuk mengadakan studi terhadap dirinya.8 Ia di Aceh penentang ajaran wujudiyah yang diajarkan Hamzah Fansuri dan yang dikembangkan Syamsuddin Pasei, karena ajaran itu dianggap menyesatkan ajaran Islam. Dengan bantuan sultan Aceh pada masanya (Iskandar Tsani), Nuruddin Ar-Raniri berhasil memberantas ajaran wujudiyah dengan membakar kitab-kitab karangan Hamzah fansuri dan Syamsuddin Pasei di muka Mesjid Baiturrahman Bandar Aceh Darussalam9; dan juga dengan membunuh beberapa pengikut ajaran tersebut.10 Selama di Aceh Nuruddin Ar-Raniri paling produktif menulis kitab-kitab mengenai ilmu Islam, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa Melayu klasik. Sehubungan dengan ini A.Daudy telah berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 29 judul karangannya (termasuk yang ditulis di luar Aceh) yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu fiqh, hadist, tauhid, sejarah, tasawuf, firaq (sekte-sekte agama); dan sebagain besar karangannya itu ditulis untuk menyanggah ajaran wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumathrani.11 Di antara tulisan-tulisannya itu adalah Al-Shirath al Mustaqim, Hidayat al- Habib fi Al Targhib wal-Tarhib, Nubdzah fi Da'wa al-zhill ma'a Shahibihi, Asrar al-Insan fi Ma'rifat al-Ruh wa al Rahman, Ma'ul Hayat li Ahl al-Mamat, Syifa' 'ul-Qulub, Hujjat al-Shiddiq lidaf 'i al-Zindiq, Al-Lama'an fi Takfir man Qala bin Khalq al Qur'an dan Bustanus Salatin. Yang tersebut terakhir adalah merupakan karya sastra Nuruddin Ar-Raniri yang terbesar dan paling tinggi mutunya dalam kesusastraan Melayu klasik.12 Kitab ini selain mengandung nilai-nilai keagamaan, juga mempunyai nilai-nilai sejarah, khususnya mengenai sejarah Kerajaan Aceh.
Setelah lama menetap di Aceh, pada tahun 1644 Nuruddin Ar-Raniri kembali ke kampung kelahirannya (Ranir, India) dan pada tanggal 21 September 1658 tokoh yang sebagian besar usianya diabdikan kepada ilmu pengetahuan ini meninggal dunia di sana. Untuk mengenang jasa-jasanya selama di Aceh, sekarang namanya diabadikan pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniri di Darussalam, Banda Aceh.
Tokoh pendidikan lain yang namanya juga diabadikan pada sebuah universitas negeri di Darussalam, Banda Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala ialah Syekh Abdurrauf Singkel atau yang lebih dikenal dengan nama Syiah Kuala. Penamaan ini mumgkin berkaitan dengan kuburnya yang terletak di Kuala Krueng (sungai) Aceh (kira-kira 4 km dari Banda Aceh) dan kemungkinan juga ia menetap di sana sambil membuka dayah, tempat ia mengajar. Nama lengkapnya ialah Andurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkel. Kalau dilihat pada bagian akhir namanya itu, ia agaknya sekampung dengan Hamzah Fansuri, namun faham yang dianut oleh kedua tokoh ini jauh berbeda: Hamzah Fansuri, seperti telah disebutkan penganut faham wujudiyah dan Syiah Kuala penganut paham Ahlul Sunnah wal Jama'ah. Kemudian ia pindah ke Bandar Aceh Darussalam dan menduduki jabatan penting di sana, 13 yaitu Qadli Malikul Adil dalam pemerintahan Ratu Safiatuddin (1641-1675) dan kemungkinan juga dalam pemerintahan ratu berikutnya (Ratu Nurul Alam Naqiatuddin yang memerintah sejak tahun 1675-1678). Ia sepaham dengan Nuruddin Ar-Raniri, namun penghargaan rakyat Aceh yang diberikan terhadap dirinya jauh melebihi tokoh yang berasal dari luar negeri itu. Hal ini nampak dari ungkapan yang sampai sekarang cukup populer dalam masyarakat Aceh, yaitu: Adat bak Po teu Meurohom, Hukom bak Syiah Kuala, yang artinya adat di Aceh bersumber dari Iskandar