Kamis, 30 November 2017

Hukum tamu membawa pulang makanan yang dihidangkan

Manakala kita sedang menghadiri undangan, baik undangan walimatul ‘urusy atau undangan lainnya, biasanya dijamu dengan berbagai hidangan/suguhan. Kadang-kadang sebagian kita pulangnya membawa makanan yang di sajikan, baik sedikit atau banyak. Akan tetapi apakah jamuan yang disajikan tersebut boleh di bawa pulang ?
Berikut ini pandangan ulama mengenai masalah ini, yakni :
1.    Imam al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin mengatakan :
الثانية: هل يملك الضيف ما يأكله؟ وجهان. قال القفال: لا بل هو إتلاف بإذن المالك، وللمالك أن يرجع ما لم يأكل. وقال الجمهور: نعم. وبم يملك؟ فيه أوجه. قيل: بالوضع بين يديه، وقيل: بالأخذ، وقيل: بوضعه في الفم، وقيل: بالازدراد يتبين حصول الملك قبيله. وضعف المتولي ما سوى الوجه الأخير. وعلى الأوجه ينبني التمكن من الرجوع قلت: قال صاحب البيان إذا قلنا: يملكه بالأخذ أو بالوضع في الفم، فهل للآخذ إباحته لغيره والتصرف فيه بغير ذلك؟ وجهان. الصحيح وقول الجمهور لا يجوز كما لا يعير المستعار. وقال الشيخ أبو حامد والقاضي أبو الطيب: يجوز أن يفعل ما يشاء من البيع والهبة وغيرهما؛ لأنه ملكه. قال ابن الصباغ: هذا لا يجيء على أصلهما. والله أعلم .الثالثة: ليس للضيف التصرف في الطعام بما سوى الأكل، فلا يجوز أن يحمل معه منه شيئا، إلا إذا أخذ ما يعلم رضى المالك به، ويختلف ذلك بقدر المأخوذ وجنسه، وبحال المضيف والدعوة. فإن شك في وقوعه في محل المسامحة، فالصحيح التحريم، وليس للضيف إطعام السائل والهرة
Yang kedua, adakah tamu memiliki apa yang akan dia makan ? Ini dua pendapat. Al-Qafal mengatakan tidak memilikinya, akan tetapi penghilangan dengan izin pemiliknya dan pemiliknya boleh ruju’ kembali selama belum dimakan. Jumhur ulama mengatakan, “Ya” (memilikinya). Dengan apa memilikinya? Berdasarkan ini ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan, dengan meletakkannya dihadapan tamu. Ada yang mengatakan dengan sebab ambil. Ada yang mengatakan dengan sebab meletaknya dalam mulut. Ada yang mengatakan dengan sebab menelan nyata hasil milik sedikit sebelumnya. Al-Mutawalli telah mendha’ifkan selain pendapat yang terakhir. Berdasarkan pendapat yang kuat didasarkan kemungkinan rujuk kembali. Aku mengatakan, pengarang al-Bayan mengatakan, apabila kita berpendapat memilikinya dengan dengan mengambil atau dengan meletaknya dalam mulut, maka apakah boleh bagi yang mengambilnya mempersilakan makan kepada orang lain dan memanfatkan makanan tersebut selain demikian? Ini ada dua pendapat. Pendapat shahih dan perkataan jumhur tidak boleh sebagaimana tidak boleh meminjam benda yang dipinjam. Syeikh Abu Hamid dan al-Qadhi Abu al-Thaib  mengatakan, boleh melakukan apa saja, baik menjualnya, hibah dan lainnya, karena jamuan tersebut adalah miliknya. Ibnu al-Shibagh mengatakan, ini tidak datang atas asal keduanya. Wallhua’lam.
Yang ketiga, tidak boleh bagi tamu memanfaatkan pada makanan selain makan. Karena itu, tidak boleh membawa sertanya sesuatupun darinya kecuali apabila mengambil sesuatu yang dimaklumi ridha si pemiliknya dan berbeda yang demikian dengan ukuran yang diambil dan jenisnya, keadaan yang menjamu dan para undangan. Maka jika ragu terjadinya pada keadaan ditoleransikannya, maka pendapat yang shahih adalah haram dan tidak boleh bagi tamu memberikan makanan untuk peminta-minta dan kucing.[1]

2.    Zainuddin al-Malibari mengatakan :
وفي الانوار: لو قال أبحت لك ما في داري، أو ما في كرمي، من العنب، فله أكله دون بيعه، وحمله، وإطعامه لغيره
Dalam kitab al-Anwar : Seandainya seseorang mengatakan, “Aku perbolehkan bagimu apa yang ada dalam rumahku atau buah anggur yang ada pada pohon anggurku, maka boleh baginya memakannya, tidak boleh menjualnya, membawasertanya dan memberikan makan kepada orang lain.[2]

