Rabu, 28 Maret 2012

Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran tentang Pembentukan Tulang dan Otot

Pada awalnya, para ahli embriologi berpendapat bahwa tulang dan otot terbentuk secara bersamaan. Seiring berkembangnya teknologi baru, berupa mikroskop yang canggih, pendapat awal para ahli emriologi pun terpatahkan.

Peristiwa pembentukan tulang dan otot itu digambarkan dalam sebuah terbitan ilmiah dengan kalimat berikut:

Dalam minggu ketujuh, rangka mulai tersebar ke seluruh tubuh dan tulang-tulang mencapai bentuknya yang kita kenal. Pada akhir minggu ketujuh dan selama minggu kedelapan, otot-otot menempati posisinya di sekeliling bentukan tulang. (Moore, Developing Human, 6. edition,1998.)

Subhanallah, hasil penelitian itu telah membuktikan kebenaran Alquran. Betapa tidak. 14 abad yang lalu, jauh sebelum teknologi kedokteran ditemukan, kitab suci Alquran telah menjelaskan tahap-tahap pembentukan manusia dalam rahim ibu.

Disebutkan dalam ayat tersebut bahwa dalam rahim ibu, mulanya tulang-tulang terbentuk, dan selanjutnya terbentuklah otot yang membungkus tulang-tulang ini.

Mari simak surah Al-Mu'minun ayat 14:

"Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik" (QS 23:14)


(sumber :Minggu, 18 Maret 2012 19:18 WIB REPUBLIKA.CO.ID,)

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Pengertian I'adah, Hal. 17-18

( وَ ) الأصح ( أَنَّ الإِعَادَةَ فِعْلُهَا ) أى العبادة ( وَقْتَهَا ثَانِيًا مُطْلَقًا ) سواء أكان لعذر من خلل فى فعلها أولا أوحصول فضيلة لم تكن فى فعلها أولا لكون الإمام أعلم أو أورع أو الجمع أكثر أو المكان أشرف أم لغير عذر ظاهر بأن استوت الجماعتان أو زادت الأولى بفضيلة وقيل الإعادة مختصة بخلل فى الأول وعليه الأكثر وقيل بالعذر الشامل للخلل ولحصول فضيلة لم تكن فى الأول وذكر الأول من زيادتى وهو ما اختاره الأصل فى شرح المختصر ويمكن حمل أول كلامه هنا عليه كما بينته فى الحاشية وبما ذكر علم تعريف المؤدى والمقضى والمعاد بأن يقال على الأصح المؤدى مثلا ما فعل مما مر فى الأداء فى وقته وقس به الآخرين وان الإعادة قسم من الأداء فهى أخص منه وعليه الأكثر وقيل قسيم له وعليه مشى البيضاوى حيث قال العبادة ان وقعت فى وقتها المعين ولم تسبق بأداء مختلّ فأداء والا فإعادة لكن كلامه فى المرصاد يخالفه وقد ذكرته فى الحاشية مع زيادة

(Dan) menurut pendapat yang lebih shahih, (sesungguhnya i’adah adalah melakukannya) yaitu ibadah (dalam waktunya pada kedua kalinya secara mutlaq), baik apakah ia karena ‘uzur yaitu ada cacat dalam melakukan ibadah yang pertama atau untuk menghasilkan fadhilah yang tidak ada pada perbuatan pertama, hal itu karena imamnya lebih ‘alim, wara’, jama’ahnya lebih banyak, atau tempat lebih mulia ataupun baik hal itu karena tidak ada ‘uzur yang dhahir yakni kedua jama’ah sama kedudukannya atau jama’ah yang pertama lebih fadhilahnya. Ada pendapat yang mengatakan, i’adah khusus hanya karena ada cacat pada yang pertama, pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama. Pendapat lain mengatakan, khusus dengan ‘uzur yang mencakup dalam hal ada cacat yang pertama dan untuk menghasilkan fadhilah yang tidak ada pada yang pertama. Penyebutan “pertama” merupakan tambahanku. Ia merupakan pilihan Ashal dalam Syarah Mukhtashar. Ada kemungkinan dipertempatkan kalam ashal di sini atasnya sebagaimana telah aku jelaskannya dalam Hasyiah. Berdasarkan yang telah disebutkan, dapatlah dimaklumi devinisi al-muaddaa, muqdha dan al-mu’aad yakni dikatakan berdasarkan pendapat yang lebih shahih bahwa misalnya al-muaddaa adalah perbuatan yang dilakukan dalam waktunya yakni perbuatan sebagaimana yang telah lalu dalam pembahasan al-ada’. Dan qiyaskan kepadanya dua yang terakhir.(1) Dapat dipahami pula bahwa i’adah merupakan pembagian dari al-ada’, maka i’adah lebih khusus dari al-ada’. Ini merupakan pendapat kebanyakan ulama.(2) Ada pendapat yang mengatakan i’adah merupakan qasiim(3) bagi al-ada’.(4) Baidhawi berpendapat dengan pendapat ini, dimana beliau mengatakan, ibadah jika terjadi dalam waktunya yang tertentu dan tidak didahulukan oleh al-ada’ yang cacat, maka al-ada’ namanya dan jika tidak, maka i’adah namanya. Tetapi kalam Baidhawi dalam al-Mirshad berbeda dengannya. Aku telah menyebutnya dalam Hasyiah yang disertai dengan tambahan.

