Minggu, 30 Agustus 2015

Berjama’ah mengikuti imam yang berbeda mazhab



Berikut pendapat ulama tentang hukum mengikuti imam yang berbeda mazhab dalam furu’ fiqh
1.      Berkata Zainuddin al-Malibary :
Tidak sah mengikuti imam yang di i’tiqadkan batal shalatnya, artinya imam mendatangkan perbuatan yang membatalkan shalat pada i’tiqad makmum, misalnya pengikut Syafi’i mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah wudhu’, pen.)[1]

2.      ‘Ibarat Nihayah :
Kalau imam meninggalkan basmalah, maka pengikut Syafi’i tidak sah mengikutinya”.[2]

3.       Berkata An-Nawawi :
Kalau pengikut Syafi’i berjama’ah mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah berwudhu’, pen.) atau berbekam, menurut pendapat al-ashah (pendapat yang kuat) sah jama’ahnya dalam hal berbekam dan  tidak sah dalam hal menyentuh kemaluan, karena i’tibar i’tiqad makmum.” Selanjutnya Jalaluddin al-Mahalli mengatakan bahwa pendapat yang kedua (muqabil ashah, pen.) adalah sebaliknya (yaitu tidak sah dalam berbekam dan sah dalam menyentuh kemaluan, pen.) karena i’tibar i’tiqad imam yang diikutinya, yaitu berbekam dapat meruntuhkan wudhu’ dan menyentuh kemaluan tidak meruntuhkannya.[3]

4.       Berkata Umairah :
Pendapat muqabil ashah adalah pendapat yang telah dikemukakan oleh al-Qafal. Al-Qafal mengemukakan alasannya bahwa imam yang bermazhab Hanafi tala’ub (bermain-main) dalam hal berbekam dan seumpamanya, maka tidak terjadi padanya niat yang benar, berbeda halnya dengan kasus menyentuh kemaluan. Berkata al-Asnawi mudah-mudahan ini adalah yang benar”. [4]

5.      Berkata pengarang Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad :
Sah mengikuti imam yang berbeda mazhab, apabila makmum mengetahui bahwa imam mendatangkan hal-hal yang wajib di sisi makmum, demikian juga jika ia tidak tahu. Oleh karena itu, kalau imam meninggalkan sesuatu yang wajib pada i’tiqad makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya menurut pendapat Syaikhaini (Nawawi dan Rafi’i, pen.). menurut Al-Qufal sah. Berkata Imam Subki; pendapat yang di tashih oleh Syaikhain adalah pendapat kebanyakan ulama, tetapi pendapat Al-Qufal lebih dekat kepada dalil dan perbuatan Salaf”. [5]

6.      Berkata Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madni :
Namun demikian, kalau imam itu orang yang punya wilayat, maka dalam at-Tuhfah berpendapat sah mengikutinya karena kuatir terjadi  fitnah, tetapi bukan pada Shalat Jum’at”.[6]

7.      Berkata Imam An-Nawawi dalam Majmu’ :
Dhabitnya adalah shalat imam sah pada i’tiqadnya, tidak sah pada i’tiqad makmum atau sebaliknya (sah pada i’tiqad makmum, tidak sah pada i’tiqad imam, pen.), karena berbeda pendapat pada furu’. Dalam hal ini ada empat pendapat, pertama pendapat al-Qufaal, sah secara mutlaq, karena i’tibar i’tiqad imam. Kedua pendapat Abu Ishaq al-Asfirayaini, tidak sah secara mutlaq, karena meskipun didatangkan apa yang kita syaratkan dan wajibkan, toh imam tidak mengi’tiqadkan wajib, maka sama seperti tidak mendatangkannya. Ketiga : kalau imam mendatangkan syarat-syarat yang kita i’tibar untuk sah shalat, maka sah mengikutinya. Kalau imam meninggalkan salah satunya atau kita meragukannya, maka tidak sah. Keempat kalau dipastikan imam meninggalkan sesuatu yang kita syaratkan, maka tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka sah. Pendapat terakhir ini adalah yang lebih sahih dan pendapat ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Maruzy, Syaikh Abu Hamid al-Asfirayaini, al-Bandaniji, al-Qadhi Abu at-Thaib dan kebanyakan ulama”.[7]