3.    Ibrahim al-Bajuri mengatakan :
ولا يتصرف فيما قدم له بغير أكل, لأنه مأذون فيه عرفا, فلا يطعم منه سائلا ولا هرة إلا بإذن صاحبه أو علم رضاه
Dan tidak dimanfaatkan makanan yang dihidangkan bagi seseorang selain memakannya. Karena makanan tersebut dizinkan untuk makan pada ‘uruf.  Karena itu, tidak boleh memberikan makanan tersebut untuk peminta-minta dan kucing kecuali dengan izin pemiliknya atau dimaklumi ridhanya.[3]

Kesimpulan
Membawa pulang makanan yang dihidangkan, hukumnya dengan perincian sebagai berikut :
1.    Apabila apa yang disuguhkan oleh pemilik acara memang dipersilahkan untuk dibawa pulang atau memang pada umumnya suguhan itu diberikan untuk dibawa pulang, maka suguhan tersebut boleh dibawa pulang, karena beramal dengan dhan.
2.    Apabila suguhan tersebut pada umumnya memang hanya untuk dimakan ditempat acara, maka tamu tersebut hanya boleh memakannya ditempat, dan tidak diperbolehkan untuk membawanya pulang, kecuali pemiliknya menyuruh membawanya pulang atau ia meminta izin dahulu atau memang yakin atau mempunyai  dugaan bahwa pemiliknya ridha suguhannya dibawa pulang.
3.   Keyakinan atau dhan bahwa pemiliknya mengizinkan membawa pulang suguhan tersebut, maka dalam hal ukuran dan jenis suguhan yang dibawa pulang harus memperhatikan keadaannya, termasuk keadaan pemilik acara, perihal undangan dan berapa kadar yang diambil. 




[1] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islamiy, Juz. 7, Hal. 338-339
[2] Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 146
[3] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haraman, Singapura, Juz. II, Hal. 128

Senin, 27 November 2017

Tamu tidak diundang makan pada resepsi perkawinan

Dalam  fiqh dikenal adanya istilah tathafful, yakni sebutan untuk orang yang masuk ke suatu kaum tanpa diundang. Tathafful ini, hukumnya haram kecuali diketahui ada keridhaan dari pemilik acara sebagaimana dijelaskan oleh Zakariya al-Anshari berikut ini :
)وَيَحْرُمُ التَّطَفُّلُ) وَهُوَ حُضُورُ الْوَلِيمَةِ مِنْ غَيْرِ دَعْوَةٍ إلا إذَا عَلِمَ رِضَا الْمَالِكِ بِهِ لِمَا بَيْنَهُمَا مِنْ الْأُنْسِ وَالِانْبِسَاطِ.
Dan haram tathafful, yakni menghadiri walimah tanpa diundang kecuali apabila dimaklum ridha pemiliknya, karena diantara keduanya terjadi rasa saling suka dan gembira.[1]

Imam al-Nawawi mengatakan dalam kitabnya, Raudhah al-Thalibin :
يحرم التطفل واستثنى المتولي وغيره فقالوا إذا كان في الدار ضيافة جاز لمن بينه وبين صاحب الطعام انبساط أن يدخل ويأكل إذا علم أنه لا يشق عليه
Haram hukumnya tathafful, al-Mutawally dan lainnya mengatakan, apabila dalam rumah ada jamuan dimana antara dia dan pemilik jamuan ada  rasa gembira, maka boleh masuk dan turut serta makan apabila dimaklumi hal itu tidak menimbulkan kesukaran atas pemilik jamuan.[2]

Adapun dalil-dalil fatwa di atas antara lain kisah yang diriwayat dari Abu Mas’ud r.a. sebagai berikut :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: كَانَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ: أَبُو شُعَيْبٍ، وَكَانَ لَهُ غُلَامٌ لَحَّامٌ، فَرَأَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَرَفَ فِي وَجْهِهِ الْجُوعَ، فَقَالَ لِغُلَامِهِ: وَيْحَكَ، اصْنَعْ لَنَا طَعَامًا لِخَمْسَةِ نَفَرٍ، فَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَدْعُوَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ، قَالَ: فَصَنَعَ، ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَاهُ خَامِسَ خَمْسَةٍ وَاتَّبَعَهُمْ رَجُلٌ، فَلَمَّا بَلَغَ الْبَابَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ هَذَا اتَّبَعَنَا، فَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَأْذَنَ لَهُ، وَإِنْ شِئْتَ رَجَعَ، قَالَ: لَا، بَلْ آذَنُ لَهُ يَا رَسُولَ اللهِ،
Dari Abu Mas’ud al-Anshari r.a. beliau mengatakan, ada seorang Anshar yang bernama Abu Syu’aib, memiliki seorang hamba sahaya penjual daging. Suatu hari dia melihat tanda-tanda lapar di wajah Nabi SAW, kemudian dia perintahkan hamba sahayanya : “Kasian, buatkanlah makanan untuk lima orang, aku ingin mengundang Nabi SAW bersama empat sahabat lainnya. Abu Mas’ud mengatakan, hamba sahaya itupun membuatnya. Kemudian Abu Syu’aib itupun menemui Nabi SAW mengundang Nabi SAW bersama empat sahabatnya. Namun ada seorang yang ikut (tanpa undangan). Maka beliau bersabda, “Tapi ini ada satu orang yang ikut. Jika mau, kamu bisa mengizinkan dan jika kamu mau, dia akan kembali.  Orang Anshar tersebut menjawab, “Tidak, akan tetapi aku izinkan ya Rasulullah.” (H.R. Muslim)[3]

