Kamis, 27 Oktober 2016

Hadits al-Qur’an penolong orang yang gemar membacanya di dalam alam kubur

assalamu'alaikum WW mhn pencerehan Ustadz tentang beredarnya didunia maya masalah keshohehan hadits yg menjelaskan tentang pertolongan Al-Qur'an di Alam Qubur terima ksih Wassalam...

Jawab  :
Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya al-Mauzhu’at (hadits-hadits palsu) menyebut hadits ini dalam bab Pahala Pembaca al-Qur’an dengan sanad Ali Abddullah bin Nashr-Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin al-Maslamah – Isma’il bin Sa’id bin Suwaid – Abu Bakar Muhammad bin al-Qasim al-Anbari – al-Kudaimi – Yunus bin Ubaidillah al-Umairi – Daud bin Bahr al-Karmani – Muslim bin Syadad – Ubaid bin Umair- Ubadah bin al-Shamid dengan redaksi sebagai berikut :
قَالَ رَسُول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَجْهَرْ بِقِرَاءَتِهِ فَإِنَّهُ يَطْرُدُ بِقِرَاءَتِهِ مَرَدَةَ الشَّيَاطِينِ وَفُسَّاقَ الْجِنِّ، وَإِنَّ الْمَلائِكَةَ الَّذِينَ فِي الْهَوَاءِ وَسُكَّانَ الدَّارِ يُصَلُّونَ بِصَلاتِهِ وَيَسْمَعُونَ لِقِرَاءَتِهِ، فَإِذَا مَضَتْ هَذِهِ اللَّيْلَةُ أَوْصَتِ اللَّيْلَةَ الْمُسْتَأْنَفَةَ فَقَالَتْ تَحَفَّظِي لِسَاعَاتِهِ وَكُونِي عَلَيْهِ خَفِيفَةً، فَإِذَا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ جَاءَ الْقُرْآنُ فَوَقَفَ عِنْدَ رَأْسِهِ وَهُمْ يُغَسِّلُونَهُ، فَإِذَا غَسَّلُوهُ وَكَفَّنُوهُ جَاءَ الْقُرْآنُ فَدَخَل حَتَّى صَارَ بَيْنَ صَدْرِهِ وَكَفَنِهِ، فَإِذَا دُفِنَ وَجَاءَ مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ خَرَجَ حَتَّى صَارَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمَا فَيَقُولانِ إِلَيْكَ عَنَّا فَإِنَّا نُرِيدُ أَنْ نَسْأَلَهُ، فَيَقُولُ: وَاللَّهِ مَا أَنَا بِمُفَارِقِهِ أَبَدًا حَتَّى أُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، فَإِنْ كُنْتُمَا أمرتما فِيهِ بشئ فَشَأْنُكُمَا. قَالَ: ثُمَّ يَنْظُرُ إِلَيْهِ فَيَقُولُ هَلْ تَعْرِفُنِي؟ فَيَقُولُ: مَا أَعْرِفُكَ فَيَقُولُ: أَنَا الْقُرْآنُ الَّذِي كنت أسهر ليلك وأظمى نَهَارَكَ وَأَمْنَعُكَ شَهْوَتَكَ وَسَمْعَكَ وَبَصَرَكَ فأبشر فَمَا عَلَيْك بعد مَسْأَلَة مُنْكَرٍ وَنَكِيرٍ مِنْ هَمٍّ وَلا حَزَنٍ
Rasulullah SAW bersabda apabila salah seorang kamu mendirikan malam, lalu menjihar qiraahnya, maka dengan sebab qiraahnya dapat menjauhkan keinginan syaithan dan jin fasiq dan sesungguhnya malaikat yang berada di udara dan penduduk-penduduk negeri shalat mengikuti shalatnya serta mendengar qiraahnya. Ketika berlalu malam itu, maka malam tersebut berwasiat kepada malam berikutnya, “Jagalah untuk waktu-waktunya dan jadikanlah kemudahan atasnya.” Apabila seseorang dijemput maut, maka al-Qur’an (yang menyerupai makhluq yang pandai bicara) datang menemuinya, berdiri tepat di kepalanya, sedangkan saudara-saudaranya sedang sibuk dengan memandikannya. Setelah memandikan dan mengkafaninya, al-Qur’an mendekati berdiri di antara dada dan kain kafan simati. Setelah pengebumian, dua malaikat Mungkar dan Nakir, datang, keluarlah al-Qur’an dan berdiri antara simati dan kedua  malaikat tersebut, maka kedua malaikat berkata : “Jauhkan dirimu dari kami, karena kami ingin menyoal lelaki yang telah meninggal itu.”  Akan tetapi al-Qur’an ini menjawab : “Demi Allah aku tidak akan meninggalkannya selama-lama sehingga dia masuk surga. Seandainya kalian diperintah dengan itu, maka itu urusan kalian. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda, kemudian al-Qur’an seraya melihat kepada simati  bertanya : “Apakah kamu mengenal aku?”.  “Aku tidak mengenalmu.” Jawab simati. “Aku adalah al-Qur’an yang kamu berjaga malam karenanya, menggelapkan siang harimu, mencegah syahwat, pendengaran dan penglihatanmu. Maka bergembiralah, kamu tidak akan ada duka dan kegundahan setelah soal dari Mungkar dan Nakir. (ini sebagian dari penggalan redaksi haditsnya)

