Selasa, 23 Januari 2018

Hadits ahad hanya bernilai dhanni dan tidak qath’i

Hadits ahad adalah hadits yang diriwayat oleh satu orang atau lebih, tetapi tidak sampai kepada tingkatan mutawatir. Jumhur ulama menjelaskan kepada kita bahwa hadits ahad ini tidak bersifat qath’i, tetapi hanya dhanni. Berikut ini sejumlah penjelasan dari ulama-ulama kita, antara lain :
1.    Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan gelar Imam al-Haramain mengatakan dalam kitabnya :
وخبر الواحد لا یعقب العلم
Hadits ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)[1]
Dalam kitab karya beliau yang lain, beliau mengatakan :
والاحاد وھو الذي یوجب العمل ولا یوجب العلم لاحتمال الخطأ فیھا

Ahad adalah yang mewajibkan amal dan tidak mewajibkan ilmu (keyakinan), karena ada kemungkinan salah padanya.[2]

2.    Zakariya al-Anshari mengatakan :

واما مظنون الصدق فخبرالواحد وھو مالم ینتھا الى التواتر
Adapun yang dhan benar, maka itu adalah hadits ahad, yakni yang tidak sampai
kepada tingkatan mutawatir.[3]

3.    Imam al-Nawawi mengatakan :
فَالَّذِي عَلَیْھِ جَمَاھِیرُ الْمُسْلِمِینَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِینَ فَمَنْ بَعْدَھُمْ مِنَ الْمُحَدِّثِینَ وَالْفُقَھَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ یَلْزَمُ الْعَمَلُ
بِھَا وَیُفِیدُ الظَّنَّ وَلَا یُفِیدُ الْعِلْمَ
Maka pendapat yang pegangan jumhur kaum Muslimin, baik sahabat, Tabi’in maupun ulama-ulama sesudah mereka, ahli hadits, fuqaha dan ahli ushul adalah hadits ahad dari orang yang terpercaya menjadi hujjah dari segala hujjah syara’ yang mewajibkan amal dengannya, tetapi tidak memfaedahkan ilmu (keyakinan).

Selanjutnya beliau menjelaskan :
وذھب بعض المحدثین إلى أن الاحاد التي في صحیح البخاري أو صحیح مسلم تفید
العلم دون غیرھا من الاحاد وقد قدمنا ھذا القول وإبطالھا في الفصول
Sebagian Ahli Hadis berpendapat bahwa hadis Ahâd yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim memberikan kepastian informasi, tidak hadis Ahâd dalam selain keduanya. Dan telah kami paparkan panjang lebar bukti kebatilan pendapat ini dalam beberapa pasal sebelumnya.[4]


4.    Al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr mengatakan :
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا وَغَیْرُھُمْ فِي خَبَرِ الْوَاحِدِ الْعَدْلِ ھَلْ یُوجِبُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِیعًا أَمْ یُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَالَّذِي عَلَیْھِا أَكْثَرُ أَھْلِ الْعِلْمِ مِنْھُمْ أَنَّھاُ یُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَھُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْھُورُ أَھْلِ الْفِقْه وَالنَّظَرِ وَلَا یُوجِبُ الْعِلْمَ عِنْدَھُمْ إِلَّا مَا شَھِدَ بِھِا عَلَى اللَّه وَقَطَعَ الْعُذْرُ بِمَجِیئِھِا قَطْعًا وَلَا خلاف فیھا
Para ulama kami (Malikiyah) dan selainnya berselisih pendapat tentang hadis ahad yang adil, apakah ia memberikan kepastian ilmu (keyakinan) dan menjadi dasar pengamalan atau hanya pengamalan saja? Menurut mayoritas ulama ia hanya menentukan amal saja tidak memberikan kesimpulan ilmu pasti. Ini adalah pendapat Syafi’i dan jumhûr Ahli Fiqh dan Teologi. Menurut mereka tidaklah memberikan kepastian ilmu kecuali yang dikuatkan dari Allah dan memutus semua uzur, sebab ia telah datang dari jalur pasti yang tidak diperselisihkan lagi.[5]

Apakah hadits ahad dalam kitab al-Shahihain qath’i?