            Dalam hadits ini, Rasulullah SAW kepada yang mengundang jamuan menanyakan kerelaan menerima tamu yang tidak diundang dan seandainya yang mengundang tidak rela, maka tamu yang tidak diundang akan pergi meninggalkan jamuan makan. Ini menunjukkan jamuan makan yang dihadiri tamu yang tidak diundang haram memakan jamuan. Dalam hadits ini juga menjadi petunjuk seandainya pemilik jamuan memberikan izin, maka boleh tamu yang tidak diundang makan bersama tamu lainnya. Keharaman menghadiri jamuan makan tanpa diundang juga dipahami dalam sabda Nabi SAW berikut ini :
مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَمَنْ دَخَل عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ دَخَل سَارِقًا، وَخَرَجَ مُغِيرًا
Barangsiapa diundang tidak memenuhinya, maka sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa menghadiri walimah tanpa diundang maka ia masuk laksana pencuri dan keluar sebagai perampok. (H.R. Abu Daud)[4]

            Al-Iraqi mengatakan, Abu Daud telah mentakhrij hadits ini dari Abaan bin Thaqiq, sedangkan dia majhul.[5]
Adapun dalil boleh menghadiri jamuan makan bagi tamu tidak diundang apabila diduga ada kerelaan pemilik jamuan, meskipun kerelaan itu diketahui tidak melalui ucapan antara lain hadits Anas bin Malik mengatakan,
بَعَثَنِي أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَدْعُوَهُ وَقَدْ جَعَلَ طَعَامًا، قَالَ: فَأَقْبَلْتُ وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ، فَنَظَرَ إِلَيَّ فَاسْتَحْيَيْتُ، فَقُلْتُ: أَجِبْ أَبَا طَلْحَةَ، فَقَالَ لِلنَّاسِ: قُومُوا
Abu Thalhah mengutusku menemui Rasulullah SAW untuk mengundangnya, sesungguhnya Abu Thalhah telah mempersiapkan makanan. Anas mengatakan, maka akupun memenuhinya, sedangkan Rasulullah SAW bersama sahabat-sahabatnya, beliau memandangku, akupun memberi penghormatan kepadanya. Kemudian aku mengatakan, “Aku memenuhi perintah Abu Thalhah”. Maka Rasulullah memerintahkkan sahabat-sahabatnya “ Bangunlah”. (H.R. Muslim)[6]

Dalam hadits ini, yang diundang hanya Rasulullah SAW, namun karena Rasulullah SAW menduga yang mengundangnya rela diikutsertakan sahabat-sahabatnya, maka beliau memerintahkan sahabat-sahabatnya juga ikut serta. Berdasarkan pemahaman ini, maka Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam “Bab boleh mengikutsertakan orang lain kerumah orang yang dipercaya ridha yang demikian.”[7]



[1] Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 227
[2] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. VII, Hal. 339
[3]. Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1608, No. 2036
[4] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 341, No. 3741
[5] Al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,  Juz. VII,, Hal. 70
[6]  Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1612, No. 2040
[7] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1609

Rabu, 15 November 2017

Khalwat dan Batasan-Batasannya

Hukum khalwat
Khalwat antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya adalah haram berdasarkan :
1.    Firman Allah Q.S. al-Isra' :32.
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً 
Janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk (Q.S. al-Isra’ : 32)
2.   Sabda Rasulullah SAW dalam hadits shahih yang berbunyi :
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّوَمَعَهاَ ذُو مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki itu berkhalwat (menyendiri) dengan seorang wanita kecuali ada mahram yang menyertai wanita tersebut. (H.R. Muslim)[1]

