Selasa, 20 Juni 2023

Istishhab al-Hal Sebagai Hujjah dalam Mazhab Syafi’i

 

Al-Zarkasyi dalam kitab al-Bahr al-Muhith fi Usul Fiqh menjelaskan makna Istishhab al-hal sebagai berikut :

وَمَعْنَاهُ أَنَّ مَا ثَبَتَ فِي الزَّمَنِ الْمَاضِي فَالْأَصْلُ بَقَاؤُهُ فِي الزَّمَنِ الْمُسْتَقْبَلِ

Maknanya sesungguhnya apa yang ditetapkan pada zaman yang lalu, maka hukum asalnya ia kekal pada zaman akan datang.

 

Ini semakna dengan perkataan para ulama :

الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يُوجَدَ الْمُزِيلُ،

Hukum asalnya, kekal apa yang sudah ada sesuai dengan apa yang sudah ada sehingga ditemui yang mengubahnya.

 

Karena itu, barangsiapa yang mendakwa ada hal yang mengubahnya, maka kewajiban atasnya memberikan penjelasan (dalil), sebagaimana pada kasat mata, suatu benda yang menempati suatu tempat, maka benda itu akan kekal pada tempat itu sehingga diketahui ada yang mengubahnya. (al-Bahr al-Muhith fi Usul Fiqh : VIII/13)

Zakariya al-Anshariy mengemukakan pengertian Istishhab al-hal sebagai berikut :

)ثبوت أمر في) الزمن (الثاني لثبوته في الأول لفقد ما يصلح للتغيير) من الأول إلى الثاني

Penetepan suatu perkara pada zaman kedua dengan sebab ada ketetapannya pada zaman pertama, karena tidak ada kondisi yang relevan untuk merubah dari hukum pertama kepada kedua. (Ghayah al-Wushul : 146)

 

Dengan kata lain, Istishab al-hal adalah penetapan hukum atas sesuatu dengan kondisi yang berlaku sebelumnya sampai ada dalil yang merubah kondisi itu. Atau pemberlakuan hukum yang berlaku pada masa lalu untuk masa kini sampai ada dalil yang merubahnya.

Kemudian Zakariya al-Anshariy membagi Istishhab hal ini kepada tiga pembagian, yaitu :

1.  Istishhab al-‘adam al-asli, yaitu menafikan apa yang dinafikan akal, sedangkan pada syara’ tidak ada penetapan apapun

2.  Istishhab al-‘umum atau al-nash.

3.  Istishhab kepada suatu kondisi dimana penetapannya ditetapkan syara’ karena wujud sebabnya. (Ghayah al-Wushul : 145)

Berikut ini penjelasan dan contoh-contoh Istishhab al-hal  dengan pembagian di atas,  yaitu :

1.  Istishhab al-‘adam al-asli. Contohnya kewajiban puasa Bulan Rajab. Kewajibannya ini tidak dapat diketahui alasannya dengan mendasarkan kepada akal, sedangkan keterangan dari syara’ juga tidak ditemukan. Dengan demikian, ditetapkan bahwa puasa Bulan Rajab tidak wajib dengan jalan Istishhab al-hal. Contoh lain, syara’ mewajibkan shalat lima waktu. Tidak ada kewajiban shalat waktu yang ke-enam. Tidak wajibnya ini bukan karena ada keterangan syara’, akan tetapi karena kewajibannya ini tidak dapat diketahui alasannya dengan mendasarkan kepada akal, sedangkan penetapan dari syara’  juga tidak ditemukan

2.  Istishhab al-‘umum adalah penetapan hukum berdasarkan keumuman sebuah lafazh selama tidak ada dalil yang mengkhususkan lafazh tersebut. Contohnya, kasus yang nadir wujud tetap masuk dalam keumuman lafazh ‘am. Karena tidak ada dalil yang mengesampingkannya dalam hadits Nabi SAW berbunyi :

لا سبق إلا في خف أو حافر أو نصل

Tidak ada pemberian hadiah perlombaan kecuali pada pacuan hewan bersepatu, hewan berkuku dan panahan (H.R. Abu Daud)

 

Gajah termasuk hewan bersepatu, meskipun nadir terjadi perlombaan pacuan pada gajah. Akan tetapi tetap masuk dalam keumumam lafazh ‘am dalam hadits ini, karena istishhab al-‘umum.

3.  Istishhab al-nash adalah penetapan hukum berdasarkan sebuah nash syara’ selama tidak  ada dalil yang menjelaskan bahwa nash tersebut sudah mansukh.

4.  Istishhab kepada suatu kondisi dimana penetapannya ditetapkan syara’ karena wujud sebabnya. Contohnya penetapan kepemilikan kepada seseorang dengan sebab terjadi akad jual beli. Penetapan kepemilikan ini akan terus berlaku selama tidak wujud sebab lain yang menghilangkan kepemilikan seperti hibah dan lain-lain. Contoh lain adalah kekal suci seseorang dengan sebab wudhu’ selama tidak ada sebab lain yang menjadi dalil menghilangkan kesuciannya berupa yang meruntuhkan wudhu’.