Penjelasan

(1). Dengan demikian, berdasarkan pendapat yang lebih shahih dapat didevinisikan sebagai berikut :

- Al-Muaddaa adalah ibadah yang dilakukan dalam waktunya atau shalat yang dilakukan semua atau hanya satu raka’at dalam waktunya

- Al-Muqdha adalah ibadah yang dilakukan sesudah keluar waktunya atau shalat yang dilakukan sesudah keluar waktunya semua raka’atnya atau kecuali dibawah satu raka’at

- Al-Mu’ad adalah ibadah yang dilakukan dalam waktunya untuk kedua kalinya

(2). Berdasarkan ini, maka ibadah ada dua pembagian, yaitu al-ada’ dan qadha. Al-ada’ ini kemudian dibagi menjadi i’adah dan bukan i’adah

(3). Qasiim sesuatu adalah yang berbeda dengan sesuatu, namun ia bersama-sama dengan sesuatu itu masuk di bawah suatu yang lain, seperti isim, dimana ia berbeda dengan fi’il namun isim bersama-sama dengan fi’il masuk berada di bawah (pembagian) kalimat.1

(4). Berdasarkan ini, maka ibadah terbagi kepada tiga, yaitu al-ada’, i’adah dan qadha



1 Al-Jarjany, Kitab al-Ta’rifat, Maktabah Libanon, Hal. 182

Senin, 26 Maret 2012

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Pengertian qadha, Hal. 17

( وَ ) الأصح ( أَنَّ الْقَضَاءَ فِعْلُهَا ) أى العبادة ( أَوْ ) فعلها ( إِلاَّ دُوْنَ رَكْعَةٍ بَعْدَ وَقْتِهَا ) والفرق بين ذى الركعة وما دونها انها تشتمل على معظم أفعال الصلاة اذ معظم الباقى كالتكرير لها فجعل ما بعد الوقت تابعا لها بخلاف ما دونها وقيل القضاء فعل العبادة أو بعضها ولو دون ركعة بعد وقتها وبعض الفقهاء حقق فسمى ما فى الوقت أداء وما بعده قضاء ( تَدَارُكًا ) بذلك الفعل ( لِمَا سَبَقَ لِفِعْلِهِ مُقْتَضٍ ) وجوبا أوندبا سواء كان المقتضى من المتدارك كما فى قضاء الصلاة المتروكة بلاعذر أم من غيره كما فى قضاء النائم الصلاة والحائض الصوم فإنه سبق لفعلهما مقتض من غير النائم والحائض لا منهما وان انعقد سبب الوجوب أو الندب فى حقهما وخرج بالتدارك إعادة الصلاة المؤداة فى الوقت بعده


(Dan) menurut pendapat yang lebih shahih (sesungguhnya qadha itu adalah melakukannya) yaitu sebuah ibadah (atau) melakukannya (kecuali yang di bawah satu raka’at sesudah keluar waktunya untuk mendapati kembali) perbuatan itu (karena sudah didahului oleh sebab yang menuntut dilaksanakannya perbuatan itu.) baik perbuatan itu wajib atau sunnat,(1) baik sebab itu datang dari orang yang ingin mendapati ibadahnya kembali, seperti qadha shalat yang ditinggalkan tanpa ‘uzur atau datang dari lainnya, seperti qadha shalat orang tertidur dan qadha puasa perempuan berhaid,(2) maka sesungguhnya, didahului datang sebab yang menuntut dilaksanakan perbuatan itu dari selain orang tertidur dan selain perempuan berhaid, bukan dari orang tertidur dan perempuan berhaid itu sendiri, meskipun ter’aqad sebab wajib dan sunnat pada diri keduanya. Dengan perkataan “tadaaruk” keluarlah mengulangi sesudah keluar waktunya shalat yang sudah dilakukan dalam waktunya

Perbedaan antara shalat yang sudah dilaksanakan satu raka’at dan shalat masih di bawah satu raka’at, sesungguhnya shalat yang sudah dilaksanakan satu raka’at mencakup atas ukuran yang besar dari perbuatan shalat, karena ukuran yang besar dari sisa raka’atnya sama dengan pengulangan baginya, karena itu, dijadikan raka’at sesudah keluar waktunya menjadi ikutan bagi satu raka’at yang dilaksanakan dalam waktunya. Ada yang mengatakan, qadha adalah melakukan ibadah atau sebagiannya, meskipun di bawah satu raka’at sesudah keluar waktunya. Sebagian fuqaha mentahqiqkan, maka menamai raka’at dalam waktu sebagai al-ada’ dan raka’at sesudah keluar waktu sebagai qadha.


Penjelasannya

1. Berdasarkan ini, maka qadha terdapat pada ibadah wajib dan sunnat.

2. Maka qadha dapat terjadi karena meninggakan sebuah ibadah dengan sengaja atau karena suatu ‘uzur seperti lupa, tertidur dan lain-lain. Pensyari’atan qadha seperti ibadah shalat adalah berdasarkan hadits Nabi SAW :

من نسي الصلاة أونام عنها فكفارتها أن يصليها إذاذكرها

Artinya : Barangsiapa meninggalkan shalat karena lupa atau karena tertidur, maka kifaratnya adalah shalat apabila sudah mengingatnya.(H.R. Muslim) 1


An-Nawawi dalam Kitab Syarah Muslim mengatakan :

Sabda Nabi SAW : Barangsiapa meninggalkan shalat karena lupa, maka hendaklah ia shalat apabila sudah mengingatnya, pada hadits tersebut menunjukkan kewajiban qadha shalat yang tertinggal baik karena uzur seperti tertidur dan lupa atau tidak karena uzur, karena apabila atas yang uzur wajib qadha, maka yang tidak uzur lebih patut wajib. Ini termasuk bab tasybih adnaa ‘ala a’laa. Adapun pada hadits diqaidkan dengan lupa adalah karena datang hadits itu atas sebabnya.2



1 Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, hal. 477

2 An-Nawawi, Syarah Muslim, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. V. Hal. 183

Senin, 19 Maret 2012

Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran tentang Mummi Fir'aun

Pada abad ke-19 M, dunia arkeologi berhasil menemukan mummi di Thebes, Mesir. Penemuan mummi yang teridentifikasi sebagai jenazah Fir'aun itu pada tahun 1898.

Mummi itu diyakini sebagai jenazah Fir'aun Merneptah, anak Fir'aun Ramses II. Selain menemukan mummi Merneptah, para arkeolog juga menemukan mummi Ramses II dalam keadaan utuh.

Merneptah diyakini sebagai Fir’aun yang mengejar Nabi Musa hingga ke laut dan mati tenggelam di laut. Sedangkan Ramses II diyakini sebagai fir’aun yang hidup persis sebelumnya, kedua-duanya hidup pada masa Nabi Musa AS.

Pada Juli 1907, Elliot Smith membuka perban-perban mummi Merneptah untuk memeriksa badannya. Hasilnya, mummi tersebut dalam keadaan baik dan utuh walaupun ada kerusakan di beberapa bagian.