Ibnu al-Shalah berpendapat hadits ahad yang terdapat dalam kitab al-Shahihain bersifat qath’i. Namun pendapat ini bertentangan dengan pendapat ulama muhaqqiqiin dan kebanyakan ulama. Pendapat hadits ahad yang terdapat dalam kitab al-Shahihain bersifat qath’i hanya merupakan pendapat sebagian kecil ahli hadits sebagaimana dijelaskan oleh al-Nawawi di atas dan penjelasan beliau di bawah ini. ‘Ali al-Qari mengatakan :
ﻗﺎﻝ اﻟﻨﻮﻭﻱ: ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ اﺑﻦ اﻟﺼﻼﺡ ﺧﻼﻑ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﻤﺤﻘﻘﻮﻥ ﻭاﻷﻛﺜﺮﻭﻥ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻗﺎﻟﻮا: ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ اﻟﺘﻲ ﻟﻴﺴﺖ ﺑﻤﺘﻮاﺗﺮﺓ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﻔﻴﺪ اﻟﻈﻦ، ﻓﺈﻧﻬﺎ ﺁﺣﺎﺩ، ﻭاﻵﺣﺎﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻔﻴﺪ اﻟﻈﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺗﻘﺮﺭ. ﻭﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ، ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻭﺗﻠﻘﻲ اﻷﻣﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻓﺎﺩ ﻭﺟﻮﺏ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﻈﺮ ﻓﻴﻪ ﺑﺨﻼﻑ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ. ﻓﻼ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻨﻈﺮ ﻭﻳﻮﺟﺪ ﻓﻴﻪ ﺷﺮﻁ اﻟﺼﺤﻴﺢ. ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺟﻤﺎﻋﻬﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻄﻊ ﺑﺄﻧﻪ ﻛﻼﻡ اﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ
Al-Nawawi mengatakan, pendapat Ibnu al-Shalah menyalahi pendapat ulama muhaqqiqiin dan kebanyakan ulama. Para ulama telah mengatakan hadits-hadits dalam kitab al-Shahihain yang bukan mutawatir hanya berfaedah dhan, karena hadits tersebut adalah ahad, sedangkan hadits ahad hanya berfaedah dhan sebagaimana yang telah ditetapkan. Tidak ada perbedaan antara hadits al-Bukhari dan hadits Muslim dan selain keduanya dalam hal itu. Kesepakatan ummat hanya berfaedah wajib beramal dengan hadits yang ada dalam al-Bukhari dan Muslim tanpa perlu analisa lagi, berbeda dengan hadits selain keduanya yang tidak boleh diamalkan sehingga dianalisa lebih dahulu dan didapati syarat-syarat shahih. Sedangkan ijmak ulama atas beramal dengan apa yang menjadi ijmak mereka, itu tidak mewajibkan qath’i bahwa hadits tersebut merupakan kalam Nabi SAW.[6]

Kemudian ‘Ali al-Qari menjelaskan bahwa pendapat Ibnu al-Shalah ini juga telah nyatakan salah oleh Ibn al-Burhan dan dianggap ‘aib oleh Ibn Abd al-Salam serta ditolak oleh Ibnu al-Himam.[7]
Hadits ahad bernilai qath’i apabila ada qarinah.
Namun demikian, hadits ahad apabila ada qarinah maka dapat bernilai qath’i sebagaimana dikemukakan oleh Zakariya al-Anshari di bawah ini :
)ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻷﺻﺢ ﺃﻥ ﺧﺒﺮ اﻟﻮاﺣﺪ ﻳﻔﻴﺪ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ) ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺇﺧﺒﺎﺭ ﺭﺟﻞ ﺑﻤﻮﺕ ﻭﻟﺪﻩ اﻟﻤﺸﺮﻑ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﺕ ﻣﻊ ﻗﺮﻳﻨﺔ اﻟﺒﻜﺎء ﻭﺇﺣﻀﺎﺭ اﻟﻜﻔﻦ ﻭاﻟﻨﻌﺶ
Masalah : Menurut pendapat yang lebih shahih khabar ahad berfaedah ilmu (yakin) dengan sebab ada qarinah, sebagaimana pemberitahuan seseorang tentang kematian anaknya yang memang sudah mendekati kematian serta ada qarinah tangisan dan kehadiran kapan dan usungan mayat.[8]