Muda, sedang hukum (Islam) bersumber dari Syekh Abdurrauf Syiah Kuala (tentu hukum yang diangkat dari Al Qur'an dan Hadist). Bahwa ia termasuk seorang besar yang berpengaruh jauh melampaui masanya terbukti juga dari beberapa studi yang diadakan oleh para ahli mengenai dirinya, seperti C. Snouck Hurgronje, D.A. Rinkes, R.O. Winstedt, P. Voorhoeve, Raymond le Roy Archer, dan lain-lain. Adapun karyanya yang sampai sekarang cukup dikenal oleh masyarakat, ialah Turjumanul Mustafid, kitab tafsir al Qur'an yang pertama dalam bahasa Melayu dan Miratuth Thullab, sebuah kitab Fiqh besar yang sekaligus menunjukkan kedalaman ilmunya. Selain itu, Bayan Tajalli, kitab yang menolak paham wujudiyah Hamzah Fansuri dan Syamddin Sumathrani; Hujjah Balighal 'ala Jum'at al Mukhasamah; Umdatul Muhtajin; Kifayat al-Muhajin dan masih banyak lagi.14
Selanjutnya, para ulama dan pujangga berikut ini dapat juga dipandang sebagai guru-guru, mengingat hasil karyanya dan kedudukannya, baik sebagai pemimpin sebuah dayah ataupun sebagai pejabat teras dalam struktur pemerintahan Kerajaan Aceh Darussalam. Mereka ini, ialah Syekh Jalaluddin Tursany dengan karyanya Mudharul Ajla Ila Rutbatil A'la dan kitab Safinatul Hukkam; Syekh Muhammad bin Ahmad Khatib Langien yang tulisannya antara lain, Dawaul Qulub; Syekh Abbas Al Asyi (Teungku Chiek Kuta Karang), seorang ulama dan pujangga yang cukup produktif pada bagian ke dua abad XIX, karangan-karangannya antara lain, Sirajudh Dhalam fi Ma'rifatis Sa'di wan Nahas, Kitabur Rahmah, sebuah kitab mengenai ketabiban dan kitab Tadzkiratur Rakidin, sebuah kitab yang ditulis pada tahun 1307 Hijriah yang sampai sekarang masih tersimpan pada Universiteits-bibliotheek, Leiden (Ms.Cod.Or.8038). Kemudian, ulama berikutnya ialah: Syekh Jamaluddin bin Syekh Jalaluddin bin Syekh Kamaluddin Tursany al-Asyi dengan karyanya, antara lain Hidayatul Awam; Syekh Muhammad Zain, tulisan-tulisannya antara lain Kitab Kasyful Kiram dan Takhlishul Falah; Syekh Abdullah dengan kitabnya Syifaul Qulub; Syekh Jamaluddin bin Syekh Abdullah Ali Asyi yang karangannya antara lain, I'lamul Muttaqin; Syekh Daud Rumy, murib Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, pengarang kitab Masailal muhtadi li Ikhwanil Mubtadi. Kitab ini telah dicetak berkali-kali, sampai sekarang masih diperjualbelikan di toko-toko kitab dan tersebar di gampong-gampong; isinya adalah mengenai pelajaran agama Islam tingkat permulaan dan dikarang dengan menggunakan metode tanya-jawab, sebuah metode pengajaran yang sampai kini masih dianggap cukup baik.15 Dan sebagai penutup, rasanya perlu juga diperkenalkan seorang tokoh yang tidak kurang pentingnya, yaitu Teungku Chiek Pantee Kulu (Teungku Haji Muhammad) yang namanya diabadikan pada Dayah Teungku Chiek Pantee Kulu di Darussalam Banda Aceh. Ia pengarang kitab Hikayat Prang Sabi, sebuah karya sastra dalam bahasa Aceh yang bernilai tinggi, berisi pokok-pokok ajaran perang sabil (jihad di jalan Allah) seperti yang dituntut oleh agama Islam kepada umatnya. Karya ini telah menggetarkan jiwa rakyat Aceh untuk terjun ke medan pertempuran melawan kaphee Belanda, sehingga tidak mengherankan apabila kitab ini menjadi momok bagi Belanda dan karenanya perlu diadakan razia untuk mencegah kemungkinan rakyat menyimpannya.
Demikian sekelumit paparan tentang guru dan karyanya di Aceh pada abad XVII dan XIX. Semoga tulisan ini dibaca oleh para guru sehingga dapat menjadi motivasi bagi mereka dalam mengajar dan berkarya sebagai wujud konstribusinya bagi bangsa dan negara dewasa ini.