Penemuan monumental itu pun sekali lagi menjadi bukti kebenaran dan mukjizat Alquran. Belasan abad sebelum penemuan mummi Firaun itu, Alquran telah menjelaskan tentang fakta itu.

Mari simak surah Yunus [10] ayat 92:
"Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu* agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami.''

Dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 50, Allah SWT berfirman,
''Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir'aun dan) pengikut-pengikut Fir'aun, sedang kamu menyaksikan.''


Inilah bukti kebenaran dan mukjizat Alquran itu

(sumber : Jumat, 16 Maret 2012 11:58 WIB REPUBLIKA.CO.ID)

Sabtu, 17 Maret 2012

Subhanallah, Inilah Mukjizat Alquran tentang Embriologi

Prof Keith L Moore, guru besar Departemen Anatomi dan Biologi Sel Universitas Toronto terkagum-kagum dengan Alquran. Betapa tidak. Kitab suci umat Islam itu mampu menjelaskan proses penciptaan manusia secara detail, belasan abad sebelum teknologi kedokteran mampu mempelajarinya.

"Saya tak tahu apa-apa tentang agama, namun saya meyakini kebenaran fakta yang terkandung dalam Alquran dan sunah," papar Moore yang terkagum-kagum dengan kandungan Alquran yang secara akurat menjelaskan perkembangan embrio manusia.

Alquran secara gamblang telah menjelaskan proses pembentukan embrio manusia. Alquran telah berbicara tentang pertumbuhan janin di dalam perut ibu fase demi fase, padahal janin dan pertumbuhannya tidaklah terlihat dengan mata kepala dan tidak mungkin juga dijelaskan hanya dengan duga dan kira.

"Saya sungguh sangat membahagiakan bisa membantu mengklarifikasi pernyataan Alquran tentang perkembangan manusia. Jelaslah bagi saya, pernyataan (Alquran) itu pastilah turun kepada Muhammad dari Tuhan," papar Moore, ilmuwan terkemuka dalam bidang anatomi dan embriologi.

Proses penciptaan manusia di dalam rahim dijelaskan dalam Alquran surat al-Mu'minun ayat 12-14. ''Dan, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian, Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu, segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami bungkus daging. Kemudian, Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain ...."
***
Dari ayat tersebut dapat disimpulkan adanya enam fase terbentuknya janin dalam rahim. Tahap pertama penciptaan janin disebut Sulalah dimulai dari saripati mani. Allah menjelaskan bahwa manusia diciptakan “ dari saripati air yang hina (air mani)”. Manusia bukan diciptakan dari seluruh mani yang keluar dari suami – istri, tapi hanya dari bagian yang sangat halus. Itulah yang dimaksud dengan “ Sulalah”

Menurut riset yang telah diteliti oleh para ahli sekarang, bahwa manusia itu tercipta dari satu sperma saja. Itu sangat sedikit sekali bila dibanding dengan sperma yang keluar dari laki-laki yang mencapai jutaan sperma. Sulalah adalah kata yang paling tepat dan cocok untuk menggambarkan proses terbentuknya janin ini, karena satu dari jutaan sperma ini bergerak menuju ke rahim untuk membuahi ovum dari wanita.

Tahap kedua disebut Alaqoh. “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah ( ‘Alaqoh ).” ‘Alaqoh berarti juga nama dari binatang kecil yang hidup di air dan di tanah yang terkadang menempel di mulut binatang pada waktu minum di rawa – rawa (yaitu sebangsa lintah ).

Bentuk janin pada fase ini sangat mirip sekali dengan binatang lintah tersebut. Bahkan kalau keduanya difoto bersamaan, niscaya manusia tidak akan bisa membedakkan bentuk dan gambar keduanya.

Tahap ketiga, Mudghah (Segumpal Daging). Dalam kelanjutan surat al-Mukminun dijelaskan ''Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging.” Tahap keempat ditandai dengan muncul dan tumbuhnya tulang. “Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang.”

Para ahli dan spesialis dalam bidang medis telah menyimpulkan bahwa tulang itu muncul sebelum daging sebagai penutupnya. Setelah itu barulah muncul daging. Ini hanya baru diketahui oleh para ahli pada zaman sekarang, itu pun dengan bantuan alat – alat fotografi.

Tahap kelima, pembungkusan tulang dengan daging. “Lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan dagin...'' Didahulukannya penciptaan tulang sebelum daging, itu karena daging butuh kepada tulang untuk menempel padanya. Maka tulang mesti sudah ada sebelum daging.

Tahap keenam adalah perubahan janin ke bentuk yang lain. “Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain..'' Menurut Dr Ahmad Hamid Ahmad, bersama dengan berakhirnya pekan ketujuh, panjang Mudghah sudah mencapai 8 – 16 milimeter”

Termasuk yang membedakan pada periode ini adalah: bahwa bentuk tulang berbentuk bengkok menyerupai bulan sabit, kemudian mulai berubah lurus dan tegap. Di tambah lagi ada sesuatu yang membedakan janin dengan makhluk hidup yang lain, yaitu sempurnanya bentuk tubuh pada pekan kedelapan.
***
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, ”Seseorang dari kamu ditempatkan penciptaannya di dalam perut ibunya dalam selama empat puluh hari, kemudian menjadi `alaqah selama itu pula (40 hari), kemudian menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari); kemudian Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan dikatakan kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia-(nya); kemudian ditiupkan ruh padanya.” (Hadits riwayat Imam al-Bukhari dari `Abdullah).