Beliau juga bersabda dari jalur ‘Amir bin Rabi’ah:
لَا يخلون رجل بِامْرَأَة فَإِن ثالثهما الشَّيْطَان
Tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan. (H.R. Ahmad, dan al-Hakim)[2]
Batasan Khalwat
Adapun batasan khalwat yang dirumuskan oleh ulama adalah berhimpun pada suatu tempat yang tidak aman gelora syahwat pada adat kebiasaan. Rumusan ini disebutkan dalam kitab karya ulama antara lain di dalam Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi ‘ala Nihayah al-Muhtaj :
أَنَّ الْمَدَارَ فِي الْخَلْوَةِ عَلَى اجْتِمَاعٍ لَا تُؤْمَنُ مَعَهُ الرِّيبَةُ عَادَةً، بِخِلَافِ مَا لَوْ قُطِعَ بِانْتِفَائِهَا فِي الْعَادَةِ فَلَا يُعَدُّ خَلْوَةً
Sesungguhnya kisaran khalwat adalah berhimpun yang tidak aman gelora syahwat pada adat kebiasaan. Ini berbeda apabila dipastikan ternafi raibah pada adat kebiasaan, maka tidak dihitung khalwat.[3]

Zhabit yang dikemukakan di atas juga dikutip oleh Sulaiman al-Jamal dalam kitab Hasyiah al-Jamal ‘ala al-Manhaj[4] dan al-Syarwani dalam Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj.[5]
Zhabit disebut di atas sesuai dengan tujuan pengharaman khalwat sebagaimana penjelasan al-Iraqi bahwa makna dari pengharaman khalwat itu sendiri karena khalwat merupakan madhinnah (sesuatu yang didhan) akan terjadi perbuatan keji dengan sebab tipu daya syaithan. Al-Iraqi dalam kitab Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib mengatakan :
وَالْمَعْنَى فِي تَحْرِيمِ الْخَلْوَةِ بِالْأَجْنَبِيَّةِ أَنَّهُ مَظِنَّةُ الْوُقُوعِ فِي الْفَاحِشَةِ بِتَسْوِيلِ الشَّيْطَانِ
Makna dari pengharaman khalwat dengan orang asing adalah karena khalwat merupakan madhinnah (sesuatu yang didhan) akan terjadi perbuatan keji dengan sebab tipu daya syaithan.[6]

            Setelah menyebut makna dari pengharamaan khalwat di atas, al-Iraqi mengutip hadits marfu’ dari Jabir, berbunyi :
لَا تَلِجُوا عَلَى الْمُغِيبَاتِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ أَحَدِكُمْ مَجْرَى الدَّمِ
Jangan kamu menemui perempuan yang ditinggal keluarganya sendirian,  sesungguhnya syaithan mengalir pada salah seorang kamu dengan mengikuti aliran  darah (H.R. Turmidzi).[7]