Catatan Akhir

Lihat Nuruddin Ar-Raniri, Bustanus Salatin, disusun oleh T. Iskandar, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966), hal 33-4 dan Ahmad Daudy, "Syeikh Nuruddin Ar Raniry", Sinar Darussalam, No. 88, Maret 1978, hal. 119.

2T. Iskandar, "Atjeh dalam Lintasan Sejarah, Suatu Tinjauan Kebudayaan", Prasaran dalam PKA II, Banda Aceh, 1972, hal. 9.
3Mengenai aliran Wujudiyah ini, lihat misalnya, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, "Raniri and the Wujudiyah of 17th Century Acheh", Monographs of the Malaysia Branch Royal Asiatic Society III, (Malaysia Printeds Ltd, Singapore, 1966).
4Ali Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh. (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 16.
5Lihat Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., hal. 11.
6 T.Iskandar, op.cit., hal. 9.

7Mengenai riwayat hidup ringkas Ar-Raniri, lihat A.Daudy, op.cit., No. 88 dan No. 89, hal. 117-123 dan hal. 180-185.
8 Di antaranya Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit.; G.W.J. Drewes, "De Herkomst van Nuruddin Ar-Raniri", BKI III, 1955; Tujimah, Asrar Al-Insan fi Ma'rifat ar-Ruh wa Ar-Rahman, Jakarta, 1960.
9A.J. Gerlach, Atjih en den Atjinizen, (Armhen: 1873), hal. 42.
10Ibid.

11 A.Daudy, op.cit., No. 89, hal. 180.
12Jumlah karya Nuruddin Ar-Raniri dapat dilihat misalnya dalam Teuku Iskandar, Kesusastraan Klasik Melayu Sepanjang Abad. (Jakarta: LIBRA, 1996), hal. 402-409.

13A.Hasjmy, Bunga Rampai... op.cit., hal. 76-77; Mengenai riwayat hidup ringkas Syekh Abdurrauf Syiah Kuala, lihat misalnya dalam M. Junus Djamil, Riwayat Hidup Waliyu'l Mulki Sjech Abdu'l-Rauf bin Ali (Syiah Kuala), diperbanyak oleh Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Aceh, 1975.

14T.Iskandar, loc.cit.; A.Hasjmy, Bunga Rampai ... loc.cit.

15 Mengenai tokoh-tokoh ulama dan pujangga yang disebutkan itu, lihat lebih lanjut, A.Hasjmy, Bunga Rampai ... op.cit., hal

Selasa, 20 November 2012

Ayat Makkiyah dan Madaniyah (materi mata kuliah Pengantar Ilmu al-Qur'an di STAI Tapaktuan (pertemuan VIII)

A.    Pendahuluan
Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah makki dan madani. Mereka meneliti Qur`an ayat demi ayat dan surah-demi surah, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan pada peneliti obyektif gambaran mengenai penyelidikan ilmiah tentang ilmu makki dan madani.
Yang terpenting dipelajari para ulama dalam pembahasan ini adalah :
1.      Yang diturunkan di Makkah,
2.      Yang diturunkan di Madinah,
3.      Yang diperselisihkan,
4.      Ayat-ayat makkiyah dalam surah-surah madaniyah,
5.      Ayat-ayat madaniyah dalam surat makkiyah,
6.      Yang diturunkan di Makkah sedang hukumnya madaniyah,
7.      Yang diturunkan di Makkah sedang hukumnya madaniyah,
8.      Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah (makkiyah) dalam kelompok madaniyah,
9.      Yang serupa dengan yang diturunkan di madinah ( madanyiah ) dalam kelompok makkiyah;
10.  Yang dibawa dari Makah ke Madinah,
11.  Yang dibawa dari Madinah ke Makkah,
12.  Yang turun di waktu malam dan siang,
13.  Yang turun dimusim panas dan dingin,
14.  Yang turun diwaktu menetap dan dalam perjalanan.