Begitulah, proses penciptaan janin di dalam rahim seorang ibu, hingga akhirnya melahirkan di usia kehamilan sembilan bulan

(Rabu, 14 Maret 2012 20:30 WIB REPUBLIKA.CO.ID, )

Kamis, 15 Maret 2012

TATA LAKSANA SHALAT JUM’AT


A. Pendahuluan
Ibadah Jumat terdiri dari :
1. Dua khutbah Jum’at
2. Dua raka’at shalat Jum’at

B. Hukum Shalat Jum’at
Shalat Jum’at hukumnya wajib ‘ain dengan ijmak ulama dan berdasarkan firman Allah, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(Q.S. al-Jum’at : 9)

C. Syarat-Syarat Wajib Jum’at
1. Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. Laki-laki
5. Merdeka (bukan hamba sahaya)
6. Bermuqim (tidak dalam keadaan musafir)
7. Tidak dalam keadaan ‘uzur (‘uzur Jum’at adalah ‘uzur dalam jama’ah)[1]
CatatanOrang yang tidak wajib melaksanakan shalat Jumat, harus melaksanakan shalat dhuhur sebagai gantinya, kecuali orang gila. Namun, apabila mereka ikut shalat Jum’at, shalatnya sah sebagai ganti dhuhur
D. Syarat –Syarat Sah Jum’at
1. Dalam waktu dhuhur
2. Dilakukan dalam kawasan yang ada perumahan yang sifatnya tidak sementara
3. Tidak didahulu Jum’at lain dalam kawasan tersebut, karena tidak boleh ada dua Jum’at atau lebih dalam satu kawasan kecuali karena kesukaran
4. Berjama’ah
5. Jum’at itu didirikan oleh empat puluh laki-laki baligh berakal, merdeka dan menetap di suatu kawasan tidak ada cita-cita untuk berpindah ketempat dalam keadaan apapun kecuali karena dharurat.
Kunjungi : Http: kitab.kuneng.blogspot.com
6. Dua khutbah sebelum shalat.[2]

E. Rukun-Rukun Khutbah Jum’at

Salat Jum’at diawali dengan khutbah Jum’at yang dapat dilakukan oleh imam salat atau oleh orang lain. Khutbah terbagi dua ; khutbah pertama dan khutbah kedua yang dipisah dengan duduk sebentar. Dalam kitab Minhaj al-Thalibin[3] karangan al-Nawawi disebutkan isi khutbah harus mengandung lima egara rukun berikut:
1. Memuji Allah, sekurang-kurangnya :
الْحَمْد ِللهِ
2. Membaca shalawat kepada Nabi SAW, sekurang-kurangnya :
والصلاة عَلى رسول الله
3. Berwasiat atau berpesan pada jamaah agar bertakwa, sekurang-kurangnya :
اطيعوا الله
4. Membaca ayat Al Quran pada salah satu dari dua khutbah.
5. Berdo’a untuk orang yang beriman dengan segala hal yang bersifat ukhrawi (keakhiratan), namun boleh dicampur dengan urusan duniawi pada waktu khutbah kedua. Memadai doa tersebut dengan misalnya :
رحمكم الله
Contoh Lafazh Khutbah Jum’at pertama secara sempurna
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا و مِنْ َسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ
اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
اما بعد, يَاأَيّهَا الّذَيْنَ آمَنُوْا اتّقُوا اللهَ حَقّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنّ إِلاّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
بسم الله الرحمن الرحيم.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Contoh Lafazh Khutbah Jum’at kedua secara sempurna
إِنّ الْحَمْدَ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَلِيُّ الصَّالِحِينَ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا خَاتَمُ الأَنْْْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ., أَمَّا بعد ياايها الناس اوصيكم واياي بتقوى الله وطاعته لعلكم تتقون
بسم الله الرحمن الرحيم.
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ. رَبّنَا لاَتُؤَاخِذْ نَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبّنَا وَلاَ تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلََى اّلذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا رَبّنَا وَلاَ تًحَمّلْنَا مَالاَ طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ. رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. والحمد لله رب العالمين

F. Sunnat-Sunnat Jum’at
1. Mandi, waktunya mulai terbit fajar. Yang utama dekat dengan waktu pergi Jum’at
2. Pergi ke Jum’at lebih awal
3. Berjalan kaki ke Jum’at
4. Banyak berzikir dan qiraah pada waktu pergi dan sesudah berada di mesjid sebelum khutbah
5. Tidak melangkahi bahu orang dalam mencapai shaf
6. Menggunakan baju yang bagus, sebaiknya warna putih
7. Memotong kuku
8. Menghilangkan bau tidak sedap
9. Memperbanyak membaca Surat al-Kahfi, malam dan siangnya
10. Memperbanyakan do’a dan shalawat.[4]

G. Yang Haram dengan Sebab Jum’at
Jual beli atau akad lainnya sesudah azan saat khatib di atas mimbar. Adapun sebelum itu makruh

H. Syarat-Syarat Khutbah
1. Rukun-rukun khutbah tersebut dalam Bahasa Arab
2. Dalam waktu Dhuhur
3. Berdiri jika mampu
4. Duduk antara dua khutbah, kalau khutbah sambil duduk, maka wajib diselang dua khutbah itu dengan diam sebentar
5. Memperdengarkan kepada ahli Jum’at
6. Muwalaat (berturut-turut)
7. Suci dari hadats dan najis
8. Menutup aurat[5]
I. Sunnat-Sunnat Khutbah
1. Menyimak khutbah (tidak berbicara), berdasarkan firman Allah berbunyi :
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat (Q.S. al-A’raf : 204)

Perintah dalam ayat ini bermakna sunnat, bukan wajib karena berpedoman dengan hadits riwayat Baihaqi dengan isnad shahih dari Anas berbunyi :
ان رجلا دخل والنبي صلى الله عليه و سلم يخطب يوم الجمعة فقال متى الساعة فأومأ الناس إليه بالسكوت فلم يقبل واعاد الكلام فقال النبي صلى الله عليه و سلم في الثالثة ماذا أعددت لها قال حب الله ورسوله قال انك مع من احببت
Artinya : Seorang laki-laki masuk masjid, sedangkan Nabi SAW sedang berkhutbah pada hari Jum’at. Laki-laki itu bertanya : “Kapan terjadi kiamat ? ”. Manusia mengisyaratkan padanya untuk diam, tetapi dia tidak mau menerimanya, bahkan mengulangi lagi pertanyaannya, maka Nabi Saw bersabda : “Apakah kamu sudah bersiap-siap untuknya ? “.laki-laki itu menjawab : “Mincintai Allah dan Rasul-Nya.” Nabi SAW melanjutkan, “Sesungguhnya kamu bersama orang-orang yang kamu cintai.” (H.R. Baihaqi)