            Berikut ini batasan-batasan khalwat yang spesifik yang disebut oleh ahli fiqh, yakni antara lain :
1.    Tidak termasuk khalwat apabila di antara dua orang yang tidak ada hubungan mahram ini ada mahram salah satu dari keduanya, baik mahram dari pihak perempuan seperti anak laki-lakinya maupun mahram dari pihak laki-laki seperti anak perempuannya.
2.    Tidak termasuk khalwat apabila di antara dua orang yang tidak ada hubungan mahram ini ada suami siperempuan.
3.    Tidak termasuk khalwat yang diharamkan apabila dalam keadaan darurat, seperti ditemui seorang perempuan di jalan dalam keadaan tersesat atau seumpamanya, maka dibolehkan menemaninya, bahkan menjadi wajib apabila dikuatirkan terjadi sesuatu yang berbahaya atas perempuan tersebut apabila ditinggalkan sendirian.
4.    Termasuk khalwat apabila di antara dua orang yang tidak ada hubungan mahram ini hanya ditemani seseorang yang tidak membuatnya malu karena masih kecil, seperti anak masih usia dua, tiga tahun dan seumpamanya. karena adanya seperti tidak ada
5.    Terjadi khilafiyah, apakah dianggap khalwat yang diharamkan apabila beberapa laki-laki hanya bersama seorang perempuan. Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan, halal khalwat satu jama’ah dengan seorang perempuan yang menurut adat kebiasaan dapat memaling mereka dari mufakat melakukan perbuatan keji dengan perempuan tersebut dengan sebab kehadiran mereka. Namun al-Nawawi dalam al-Majmu’ telah menghikayah pendapat ini dalam kelompok pendapat yang dhaif. Sebagian ulama menganggap mu’tamad pendapat pertama (pendapat dalam Syarah Muslim), tapi dengan mengkaidkan apabila dipastikan ternafi gelora syahwat dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
6.    Berbeda apabila seorang laki-laki bersama beberapa orang perempuan yang tsiqqah (terpercaya), maka ini tidak termasuk khalwat yang diharamkan.
Point 1 s/d 6 sesuai dengan penjelasan Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim berikut ini :
وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ) يَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ مَحْرَمًا لَهَا وَيَحْتَمِلُ أَنْ يُرِيدَ مَحْرَمًا لَهَا أوله وَهَذَا الِاحْتِمَالُ الثَّانِي هُوَ الْجَارِي عَلَى قَوَاعِدِ الْفُقَهَاءِ فَإِنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ مَعَهَا مَحْرَمٌ لَهَا كَابْنِهَا وَأَخِيهَا وَأُمِّهَا وَأُخْتِهَا أَوْ يَكُونَ مَحْرَمًا لَهُ كَأُخْتِهِ وَبِنْتِهِ وَعَمَّتِهِ وَخَالَتِهِ فَيَجُوزُ الْقُعُودُ مَعَهَا فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ ثُمَّ إِنَّ الْحَدِيثَ مَخْصُوصٌ أَيْضًا بِالزَّوْجِ فَإِنَّهُ لَوْ كَانَ مَعَهَا زَوْجُهَا كَانَ كَالْمَحْرَمِ وَأَوْلَى بِالْجَوَازِ وَأَمَّا إِذَا خَلَا الْأَجْنَبِيُّ بِالْأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ ثَالِثٍ مَعَهُمَا فَهُوَ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَكَذَا لَوْ كَانَ مَعَهُمَا مَنْ لَا يُسْتَحَى مِنْهُ لِصِغَرِهِ كَابْنِ سَنَتَيْنِ وَثَلَاثٍ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّ وُجُودَهُ كَالْعَدَمِ وَكَذَا لَوِ اجْتَمَعَ رِجَالٌ بِامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِخِلَافِ مَا لَوِ اجْتَمَعَ رَجُلٌ بِنِسْوَةٍ أَجَانِبَ فَإِنَّ الصَّحِيحَ جَوَازُهُ
Sabda Nabi SAW “bersamanya ada mahram”, kemungkinan dimaksudkan adalah mahram si perempuan dan kemungkinan juga mahram si perempuan atau mahram si laki-laki. Namun kemungkinan yang kedua ini sesuai dengan qawaid  fuqaha, sesungguhnya tidak ada perbedaan antara bersama perempuan itu ada mahramnya seperti anak, saudara laki-laki, ibu atau saudara perempuannya maupun bersama perempuan itu ada mahram si laki-laki seperti saudara perempuan, anak perempuan, bibi pihak ayah atau bibi pihak ibunya. Maka dibolehkan duduk bersamanya pada keadaan-keadaan ini. Kemudian sesungguhnya hadits ini dikhususkan pula dengan suami, karena seandainya bersamanya ada suaminya, maka suami sama seperti mahram dan lebih patut dibolehkan. Adapun apabila khalwat laki-laki asing dengan perempuan asing tanpa ada pihak ketiga bersama perempuan tersebut, maka diharamkan dengan sepakat ulama. Demikian juga seandainya bersamanya ada orang yang tidak membuat dia malu karena kecil seperti anak berumur dua tahun, tiga tahun dan seumpamanya, maka adanya seperti tidak ada. Demikian juga berkumpul beberapa laki-laki dengan seorang perempuan asing maka ini haram, berbeda seandainya seorang laki-laki dengan beberapa perempuan asing, maka menurut pendapat yang shahih boleh.[8]

Kemudian Imam al-Nawawi mengecualikan keharaman khalwat apabila dalam keadaan darurat. Beliau berkata :
وَيُسْتَثْنَى مِنْ هَذَا كُلِّهِ مَوَاضِعُ الضَّرُورَةِ بِأَنْ يَجِدَ امْرَأَةً أَجْنَبِيَّةً مُنْقَطِعَةً فِي الطَّرِيقِ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ فَيُبَاحُ لَهُ اسْتِصْحَابُهَا بَلْ يَلْزَمُهُ ذَلِكَ إِذَا خَافَ عَلَيْهَا لَوْ تَرَكَهَا وَهَذَا لَا اخْتِلَافَ فِيهِ وَيَدُلُّ عَلَيْهِ حَدِيثُ عَائِشَةَ فِي قِصَّةِ الْإِفْكِ
Dikecualikan dari ini semua tempat-tempat darurat seperti ditemui seorang perempuan asing tersesat pada jalan atau seumpamanya, maka diboleh menemaninya, bahkan wajib hal itu apabila dikuatirkan atas perempuan tersebut seandainya ditinggal sendirian. Ini tidak khilafiyah padanya dan ditunjuk oleh ‘Aisyah dalam kisah tuduhan palsu (kisah tuduhan palsu atas Aisyah r.a) [9]

Dalam Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :
وَلَا تَجُوزُ خَلْوَةُ رَجُلٍ بِغَيْرِ ثِقَاتٍ وَإِنْ كَثُرْنَ،
Tidak boleh khalwat seorang laki-laki dengan beberapa perempuan tidak terpercaya, meskipun banyak.[10]

