Sabtu, 29 Juli 2017

Apakah kaum Mujassimah kafir?

Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat berpendapat sesat kaum Mujassimah (yang mengi’tiqad Allah bersifat dengan sifat benda), namun dalam hal mengkafirkannya, mereka berbeda pendapat.  Berikut ini keterangan para ulama mengenai status hukum kaum Mujassimah :
1.        Al-Syarbaini mengatakan :
تَنْبِيهٌ: اُخْتُلِفَ فِي كُفْرِ الْمُجَسِّمَةِ. قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ: الْمَشْهُورُ عَدَمُ كُفْرِهِمْ، وَجَزَمَ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ فِي صِفَةِ الْأَئِمَّةِ بِكُفْرِهِمْ. قَالَ الزَّرْكَشِيُّ فِي خَادِمِهِ: وَعِبَارَةُ شَرْحِ الْمُهَذَّبِ مَنْ جَسَّمَ تَجْسِيمًا صَرِيحًا، وَكَأَنَّهُ احْتَرَزَ بِقَوْلِهِ صَرِيحًا عَمَّنْ يُثْبِتُ الْجِهَةَ فَإِنَّهُ لَا يَكْفُرُ كَمَا قَالَهُ الْغَزَالِيُّ، وَقَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ: إنَّهُ الْأَصَحُّ، وَقَالَ فِي قَوَاعِدِهِ: إنَّ الْأَشْعَرِيَّ رَجَعَ عِنْدَ مَوْتِهِ عَنْ تَكْفِيرِ أَهْلِ الْقِبْلَةِ؛ لِأَنَّ الْجَهْلَ بِالصِّفَاتِ لَيْسَ جَهْلًا بِالْمَوْصُوفَاتِ اهـ. وَأُوِّلَ نَصُّ الشَّافِعِيِّ بِتَكْفِيرِ الْقَائِلِ بِخَلْقِ الْقُرْآنِ بِأَنَّ الْمُرَادَ كُفْرَانُ النِّعْمَةِ لَا الْإِخْرَاجُ عَنْ الْمِلَّةِ، قَالَهُ الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ، لِإِجْمَاعِ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ عَلَى الصَّلَاةِ خَلْفَ الْمُعْتَزِلَةِ وَمُنَاكَحَتِهِمْ وَمُوَارَثَتِهِمْ.
Catatan : Telah terjadi khilaf ulama dalam pengkafiran kaum Mujassimah, pengarang al-Muhimmaat mengatakan, yang masyhur mereka tidak kafir. Namun dalam Syarah al-Muhazzab dalam bab sifat imam telah menjazamkan mereka itu kafir. Al-Zarkasyi dalam kitab al-Khadim mengatakan, Ibarat Syarah al-Muhazzab : “Barang siapa yang mengi’tiqad jisim (benda) secara sharih”. Ini seolah-olah pengarangnya ingin mengeluarkan dengan kata beliau : “sharih” orang yang mengitsbatkan arah, mereka ini tidak kafir sebagaimana penjelasan al-Ghazali. Syekh ‘Izzuddin mengatakan, Ini pendapat yang lebih shahih. Dalam qawaid beliau, Syekh ‘Izzuddin mengatakan, sesungguhnya al-Asy’ari telah rujuk dari pendapatnya mengkafirkan ahli qiblat ketika mendekati wafatnya, karena ketidaktahuan sifat bukanlah ketidaktahuan maushuf (yang disifati), Sekian. Adapun nash imam Syafi’i mengkafirkan orang yang mengatakan al-Qur’an adalah makhluq ditakwil dengan memaknainya sebagai kufur nikmat, bukan keluar dari agama. Ini telah disebut oleh al-Baihaqi dan ulama muhaqqiqin lainnya, karena ijmak salaf dan khalaf melakukan shalat dibelakang Mu’tazilah serta menikah dengan mereka dan saling mewarisi.[1]