B.     Pengertian Makkiyah dan Madaniyah
Pengertian yang masyhur untuk Makkiyah yaitu ayat yang turun sebelum hijrah ke Madinah, meski turunnya diluar di luar kota Makkah. Madaniyah yaitu ayat yang turun sesudah hijrah, baik turunnya di dalam kota Makkah maupun di Madinah, turun pada tahun penaklukan Makkah maupun pada waktu haji Wida’, atapun pada ketika melakukan musafir.
Pengertian lain, ayat makkiyah adalah ayat yang diturunkan di Makkah meskipun sesudah hijrah, sedangkan madaniyah adalah ayat yang diturunkan di Madinah. Berdasarkan pengertian ini, ada ayat yang tidak disebut makkiyah dan juga tidak sebut dengan madaniyah, yaitu ayat-ayat yang diturunkan dalam perjalanan-perjalanan.

C.    Cara menentukan Makkiyah dan Madaniyah :
Untuk mengetahui dan menentukan makkiyah dan madaniyah, para ulama bersandar pada dua cara utama :
-       Manhaj sima`I ( metode periwayatan seperti apa adanya ) dan
-       Manhaj qiyasi ( menganalogikan dan ijtihad ).

Cara sima’i  : didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi`in yag menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan makkiyah dan madaniyah itu didasarkan pada cara pertama.
Cara qiyasi : didasarkan pada ciri-ciri makkiyah dan madaniyah. Apabila dalam suatu surah terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madani atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madaniyah. Dan sebaliknya apabila dalam satu surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makkiyah, juga sebaliknya. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi.
D.    Ciri-Ciri khas Makkiyah dan Madaniyah (cara qiyasi)
Para ulama telah meneliti ayat-ayat makkiyah dan madaniyah dan menyimpulkan beberapa ketentuan yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri antara lain :
a.       Setiap surah yang didalamnya ada perkataan “Ya aiyuhannas” dan tidak ada padanya perkataan “Ya aiyuhallazi amanuu” , maka makkiyah tetapi surah al-Hajj terjadi perbedaan pendapat ulama.
b.      Setiap surah yang ada perkataan “Kallaa” adalah makkiyah
c.       Setiap surah yang didahului huruf mu’jam adalah makkiyah kecuali al-Baqarah, Ali Imran, tetapi mengenai surah al-Ra’d ada khilaf ulama.
d.      Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah makkiyah kecuali al-Baqarah
e.       Setiap surah yang disebut munafiqin adalah madaniyah kecuali al-‘Ankabut.
f.       Setiap surah yang menyebut hudud dan faraidh adalah madaniyah dan setiap surah yang menceritakan masa lalu adalah makkiyah (Menurut al-Hisyam dari bapaknya)
Catatan
Berikut ini surah-surah madaniyah, yaitu 20 surah :
Al-baqarah, ali imran, al-nisa’, al-maidah, al-anfal, al-taubah, al-nur, al-ahzab, Muhammad, al-fath, al-hujaraat, al-hadid, al-mujadalah, al-hasyar, al-mumtahinah, al-jum’ah, al-munafiqun, al-thalaq, al-tahrim dan al-nashr.
Surah- surah yang khilaf ulama, yaitu 12 surah, yaitu :
Al-fatihah, al-ra’d, al-rahman, al-shaff, al-taghabun, al-tathfif, al-qadr, al-bainah, al-zalzalah, al-ikhlash, al-falaq dan al-nas.
Selebihnya adalah makkiyah, yaitu 82 surah

E.     Faedah Mengetahui Makkiyah dan Madaniyah
Pengetahuan tentang makkiyah dan madaniyang banyak faedahnya diantaranya:
Pertama : Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Al Qur`an,
Sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menmafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.
Kedua : Meresapi gaya bahasa Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah.
Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti peling khusus dlam retorika. Karakteristik gaya bahasa makkiyah dan madaniyah dalam Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
Ketiga : Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur`an.
Sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode Makkah maupun Madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur`an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah SAW, peri hidup beliau yang diriwayatka ahli sejarah harus sesuai dengan Qur’an.