Juga dalam Tuhfah al-Mutaj disebutkan :
فَإِنْ قُلْت ظَاهِرُ هَذَا أَنَّهُ لَا تَحْرُمُ خَلْوَةُ رِجَالٍ بِامْرَأَةٍ قُلْت مَمْنُوعٌ وَإِنَّمَا قَضِيَّتُهُ أَنَّ الرِّجَالَ إنْ أَحَالَتْ الْعَادَةُ تَوَاطُؤَهُمْ عَلَى وُقُوعِ فَاحِشَةٍ بِهَا بِحَضْرَتِهِمْ كَانَتْ خَلْوَةً جَائِزَةً وَإِلَّا فَلَا، ثُمَّ رَأَيْت فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ التَّصْرِيحَ بِهِ حَيْثُ قَالَ تَحِلُّ خَلْوَةُ جَمَاعَةٍ يَبْعُدُ تَوَاطُؤُهُمْ عَلَى الْفَاحِشَةِ لِنَحْوِ صَلَاحٍ أَوْ مُرُوءَةٍ بِامْرَأَةٍ لَكِنَّهُ حَكَاهُ فِي الْمَجْمُوعِ حِكَايَةَ الْأَوْجُهِ الضَّعِيفَةِ وَرَأَيْت بَعْضَهُمْ اعْتَمَدَ الْأَوَّلَ وَقَيَّدَهُ بِمَا إذَا قُطِعَ بِانْتِفَاءِ الرِّيبَةِ مِنْ جَانِبِهِ وَجَانِبِهَا
Apabila kamu mengatakan, dhahir ini sesungguhnya tidak haram khalwat beberapa orang laki-laki dengan seorang perempuan. Aku katakan : Ini tercegah. Hanyasanya kehendakinya bahwa beberapa laki-laki apabila menurut adat kebiasaan dapat memaling mufakat mereka melakukan perbuatan keji dengan siperempuan dengan sebab kehadiran mereka, maka khalwat itu boleh dan jika tidak, maka tidak. Kemudian, aku pernah melihat dalam Syarah Muslim menerangkannya demikian, dimana dikatakan, halal khalwat satu jama’ah dengan seorang perempuan yang menurut adat kebiasaan dapat memaling mereka dari mufakat melakukan perbuatan keji dengan perempuan tersebut karena seumpama shaleh atau marwah dengan sebab kehadiran mereka. Namun al-Nawawi dalam al-Majmu’ telah menghikayah pendapat ini dalam kelompok pendapat yang dhaif. Dan aku melihat sebagian ulama menganggap mu’tamad pendapat pertama (pendapat dalam Syarah Muslim) dan dikaidkan apabila dipastikan ternafi gelora syahwat dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.[11]

7.    Tidak termasuk khalwat seorang perempuan masuk dalam sebuah aula milik umum dimana hanya ada seorang laki-laki di dalamnya, namun disyaratkan aula tersebut merupakan ruangan yang sering lalu lalang manusia pada adat kebiasaan.
8.    Tidak termasuk khalwat seorang perempuan bersama seorang laki-laki di jalan umum dimana jalan tersebut merupakan jalan yang sering lalu lalang manusia pada adat kebiasaan.
Point 7 dan 8 di atas sesuai dengan penjelasan dalam Tuhfah al-Muhtaj, yakni :
وَفِي التَّوَسُّطِ عَنْ الْقَفَّالِ لَوْ دَخَلَتْ امْرَأَةٌ الْمَسْجِدَ عَلَى رَجُلٍ لَمْ تَكُنْ خَلْوَة لِأَنَّهُ يَدْخُلُهُ كُلُّ أَحَدٍ انْتَهَى وَإِنَّمَا يُتَّجَهُ ذَلِكَ فِي مَسْجِدٍ مَطْرُوقٍ وَلَا يَنْقَطِعُ طَارِقُوهُ عَادَةً وَمِثْلُهُ فِي ذَلِكَ الطَّرِيقُ أَوْ غَيْرُهُالْمَطْرُوقُ كَذَلِكَ بِخِلَافِ مَا لَيْسَ مَطْرُوقًا كَذَلِكَ
Dalam al-Tawassuth dari al-Qafal, seandainya seorang perempuan masuk dalam masjid dimana ada seorang laki-laki di dalamnya, maka bukan khalwat karena masuk di dalamnya setiap orang. Sesungguhnya ini hanya dapat dibenarkan dalam masjid lalu lalang manusia dan tidak terputus orang lalu lalang di dalamnya pada adat kebiasaan. Yang sama dengan masjid pada masalah ini adalah jalan atau lainnya yang lalu lalang manusia seperti itu juga, berbeda dengan yang bukan lalu lalang manusia seperti itu..[12]