2.        Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
لِأَن الْمَنْقُول الْمُعْتَمد عندنَا عدم كُفْر الجهوية والمجسمة إِلَّا إِن اعتقدوا الْحُدُوث أَو مَا يستلزمه، وَلَا نظر إِلَى لَازم مَذْهَبهم لِأَن الْأَصَح فِي الْأُصُول أَن لَازم الْمَذْهَب لَيْسَ بِمذهب، لجَوَاز أَن يعْتَقد الْمَلْزُوم دون اللَّازِم، ومنْ ثمَّ قُلْنَا: لَو صرح باعتقاد لَازم الجسمية كَانَ كَافِرًا، وَقَالَ الْأَذْرَعِيّ وَغَيره: الْمَشْهُور عدم تَكْفِير المجسمة، وَإِن قَالُوا جسم كالأجسام أَي لأَنهم مَعَ ذَلِك قد لَا يَعْتَقِدُونَ لَوَازِم الْأَجْسَام.
Karena sesungguhnya yang kutipan yang mu’tamad di sisi kita (Syafi’iyah) tidak kafir al-Jahwiyah (yang mengi’tiqad Allah mempunyai arah) dan kaum Mujassimah kecuali mereka mengi’tiqad baharu Allah dan sifat yang lazim dari baharu. Tidak ditinjau kepada lazim mazhab mereka, karena menurut pendapat yang lebih shahih dalam ushul, sesungguhnya lazim mazhab bukan mazhab, karena boleh jadi seseorang mengi’tiqad malzum, akan tetapi tidak mengi’tiqad lazim. Al-Azra’i dan lainnya mengatakan : Yang masyhur tidak kafir kaum Mujassimah, meskipun mereka mengatakan Allah benda seperti benda-benda. Karena mereka dengan itu tidak mengi’tiqad lazim benda.[2]

3.        Al-Bujairumi mengatakan :
وَذَكَرَ حَجّ فِي فَتَاوِيهِ الْحَدِيثِيَّةِ نَقْلًا عَنْ الْأَذْرَعِيِّ وَغَيْرِهِ أَنَّ الْمَشْهُورَ عَدَمُ تَكْفِيرِ الْمُجَسِّمَةِ وَإِنْ قَالُوا لَهُ جِسْمٌ كَالْأَجْسَامِ لِأَنَّهُمْ مَعَ ذَلِكَ قَدْ لَا يَعْتَقِدُونَ لَوَازِمَ الْأَجْسَامِ
Dalam Fatawa al-Haditsiyyah, Ibnu Hajar al-Haitamy telah menyebut kutipan dari al-Azra’i dan lainnya : Yang masyhur tidak kafir kaum Mujassimah, meskipun mereka mengatakan Allah benda seperti benda-benda. Karena mereka dengan itu tidak mengi’tiqad lazim benda.[3]

4.        Dalam al-Asybah wan-Nadhair, al-Suyuthi mengatakan :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: لَا يُكَفَّرُ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ، وَاسْتُثْنِيَ مِنْ ذَلِكَ: الْمُجَسِّمُ، وَمُنْكِرُ عِلْمِ الْجُزْئِيَّاتِ. وَقَالَ بَعْضُهُمْ: الْمُبْتَدِعَةُ أَقْسَامٌ: الْأَوَّلُ: مَا نُكَفِّرُهُ قَطْعًا، كَقَاذِفِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا وَمُنْكِرِ عِلْمِ الْجُزْئِيَّاتِ، وَحَشْرِ الْأَجْسَادِ، وَالْمُجَسِّمَةِ، وَالْقَائِلِ بِقِدَمِ الْعَالَمِ.
Al-Syafi’i mengatakan, tidak dikafirkan seseorang dari ahli qiblat. Dikecualikan dari itu kaum Mujassimah dan kaum yang mengingkari Allah mengetahui sesuatu secara terinci. Sebagian ulama mengatakan, ahli bid’ah terbagi kepada beberapa bagian, pertama yang kita kafirkan secara qath’i seperti penuduh berzina terhadap Aisyah r.a., kaum yang mengingkari Allah mengetahui hal sesuatu secara terinci, yang mengingkari kebangkitan tubuh pada hari qiamat, kaum Mujassimah dan yang mengatakan alam qadim.[4]

5.        Syekh Sulaiman al-Jamal mengatakan :
(قوله ايضا الا لنحو بدعة امامه ) التى لا يكفر بها كالمجسمة على المعتمد
(Perkataan pengarang : juga kecuali mengikuti seumpama bid’ah imamnya) yang tidak kafir dengan sebab bid’ahnya itu seperti kaum Mujassimah berdasarkan pendapat mu’tamad.[5]

Catatan :
Berdasarkan keterangan di atas, apabila ada nash ulama yang mengatakan ijmak  atau sepakat ulama mengkafirkan kaum Mujassimah, maka menurut hemat kami, itu harus dipahami dengan beberapa kemungkinan, antara lain :
a.    Juga terjadi khilaf ulama dalam mendakwakan ijmak atas pengkafiran kaum Mujassimah
b.    Diposisikan nash tersebut dengan makna khusus sebagaimana sudah dijelaskan dalam kutipan-kutipan ulama di atas.
c.    Seandainya kesimpulan kami ini salah, mohon dikoreksi.