Daftar Pustaka
1.      Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura,
2.      Mana’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo,
3.      Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Turats, Kairo

Dosen : Tgk Alizar Usman



Kamis, 15 November 2012

Syeikh Nik Mat Kecik dan warisnya yang menjadi hakim di Makkah


Nama lengkapnya ialah Syeikh Muhammad Shaghir bin Ismail bin Ahmad al-Fathani. Datuk saudaranya yang juga ulama besar Melayu abad ke -18, Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani[1] menamakannya dengan nama Muhammad Saghir manakala di kalangan keluarganya beliau dikenali dengan nama Syeikh Nik Mat Kecik. Beliau lahir daripada keluarga besar ulama Patani yang berhijrah pada masa peperangan dahsyat gabungan Patani-Terengganu-Kedah dan Kelantan daripada pencerobohan Siam ketika itu. Tentang tahun kelahirannya terdapat dua catatan keluarga yang berbeza iaitu 1245 H/ 1829 M dan 1260 H/1844 M seperti yang dinyatakan oleh Almarhum al-Ustaz Haji Wan Mohd Saghir.[2] Syeikh Nik Mat Kecik wafat di Mekah pada tahun 1333 H/1914 M. Ketika usia kecilnya Syeikh Muhammad bin Ismail al-Fathani dikatakan sempat menemui Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, tetapi beliau lebih banyak mendapat pendidikan daripada saudara sepupunya, Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahman al-Fathani. Dengan ilmunya yang meluas dalam pelbagai bidang, beliau kemudiannya mengajar di rumah dan juga di Masjid al-Haram. Murid-muridnya sangat ramai khususnya yang datang dari Alam Melayu. Keilmuannya diiktiraf sehingga Syeikh Nik Mat Kecik dilantik menjadi Hakim Mahkamah Syarie Makkah al-Mukarramah pada zamannya bahkan beliau merupakan satu-satunya tokoh yang berasal dari dunia Melayu yang berjaya memegang jawatan tertinggi itu pada zamannya. Selain itu beliau juga merupakan `Syeikh Haji' yang terbesar pada zamannya. Menurut almarhum al-Ustaz Haji Wan Mohd Saghir, beliau banyak keramatnya.[3]Suaranya dapat didengar dengan jelas oleh para pelajarnya walaupun duduk berjauhan tanpa perlu menggunakan pembesar suara ketika mengajar.[4]Perompak juga tidak berani menganggu apabila disebut nama Syeikh Nik Mat Kecik.[5] Diriwayatkan antara perjalanan dari Makkah ke Madinah sering berlaku kes rompakan. Bagi mengelakkan dari dirompak, caranya ialah dengan menyatakan bahawa “kami adalah dari kumpulan jemaah Syeikh Nik Mat Kecik” kerana nama syeikh sangat dihormati pada masa itu. Syeikh Nik Mat Kecik dikatakan sangat pemurah. Beliau membiayai kehidupan hampir semua pelajar yang datang dari dunia Melayu yang berada di Makkah pada ketika itu. Hampir semua anak didiknya menjadi ulama besar. Setelah menyelesaikan pengajian, mereka pulang ke tanah air dan menjadi tokoh penting yang bergerak dalam pelbagai bidang kemasyarakatan. Mereka inilah yang tersebar di Indonesia, Malaysia, Patani, Thailand dan Kemboja.
Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani juga terkenal sebagai pengarang beberapa buah kitab besar walaupun jumlah karyanya tidaklah sebanyak karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani atau pun Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Antara kitabnya yang masyhur dan ada diantaranya yang masih berlegar dipasaran kitab ialah
1. Al-Bahjatul Mardhiyah fi Fawaidil Ukharawiyah. KItab ini diselesaikan pada 20 Syaaban 1296 H/1878 M di Makkatul Musyarrafah. Kitab ini pernah dikeluarkan oleh Mathba'ah al-Miriyah, Makkah. Kandungannya mengandungi pelbagai wirid dan amalan.
2. Mathla'ul Badrain wa Majma'ul Bahrain. Kitab ini diselesaikan pada 12 Syaaban 1303 H/1885 M. Kitab ini pernah ditashih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani untuk cetakan ketiga dan keempat. Kitab ini sangat masyhur di Alam Melayu bahkan banyak dijadikan teks pengajian di masjid dan surau di seluruh Tanah Melayu. Disebabkan kitab ini terlalu banyak digunapakai, maka kerajaan Johor menganjurkan penyusunan sebuah kamus yang khusus mengenai kitab ini. Lalu terhasillah sebuah kamus dengan judul Suluh Mathla'ul Badrain yang disusun oleh Haji Abdul Ghani Yahya. Kamus ini ditulis di Johor Baharu pada 1 Oktober 1941 M. Kitab Mathla’ul Badrain ini juga pernah diterbit oleh Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan.
3. Al-Kaukabud Durriy fin Nuril Muhammadiy. Kitab ini diselesaikan penulisannya pada 13 Syaaban l304 H/1886 M di Makkah. Kitab ini pernah ditashih dan diusahakan penerbitannya oleh Syeikh Ahmad al-Fathani.
4. Ad-Durrul Basim fi Ashhabil Kahfi war Raqim. Kitab ini diselesaikan penulisannya pada 19 Rejab 1310 H/1892 M di Makkah. Cetakan pertama adalah pada tahun 1310 H/1892 M oleh Mathba'ah al-Miriyah, Makkah. Kitab ini ditashih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani.