[1] Al-Juwaini, al-Irsyad, Maktabah al-Khaniji, Mesir, Hal. 419
[2] Al-Juwaini, al-Warqaat, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqaat), Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 19
[3] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 97
[4] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. I, Hal. 187-188
[5] Ibnu Abd al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 7
[6] ‘Ali al-Qari, Syarah Syarah Nukhbah al-Fikri, Syrikan Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut, Hal. 220
[7] ‘Ali al-Qari, Syarah Syarah Nukhbah al-Fikri, Syrikan Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut, Hal. 220
[8] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 97

Rabu, 17 Januari 2018

Lebih utama fakir atau kaya?

Menjawab pertanyaan di atas, ‘Izzuddin Abdussalam menjawab dengan membagi manusia dalam tiga kondisi, yakni :
1.    Seseorang yang diduga akan istiqamah dalam agama selama dia dalam keadaan kaya dan berubah keadaannya menjadi pelaku maksiat apabila dalam keadaan fakir. Maka ini, tidak ada perselisihan pendapat bahwa baginya, kaya itu lebih baik dari pada fakir
2.    Seseorang yang diduga akan istiqamah dalam agama selama dia dalam keadaan fakir dan berubah keadaannya menjadi pelaku maksiat apabila dalam keadaan kaya. Ini juga tidak ada perselisihan pendapat bahwa baginya, fakir itu lebih baik dari pada kaya
3.    Seseorang apabila fakir dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir seperti ridha dan sabar. Apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai orang kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan bersyukur.
Terjadi khilaf pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama bagi kondisi yang ketiga ini. Sebagian ulama berpendapat lebih utama fakir dan sebagian ulama lain mengatakan lebih utama kaya. Kemudian ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan, pendapat yang terpilih adalah lebih utama kaya.[1] Namun demikian, ulama lain seperti al-Ghazali berpendapat fakir yang sabar lebih utama dari orang kaya yang bersyukur.[2]
Dalil-dalil kaya lebih utama dari fakir
Adapun dalil-dalil yang kemukakan oleh ‘Izzuddin Abdussalam adalah sebagai berikut [3]:
1.    Karena Nabi SAW memohon perlindungan kepada Allah dari kefakiran dan tidak boleh dimaknai fakir tersebut dengan makna fakir jiwa, karena khilaf zhahir dengan tanpa dalil. Redaksi hadits dimaksud berbunyi :
أَن رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم قَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أعوذ بك من الْفقر و الْقلَّة والذلة،
Sesungguhnya Rasulullah SAW mengatakan, sesungguhnya aku berlindung dengan-Mu dari kefakiran, nestafa dan kehinaan. (H.R. Abu Daud, al-Nisa’i, Ibnu Hiban dan al-Hakim. Al-Hakim mengatakan, hadits shahih atas syarat Muslim)[4]