Kehujjahan Istishhab al-Hal

Zakariya al-Anshari mengatakan, ketiga katagori Istishab al-hal yang beliau sebut di atas merupakan hujjah secara mutlaq pada syara’. (Ghayah al-Wushul : 145). Menurut al-Zarkasyi, Istishab al-hal ini masih khilafiyah antara ulama. Beliau menyebut sebagai berikut :

1.  Mazhab pertama, Istishab al-hal merupakan hujjah bagi mujtahid apabila tidak ditemukan hujjah yang khusus untuk sebuah perkara. Artinya Istishab al-hal merupakan dalil terakhir bagi mujtahid di saat tidak ditemukan dalil lain yang mu’tabar. Kehujjahan ini baik pada ketika menafikan sesuatu maupun ketika menetapkannya. Ini merupakan pendapat Hanabilah, Malikiyah dan kebanyakan Syafi’yah dan Dhahiriyah.

2.  Mazhab kedua, berpendapat tidak menjadi hujjah. Karena penetapan pada suatu zaman membutuhkan dalil, demikian juga untuk zaman yang kedua, karena bisa jadi ada dan bisa jadi tidak ada. Tidak sama dengan benda yang kasat mata, dimana Allah Ta’ala memberlakukan ‘adatnya seperti itu, akan tetapi tidak berlaku ‘adatnya pada hukum syara’. Karena itu, tidak boleh disamakan hukum syara’ dengan ‘adat yang terjadi pada benda kasat mata. Mazhab ini dinaqal dari Jumhur Hanafiyah dan Mutakallimiin seperti Abu al-Husein al-Bashri

3.  Mazhab ketiga, Istishab al-hal menjadi hujjah seorang mujtahid bainahu wa bainallah (antara mujtahid tersebut dan Allah Ta’ala saja). Pendapat ini telah dipilih oleh al-Qadhi dalam kitab al-Taqriib.

4.  Keabsahan istishhab al-hal menjadi hujjah hanya diterapkan pada al-daf’u (mempertahankan sesuatu yang sudah ada), bukan pada raf’u (menetapkan sesuatu yang belum ada). Ini merupakan mazhab yang juga dinaqal dari kebanyakan ulama Hanafiyah. Salah satu contoh yang memudahkan kita memahami pendapat ini adalah kasus mafquud (orang hilang yang tidak diketahui apakah sudah mati atau tidak). Berdasarkan pendapat ini si mafquud tidak berhak warisan dari ayahnya. Karena kasus ini termasuk menetapkan sesuatu yang belum ada (raf’u), yaitu beralih milik ayah kepada si mafquud, sehingga istishhab al-hal di sini tidak berlaku. Di sini, seolah-olah si mafquud sudah dinyatakan mati. Sebaliknya, ahli waris si mafquud tidak boleh mewarisi harta milik si mafquud, karena si mafquud dihukum masih hidup dengan jalan istishhab al-hal. Isitishhab al-hal dapat diterapkan dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’u).

5.  Istishhab al-hal bukanlah dalil, akan tetapi hanya merupakan salah satu alat pentarjih. Pendapat ini telah dinaqal oleh al-Ustaz Abu Ishaq dari Imam al-Syafi’i.

6.  Sah istishhab al-hal, jika tidak ada tujuannya selain menafikan apa yang telah dinafikan

(al-Bahr al-Muhith fi Usul Fiqh : VIII/13-17)

Dalil kehujjahan Istishhab al-Hal

Dalil kehujjahan Istishhab al-hal, antara lain :

1.  Sabda Nabi SAW berbunyi :

إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِد حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Jika salah seorang di antara kalian mendapati ada terasa sesuatu di perutnya, lalu ia ragu-ragu apakah keluar sesuatu ataukah tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapati bau (H.R. Muslim)

Dalam hadits ini dijelaskan, seseorang yang asalnya suci akan tetap dihukum suci selama tidak ada bukti lain yang mengubahnya, yaitu mendengar suara kentut atau mencium baunya. Inilah yang disebut istishhab al-hal.

2.  Sabda Nabi SAW berbunyi :

إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى أَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ

Apabila salah seorang kamu ragu dalam shalat, tidak tahu lagi jumlah rakaat apakah tiga atau empat, maka tinggalkan keraguan dan ambilah sesuai dengan yang diyakini (H.R. Muslim)

Dalam hadits ini juga mengisyaratkan kepada konsep istishhab al-hal, yaitu mengembalikan keraguan seseorang kepada asal yang meyakinkan, yaitu shalat tiga rakaat.

3.  Dakwaan kerasulan dibangun atas dasar kharqul ‘adat (mukjizat). ‘Adat adalah sesuatu yang diduga terjadi secara terus menerus. Seandainya konsep ‘adat ini tidak berwujud, maka makjizat juga tidak berwujud. Konsep ‘adat ini tidak ada kecuali berdasarkan asumsi bahwa apa yang pernah terjadi pada waktu pertama, diduga akan terjadi juga pada waktu seterusnya. Inilah ‘ain istishhab al-hal.