Kesimpulan
  1. kalau dipastikan imam shalat itu meninggalkan sesuatu yang i’tiqad wajib oleh makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka makmum sah mengikutinya. Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi
  2. boleh mengikuti imam yang meninggalkan sesuatu yang kita i’tiqad wajib pada bukan shalat jum’at apabila imam itu seorang yang mempunyai wilayat, karena kuatir timbul fitnah
  3. Ada pendapat dikalangan mazhab Syafi’i yaitu pendapat al-Qfal dan didukung oleh al-Subki berpendapat boleh mengikuti imam yang berbeda mazhab meskipun imam itu meninggalkan salah satu yang wajib menurut i’tiqad makmum.









                                                                               


[1] . Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 41
[2]. Al-Bakry ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 41
[3]. Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 229)
[4] . Umairah, Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, 229
[5] .Ibnu Ziyad, Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad, dicetak pada hamisy Bughyatul Murtasyidin, Usaha keluarga, Hal. 99
[6] . Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 70
[7] . An-Nawawi, al-Majmu’ al-Syarah al-Muhazzab, Dar al-Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 248

Sabtu, 29 Agustus 2015

Hukum mewakilkan haji karena takut naik kenderaan



nn: apakah boleh jika haji diwakilkan krn alasan takut/naik kendaraan (harta ada)
Jawab :
1.    Mewakilkan ibadah haji bagi orang yang sudah tidak mampu duduk atas kenderaan diperbolehkan dengan syarat ketidakmampuan itu karena suatu suatu sebab seperti sudah sangat tua, sakit dan lain-lain yang tidak dapat diharapkan sembuh lagi. Hal ini berdasarkan keterangan sebagai berikut :
a.       hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas berbunyi :
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ فِي الحَجِّ عَلَى عِبَادِهِ، أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا، لاَ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى الرَّاحِلَةِ، فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ أَحُجَّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ
Artinya : (Seorang perempuan bertanya), Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hambanya di dalam perkara haji telah didapati oleh bapakku yang dalam keadaan sangat tua, beliau tidak sanggup untuk duduk di atas kendaraan, bolehkah aku menghajikan atas namanya?", beliau menjawab: Artinya: "iya" (H.R. al-Bukhari)[1]

b.      Dalam kitab al-Muhazzab disebutkan :
وتجوز النيابة في حج الفرض في موضعين: أحدهما في حق الميت إذا مات وعليه حج والدليل عليه حديث بريدة والثاني في حق من لا يقدر على الثبوت على الراحلة إلا بمشقة غير معتادة كالزمن والشيخ الكبير
“Dibolehkan menggantikan haji fardhu pada dua tempat, yakni salah satunya pada haq mayat apabila telah meninggal dunia, dimana atasnya ada kewajiban haji. Dalilnya hadits Buraidah. Dan yang kedua, pada haq orang-orang yang tidak mampu duduk atas kenderaan kecuali dengan sangat kesukaran yang tidak bisa secara normal seperti orang yang sakit menahun dan sudah sangat tua.”[2]

c.       Imam al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin menjelaskan :
يجوز أن يحج عن الشخص غيره إذا عجز عن الحج بموت أو كسر أو زمانة أو مرض لا يرجى زواله، أو كان كبيرا لا يستطيع أن يثبت على الراحلة أصلا أو لا يثبت إلا بمشقة شديدة
“Dibolehkan menghajikan seseorang untuk orang lain apabila tidak mampu dari berhaji dengan sebab mati, remuk tulang, penyakit menahun dan sakit yang tidak dapat diharapkan sembuh atau karena sebab ketuaan yang menyebabkan tidak mampu duduk atas kenderaan sama sekali atau tidak mampu kecuali dengan sangat kesukaran.”[3]