2.    Hadits riwayadari Abu Hurairah r.a., beliau berkata :
أَتَى فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ ذَوُو الْأَمْوَالِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَا وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ يُعْتِقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نُعْتِقُ، وَيَتَصَدَّقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نَتَصَدَّقُ، وَيُنْفِقُونَ وَلَا نَجِدُ مَا نُنْفِقُ؟ فَقَالَ أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إذَا فَعَلْتُمُوهُ أَدْرَكْتُمْ بِهِ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَفُتُّمْ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ؟ قَالُوا بَلَى، قَالَ: تُسَبِّحُونَ اللَّهَ تَعَالَى وَتَحْمَدُونَهُ وَتُكَبِّرُونَهُ عَلَى إثْرِ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مَرَّةً فَلَمَّا صَنَعُوا ذَلِكَ سَمِعَ الْأَغْنِيَاءُ بِذَلِكَ فَقَالُوا مِثْلَ مَا قَالُوا، فَذَهَبَ الْفُقَرَاءُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّهُمْ قَدْ قَالُوا مِثْلَ مَا قُلْنَا؟ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  فَذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Beberapa para fakir dari kaum muslimin menemui Rasulullah SAW, mereka mengatakan, “Ya Rasulullah!, orang-orang kaya hidup dengan derajat yang tinggi dan nikmat yang cukup, mereka dapat memerdekakan hamba sahaya tetapi kami tidak dapat melakukannya, mereka bersadaqah tapi kami tidak dapat melakukannya dan mereka melakukan infaq tetapi kami tidak dapat melakukannya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Apakah belum pernah aku tunjukkan kepada kalian suatu perkara apabila kalian lakukan, maka dengan sebabnya kalian akan sama dengan orang-orang kaya sebelum kalian dan terluput darinya oleh orang-orang sesudah kalian?”. Para fakir itu menjawab :”Benar”. Rasulullah SAW melanjutkan, “Kalian bertasbih kepada Allah Ta’ala, memuji-Nya dan bertakbir pada setiap selesai shalat tiga puluh tiga kali.” Manakala orang-orang fakir tersebut melakukannya, para orang kaya mendengarnya, lalu orang-orang kayapun mengatakan apa yang dikatakan para fakir. Kemudian para fakir tersebutpun pergi menemui lagi Rasulullah SAW dengan memberitahukan kepada beliau bahwa orang-orang kaya juga mengatakan apa yang mereka katakan. Pada ketika itu kepada mereka, Rasulullah SAW bersabda : “Yang demikian itu merupakan karunia Allah yang didatangkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”.

Hadits ini dengan redaksi sedikit berbeda telah diriwayat oleh Imam Muslim dalam Shahihnya.[5] Jawaban Nabi SAW pada akhir hadits terhadap keluhan para fakir  muslimin  “itu merupakan karunia Allah yang didatangkan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya”, menunjukan kaya lebih utama dari pada fakir.
Komentar terhadap dalil yang mengataan fakir lebih utama
1.    Sebagian ulama yang mengatakan lebih utama fakir, berhujjah dengan ghalib keadaan Rasulullah SAW dalam keadaan fakir sehingga diberikan kekayaan oleh Allah Ta’ala dengan penghasilan Khaibar, tebusan dan harta Bani Nazhir.
Jawaban :
Jawaban Izzuddin Abdussalam : Para anbiya dan auliya tidak hadir dalam suatu hari kecuali harinya itu lebih baik dari hari sebelumnya. Barangsiapa yang sama keadaannya dalam dua hari, maka termasuk orang yang tertipu dan barangsiapa hari kemarennya lebih baik dari harinya sekarang, maka termasuk terlaknat, yakni terus menerus tertipu. Ujung usia Rasulullah SAW ditutup dengan keadaan kaya dan kaya beliau tidak melepaskannya dari perbuatan yang biasa beliau lakukan pada hari fakirnya berupa dermawan, pemurah dan sederhana sehingga beliau wafat dimana baju besinya tergadai pada seorang Yahudi. Bagaimana tidak seperti ini, padahal Rasulullah SAW sendiri bersabda :
يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ، وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ
Hai anak Adam, sesungguhnya memberikan kelebihanmu lebih baik bagi kamu dan menahannya keburukan bagimu.(H.R. Muslim)[6]

2.    Nabi SAW pernah bersabda :
يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِينَ الجَنَّةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُمِائَةِ عَامٍ.
Fakir dari kaum muslimin akan masuk syurga setengah hari sebelum yang kaya dari mereka. Setengah hari itu lima ratus tahun.(H.R. al-Turmidzi, Hadits hasan shahih).[7]

Dan Nabi SAW juga pernah bersabda :
اطَّلَعْت عَلَى الْجَنَّةِ فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْت عَلَى النَّارِ فَرَأَيْت أَكْثَرَهَا النِّسَاءَ
Aku pernah melihat syurga, di dalamnya, aku melihat kebanyakannya adalah para fakir dan juga pernah melihat neraka, di dalamnya aku melihat kebanyakannya adalah perempuan. (H.R. Bukhari).[8]