5. Kitabul Farqadain wa Jawahirul `Iqdain. Kitab ini diselesaikan pada 13 Syawal 1311 H/1893 M di Mekah. Kitab ini mula dikeluarkan pada Zulkaedah 1311 H/1893 M. Kitab ini ditashih oleh Syeikh Ahmad al-Fathani.
6. Wusyahul Afrah wa Ashabul Falah. Kitab ini diselesaikan pada Zulkaedah 1312 H/I894 M. Kitab ini juga sangat masyhur dan masih dicetakjhingga kini. Kitab ini pernah di cetak di Makkah oleh Mathba'ah al-Miriyah, di Singapura oleh Al-Imam Singapura, Surabaya dan Pulau Pinang.
7. Sawathi'ul Barqi wal Luma'i fi Ahkamit Tayammum wal Jama'i. Kitab ini diselesaikan pada pada hari Jumaat, 25 Jamadilawal 1323 H/1905 M di Makkah.
8. Al-Bahrul Wafi wan Nahrush Shafi. Kitab ini diselesaikan pada 18 Rejab l331 H/1912 M. Isi kandungannya adalah tentang feqah bahagian ibadah dan sangat meluas khususnya bab Haji dan Umrah. Adalah diakui bahawa kitab ini merupakan kitab paling lengkap untuk rujukan dan panduan bakal-bakal jemaah Haji dan umrah di Malaysia Kitab ini pernah dicetak oleh Mathba'ah asy-Syarqiyah kepunyaan Muhammad Ramzi, Jeddah pada tahun 1930 M atas usaha dan tashih anaknya, Syeikh Muhammad Nur al-Fathani.
Anaknya yang menjadi ulama besar di Makkah ialah Syeikh Muhammad Nur al-Fathani. Syeikh Muhammad Nur al-Fathani lahir di Makkah pada tahun 1290 H/1873 M dan wafat pada pada tahun 1363 H/1944 M. Syeikh Muhammad Nur al-Fathani mendapat pendidikan di kalangan ahli keluarganya yang menjadi ulama besar iaitu ayahnya sendiri Syeikh Nik Mat Kecik, Syeikh Wan ‘Ali Kutan dan Syeikh Ahmad al-Fathani. Beliau pernah dihantar belajar ke Universiti Al-Azhar, Mesir walaupun pada masa itu, beliau telah menguasai pelbagai bidang ilmu dan layak bergelar ulama. Ketika belajar di Mesir, Syeikh Muhammad Nur al-Fathani belajar dengan beberapa ulama besar seperti Syeikh Bakhit, ulama dalam Mazhab Hanafi dan tokoh gerakan pembaharuan seperti Syeikh Muhammad Abduh dan Saiyid Rasyid Ridha yang merupakan murid dan orang kanan Syeikh Muhammad Abduh. Seperti kata almarhum al-Ustaz Haji Wan Mohd Saghir, walaupun beliau pernah menimba ilmu dengan tokoh pembaharuan dan bersahabat dengan pelopor gerakan Kaum Muda seperti Syeikh Tahir Jalaluddin al-Minankabawi namun beliau tidak pernah cenderung pada mana-mana pihak samada Kaum Tua atau Kaum Muda sebaliknya sentiasa berlapang dada apabila bertemu dengan kedua-dua belah pihak itu.[6]Walaubagaimanapun, Syeikh Muhammad Nur al-Fathani daripada satu segi tetap mengikut Mazhab Syafie dan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Seperti kata almarhum al-Ustaz Haji Wan Mohd Saghir, dengan cara demikian akhirnya kedua-dua pihak (Kaum Tua dan Kaum Muda) dengan sendirinya berasa segan dan hormat kepada Syeikh Muhammad Nur al-Fathani.[7] Syeikh Muhammad Nur al-Fathani mengikuti jejak langkah ayahandanya apabila turut memegang jawatan yang tidak kurang pentingnya di Makkah. Beliau dilantik menjadi ‘Kadi Mahkamah al-Kubra Makkah’ malah pernah menjadi ketua dalam jabatan itu. Selain itu Syeikh Muhammad Nur al-Fathani pernah menjadi ‘Ketua Syeikh Haji Al-Jawi Makkah’ sama seperti yang pernah dilakukan oleh ayahandanya dan juga moyang saudaranya iaitu Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.Walaupun sibuk dengan tugas sebagai penguasa tertinggi Islam di Makkah pada zamannya, Syeikh Muhammad Nur al-Fathani tetap meluangkan masa untuk mengajar baik di rumah mahupun di Masjid al-Haram, Makkah. Sama seperti ayahandanya, beliau juga sangat pemurah dan sentiasa menolong orang. Beliau akan memberi pertolongan dengan mengurusnya sendiri hingga selesai tanpa mengira masa dan kewangan. Beliau mewarisi sifat tersebut daripada ahli keluarganya yang terdahulu iaitu moyang saudaranya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, ayahandanya Syeikh Nik Mat Kecik al-Fathani dan saudara pupunya, Syeikh Ahmad al-Fathani. Bahkan Syeikh Ahmad al-Fathani dikatakan pernah berwasiat kepada Syeikh Muhammad Nur al-Fathani supaya kelakuan yang terpuji itu diterap dan diajarkan kepada murid-muridnya khususnya kepada keturunannya. Dalam bidang penulisan, karya terbesarnya ialah Kifayah al-Muhtadi bi Syarh Sullam al-Mubtadi. Kitab ini masih berlegar di pasaran kitab malah menjadi teks pengajian di kebanyakan surau dan masjid diseluruh Negara. Penulisannya dilakukan di Makkah dan diselesaikan di Madinah al-Munawwarah pada hari Jumaat, 9 Rabiul Akhir 1351 H/11 Ogos 1932. Kitab ini merupakan syarah kepada kitab Sullamul Mubtadi fi Ma'rifati Thariqatil Muhtadi (1252 H/1836 M) yang ditulis oleh Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani.