            Ibnu al-Jauzi menjelaskan, hadits ini juga telah diriwayat oleh al-‘uqaili dari Ibrahim bin Muhammad dari ‘Amr bin Marzuq dari Daud dengan redaksi lebih panjang dari redaksi di atas. Kemudian Ibnu al-Jauzi mengatakan, hadits ini tidak sah dari Rasulullah SAW, karena Daud dituhmah. Yahya bin Ma’in mengatakan, Daud al-Thafawi telah diriwayat hadits-hadits darinya tentang al-Qur’an yang tidak dianggap. Al-‘Uqaili mengatakan, hadits Daud bathil, tidak ada asal. Kemudian Ibnu al-Jauzi mengatakan, dalam sanadnya ada al-Kudaimi pemalsu hadits.[1] Al-Zahabi mengatakan, hadits ini mauzhu’. Dalam sanadnya ada al-Kudaimi, beliau ini dituhmah. Sedangkan Daud orang yang celaka.[2]
Menurut Imam al-Suyuthi, al-Kudaimi terlepas dari hadits ini. Karena dalam jalur-jalur lain, al-Kudaimi yang dituduh sebagai pemalsu hadits tidak terdapat dalam sanadnya. Jalur-jalur itu antara lain, al-Harits dalam Musnadnya, Ibnu Abi al-Dun-ya dalam kitab al-Tahajjud, Ibnu al-Zhurais dalam Fadhail al-Qur’an, Muhammad Nasr dalam Kitab al-Shalat dan jalur riwayat al-‘Uqaili. Kemudian al-Suyuthi menjelaskan bahwa hadits ini ada pendukungnya, yakni hadits dengan makna serupa dari riwayat Khalid bin Ma’daan dari Mu’az bin Jabal secara marfu’ yang telah disebut oleh al-Bazar dalam Musnadnya. Namun al-Bazar mengatakan, Khalid tidak mendengar hadits dari Mu’az bin Jabal.[3]
Disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa ketika seorang mukmin meninggal dunia untuk menuju negeri akhirat, dikatakan kepadanya :
فَأَفْرِشُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَأَلْبِسُوهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى الْجَنَّةِ. قَالَ: فَيَأْتِيهِ مِنْ رَوْحِهَا، وَطِيبِهَا، وَيُفْسَحُ لَهُ فِي قَبْرِهِ مَدَّ بَصَرِهِ  قَالَ: وَيَأْتِيهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ، حَسَنُ الثِّيَابِ، طَيِّبُ الرِّيحِ، فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يَسُرُّكَ، هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنْتَ تُوعَدُ، فَيَقُولُ لَهُ: مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِيءُ  بِالْخَيْرِ، فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ، فَيَقُولُ: رَبِّ أَقِمِ السَّاعَةَ  حَتَّى أَرْجِعَ إِلَى أَهْلِي، وَمَالِي
Hamparkanlah untuknya (permadani) dari surga, pakaikanlah untuknya (pakaian) dari surga, dan bukakanlah baginya pintu yang menuju surga. Maka sampailah kepadanya aroma dan keindahan surga itu, dan kubur pun dilapangkan baginya sejauh mata memandang. Kemudian datang kepadanya seorang lelaki yang berwajah tampan, pakaiannya bagus dan aromanya wangi sembari berkata, 'Bergembiralah dengan sesuatu yang telah menyenangkanmu, ini adalah hari yang dahulu kamu dijanjikan.' Ia (orang mukmin) pun bertanya, 'Siapakah kamu, wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan?' Ia menjawab, 'Aku adalah amal shalihmu.' Akhirnya ia (orang mukmin) berkata, 'Wahai Tuhanku, tegakkanlah kiamat agar aku bisa kembali kepada keluargaku dan hartaku. (H.R. Ahmad)[4]