2. Khutbah di atas mimbar atau tempat yang tinggi
3. Memberi salam ketika sudah di atas mimbar
4. Duduk sesudah egara salam
5. Muazzin melakukan adzan sesudah khatib egara salam
6. Isi khutbah pendek mudah dipahami
7. Khatib tidak berpaling kiri atau kanan
8. Memegang tongkat, pedang atau yang semisalnya
9. Ukuran duduk antara dua khutbah sekitar ukuran Surat al-Ikhlash.[6]
J. Niat Shalat Jum’at
Selesai khutbah, tiba waktunya salat Jum’at. Lafazh niatnya sebagai berikut:
1. Niat shalat Jum’at bagi makmum:
أُصَلِّي فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ مَأمُومًا ِللهِ تَعاليَ

b.
Niat shalat Jum’at bagi Imam:

أُصَلِّي فَرْضَ الُجْمَعةِ رَكْعَتَيْن أَدَاءً مُسْتَقْبِلَ الِقبْلَةِ إمَامًا ِللهِ تَعاليَ

K. Hukum Makmum Yang Masbuq
1. Bagi makmum yang ketinggalan satu rakaat shalat Jum’at (makmum masbuq), maka dia cukup menambah satu rak’at yang ketinggalan setelah imam mengucapkan salam.
2. Bagi yang ketinggalan dua raka’at dan Cuma kebagian sujud atau duduk tahiyat bersama imam, maka harus menyempurnakan empat raka’at seperti layaknya shalat dhuhur.
3. Bagi yang ketinggalan shalat Jum’at sama sekali, maka harus mengganti dengan shalat dhuhur
Dasarnya adalah atsar Sahabat Nabi :
قالوا من أدرك ركعة من الجمعة صلى إليها أخرى ومن أدركهم جلوسا صلى أربعا وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك والشافعي وأحمد وإسحق
Artinya : Mereka mengatakan barangsiapa yang mendapati satu raka’at dari Jum’at, maka hendak menambah yang lain kepadanya dan barangsiapa yang mendapatinya dalam keadaan duduk, maka hendak shalat empat raka’at. Ini termasuk pendapat Sufyan al-Tsury, Ibnu al-Mubarak, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq (R. Turmidzi)[7]

L. Masalah-Masalah yang Sering diperselisihkan hukumnya di Sekitar Shalat Jum’at
1). Masalah Bilangan Jum’at
Telah terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai jumlah ahli jum’at yang menjadi persyaratan sahnya shalat jum’at. Menurut pengarang Kitab I’anah al-Thalibin,[8] terdapat empat belas pendapat mengenai jumlah ahli jum’at yang menjadi persyaratan shalat jum’at, yaitu :
1. Empat puluh orang termasuk imam, menurut pendapat yang muktamad dalam mazhab Syafi’i. Pendapat ini juga merupakan pendapat Umar bin Abdul Aziz, riwayat lain dari Ahmad bin Hanbal dan Ishaq.[9]
2. Satu orang, menurut hikayah Ibnu Hazmi
3. Dua orang, sama halnya dengan persyaratan jama’ah. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Nakh’i dan ahlu Zhahir
4. Tiga orang selain imam, menurut Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsury
5. Dua orang selain imam, menurut Abu Yusuf, Muhammad dan al-Laits
6. Tujuh orang, menurut Ikramah
7. Sembilan orang, menurut Rabi’ah
8. Dua belas orang, menurut satu riwayat dari Rabi’ah dan menurut Malik
9. Dua belas orang selain iman, menurut Ishaq
10. Dua puluh orang, menurut riwayat Ibnu Habib dari Malik
11. Tiga puluh orang, juga menurut riwayat Ibnu Habib dari Malik
12. Lima puluh orang, menurut satu riwayat dari Ahmad dan Umar bin Abdul Aziz
13. Delapan puluh orang, menurut al-Maziry
14. Jama’ah yang banyak tanpa batasan tertentu
Dalam Umairah disebutkan, Abu Hanifah dan qaul qadim Syafi’i membolehkan shalat jum’at dengan satu imam dan dua makmum.[10] Al-Bakri al-Damyathi dalam Taqrir I’anah al-Thalibin menjelaskan bahwa dalam qaul qadim Syafi’i ada qaul yang menyatakan sekurang-kurang ahli Jum’at adalah empat orang. Qaul ini dihikayah oleh pengarang Talkhis dan pengarang Syarah al-Muhazzab serta telah dipilih oleh al-Muzni dan ditarjih oleh Abu Bakar ibn Munzir. Al-Suyuthi juga memilih qaul ini, karena menurut beliau, qaul ini merupakan qaul Syafi’i yang didukung oleh dalil. Disamping itu, termasuk dalam qaul qadim adalah pendapat yang menyatakan ahli Ju’mat adalah dua belas orang.[11]
Adapun dalil-dalil penetapan ahli Jum’at, sekurang-kurangnya empat puluh orang, antara lain hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik,
أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون
Artinya : Sesungguhnya Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku bertanya kepadanya : “Apabila mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad ? Ka’ab bin Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang disebut dengan Naqi’ al-Khashimaat. Aku bertanya padanya : “Kalian berapa orang pada saat itu ?” Beliau menjawab : “Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi : hadits hasan dengan isnad sahih)[12]

Berkata Hakim : “Hadits ini shahih atas syarat Muslim.”[13]

Jalan pendalilian dengan hadits ini dikatakan, Ijmak ulama keabsahan shalat Jum’at harus dengan memenuhi persyaratan bilangannya. Maka tidak sah shalat Jum’at kecuali dengan bilangan yang ditetapkan syara’(tauqif). Berdasarkan hadits di atas, Jum’at boleh dilakukan dengan bilangan empat puluh orang. Maka tidak boleh mendirikan Jum’at dengan bilangan yang kurang dari itu kecuali ada dalil yang menjelaskannya. Sedangkan hadits Rasulullah SAW menerangkan :
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya : Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat.(H.R. Bukhari dan Baihaqi)[14]
Pendalilian seperti ini telah disebut oleh Ibnu Mulaqqan dalam Badrul Munir.[15] Keterangan bahwa pada jum’at tidak boleh tidak dari bilangan jum’at, juga dikemukakan oleh al-Suyuthi.[16] Jalan pendalilian lain disebut oleh al-Khithabi al-Busty, yaitu : Jum’at yang terjadi pada kisah hadits di atas merupakan Jum’at kali pertama dalam sejarah Islam. Oleh karena itu, semua keadaannya menjadi wajib pada Jum’at, karena hal itu merupakan penjelasan (bayan) atas mujmal yang wajib. Sedangkan bayan mujmal yang wajib adalah wajib.[17]
Hadits-hadits lain yang mendukung antara lain :
2. Hadits dari Jabir, beliau berkata :
مضت السنة أن في كل أربعين فصاعدا جمعة
Artinya : Sudah berlaku sunnah bahwa pada setiap empat puluh orang dan selebihnya boleh dilaksanakan shalat Jum’at.(H.R. al-Darulquthni)[18]