[1] Al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj,  Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 174-175
[2] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsiyyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 108
[3] Al-Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Iqna’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 326
[4] Al-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 273
[5] Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jaml ‘ala Syarah al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz. I, Hal. 505

Bolehkah dalam masalah agama pada zaman sekarang merujuk kepada kitab-kitab mu’tabarah cetakan terpercaya tanpa sanad yang bersambung kepada pengarang kitab

Mari kita perhatikan keterangan ulama berikut ini :
1.    Imam al-Nawawi mengatakan :
لَا يَجُوزُ لِمَنْ كَانَتْ فَتْوَاهُ نَقْلًا لِمَذْهَبِ إمَامٍ إذَا اعْتَمَدَ الْكُتُبَ أَنْ يَعْتَمِدَ إلَّا عَلَى كِتَابٍ مَوْثُوقٍ بِصِحَّتِهِ وَبِأَنَّهُ مَذْهَبُ ذَلِكَ الْإِمَامِ فَإِنْ وَثِقَ بِأَنَّ أَصْلَ التَّصْنِيفِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ لَكِنْ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ النُّسْخَةُ مُعْتَمَدَةً فَلْيَسْتَظْهِرْ بِنُسَخٍ مِنْهُ مُتَّفِقَةٍ
Tidak boleh bagi yang berfatwa dengan mengutip mazhab imamnya, apabila dengan berpegang kepada kitab-kitab, berpegang kepada kitab-kitab kecuali berdasarkan kitab yang dipercaya keshahihannya dan kitab tersebut merupakan mazhab imam tersebut. Apabila asal karangan itu dengan sifat-sifat ini dapat dipercaya, akan tetapi naskahnya tidak mu’tamad, maka hendaknya diperjelaskan dengan naskah lain darinya yang ittifaq.[1]

2.    Imam Ibn Hajar Al-Haitamy mengatakan :
مَا أَفْهَمَهُ كَلَامُهُ مِنْ جَوَازِ النَّقْلِ مِنْ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَنِسْبَةِ مَا فِيهَا لِمُؤَلِّفِيهَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ سَنَدُ النَّاقِلِ بِمُؤَلِّفِيهَا نَعَمْ النَّقْلُ مِنْ نُسْخَةِ كِتَابٍ لَا يَجُوزُ إلَّا إنْ وَثِقَ بِصِحَّتِهَا أَوْ تَعَدَّدَتْ تَعَدُّدًا يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ صِحَّتُهَا أَوْ رَأَى لَفْظَهَا مُنْتَظِمًا وَهُوَ خَبِيرٌ فَطِنٌ يُدْرِكُ السَّقَطَ وَالتَّحْرِيفَ
Apa yang difahamkan oleh ucapannya (yakni ucapan Imam an Nawawi), yaitu bolehnya mengutip dari kitab-kitab yang mu’tamad, dan menisbatkan apa yang ada didalamnya kepada penulisnya, itu adalah perkara yang mujma’ ‘alaih, meskipun pengutip tidak bersambung sanadnya kepada penyusun kitab-kitab tersebut. Namun demikian,  menukil dari naskah kitab tidak diperbolehkan kecuali jika dia percaya dengan keshahihan apa yang dia nukil tersebut, atau banyak naskah yang dengan sebabnya diduga kuat akan keshahihannya, atau dia melihat lafadznya yang teratur sedangkan dia orang yang ahli dan cerdas yang bisa memahami kekeliruan dan penyimpangan (tahrîf).[2]