Berdasarkan keterangan di atas, dengan memperhatikan penjelasan al-Suyuthi, maka menurut pemahaman kami, hadits tersebut di atas tidak tepat dikatakan sebagai hadits mauzhu’ (palsu). Minimal hadits tersebut adalah dhaif (bukan mauzhu’), mengingat hadits tersebut diriwayat dari banyak jalur, tanpa ada al-Kudaimi yang dituduh sebagai pemalsu hadits dalam sanadnya. Bahkan bisa saja hadits ini menjadi hasan lighairihi mengingat ada pendukungnya (‘azhid) dari hadits al-Bazaar dan menurut kami secara umum juga didukung oleh hadits riwayat Ahmad di atas.  Alhasil meskipun hadits ini dinilai sebagai hadits dhaif, maka boleh saja hadits ini dikemukakan sebagai nasehat dalam bab fazhailul amal sebagaimana dimaklumi dalam ilmu hadits.




[1] Ibnu al-Jauzi, al-Mauzhu’aat, Maktabah al-Salafiyah, Madinah, Hal. 251-252
[2] Al-Zahabi, Talkhis al-Mauzhu’aat, Maktabah al-Rusyd, Riyadh, Hal. 71
[3] Al-Suyuthi, al-Lala-i  al-Masnu’ah fi al-Ahadits al-Mauzhu’ah, Darul Ma’riffah, Beirut,  Hal. 241-242.
[4] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Maktabah Syamilah, Juz. XXX, Hal. 501,, No. 18534

Kamis, 20 Oktober 2016

Merebus ayam sebelum dikeluarkan kotorannya

Sebagian sahabat kita pernah bertanya bagaimana hukum merebus ayam atau bebek sebelum mengeluarkan kotorannya sebagaimana sering dilakukan di pasar-pasar ayam/bebek.
Jawabannya : tentu dapat menyebabkan najis daging ayam tersebut, karena air panas dapat meresapkan najis pada bagian-bagian dalam daging. Namun demikian, daging ayam tersebut dapat suci kembali dengan hanya menyiram bagian luarnya saja. Berikut nash para ulama kita menyangkut hal tesebut di atas, yakni :
1.    Disebut dalam Fathul Mu’in sebagai berikut :
وإن كان حبا أو لحما طبخ بنجس، أو ثوبا صبغ بنجس، فيطهر باطنها بصب الماء على ظاهرها
Seandai biji-bijian atau daging dimasak dengan najis atau pakaian dicelup dengan najis, maka bathinnya itu suci dengan sebab dituang air atas bagian luarnya.[1]