Hadits ini juga diriwayat oleh Baihaqi.[19]

3. Hadits dari Abu al-Darda’, beliau berkata :
ان رسول الله صلعم قال إذا اجتمع أربعون رجلا فعليهم الجمعة
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila berkumpul empat puluh orang laki-laki, maka wajib atasnya shalat Jum’at.”[20]

4. Hadits dari Abu Umamah, beliau berkata :
أن النبي صلعم قال لا جمعة الا باربعين
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Tidak ada Jum’at kecuali dengan empat puluh orang.”[21]

5. Hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata :
جمعنا رسول الله صلعم نحن أربعون رجلا
Artinya : Kami shalat Jum’at bersama Rasulullah SAW, kami waktu itu empat puluh orang (H.R. Baihaqi)[22]

6. Al-Raqi mengatakan :
أتانا كتاب عمر بن عبد العزيز إذا بلغ أهل القرية أربعين رجلا فليجمعوا
Artinya : Datang kepada kami surat dari Umar bin Abd al-Aziz, “Apabila penduduk suatu egara sampai empat puluh orang laki-laki, maka hendaklah melakukan jum’at.” (H.R. Baihaqi)[23]

Berikut ini beberapa hadits mengenai bilangan Jum’at yang digunakan untuk menolak pendapat bahwa bilangan Jum’at haruslah empat puluh orang dengan disertai penjelasan kualitas hadits tersebut, antara lain :
7. Hadits Nabi SAW :
على خمسين جمعة ليس فيما دون ذلك
Artinya : Kewajiban Jum’at atas lima puluh orang, tidak dibawah itu.(H.R. Baihaqi dan Darulquthni)[24]

Berkata al-Baihaqi : “Hadits ini tidak sah isnadnya.”[25]

2. Hadits riwayat Ummul Abdullah al-Dausiyah, berkata :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الجمعة واجبة على كل قرية وإن لم يكن فيها إلا أربعة
Artinya : Rasulllah SAW bersabda ; “Jum’at wajib atas setiap egara, meskipun tidak ada pada perkampungan itu kecuali empat orang.”(H.R. Darulquthni)

Hadits ini diriwayat oleh Mu’awiyah bin Sa’id al-Tajibi dari al-Zahry dari Ummul Abdullah al-Dausiyah. Darulquthni mengatakan : “Tidak sah ini dari al-Zahri.”[26]

Dalam mensyarah hadits di atas, Abady Abu al-Thaib mengatakan :
“Hadits ini dikeluarkan oleh Darulquthni dalam tiga jalur, (maksudnya, ini yang pertama dan setelah ini adalah dua dan tiga) semuanya dha’if,”[27]

8. Dalam riwayat lain, Ummul Abdullah al-Dausiyah mengatakan :
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الجمعة واجبة على كل قرية فيها إمام وإن لم يكونوا إلا أربعة
Artinya : Berrsabda Rasulullah SAW : “Jum’at wajib atas setiap perkampungan yang ada imam, meskipun tidak ada pada perkampungan itu kecuali empat orang.” (H.R. Darulquthni)

Hadits ini diriwayat oleh Walid bin Muhammad dari al-Zahri dari Ummul Abdullah al-Dausiyah. Darulquthni mengatakan :
Walid bin Muhammad al-Muqiri matruk (ditinggalkan). Tidak sah ini dari al-Zahri dan setiap orang yang meriwayat darinya adalah matruk (ditinggalkan).”[28]

9. Dalam riwayat lain lagi, Ummul Abdullah al-Dausiyah mengatakan :
سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول الجمعة واجبة على أهل كل قرية وإن لم يكونوا إلا ثلاثة رابعهم إمامهم
Artinya : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Jum’at wajib atas penduduk setiap perkampungan, meskipun tidak ada mereka kecuali tiga orang, dimana yang keempat dari mereka adalah imam.”(H.R. Darulquthni)

Hadits ini diriwayat al-Hukm bin Abdullah bin Sa’ad dari al-Zahri dari Ummul Abdullah al-Dausiyah. Setelah meriwayat hadits ini, Darulquthni mengatakan :
Al-Zuhri tidak sah mendengar dari al-Dausiyah.”[29]

2). Masalah Adzan sebelum Shalat Jum’at
Adzan Jum’at pada masa Rasulullah adalah 1 kali, adapun pelaksanaan adzan dua kali pada shalat jum’at ini di temukan riwayatnya pada zaman Khalifah Ustman bin Affan Ra, karena pengaruh lingkungan seperti makin ramainya jumlah penduduk dan segala aktifitas penduduk semakin padat dan sibuk, yakni seperti perdagangan yang tumbuh dan berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan zaman. Dengan demikian azan dua kali diperbolehkan apabila keadaan memang membutuhkannya.
3). Membaca Innallaha wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi sebelum khutbah Jum’at
Imam Ar-Ramli ditanyai tentang seorang yang maju keluar didepan khatib, berkata ayat; Innallah wa malaikatahu yushaalluna ‘alannabi, apakah itu asal pada sunnah dan ada diperbuat dihadapan Nabi SAW sebagaimana dilakukan sekarang atau ada diperbuat oleh salah seorang Sahabat Nabi atau Tabi’in semoga ridha Allah untuk mereka, dengan sifat-sifat tersebut ? Imam Ar-Ramli menjawab :
Bahwa yang demikian itu tidak asal pada sunnah dan tidak diperbuat dihadapan Nabi SAW bahkan Rasulullah tidak terburu-buru ke mesjid pada hari Jum’at sehingga berkumpul manusia. Maka apabila manusia telah berkumpul, Beliau keluar sendiri tanpa orang yang egar bersuara keras dihadapannya. Apabila masuk mesjid, beliau egara salam kemudian apabila naik mimbar, beliau menghadap manusia dengan wajahnya seraya egara salam, kemudian duduk dan Bilalpun melakukan azan. Apabila sudah selesai dari azan, Beliau berdiri berkhutbah tanpa pemisahan antara azan dan khutbah, tidak dengan atsar dan tidak dengan khabar dan juga tidak dengan lainnya. Demikian juga keadaan para khalifah yang tiga sesudahnya. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bahwa sesungguhnya ini adalah bid’ah tetapi bid’ah hasanah. Maka pembacaan ayat yang mulia merupakan pemberitahuan dan menggemarkan mendatangkan shalawat kepada Nabi SAW pada ini hari (jum’at) hari yang mulia yang dituntut memperbanyak shalawat. Membaca khabar sesudah azan dan sebelum khutbah dapat mengingatkan mukallaf untuk menjauhi kalam yang haram atau makruh pada ini waktu berdasarkan ikhtilaf ulama tentang ini. Sesungguh Rasulullah SAW mengatakan khabar ini atas mimbar pada saat khutbahnya”[30]