Qawaid-qawaid fiqh yang didasarkan kepada Istishhab al-Hal

1.  Qaidah :

الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan sebab ragu-ragu

 

Termasuk dalam katagori qaidah ini :

الْأَصْل بَقَاء مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ

Hukum asal, kekal sesuatu yang pernah ada sesuai dengan yang pernah ada.

 

Contohnya, seseorang yang pernah diyakini suci kemudian ragu apakah sekarang sudah berhadats, maka dihukum suci. Demikian juga, seseorang yang pernah yakin berhadats, kemudian dia ragu, apakah sekarang dia dalam keadaan suci, maka dihukum berhadats berdasarkan qaidah ini.


2. Qaidah : 

2

الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ

Hukum asal terlepas tanggungjawab

 

Sesuai dengan qaidah ini, seseorang yang mendakwa beban tanggung jawab atas orang lain, tidak memadai pembuktiannya dengan seorang saksi kecuali disertai dengan alat bukti lain atau sumpah. Apabila tidak ada bukti lain atau sumpah, maka yang didengar adalah pihak yang didakwa. Karena perkataannya sesuai dengan asal, yaitu terlepas tanggung jawab.

3.  Qaidah :

مَنْ شَكَّ هَلْ فَعَلَ شَيْئًا أَوَّلًا؟ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ

Seseorang yang ragu apakah sudah melakukan suatu perbuatan atau tidak, maka hukum asalnya adalah belum melakukannya.

 

Contohnya, seseorang ragu apakah ada meninggalkan sesuatu yang dianjurkan melakukannya dalam shalat atau ragu apakah dia melakukan perbuatan yang terlarang, maka dia tidak perlu melakukan sujud sahwi. Karena asalnya tidak melakukannya.

4.  Qaidah :

الْأَصْلُ الْعَدَمُ

Hukum asal adalah tidak ada

 

Contohnya, pada ghalibnya diterima perkataan orang yang menafikan terjadi persetubuhan. Karena hukum asalnya tidak ada persetubuhan

5.  Qaidah :

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ

Hukum asal pada sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang mengharamkannya.

 

Contohnya hewan yang sulit pemecahan status hukumnya. Dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pendapat. Pendapat yang kuat, halal sebagaimana pendapat Imam al-Rafi’i. Demikian juga tumbuh-tumbuhan yang tidak dikenal namanya. Menurut al-Mutawalliy haram memakannya, akan tetapi Imam al-Nawawi berpendapat halal. Beliau mengatakan, yang lebih mendekati dan sesuai dengan yang dihikayah dari Imam Syafi’i sebelumnya adalah halal.

6.  Qaidah :

الْأَصْلُ فِي الْأَبْضَاعِ التَّحْرِيمُ

Hukum  asal pada kemaluan adalah haram.

 

Berdasarkan qaidah ini, apabila bertentangan antara dua kemungkinan halal dan haram seorang perempuan, maka dihukum haram. Karena itu, ijtihad tidak berlaku atas seseorang jika mahramnya sudah berbaur (tidak dikenal lagi) dengan perempuan-perempuan ajnabiyah (bukan mahram) dalam suatu kampung yang mahshuur (yang terbatas), karena hukum asalnya adalah haram. Adapun kebolehan menikah dalam hal yang tidak mahshuur (tidak terbatas) merupakan rukhsah sebagaimana penjelasan al-Khuthabiy agar tidak tertutup pintu pernikahan atasnya.

Qaidah-qaidah di atas beserta contohnya telah disebut oleh al-Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wan Nadhair, hal 50-61.

Istishhab al-Maqluub.

Pengertian Istishhab al-Maqluub ini kebalikan dari Istishhab al-hal, yaitu :

)ثبوته) أي الأمر (في الأول) لثبوته في الثاني

Penetapan suatu perkara pada zaman pertama karena ada penetapannya pada kedua.

 

Salah satu contoh yang dikemukakan oleh al-Zakariya al-Anshari adalah masalah sukatan yang ada zaman sekarang (pada zaman al-Zakariya al-Anshari) dihukum sebagai sukatan yang wujud pada Nabi SAW, dengan alasan Istishhab kepada keadaan masa lalu. Karena pada asalnya, zaman lalu itu bersesuaian dengan zaman sekarang. Istishhab al-maqluub ini tidak begitu populer dikalangan para fuqaha. Karena itu ada yang mengembalikannya kepada istishhab yang umum digunakan para ulama, yaitu Istishhab al-hal dengan mengatakan, seandainya apa yang sudah ditetap hari ini tidak dapat ditetapkan untuk yang kemaren, maka yang kemaren itu dihukum tidak ada. Seandainya yang kemaren tidak ada, maka yang hari ini juga tidak ada dengan jalan istishhab hal. Padahal yang menjadi asumsi awal bahwa yang hari ini adalah ada. Karena itu, kesimpulannya, yang kemaren juga ada. (Ghayah al-Wushul : 146)

Wallahua’lam bisshawab