2.    Disebut dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin sebagai berikut :

لحم عليه دم غير معفوّ عنه ذر عليه ملح فتشربها طهر بإزالة الدم وإن بقي طعم الملح كحب أو لحم طبخ ببول فيكفي غسل ظاهره وإن بقي طعم البول بباطنه إذ تشرب ما ذكر كتشرب المسام كما في التحفة
Daging diatasnya ada darah yang tidak dimaafkan serta ditaburi garam yang meresap dalam daging, maka ini suci dengan sebab menghilangkan darah, meskipun tersisa rasa garam, sama halnya daging yang dimasak dengan kencing, maka memadai dengan membasuh bagian luarnya saja, meskipun masih tersisa rasa kencing pada bagian dalamnya. Karena peresapan tersebut sama dengan peresapan yang terjadi pada lobang pori-pori kulit sebagaimana tersebut dalam al-Tuhfah.[2]

3.    Dalam Syarah Bahjah Wardiyah disebutkan :
)قوله : لا يشترط العصر ) سواء في ذلك ما له خمل أي : وبر كالبساط وما لا خمل له فما في الروضة والمجموع من أنه لو طبخ لحم بماء نجس نجس ظاهره وباطنه و يكفي غسله ويعصر كالبساط محمول على الندب أو الضعيف وتوجيه القمولي بأن النجاسة تدخل في باطن اللحم فيحتاج لإخراجها بالعصر فغير مستقيم لأن القول بعدم اشتراط العصر وهو الأصح مبني على الأصح وهو طهارة الغسالة
(Perkataan pengarang : “tidak disyaratkan memerasnya), itu baik yang berbulu seperti permadani maupun yang tidak berbulu. Karena itu, yang tersebut dalam al-Raudhah dan al-Majmu’ bahwa seandainya daging dimasak dengan air najis, maka najislah dhahir dan bagian dalamnya, akan tetapi memadai dengan membasuh dan memerasnya seperti permadani, ini dipertempatkan pada hukum sunnat atau pendapat dha’if. Adapun alasan al-Qamuli bahwa najis masuk dalam bagian dalam daging, maka perlu dikeluarkannya dengan memeras, ini tidak benar, karena pendapat yang mengatakan tidak disyaratkan peras – pendapat ini adalah lebih shahih – dibangun atas pendapat yang lebih shahih, yakni pendapat suci air bekas basuhan.[3]
4.    Dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Manhaj disebutkan :
لو ابتل حب بماء نجس أو بول صار رطبا وغسل بماء طاهر حال الرطوبة طهر ظاهرا وباطنا كذا اللحم إذا طبخ بهما وغسل يطهر ظاهرا وباطنا ز ي
Jika basah biji-bijian dengan air najis atau kencing yang menyebabkan lembab, kemudian dibasuh dengan air yang suci pada ketika lembab tersebut, maka suci dhahir dan bagian dalamnya. demikian juga daging apabila dimasak dengan keduanya, kemudian dibasuh, maka suci dhahir dan bagian dalamnya. Demikian al-Ziyadi.[4]




[1] Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 95
[2] Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 17
[3] Zakariya al-Anshari, Syarah bahjah Wardiyah,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, juz.1, Hal 167-168
[4] Al-Bujairumi, Hasyiah Bujairimy `ala al-Manhaj, Darul Fikri, Beirut, juz.1, Hal 101

Jumat, 07 Oktober 2016

Panitia qurban menerima jatah daging qurban ?