[1] Adik-beradik dengan datuknya
[2] Wan Mohd Saghir Abdullah. 2005. Syeikh Nik Mat - Hakim Mahkamah Syarie di Mekah. Utusan Malaysia. Terbit pada 25 April 2005. Boleh dirujuk di http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2005&dt=0425&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive

[3] Wan Mohd Saghir Abdullah. 2005. Syeikh Nik Mat - Hakim Mahkamah Syarie di Mekah. Utusan Malaysia. Terbit pada 25 April 2005. Boleh dirujuk di http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2005&dt=0425&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive
[4] Wan Mohd Saghir Abdullah. 2005. Syeikh Nik Mat - Hakim Mahkamah Syarie di Mekah. Utusan Malaysia. Terbit pada 25 April 2005. Boleh dirujuk di http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2005&dt=0425&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive
[5] Wan Mohd Saghir Abdullah. 2005. Syeikh Nik Mat - Hakim Mahkamah Syarie di Mekah. Utusan Malaysia. Terbit pada 25 April 2005. Boleh dirujuk di http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2005&dt=0425&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive
[6] Wan Mohd Saghir Abdullah. 2006. Syeikh Muhammad Nur Al-Fathani pembesar dua pemerintah Mekah. Utusan Malaysia. Terbit pada 23 Januari 2006. Boleh dirujuk di http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2006&dt=0123&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive
[7] Wan Mohd Saghir Abdullah. 2006. Syeikh Muhammad Nur Al-Fathani pembesar dua pemerintah Mekah. Utusan Malaysia. Terbit pada 23 Januari 2006. Boleh dirujuk di http://www.utusan.com.my/utusan/info.asp?y=2006&dt=0123&pub=utusan_malaysia&sec=Bicara_Agama&pg=ba_01.htm&arc=hive