3.    Ibnu Abdissalam sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi mengatakan :
وقال ابن عبد السلام: أما الاعتماد على كتب الفقه الصحيحة الموثوق بها, فقد اتفق العلماء في هذا العصر على جواز الاعتماد عليها والاستناد إليها ; لأن الثقة قد حصلت بها كما تحصل بالرواية, ولذلك اعتمد الناس على الكتب المشهورة في النحو, واللغة, والطب وسائر العلوم لحصول الثقة بها وبعد التدليس.
Ibn Abdissalaam berkata : Adapun beri'timad dengan kitab fiqh yang shahih dan terpercaya maka ulama zaman sekarang telah sepakat bolehnya beri'timad dan bersandar kepada kitab-kitab, karena kepercayaan sungguh wujud sebagaimana wujud kepercayaan dengan sebab riwayat. Dengan sebab inilah manusia mengi’timad kitab-kitab masyhur pada ilmu nahu, lughat, tabib dan ilmu-ilmu lainnya, karena wujud kepercayaan dengannya dan jauh dari tadlis.[3]

4.    Al-Suyuthi mengatakan :
فائدة ثانية الإجازة من الشيخ غير شرط في جواز التصدي على الإقراء والإفادة فمن علم من نفسه الأهلية جاز له ذلك وإن لم يجزه أحد وعلى ذلك السلف الأولون والصدر الصالح وكذلك في كل علم وفي الإقراء والإفتاء خلافاً لما يتوهمه الأغبياء من اعتقاد كونها شرطاً 
Faedah kedua : Ijazah dari guru bukanlah syarat dalam membolehkan mendatangkan qiraah dan memberikan faedah. Barangsiapa yang memaklumi dirinya ahli, maka itu boleh baginya, meskipun tidak ada seorangpun yang memberikan ijazah. Atas ini telah berpegang para salaf generasi pertama dan ulama shaleh generasi pertama. Demikian juga pada setiap ilmu, pada qiraah dan ifta’. Ini berbeda dengan yang telah diwaham oleh orang-orang bodoh yang mengi’tiqad keadaannya sebagai syarat.[4]



[1] Al-Nawawi, al-Majmu’  Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 80
[2] Al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir,  Juz. I, Hal. 38-39
[3] Al-Suyuthi, al-Asybah wan Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 189
[4] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulumul Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 103

Kamis, 20 Juli 2017

Hukum menangguh orang masuk Islam

Menangguh atau menunda mentalqin dan mengajarkan kalimat syahadat kepada orang yang ingin masuk Islam dapat menyebabkan menjadi kafir. Karena hal ini termasuk ridha dengan kufur yang masih melekat pada orang kafir tersebut. Sedangkan ridha dengan kufur adalah kufur. Berikut keterangan dari ulama mengenai ini, antara lain :
1.    Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
ومن المكفرات أيضاً أن يرضى بالكفر ولو ضمناً كأن يسأله كافر يريد الإسلام أن يلقنه كلمة الإسلام فلا يفعل, أو يقول له: اصبر حتى أفرغ من شغلي أو خطبتي لو كان خطيباً, أو كأن يشير عليه بأن لا يسلم وإن لم يكن طالباً للإسلام فيما يظهر,
Termasuk yang dapat menyebab kafir juga adalah ridha dengan kufur, meskipun ridha itu secara tidak langsung. Contohnya seorang kafir yang ingin masuk Islam meminta mengajarinya kalimat tauhid, maka tidak dipenuhi permintaan tersebut atau dia berkata : “Bersabarlah, sehingga aku selesaikan kesibukanku atau khutbahku.”  seandainya dia seorang khathib ataupun mengisyaratkan tidak masuk Islam, meskipun si kafir tersebut tidak meminta masuk Islam berdasarkan pendapat yang dhahir.[1]

2.    Imam al-Nawawi dalam kitabnya, Raudhah al-Thalibin mengutip perkataan al-Mutawalli sebagai berikut :
قَالَ: وَالرِّضَى بِالْكُفْرِ كُفْرٌ، حَتَّى لَوْ سَأَلَهُ كَافِرٌ يُرِيدُ الْإِسْلَامَ أَنْ يُلَقِّنَهُ كَلِمَةَ التَّوْحِيدِ، فَلَمْ يَفْعَلْ، أَوْ أَشَارَ عَلَيْهِ بِأَنْ لَا يُسْلِمَ، أَوْ عَلَى مُسْلِمٍ بِأَنْ يَرْتَدَّ، فَهُوَ كَافِرٌ
Al-Mutawalli mengatakan, ridha dengan kufur adalah kufur, sehingga apabila seorang kafir yang ingin masuk Islam meminta kepada seseorang mengajarkannya kalimat tauhid, lalu tidak melakukannya atau mengisyaratkan supaya tidak masuk Islam ataupun mengisyaratkan atas seorang muslim supaya murtad, maka orang tersebut adalah kafir.[2]