9.    Termasuk khalwat seorang perempuan dan laki-laki tinggal dalam satu rumah dalam kamar masing-masing atau satu di atas dan yang lain di bawah ataupun satu di dalam rumah dan yang lain di dalam kamarnya. Sedangkan perabotan rumahnya satu, seperti tempat memasak, toilet, sumur, jalur berjalan, teras atau tangga.
10.    Termasuk khalwat apabila perabotan rumah tersebut di atas tidak satu, akan tetapi pintu antara keduanya tidak terkunci, atau ditutup ataupun dikunci akan tetapi ruang yang menjadi jalan keduanya adalah sama atau pintu tempat tinggal salah satunya dalam tempat tinggal yang lainnya.
Kedua point di atas (Point 9 dan 10) merupakan rangkuman dari penjelasan para ulama sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitami berikut ini :
إذَا سَكَنَتْ الْمَرْأَةُ وَالْأَجْنَبِيُّ فِي حُجْرَتَيْنِ أَوْ عُلُوٍّ وَسُفْلٍ أَوْ دَارٍ وَحُجْرَةٍ اُشْتُرِطَ أَنْ لَا يَتَّحِدَا فِي مِرْفَقٍ كَمَطْبَخٍ أَوْ خَلَاءٍ أَوْ بِئْرٍ أَوْ مَمَرٍّ أَوْ سَطْحٍ أَوْ مِصْعَدٍ لَهُ فَإِنْ اتَّحَدَا فِي وَاحِدٍ مِمَّا ذُكِرَ حُرِّمَتْ الْمُسَاكَنَةُ لِأَنَّهَا حِينَئِذٍ مَظِنَّةٌ لِلْخَلْوَةِ الْمُحَرَّمَةِ وَكَذَا إنْ اخْتَلَفَا فِي الْكُلِّ وَلَمْ يُغْلَقْ مَا بَيْنَهُمَا مِنْ بَابٍ أَوْ يُسَدُّ أَوْ غُلِقَ لَكِنَّ مَمَرَّ أَحَدِهِمَا عَلَى الْآخَرِ أَوْ بَابَ مَسْكَنِ أَحَدِهِمَا فِي مَسْكَنِ الْآخَرِ
Apabila seorang perempuan dan laki-laki asing menetap dalam dua kamar atau pada tempat di atas dan bawah ataupun pada sebuah rumah dan kamar, maka disyaratkan tidak satu pada perabotan rumahnya seperti tempat memasak, toilet, sumur, jalan lalu, teras atau tangga. Apabila satu pada perabotan rumah dari contoh-contoh yang disebutkan, maka diharamkan tinggal, karena hal itu madhinnah khalwat yang diharamkan. Demikian juga apabila keduanya berbeda pada semua itu, sedangkan pintu antara keduanya tidak terkunci atau terkunci akan tetapi jalan lalu salah satu keduanya di atas jalan lalu yang lain ataupun pintu tempat tinggal salah satu keduanya dalam tempat tinggal yang lain.[13]

Mahram dan yang bukan mahram
1.    Mahram yang dibolehkan khalwat adalah setiap orang yang diharamkan nikah atas jalan selama-lamanya dengan sebab mubah karena penghormatan. Karena itu, tidak termasuk mahram di sini
a.       Saudara suami/isteri, paman suami/bibi isteri (keluar dari kriteria diharamkan selama-lamanya)
b.      Ibu dan anak dari perempuan yang pernah disetubuhi secara syubhat (keluar dari kriteria diharamkan dengan sebab mubah)
c.       Mantan isteri/suami yang pernah dili’an (keluar dari kriteria diharamkan karena penghormatan)
Imam al-Nawawi mengatakan :
وَاعْلَمْ أَنَّ حَقِيقَةَ الْمَحْرَمِ مِنَ النِّسَاءِ الَّتِي يَجُوزُ النَّظَرُ إِلَيْهَا وَالْخَلْوَةُ بِهَا وَالْمُسَافَرَةُ بِهَا كُلُّ مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا عَلَى التَّأْبِيدِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ لِحُرْمَتِهَا فَقَوْلُنَا عَلَى التَّأْبِيدِ احْتِرَازٌ مِنْ أُخْتِ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَخَالَتِهَا وَنَحْوِهِنَّ وَقَوْلُنَا بِسَبَبٍ مُبَاحٍ احْتِرَازٌ مِنْ أُمِّ الْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ وَبِنْتِهَا فَإِنَّهُمَا تَحْرُمَانِ عَلَى التَّأْبِيدِ وليستا محرمين لِأَنَّ وَطْءَ الشُّبْهَةِ لَا يُوصَفُ بِالْإِبَاحَةِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِفِعْلِ مُكَلَّفٍ وَقَوْلُنَا لِحُرْمَتِهَا احْتِرَازٌ مِنَ الْمُلَاعَنَةِ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَى التَّأْبِيدِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ وليست محرما لِأَنَّ تَحْرِيمَهَا لَيْسَ لِحُرْمَتِهَا بَلْ عُقُوبَةً وَتَغْلِيظًا
Dan ketahuilah, hakikat mahram dari perempuan yang boleh melihat kepadanya dan khalwat serta musafir dengannya adalah setiap yang haram menikahinya atas jalan selama-lamanya dengan sebab mubah karena menghormatinya. Karena itu, perkataan kami “atas jalan selama-lamanya” mengeluarkan dari mahram saudari isteri, bibi isteri pihak ayah dan pihak ibu dan seumpamanya. perkataan kami “dengan sebab mubah” mengeluarkan dari mahram ibu dan anak dari perempuan yang pernah disetubuhi secara syubhat, karena keduanya diharamkan selama-lamanya akan tetapi keduanya bukan mahram karena persetubuhan syubhat tidak disifatkan dengan mubah, sebab bukan perbuatan mukallaf. Perkataan kami “karena menghormatinya” mengeluarkan dari mahram perempuan yang pernah dili’an. Perempuan yang pernah dili’an diharamkan atas jalan selama-lamanya dengan sebab mubah, akan tetapi dia bukan mahram karena diharamkannya bukan karena menghormatinya, tetapi sebagai ‘uqubah dan membuat jera[14]