2.        Adapun sekedar takut naik kenderaan karena faktor jiwa, maka menurut hemat kami, maka hajinya tidak boleh diganti kepada orang lain. Karena ketakutan tersebut hanya merupakan waham semata dari yang bersangkutan saja dan kalaupun itu dapat dianggap suatu penyakit, maka penyakit tersebut bisa saja sembuh suatu saat, karena bukan penyakit yang tidak dapat diharapkan sembuh. Berdasarkan ini, maka kewajiban haji tetap melekat pada badan orang tersebut. Hal ini karena pada asalnya ibadah haji adalah ibadah badaniah yang dipundakkan kepada badan seorang mukallaf.




[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 132, No. 1513
[2] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (dicetak bersama al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab), Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VII, Hal. 95
[3] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Beirut, Juz. III, Hal. 12

Rabu, 26 Agustus 2015

Kekeliruan menyebut nama dalam akad nikah



teuku: mohon pencerahannya tgk.. bagaimana hukumnya nikah seseorang apabila sang WALI salah menyebutkan nama BINTI (Org Tua Perempuan). apakah Nikahnya SAH? Terima Kasih..

Jawab :
             Kekeliruan penghulu atau orang yang mendapat wakalah menikahkan ataupun calon suami menyebutkan nama wali, seperti Aisyah binti Abdullah, terucapkan Aisyah binti Umar, maka pernikahan itu hukumnya tetap sah apabila pada waktu akad, wali atau penghulu atau calon suami memberi isyarat kepada calon isteri. Ketentuan ini sesuai dengan penjelasan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, berbunyi :
)مَسْئَلَة ش) غَيَّرْتَ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا عِنْدَ إِسْتِئْذَانِهِاَ فِى النِّكَاحِ وَزَوَّجَهَا القَاضِى بِذَلِكَ الإِسْمِ ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّ إِسْمَهَا وَنَسَبَهَا غَيْرُ مَا ذَكَرْتَهُ فَإِنْ أَشَارَ إِلَيهَا حَالَ العَقْدِ بِأَنْ قَالَ زَوَّجْتُكَ هَذِهِ أَوْ نَوَيَاهَا بِهِ صَحَّ النِّكَاحُ سَوَاءٌ كَانَ تَغْيِيْرُ الإسْمِ عَمْدًا اوسَهْوًا مِنْهُ أَوْمِنْهَا إِذِ المَدَارُ عَلَى قَصْدِ الوَالى وَلَو قَاضِيًا وَالزَّوج كَمَا قَالَ زَوَّجْتُكَ هِنْدًا وَنَوَيَا دَعْدًا عَمَلاً بِنِيَّتِهَما

“(Masalah SY) Seandainya engkau mengganti nama pengantin putri atau nasabnya ketika meminta izin dalam pernikahan dan hakim menikahkannya dengan nama itu. Kemudian ternyata nama dan nasabnya itu bukan nama atau nasab yang engkau sebutkan. Apabila akad itu diisyaratkan kepadanya pada ketika akad, dengan gambarannya :  hakim berkata “Saya nikahkan engkau dengan orang ini, atau meniatkan kepada sang pengantin putri ketika menyatakan nama yang keliru itu, maka pernikahannya tetap sah, baik perubahan nama itu disengaja atau karena lupa dari hakim atau dari pengantin perempuan, karena acuan hukum yang digunakan adalah qashad wali, meskipun wali hakim dan qashad suami, sebagaimana perkataan wali saya nikahkan kamu dengan Hindun dan meniatkan Da’dan. Hal ini karena beramal dengan  niat hakim atau suami”[1]