4). Menggunakan Tongkat dalam Khutbah
Sunnah hukumnya memegang tongkat dengan tangan kirinya pada saat membaca khutbah. Dalilnya sebagai berikut :
الحكم بن حزن رضي الله عنه قال " وفدت الي النبي صلي الله عليه وسلم فشهدنا معه الجمعة فقام متوكئا علي قوس أو عصي فحمد الله وأثنى عليه كلمات خفيفات طيبات مباركات
Artinya : Al-Hakm bin Hazn r.a. berkata, Aku tiba kepada Nabi SAW, kami bersama beliau melakukan ibadah Jum’at, beliau berdiri bertongkat atas busur atau tongkat, maka beliau memuji Allah dan menyanjungi-Nya dengan kalimat-kalimat yang ringan, baik dan penuh berkat. (H.R. Abu Daud dan lainnya dengan sanad hasan)[31]

5). Shalat Jum’at bertepatan dengan shalat hari raya
Para ulama berbeda pendapat mengenai egar shalat Jum’at yang bertepatan dengan Shalat Raya. Syafi’I dan pengikutnya berpendapat jatuh hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid (penduduk balad). Pendapat ini juga merupakan pendapat Usman bin Affan, Umar bin Abdul Aziz dan jumhur ulama. Itha’ bin Abi Ribaah berpendapat atas penduduk balad maupun penduduk dusun tidak wajib shalat Jum’at, shalat Dhuhur dan lainnya kecuali shalat ‘Ashar pada hari tersebut. Menurut Ibnu Munzir pendapat ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Zubair. Ahmad mengatakan gugur shalat Jum’at atas penduduk balad maupun penduduk dusun, tetapi wajib atas mereka shalat Dhuhur. Abu Hanifah berpendapat Jum’at tidak gugur sama sekali, baik atas penduduk balad maupun penduduk dusun.[32]1 Pendapat Abu Hanifah ini juga merupakan pendapat sebagian ulama dari kalangan Syafi’I yang masuk dalam katagori dha’if.[33]
Sebagimana disebut di atas, menurut Mazhab Syafi’I bertepatan hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid (penduduk balad). Adapun penduduk yang dusun (ahlu qura) yang jauh dari mesjid diberikan keringan tidak melakukan shalat Jum’at pada hari itu.[34] Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja. Ayat tersebut berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila egara untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.(Q.S. al-Jum’ah : 9)

Dua hadits di bawah ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat hari raya menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, yaitu antara lain :
10. Hadits Nabi SAW
عن إياس بن أبي رملة الشامي قال شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال
أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم عيدين اجتمعا في يوم ؟ قال نعم قال فكيف صنع ؟ قال صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال " من شاء أن يصلي فليصل
Artinya : Dari Iyaas bin Abi Ramalah al-Syami, beliau berkata aku telah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, Mu’awiyah berkata : “Apakah engkau ada menyaksikan pada masa Rasulullah SAW berhimpun dua hari raya pada satu hari ? Zaid bin Arqam menjawab : “ya”. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi : “Bagaimana yang dilakukan Rasulullah ? “Rasulullah melakukan shalat hari raya dan membolehkan tinggal shalat Jum’at” jawab Zaid bin Arqam. Maka berkata Mu’awiyah : “Barangsiapa yang menginginkan shalat, maka hendaknya dia shalat”. (H.R. Abu Daud)[35]

11. Hadits Nabi SAW
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون
Artinya : Sesungguhnya pada hari ini telah berhimpun dua hari raya. Barang siapa yang menginginkan, maka memadai untuk Jum’at. Tetapi sesungguhnya kami melaksanakan Jum’at. (H.R. Abu Daud) [36]

Untuk menjawab pendalilian ini, kita jelaskan dulu bagaimana keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah atau Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil, atau sering disebut mushalla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah yang egara untuk shalat jum`at atau shalat Ied. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied, mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami’. Mereka memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami` tersebut. Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus pergi ke masjid jami’ dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh terkadang cukup jauh. Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at, tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami’ sampai datangnya waktu jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat Jum’at. Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah memberikan keringanan kepada penduduk yang tinggal di desa untuk pulang ke desa tanpa perlu balik lagi ke mesjid jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya. Dengan demikian dua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan dengan shalat hari raya.
6). Masalah I’adah Dhuhur
I’adah Dhuhur adalah melakukan shalat dhuhur sesudah selesai shalat Jum’at karena shalat Jum’at ternyata tidak sah atau dikuatirkan tidak sah. I’adah shalat Dhuhur ini yang biasanya dilakukan oleh kalangan pengikut Mazhab Syafi’I kalau dirincikan dilakukan dengan beberapa sebab, antara lain :
  1. Jumlah jama’ah Jumat kurang dari 40 orang
Karena itu, kalau jama’ah tetap berpegang kepada pendapat yang rajih dari Syafi’I bahwa ahli Jum’at harus 40 orang, maka apabila kurang, wajib i’adah Dhuhur dan kalau berpegang kepada qaul qadim Syafi’I (pendapat dhaif dalam Mazhab Syafi’i) memadai 4 orang, maka i’adah Dhuhur sunnat hukumnya, untuk ihtiyath (hati-hati)
  1. Jumlah masjid yang menyelenggarakan shalat Jum’at di desa tersebut lebih dari satu masjid dengan tanpa egara dharurat. Pada saat itu, Jum’at yang sah hanya Jum’at yang lebih duluan takbiratul ihramnya
Karena itu, apabila dipastikan, diduga (dhan) atau diragukan lebih duluan takbiratul ihram Jum’at lain, maka wajib i’adah Dhuhur [37]