2.    Adapun yang termasuk mahram antara lain :
a.       Anak
b.      Saudara
c.       Anak dari saudara laki-laki
d.      Anak dari saudara perempuan
e.       Bibi dari pihak ayah
f.       Bibi dari pihak ibu
g.      Saudara sesusuan
h.      Anak dari saudara sesusuan dan seumpamanya
i.        Ayah/ibu mertua
j.        Anak isteri
Imam al-Nawawi mengatakan :
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ) فِيهِ دَلَالَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَالْجُمْهُورِ أَنَّ جَمِيعَ الْمَحَارِمِ سَوَاءٌ فِي ذَلِكَ فَيَجُوزُ لَهَا الْمُسَافَرَةُ مع محرمها بالنسب كابنها وأخيها وبن أخيها وبن أُخْتِهَا وَخَالِهَا وَعَمِّهَا وَمَعَ مَحْرَمِهَا بِالرَّضَاعِ كَأَخِيهَا من الرضاع وبن أخيها وبن أُخْتِهَا مِنْهُ وَنَحْوِهِمْ وَمَعَ مَحْرَمِهَا مِنَ الْمُصَاهَرَةِ كأبي زوجها وبن زَوْجِهَا وَلَا كَرَاهَةَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ وَكَذَا يَجُوزُ لِكُلِّ هَؤُلَاءِ الْخَلْوَةُ بِهَا وَالنَّظَرُ إِلَيْهَا مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ وَلَكِنْ لَا يَحِلُّ النَّظَرُ بِشَهْوَةٍ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَالْجُمْهُورِ
Sabda Nabi SAW “Kecuali bersamanya ada mahram” padanya petunjuk bagi mazhab Syafi’i dan jumhur ulama bahwa semua mahram sama hukumnya pada demikian. Maka dibolehkan seorang perempuan melakukan musafir bersama mahram nasabnya seperti anak, saudara, anak saudara laki-laki, anak saudara perempuan, bibi pihak ibu dan bibi pihak ayah dan dibolehkan melakukan musafir bersama mahram dengan sebab sesusuan seperti saudara sesusuan, anak saudara sesusuan laki-laki dan anak saudara sesusuan perempuan dan seumpamanya dan juga boleh melakukan musafir bersama mahramnya karena mushaharah (perkawinan) sseperti ayah suami dan anak suami dan tidak makruh sesuatupun pada demikian. Demikian juga boleh bagi setiap mereka khalwat dengannya dan melihat kepadanya tanpa hajat, akan tetapi tidak halal melihat dengan syahwat bagi salah seorang dari mereka. Ini mazhab Syafi’i dan jumhur ulama.[15]

Batasan khalwat menurut Qanun Jinayat Aceh
Qanun Jinayat No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1,angka 23 disebutkan :
Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan dengan kerelaan kedua belah pihak yang mengarah perbuatan zina.
 Dalam qanun yang sama dalam Bab III Bagian Kedua, pasal 12, disebutkan :
(1). Setiap orang yang melakukan pekerjaan di tempat kerja dan pada waktu kerja tidak dapat dituduh melakukan jarimah khalwat dengan sesama pekerja
(2). Setiap orang yang menjadi penghuni rumah yang dibuktikan dengan daftar keluarga atau persetujuan pejabat setempat tidak dapat dituduh melakukan jarimah khalwat dengan sesama penghuni rumah tersebut.
Kemudian dalam pasal 13, disebutkan :
Setiap orang yang memberikan pertolongan kepada orang lain yang berbeda jenis kelamin dalam keadaan darurat tidak dapat dituduh melakukan jarimah khalwat atau ikhtilath.



[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 978, No. 1341
[2] Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 257
[3] ‘Ali Syibran al-Malasi, Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi ‘ala Nihayah al-Muhtaj, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VII, Hal. 163
[4] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. IV, Hal. 125
[5] Al-Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 269-270
[6] Al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz VII, Hal. 41
[7] Al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz VII, Hal. 41
[8] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 155-156
[9] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 155-156
[10] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 269
[11] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 270
[12] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VIII, Hal. 269-270
[13] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Juz. IV, Hal. 106-107
[14] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 150
[15] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 149