Mengomentari dua hadits di atas, ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan keadaan tersebut merupakan keadaan yang ghalib terjadi dari keadaan orang kaya dan fakir. Karena orang kaya tidak bersikap seperti sifat kehidupan orang fakir dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan kelebihan yang dipunyai dalam hidupnya kecuali sedikit sekali, nadir dan hampir tidak ditemukan. Adapun orang yang sabar atas kefakirannya sedikit, sedangkan orang yang ridha lebih sedikit lagi dari yang sedikit tersebut.[9]
Dalam mengomentari hadits orang fakir lebih dahulu masuk syurga dibandingkan orang kaya, Syeikh Ibrahim al-Bajuri mengatakan, mengutamakan orang kaya dari orang fakir tidak menafikan masuk syurga orang fakir lebih dahulu dari pada orang kaya. Karena kadang-kadang hal-hal yang tidak didapati pada orang yang utama justru didapati pada orang yang tidak utama. Pendapat lebih utama orang kaya ini merupakan pendapat yang mu’tamad menurut Ibrahim al-Bajuri.[10]
Kesimpulan
1.      Terjadi khilaf pendapat ulama dalam menentukan mana lebih utama bagi kondisi seseorang apabila fakir dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai seorang fakir seperti ridha dan sabar dan apabila dia kaya, dia tetap teguh dengan sikap yang seharusnya sebagai orang kaya seperti dermawan, berbuat kebajikan dan bersyukur.
2.      Pendapat lebih utama orang kaya lebih rajih sesuai dengan dalil-dalil di atas
3.      Bahkan Imam Ghazali sendiri yang berpendapat secara umum, fakir lebih utama, juga mengakui kadang-kadang orang kaya yang bersyukur lebih utama dari fakir yang sabar. Beliau mengatakan, terkadang orang kaya yang bersyukur yang lebih utama dibandingkan dengan orang fakir yang sabar. Mereka itu adalah orang kaya yang memberlakukan dirinya seperti orang fakir. Ia tidak memegang harta untuk dirinya kecuali sebatas kebutuhan darurat, dan selebihnya ia gunakan untuk hal-hal kebaikan.[11]
4.      Sebagaimana diuraikan di atas, khilaf ulama di atas terjadi dalam menentukan mana lebih utama antara fakir atau kaya. Karena itu, dhahirnya miskin di sini dimasukkan dalam kelompok fakir. Karena pengertian miskin yang ma’ruf juga termasuk orang yang tidak dapat memenuhi sebagian kebutuhannya, meskipun berada sedikit di atas dibanding fakir dalam bab zakat.
5.      Adapun do’a Nabi SAW dalam hadits al-Turmidzi berbunyi :
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مِسْكِيناً وَأَمِتْنِي مِسْكِيناً وَاحْشُرْنِي فِي زُمْرَةِ الْمَسَاكِيْن
Ya Allah, hidupkan dan matikan aku dalam keadaan miskin serta kumpulkan aku bersama orang-orang miskin (H.R. al-Turmidzi)

Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, isnadnya dhaif. Masih menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, hadits ini juga telah diriwayat oleh Ibnu Majah, namun sanadnya juga dhaif. Dalam al-Mustadrak al-Hakim, hadits ini diriwayat dari ‘Itha’ dari Abu Sa’id. Al-Baihaqi meriwayat dari ‘Ubadah bin al-Shaamit. Menurut al-Baihaqi do’a Nabi SAW memohon miskin bukan dalam arti kurang harta, akan tetapi miskin yang kembali kepada makna rendah hati dan tawadhu’.[12]





[1] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 362-363
[2] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 258
[3] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 363-364
[4] Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 366
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 416, No. 595
[6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 718, No. 1036
[7] Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 156, No. 2354
[8] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 117, No. 3241
[9] Izzuddin Abdussalam, al-Qawa’id al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 363-364
[10] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 285
[11] Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 137
[12] Ibnu Hajar al-Asqalani, Talkhish al-Habir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 233-234