Jumat, 25 Agustus 2023

Memahami Qiyas al-Jalii dan al-Khafii

 

Qiyas adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Dalam hal ini, qiyas menempati posisi keempat, setelah al-Quran, Hadits, dan Ijma. Menurut istilah, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat hukum Qiyas juga dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain.

Syeikh Zakariya al-Anshari mendevinisi qiyas dengan :

حمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمه عند الحامل

Menyamakan sesuatu yang maklum kepada sesuatu yang maklum lainnya karena ada kesamaannya pada ‘illat hukumnya di sisi mujtahid yang menyamakannya. (Ghayah al-Wushul : 110)

 

Kemudian qiyas ini dilihat dari aspek kualitasnya terbagi dua, yaitu, qiyas jalii dan qiyas khafii.

1.  Pengertian qiyas al-Jalii

Qiyas jalii sebagaimana dijelaskan Zakariya al-Anshari adalah :

(ما قطع فيه بنفي الفارق) أي بإلغائه (أو) ما (قرب منه) بإن كان ثبوت الفارق أي تأثيره فيه ضعيفا بعيدا كل البعد

Qiyas yang dipastikan padanya ternafi al-fariiq (titik yang yang membedakan) dengan sebab membatalkan al-fariiq atau yang mendekatinya, yaitu adanya pengaruh al-fariiq pada qiyas tetapi dhaif dan sangat jauh.

 

Sesuai dengan penjelasan ini, qiyas al-jalii terbagi dalam dua katagori, yaitu :

a.  Qiyas yang dipastikan tidak ada titik yang membedakan antara maqiis dan maqiis ‘alaihi yang berakibat berbeda hukum antara keduanya (al-fariiq).

Contohnya, qiyas hamba sahaya perempuan kepada hamba sahaya laki-laki terkait hukum membebaskan hamba sahaya yang merupakan milik berkongsi. Dalam sebuah hadits shahih berbunyi :

مَن أَعْتَقَ شِرْكًا له في عَبْدٍ، فكان له مالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ العَبْدِ: قُوِّمَ عليه قِيمَةَ عَدْلٍ ، فأعطى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ، وعَتَقَ عليه العَبْدُ ، وإلا فقد عَتَقَ منه ما عَتَقَ

Barangsiapa yang memerdekakan apa yang menjadi miliknya pada diri seorang hamba sahaya dan ia masih mempunyai uang yang cukup untuk menebus sisanya, maka hendaknya sisanya tersebut dihargai dan diberikan kepada teman kongsinya sehingga hamba sahaya tersebut merdeka. Jika tidak ada, maka sesunggugnya ia telah memerdekakan apa yang menjadi miliknya.(Muttafqun ‘alaihi)

 

Berdasarkan hadits ini, seorang hamba sahaya laki-laki yang merupakan milik berkongsi antara beberapa orang apabila satu orang diantara mereka memerdekakan bagiannya, sedangkan ia mempunyai sejumlah harta yang mencukupi untuk menebus sisanya, maka ia berkewajiban memberikan harta tersebut kepada teman kongsinya untuk menebus sisanya dan hamba sahaya laki-laki itu merdeka karenanya. Adapun apabila tidak mempunyai sejumlah harta tersebut, maka hamba sahaya laki-laki itu hanya merdeka bagiannya saja. Pemberlakuan hukum kepada hamba sahaya laki-laki ini juga berlaku kepada hamba sahaya perempuan secara qiyas al-jalii, karena dapat dipastikan tidak ada titik yang membedakan antara keduanya.

b.  Qiyas yang ada titik yang membedakan antara maqiis dan maqiis ‘alaihi, namun pengaruhnya dalam pembedaan hukum antara keduanya sangat dhaif dan jauh.

Contohnya, qiyas ternak yang matanya buta sama sekali kepada ternak yang matanya buta sebelah saja dalam hal tidak memadai sebagai qurban yang ketentuannya berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :

أربع لا تجوز في الأضاحي العوراء البين عورها

Empat golongan yang tidak memadai pada qurban, yaitu yang buta sebelah matanya secara nyata. (H.R. Sunan yang Empat. Al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih)

 

Ada perbedaan antara keduanya (al-fariiq), yaitu ternak yang buta sama sekali digembala oleh pengembalanya kepada tempat pengembalaan yang baik sehingga berpotensi gemuk. Adapun ternak yang matanya buta sebelah  makannya masih diserahkan kepada kemampuan melihat matanya, meskipun sudah kurang satu mata. Matanya yang sudah berkurang ini menyebabkan berpotensia kurus. Pembedaan ini dibantah kembali, yang menjadi titik pandang dalam hal tidak memadai sebagai qurban bukanlah kurang gemuk (kurus), akan tetapi kurang bagus karena kurang sempurna kejadiannya

2.  Pengertian Qiyas al-Khafii

Qiyas al-khafii sebagaimana dijelaskan Zakariya al-Anshari adalah :

ما كان احتمال تأثير الفارق فيه إما قويا واحتمال نفي الفارق أقوى منه، وإما ضعيفا وليس بعيدا كل البعد

Qiyas yang kemungkinan pengaruh al-fariiq kuat, namun kemungkinan ternafi al-fariiq lebih kuat darinya atau qiyas yang kemungkinan pengaruh al-fariiq dhaif, akan tetapi tidak terlalu jauh.