3.    Zainuddin al-Malibari mengatakan :  
 كالرضا بالكفر كان قال لمن طلب منه تلقين الاسلام : اصبر ساعة
Contoh yang menyebabkan kafir juga adalah ridha dengan kufur, seperti seseorang menjawab permintaan orang yang meminta mengajarkan kalimat syahadat yang memasukkan Islam seseorang dengan jawaban : “Sabarlah sesa’at”.[3]



[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-I’lam bil Qawathi’ al-Islam, Hal. 18
[2] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Beirut, Juz. X, Hal. 65
[3] Zainuddin al-Malibari , Fathul Mu’in  (dicetak pada hamis I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 137

Minggu, 02 Juli 2017

Hukum berbisik-bisik dalam majelis

Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ وَاحِدٍ
Hadits yang ketujuh, Dari Naafi’ dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kalian tiga orang, maka jangan berbisik-bisik dua orang tanpa ikut serta seorang.

Hadits ini sepakat dua Syeikh (al-Bukhari dan Muslim) meriwayatnya dari jalur Malik. Imam Muslim telah mentakrij dari jalur ‘Ubaidillah bin Umar, al-Laits bin Sa’ad, Ayyub al-Sakhtiyani dan ayyub bin Musa, semua mereka dari Naafi’ dari Ibn Umar. Abu Daud telah mentakhrij dari jalur Abi Shalih dari Ibn Umar.[1]
Dalam riwayat lain dari Imam Muslim disebutkan :
إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ مِنْ أَجْلِ أَنْ يُحْزِنَهُ
Apabila kalian bertiga, maka jangan berbisik-bisik dua orang tanpa ikut serta seorang sehingga kalian berbaur dengan manusia, karena hal itu menyebabkan perasaan gelisah orang itu.(H.R. Muslim)[2]