[1] Abdurrahman Ba ‘Alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 200

Jumat, 21 Agustus 2015

Hukum air bercampur dengan kaporit



Sebuah pertanyaan yang sering muncul dari teman-teman kepada kami, apakah air dari PAM/ air pet yang dikirim kerumah-rumah dan masjid yang bercampur dengan kaporit dapat menghilangkan sifat menyucikan atau tidak? Apalagi kalau bau kaforitnya kadang-kadang begitu menyengat hidung. Pertanyaan ini sering dihubungkan dengan air yang digunakan unutk berwudhu’ di Masjid kebanggaan masyarakat Aceh, yakni Masjid Baiturrahman Banda Aceh.
Jawab :
Berikut ini keterangan para ulama mengenai ini, yakni sebagai berikut :
1.        Imam Syafi’i mengatakan :
وَإِذَا وَقَعَ فِي الْمَاءِ شَيْءٌ حَلاَلٌ فَغَيَّرَ لَهُ رِيحًا أَوْ طَعْمًا وَلَمْ يَكُنِ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَتَوَضَّأَ بِهِ وَذَلِكَ أَنْ يَقَعَ فِيهِ الْبَانُ أَوْ الْقَطِرَانُ فَيَظْهَرُ رِيحُهُ أَوْ مَا أَشْبَهَهُ وَإِنْ أُخِذَ مَاءٌ فَشِيبَ بِهِ لَبَنٌ أَوْ سَوِيْقٌ أَوْ عَسَلٌ فَصَارَ الْمَاءُ مُسْتَهْلَكًا فِيهِ لَمْ يُتَوَضَّأْ بِهِ ِلانَّ الْمَاءَ مُسْتَهْلَكٌ فِيهِ إنَّمَا يُقَالُ لِهَذَا مَاءُ سَوِيْقٍ وَلَبَنٍ وَعَسَلٍ مَشُوْبٌ
“Apabila jatuh dalam air sesuatu benda yang halal yang dapat merubah air, bau atau rasanya. Sedangkan air itu tidak larut dalam benda tersebut, maka tidak mengapa berwudhu’ dengannya. Yang demikian adalah seperti jatuh dalam air pohon kayu atau pelangkin, maka muncullah baunya atau yang serupa dengan itu. Dan seandainya diambil air dicampur dengan dengan susu, tepung atau madu, maka air itu kemudian larut dalamnya, maka tidak boleh berwudhu’ dengannya. Karena air larut dalamnya, sehingga dikatakan bagi ini  air tepung, air susu atau air madu bercampur.”[1]

2.        Ibnu Qasim al-Ghazi mengatakan :
(والمتغير) أي ومن هذا القسم الماءُ المتغير أحدُ أوصافه (بما) أي بشيء (خالطه من الطاهرات) تغيُّرًا يمنع إطلاق اسم الماء عليه؛ فإنه طاهر غير طهور،
“Dan air yang berubah : maksudnya termasuk dalam pembagian ini adalah air yang berubah salah satu sifatnya dengan sebab sesuatu benda yang suci yang bercampur (larut) dimana berubahnya menghalangi nama air atasnya secara mutlaq. Maka air itu suci tidak menyucikan.”[2]

Dengan demikian, maka jawaban untuk air yang bercampur dengan kaporit dijawab sebagai berikut :
1.      Apabila air yang berubah dengan sebab bercampur dengan kaporit tersebut, berubahnya banyak (dalam arti berubahnya dapat menghalangi nama air secara mutlaq atasnya, sehingga air itu dinamakan air kaporit, tidak disebut lagi sebagai air secara mutlaq), maka air itu dihukum suci tidak menyucikan
2.      Apabila berubahnya sedikit (dalam arti berubahnya tidak dapat menghalangi nama air secara mutlaq atasnya, sehingga air itu tetap dapat disebut sebagai air tanpa dikaidkan dengan kaporit), maka air itu tetap suci menyucikan.




[1] Imam Syafi’i,  al-Umm, Dar al-Wifa’, Juz. II, Hal. 21
[2] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Bajuri), Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 31