 

Sesuai dengan penjelasan ini, qiyas al-khafii terbagi juga dalam dua katagori, yaitu :

a.  Qiyas yang kemungkinan pengaruh pembeda antara maqiis dan maqiis ‘alaihi yang berakibat berbeda hukum antara keduanya (al-fariiq).adalah kuat, namun kemungkinan ternafi al-fariiq tersebut lebih kuat lagi.

Contohnya, qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam penetapan hukuman qishas. Abu Hanifah berpendapat tidak wajib qishas pembunuhan dengan benda berat. Perbedaannnya, benda tajam memang merupakan alat yang dibuat untuk membunuh, sedangkan benda berat seperti tongkat merupakan alat yang dibuat untuk memberi adab, bukan untuk membunuh. Karena benda berat tidak dapat mengoyak tubuh. Pembedaan ini dibantah kembali. Yang dimaksud dengan benda berat yang disamakan hukumnya dengan benda tajam di sini adalah setiap benda yang pada kebiasaannya dapat membunuh seperti batu besar.

b.  Qiyas yang kemungkinan pengaruh al-fariiq adalah dhaif, akan tetapi tidak terlalu jauh.

Berikut ini beberapa pendapat lain terkait pengertian qiyas al-jalii dan al-khafii yang dikemukakan Zakariya al-Anshari, yaitu :

1.  Qiyas al-jalii sesuai dengan pengertian di atas, sedangkan qiyas al-khafii adalah qiyas syabah. Adapun qiyas al-wazhiih adalah qiyas yang berada antara keduanya

2.  Qiyas al-jalii adalah qiyas al-aulawi seperti qiyas memukul kedua orangtua kepada mengatakan “ah” dalam hal keharamannya. Sedangkan qiyas al-wazhiih adalah qiyas al-musawwi seperti qiyas membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim dalam keharamannya. Adapun qiyas al-khafii adalah qiyas al-adnaa seperti qiyas buah apel kepada gandum dalam hal ribawi. (Ghayah al-Wushul : 136-137 dan Syarah Jam’u al-Jawami’ beserta Hasyiahnya, al-Bananiy : 340)

 

Ada penjelasan lain terkait pengertian qiyas al-jalii dan qiyas al-khafii yang dikemukakan Imam al-Mawardi dalam kitab beliau, al-Hawi al-Kabir, yaitu sebagai berikut :

Qiyas al-jalii adalah :

ما يكون معناه في الفرع زائدا على معنى الاصل

Qiyas yang ‘illatnya pada furu’ melebihi ‘illatnya yang ada pada asal

 

Qiyas al-jalii terbagi dalam tiga pembagian, yaitu :

1.  Qiyas yang dikenali ‘illatnya dari dhahir nash tanpa perlu ada usaha pendalilian serta tidak dimungkinkan ta’abbud berbeda dengan asalnya. Contohnya firman Allah :

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا

Maka janganlah kamu katakana kepadanya “ah” dan jangan juga kamu hardik keduanya (Q.S. al-Isra’ : 22)

 

Keharaman mengatakan “ah” secara gamblang memberi petunjuk kepada haram memukul dan mencaci maki kedua orangtua. Karena itu, tidak mungkin kita mengatakan haram mengatakan “ah”, pada saat yang sama kita mengatakan halal memukul dan mencaci maki.

2.  Qiyas yang dikenali ‘illatnya dari dhahir nash tanpa perlu ada usaha pendalilian, akan tetapi  masih dimungkinkan ta’abbud berbeda dengan asalnya. Contohnya hadits Nabi SAW berbunyi :

أربع لا تجوز في الأضاحي العوراء البين عورها

Empat golongan yang tidak memadai pada qurban, yaitu yang buta sebelah matanya secara nyata. (H.R. Sunan yang Empat. Al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih)

 

Ternak yang matanya buta sama sekali dapat diqiyaskan kepada ternak yang matanya buta sebelah saja dalam hal tidak memadai sebagai qurban, meskipun dimungkinkan bertaa’bbud dengan tidak memadai berqurban ternak yang matanya buta sebelah saja, tetapi memadai qurban ternak yang matanya buta sama sekali.