(sumber : http://ikantongkol09-tokoh.blogspot.com/2009/07/syeikh-nik-mat-kecik-dan-warisnya-yang.html)

Jumat, 09 November 2012

Asas-Asas Hukum Umum (Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum di STAI Tapaktuan (pertemuan VI )


1.    Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali (Azas Legalitas) :
Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, sebelum didahului oleh suatu peraturan.
2.    Eidereen Wordt Geacht De Wette Kennen :
Setiap orang dianggap mengetahui hukum.
Artinya, apabila suatu undang-undang telah dilembarnegarakan (diundangkan), maka undang-undang itu dianggap telah diketahui oleh warga masyarakat, sehingga tidak ada alasan bagi yang melanggarnya bahwa undang-undang itu belum diketahui berlakunya.
3.    Lex Superior Derogat Legi Inferiori :
Hukum yang tinggi lebih diutamakan pelaksanaannya daripada hukum yang rendah. Misalnya, Undang-Undang lebih diutamakan daripada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) atau Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden, begitu seterusnya.
4.    Lex Specialist Derogat Legi Generale :
Hukum yang khusus lebih diutamakan daripada hukum yang umum.
Artinya, suatu ketentuan yang bersifat mengatur secara umum dapat di kesampingkan oleh ketentuan yang lebih khusus mengatur hal yang sama.
5.    Lex Posteriori Derogat Legi Priori :
Peraturan yang baru didahulukan daripada peraturan yang lama.
Artinya, undang-undang baru diutamakan pelaksanaannya daripada undang-undang lama yang mengatur hal yang sama, apabila dalam undang-undang baru tersebut tidak mengatur pencabutan undang-undang lama.
6.    Summum Ius Summa Iniuria :
Kepastian hukum yang tertinggi, adalah ketidakadilan yang tertinggi.
7.    Ius Curia Novit :
Hakim dianggap mengetahui hukum. Artinya, hakim tidak boleh menolak mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, dengan alasan tidak ada hukumnya karena ia dianggap mengetahui hukum.
8.    Presumption of Innosence (praduga tak bersalah) :
Seseorang tidak boleh disebut bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya melalui putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
9.    Res Judicata Proveri Tate Habetur :
Setiap putusan pengadilan/hakim adalah sah, kecuali dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
10. Unus Testis Nullus Testis 
Satu saksi bukanlah saksi.
Hakim harus melihat suatu persoalan secara objektif dan mempercayai keterangan saksi minimal dua orang, dengan keterangan yang tidak saling kontradiksi. Atau juga, keterangan saksi yang hanya satu orang terhadap suatu kasus, tidak dapat dinilai sebagai saksi.
11. Audit et Atteram Partem :
Hakim haruslah mendengarkan para pihak secara seimbang sebelum menjatuhkan putusannya.
12. In Dubio Pro Reo :
Apabila hakim ragu mengenai kesalahan terdakwa, hakim harus menjatuhkan putusan yang menguntungkan bagi terdakwa.
13. Speedy Administration of Justice 
Peradilan yang cepat.
Artinya, seseorang berhak untuk cepat diperiksa oleh hakim demi terwujudnya kepastian hukum bagi mereka.
14. The Rule of Law :
Semua manusia sama kedudukannya di depan hukum, atau persamaan memperoleh perlindungan hukum.
15. Nemo Judex Indoneus In Propria :
Tidak seorang pun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri.
Artinya, seorang hakim dianggap tidak akan mampu berlaku objektif terhadap perkara bagi dirinya sendiri atau keluarganya, sehingga ia tidak dibenarkan bertindak untuk mengadilinya.
16. Cogatitionis Poenam Nemo Patitur :
Tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau yang ada di hatinya.
Artinya, pikiran atau niat yang ada di hati seseorang untuk melakukan kejahatan tetapi tidak dilaksanakan atau diwujudkan maka ia tidak boleh dihukum. Di sini menunjukkan bahwa hukum itu bersifat lahir, apa yang dilakukan secara nyata, itulah yang diberi sanksi.


Dosen : Tgk Alizar Usman