Panitia Qurban adalah sekelompok orang-orang tertentu yang pada umumnya
dipersiapkan oleh suatu organisasi seperti ta’mir masjid, mushalla dan lain-lain guna menerima kepercayaan (amanat) dari pihak yang berqurban (mudlahhi) agar melaksanakan penyembelihan hewan qurban dan membagikan dagingnya. Apabila pengertian ini yang digunakan dalam paktek qurban , maka dalam pandangan fiqh panitia adalah wakil dari pihak mudlahhi.
Dalam kitab Fathul Qarib disebutkan devinisi wakalah (mewakilkan) sebagai berikut :
و في الشرع تفويض شخص شيأ له فعله مما يقبل النيابة الى غيره ليفعله حال حياته
Wakalah menurut syara’ adalah penyerahan oleh seseorang sesuatu yang boleh ia kerjakan sendiri dari urusan-urusan yang bisa digantikan kepada pihak lain agar dikerjakannya diwaktu pihak pertama masih hidup.[1]

          Seterusnya dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj dijelaskan :
 
والوكيل امين  لانه نائب عن الموكل في اليد والتصرف فكانت يده كيده
Wakil adalah pengemban amanah, karena ia sebagai pengganti muwakkil (yang mewakilkan) dalam kekuasaan dan tasharruf, jadi kekuasannya seperti kekuasaan pihak muwakkil.[2]

Dengan demikian, maka posisi wakil dalam qurban adalah pemegang amanah dari muwakkil dimana wewenangnya sama dengan muwakkil. Karena itu, si wakil tidak boleh menerima hak dari daging qurban kecuali sedikit daging yang merupakan hak si muwakkil (kalau qurban sunnat, bukan nazar). Adapun untuk pribadi si wakil, menurut Ibrahim al-Bajuri boleh menerimanya apabila si muwakkil ada menentukan dalam jumlah tertentu yang diperuntukan untuk si wakil. Sebaliknya, apabila tidak ditentukan oleh si muwakkil, maka si wakil tidak boleh mengambilnya.
ولا يجوز له أخذ شيئ الأ ان عين له الموكل قدرا منها

Tidak boleh bagi wakil mengambil sedikitpun kecuali pihak muwakkil sudah menentukan dalam ukuran tertentu darinya untuk pihak wakil.[3]

Alasan si wakil tidak boleh mengambilnya apabila tidak ditentukan oleh si muwakkil dalam jumlah tertentu yang diperuntukan untuk si wakil adalah karena :
1.      Wewenang wakil sama seperti wewenang muwakkil sebagaimana dijelaskan dalam Hasyiah al-Jamal di atas
2.      Berdasarkan point 1 di atas, maka apabila si wakil mengambil sebagian dari qurban untuk dirinya, ini berarti yang memberi dan yang menerima adalah orang yang sama. Ini tidak dibenarkan. Karena dalam qawaid fiqh disebutkan :
اتحاد الموجب والقابل يمتنع الا مسألتين
Terlarang orang yang sama al-mujib (pihak yang mengijab) dan al-qaabil (pihak yang qabul) kecuali pada dua masalah.

Setelah menyebut qawaid di atas, al-Zarkasyi menjelaskan dua masalah yang dikecualikan dari qawaid di atas, yakni :
a.       Ayah dan kakek dalam menjual harta anaknya yang masih kecil untuk dirinya sendiri
b.      Muwakkil mewakilkan jual beli dan mengizinkan si wakil membeli untuk dirinya sendiri dan juga muwakkil ada menentukan jumlah harga serta melarang melebihkan dari harga yang ditentukannya. Dalam kasus ini, dalam kitab al-Mathlab disebutkan seyogyanya ini dibolehkan, karena alasan hukum terlarang orang yang sama pihak yang mengijab dan pihak yang qabul adalah karena tuhmah (kekuatiran menimbulkan fitnah). Dalilnya boleh pada kasus ayah atau kakek sebagaimana di atas.[4]

Berdasarkan alasan hukum terlarang orang yang sama pihak yang mengijab dan pihak yang qabul adalah karena tuhmah, maka dapat dipahami kalau Ibrahim al-Bajuri berpendapat boleh menerimanya apabila si muwakkil ada menentukan dalam jumlah tertentu yang diperuntukan untuk si wakil, karena ternafi tuhmah di sini.






[1].Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, (dicetak pada hamisy al-Bajuri), al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 386
[2] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatis al-Arabi, Juz. III, Hal. 416
[3] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 387
[4] Al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 23