7). Menyelangi Wasiat dengan Bahasa Non Arab
Ahli fiqh selain Mazhab Hanafi sepakat mensyaratkan rukun khutbah dibaca dalam bahasa Arab.[38] Ini tidak menjadi persoalan di saat khutbah Jum’at tersebut diucapkan untuk ahli Jum’at yang mengerti Bahasa Arab. Namun akan menjadi persoalan disaat khutbah tersebut diperuntukkan kepada ahli Jum’at yang tidak mengerti Bahasa Arab seperti di Indonesia dan egara-negara Islam non Arab lainnya. Padahal diharapkan dari khutbah trsebut menjadi wadah mengajak umat Islam untuk meningkatkan pengamalan agamanya. Untuk menjawab persoalan tersebut, umat Islam dunia dewasa ini dalam prakteknya memberikan solusi dengan memberikan ceramah agama dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) yang mudah dimengerti oleh ahli Jum’at setempat dengan tiga model, yakni :
1. Melakukan ceramah dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) sebelum masuk dua khutbah yang berbahasa Arab (ini biasa dilakukan oleh kalangan mazhab Syafi’I di Indonesia)
2. Melakukan khutbah dalam Bahasa Arab secara sempurna, kemudian baru melakukan ceramah dalam bahasa non Arab (bahasa setempat)
3. Melakukan ceramah dalam Bahasa non Arab (bahasa setempat) di antara rukun –rukun khutbah, yaitu setelah rukun wasiat. (Ini biasa dilakukan oleh kalangan modernis di Indonesia)
Model kedua dan ketiga ditolak dilakukannya oleh kebanyakan kalangan mazhab Syafi’I di Aceh dan Indonesia pada umunya, karena dengan beralasan khutbah seperti itu menjadi batal menurut fatwa ulama-ulama mu’tabar dalam mazhab Syafi’I, dimana berdasarkan fatwa ulama Mazhab Syafi’I, ada kewajiban muwalaat (berturut-turut) antara rukun-rukun khutbah dan antara khutbah dan shalat Jum’at. Ukuran muwalaat ini dikembalikan kepada ‘uruf. Menurut Imam ar-Rafi’i (salah seorang ulama terpengaruh dalam mazhab Syafi’i dan pendapatnya dianggap sebagai pendapat mu’tamad), ukuranya adalah sama dengan ukuran muwalaat shalat jamak[39] (yaitu ukuran dua raka’at sederhana). Adapun masalah menyelangi dengan nasehat agama dalam bahasa non Arab antara rukun-rukun khutbah apabila dalam ukuran yang lama, maka itu dapat menghilangkan muwalaat menurut Imam Ramli karena sama dengan diam yang lama. Sedangkan menurut ‘Ali Syibran al-Malusi berpendapat muwalaat tidak hilang meskipun dalam ukuran lama, karena nasehat agama dalam bahasa non Arab meskipun dalam ukuran lama, secara umum masih dalam katagori wasiat.[40] Pendapat Imam Ramli dianggap lebih rajih


[1] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 268
[2] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 271-277
[3] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 277-278
[4] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 283-289
[5] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 278-281
[6] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 280-283
[7] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 402
[8] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, SEmarang, Juz. II, Hal. 57. Lihat juga al-Suyuthi, al-Hawi lil-Fatawi , Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 66
[9] Al-Khithabi al-Busty, al-Ma’alim al-Sunan, al-Mathba’ah al-Ilmiyah, Juz. I, Hal. 245
[10] Umairah, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 274
[11] Al-Bakri al-Damyathi, Taqrir I’anah al-Thalibin, dicetak pada hamiys I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 58-59
[12] Ibnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila adallah al-Minhaj, Juz. I, Hal. 494. Lihat juga Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits : 5396
[13] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. IV, Hal. 600
[14] Baihaqi, Sunan Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 345, No. Hadits : 3672
[15] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. IV, Hal. 600
[16] Al-Suyurhi, al-Hawi lil-Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 66
[17] Al-Khithabi al-Busty, al-Ma’alim al-Sunan, al-Mathba’ah al-Ilmiyah, Juz. I, Hal. 245
[18] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiah, Mesir, Hal. 106
[19] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits : 5397
[20] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. IV, Hal. 595-596
[21] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. IV, Hal. 596
[22] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. IV, Hal. 598
[23] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 178
[24] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. IV, Hal. 596
[25] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. IV, Hal. 596
[26] Darulquthni, Sunan Darulquthni, Darul Makrifah, Beirut, Juz. II, Hal. 7
[27] Abady Abu al-Thaib, ‘Aun al-Ma’bud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 995
[28] Darulquthni, Sunan Darulquthni, Darul Makrifah, Beirut, Juz. II, Hal. 8
[29] Darulquthni, Sunan Darulquthni, Darul Makrifah, Beirut, Juz. II, Hal. 9
[30] Imam Ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 276-277
[31] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 526
[32] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Yeddah, Juz. IV, Hal. 359
[33] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Yeddah, Juz. IV, Hal. 358
[34] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Yeddah, Juz. IV, Hal. 358
[35] . Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 348, No. Hadits 1070
[36] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 349, No. Hadits 1073
[37] Lihat Amin al-Kurdy, Tanwirul Anwar, Thaha Putra, Semarang, Hal. 177-178 dan I’anah al-Thalibin, Juz. II, Bab Jum’at
[38] Abdurrahman al-Jaziry, Al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Hakikat Kitabevi, Istambul, Juz. II, Hal. 71
[39] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 281
[40] Syarwani, Hasyiah ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 450