            Imam Muslim telah menempatkan dua hadits di atas dalam bab haram berbisik-bisik dua orang tanpa pihak ketiga dengan tanpa ridhanya.[3]
Dalam mengomentari dua hadits di atas, al-Nawawi menjelaskan, larangan dalam dua hadits tersebut bermakna haram. Dengan demikian, haram berbisik-bisik dua orang dengan kehadiran orang ketiga dalam satu majelis, demikian juga berbisik-bisik tiga orang atau lebih dengan kehadiran orang lain. Kemudian beliau menyimpulkan haram atas jama’ah berbisik-bisik tanpa satu orang kecuali dengan ridha satu orang tersebut. Selanjutnya al-Nawawi menjelaskan mazhab Ibnu Umar r.a., Malik, Ashhabinaa (pengikut-pengikut Mazhab Syafi’i) dan jumhur ulama berpendapat larangan tersebut berlaku pada setiap zaman, pada ketika bermukim dan musafir. Sebagian ulama berpendapat larangan tersebut hanya berlaku pada waktu musafir, tidak pada waktu bermukim, karena pada waktu musafir ada madhinnah al-khauf (diduga ada kekuatiran yang ditakuti). Sebagian ulama lain mendakwa hadits ini sudah mansukh dan hukumnya berlaku pada awal Islam. Orang-orang munafiq melakukannya untuk membuat orang Islam merasa gelisah. Maka manakala Islam sudah banyak tersebar dan orang-orang Islam merasa aman, maka gugurlah larangan tersebut.[4] 
            Di atas, al-Nawawi sudah menjelaskan bahwa berbisik-bisik dalam majelis dibolehkan apabila ridha pihak ketiga. Demikian juga Imam Muslim sebagaimana judul bab hadits dalam Shahih Muslim. Ridha ini menurut al-Iraqi bisa dimaklum dengan qarinah (keadaan), meskipun tidak ada izin yang sharih.[5]
Hukum berbisik bisik, sedangkan yang tidak ikut dua orang atau lebih
Al-Iraqi menjelaskan kepada kita bahwa mafhum qaid “dua orang tanpa ikut serta seorang” seandainya mereka berempat, maka tidak terlarang berbisik-bisik dua orang dari mereka itu. Hal ini karena dua orang yang tidak ikut berbisik masih bisa teguh hatinya dari pengaruh berbisik-bisik tersebut. Tidak terlarang ini menjadi ijma’ ulama berdasarkan hikayah al-Nawawi.[6] Kesimpulan ini juga sesuai dengan pemahaman Ibnu Umar dalam riwayat dari Abdullah bin Dinar, beliau berkata :
كُنْتُ أَنَا وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عِنْدَ دَارِ خَالِدِ بْنِ عُقْبَةَ الَّتِي بِالسُّوقِ، فَجَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يُنَاجِيَهُ، وَلَيْسَ مَعَ عَبْدُ اللَّهِ بن عمر أَحَدٌ غَيْرِي وَغَيْرُ الرَّجُلِ الَّذِي يُرِيدُ أَنْ يُنَاجِيَهُ، فَدَعَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَجُلًا حَتَّى كُنَّا أَرْبَعَةً، فَقَالَ لِي وَلِلرَّجُلِ الَّذِي دَعَا: اسْتَأْخِرَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم يَقُولُ: لا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ وَاحِدٍ.
Aku dan Abdullah bin Umar  berada di sisi rumah Khalid bin ‘Uqbah yang ada di pasar (pasar kota Madinah), tiba-tiba datang seorang laki-laki yang ingin membisik sesuatu kepada Abdullah bin Umar. Tidak ada bersama Abdullah bin Umar selain aku dan laki-laki yang ingin membisik kepadanya. Kemudian Abdullah bin Umar memanggil seorang laki-laki lain sehingga kami jadi berempat. Beliau mengatakan kepadaku dan laki-laki yang dipanggilnya itu : “Mundurlah kalian berdua, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Tidak berbisik-bisik dua orang tanpa satu orang (pihak ketiga).” (H.R. Malik).[7]

Beberapa penjelasan lain yang dikemukakan oleh al-Hafizh al-Iraqi
1.    Berdasarkan hadits kedua dari riwayat Muslim di atas, ‘illat haram berbisik-berbisik ini adalah menyebabkan datang kegelisahan kepada pihak ketiga. Kegelisahan ini menurut al-Khuthabi karena salah satu dua makna, yakni mendatangkan waham bahwa bisikan dua orang tersebut sedang menetapkan suatu pendapat atau menetapkan tipu daya jahat bagi pihak ketiga. Menetapkan suatu pendapat menjadi kegelisahan bagi pihak ketiga karena mewahamkan ada pengkhususan kemuliaan bagi kawan yang dibisiknya, tidak pihak ketiga. Al-Qurthubi menerangkan makna ihzan (mendatangkan gelisah) adalah terjadi dalam jiwanya yang menjadikannya gelisah, yakni muncul dalam pikirannya bahwa pembicaraan tersebut adalah tentang hal-hal yang dibencinya atau yang berbisik-bisik itu tidak menganggapnya sebagai orang yang ahli dalam tema pembicaraan dan bisikan-bisikan syaithan lainnya.
2.    Al-Mawardi menjelaskan haram juga berbisik-bisik sekumpulan orang tanpa ikut serta satu orang, karena wujud juga ‘illat haramnya. Dibolehkan apabila satu orang tersebut ditemani oleh yang lain.
3.    Kedudukan haram berbisik-bisik apabila pihak ketiga sudah berada dalam majelis pada permulaan berbisik. Adapun apabila dua orang sedang berbisik-bisik, kemudian datang pihak ketiga ketika sedang ada bisik-bisik itu, maka tidak wajib atas orang berbisik-bisik memutuskan bisikannya. Bahkan telah datang hadits Nabi SAW yang melarang masuk dalam majelis tersebut sehingga dia minta izin terlebih dahulu.






[1] al-Hafizh al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VIII, Hal. 141
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1718, No. 2184
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1717.
[4] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. XIV, Hal. 240
[5] al-Hafizh al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VIII, Hal. 142
[6] al-Hafizh al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VIII, Hal. 142
[7] Imam Malik, al-Muwatha’, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 167, No. 2081