3.  Qiyas yang dikenali ‘illatnya dari dhahir nash dengan usaha pendalilian dan dapat dikenali hanya semata-mata sedikit analisa. Contohnya, qiyas hamba sahaya perempuan kepada hamba sahaya laki-laki terkait hukum membebaskan hamba sahaya yang merupakan milik berkongsi. Dalam sebuah hadits shahih berbunyi :

مَن أَعْتَقَ شِرْكًا له في عَبْدٍ، فكان له مالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ العَبْدِ: قُوِّمَ عليه قِيمَةَ عَدْلٍ ، فأعطى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ، وعَتَقَ عليه العَبْدُ ، وإلا فقد عَتَقَ منه ما عَتَقَ

Barangsiapa yang memerdekakan apa yang menjadi miliknya pada diri seorang hamba sahaya dan ia masih mempunyai uang yang cukup untuk menebus sisanya, maka hendaknya sisanya tersebut dihargai dan diberikan kepada teman kongsinya sehingga hamba sahaya tersebut merdeka. Jika tidak ada, maka sesunggugnya ia telah memerdekakan apa yang menjadi miliknya.(Muttafqun ‘alaihi)

 

Pemberlakuan hukum kepada hamba sahaya laki-laki sebagaimana dijelaskan dalam hadits ini juga berlaku kepada hamba sahaya perempuan secara qiyas al-jalii.

Qiyas al-khafii adalah :

مَا خَفِيَ مَعْنَاهُ فَلَمْ يُعْرَفْ إِلَّا بِالِاسْتِدْلَالِ وَيَكُونُ مَعْنَاهُ فِي الْفَرْعِ مُسَاوِيًا لِمَعْنَى الْأَصْلِ.

Qiyas yang tersembunyi ‘illatnya. Karena itu, tidak dikenalinya kecuali dengan upaya pendalilian. Sedangkan ‘illatnya pada furu’ sama kekuatannya dengan ‘illat asal.

 

Qiyas al-khafii ini juga terbagi dalam tiga pembagian, yaitu :

1.  Qiyas yang ‘illatnya laa-ih (dengan isyarat tersembunyi) yang dikenali dengan upaya pendalilian yang disepakati. Contohnya,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ

Diharamkan atasmu ibu-ibumu, anak-anakmu, saudara-saudara perempuanmu, bibi sebelah ayah dan bibi sebelah ibumu (Q.S. al-Isra’ : 23)

 

Bibi ayah sebelah ayahnya (‘ammah ayah) dan para nenek sebelah ayah juga menjadi mahram karena qiyas kepada bibi sebelah ayah. Demikian juga bibi ayah sebelah ibunya (khallah ayah) dan para nenek sebelah ibu juga menjadi mahram karena qiyas kepada bibi sebelah ibu. Kedua qiyas ini ‘illatnya adalah sama sama ada ikatan rahim. Namun ‘illatnya ini dihasilkan dari isyarat tersembunyi, karena masih memungkinkan pengelompokannya  berkisar antara al-jalii dan al-khafii.

2.  Qiyas yang ‘illatnya ghaamizh (tidak terang) karena pendalilian yang diperselisihkan. Contohnya dalam hal menentukan ‘illat ribawi gandum yang ada ketentuan nash atas ribawinya. Jika ‘illatnya makanan, maka diqiyaskan kepadanya setiap yang dimakan dan jika ‘illatnya makanan yang mengenyangkan, maka diqiyas kepadanya setiap makanan yang mengenyangkan dan juga  jika ‘illatnya timbangan/takaran, maka diqiyas kepadanya setiap yang ada timbangan/takaran. ‘illat ini karena terjadi perbedaan titik pandang, maka membutuhkan tarjih untuk menentukan ‘illatnya.

3.  Qiyas yang ‘illatnya mutasyabih (samar-samar), yaitu qiyas yang nash dan ‘illatnya membutuhkan kepada upaya pendalilian. Contohnya penetapan Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

Dari ‘Aisyah r.a, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi SAW dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah SAW bersabda, “Keuntungan adalah imbalan atas tanggungjawab resiko” (Hadits shahih riwayat Syafi’i, Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Hibban)

 

Dengan jalan pendalilian, diketahui bahwa kharaj adalah manfaat dan dhaman adalah tanggungjawab resiko dalam jual beli, artinya siapa yang bertanggung jawab resiko dalam jual beli seperti hilang benda yang dijual, maka seandainya dapat manfaat, maka itu adalah miliknya. Melalui pendalilian, didapati beberapa ‘illat yang berbeda-beda sesuai dengan jalan pendaliliannya. Ulama yang menjadikan ‘illatnya adalah atsar (bekas/dampak yang tidak berbentuk benda), apabila pembeli mengembalikan benda yang dibelinya karena cacat, maka manfaat dalam bentuk benda seperti buah dari pohon dan anak dari hewan yang dibeli tidak akan menjadi milik sipembeli. Demikian juga apabila yang menjadikan ‘illatnya sesuatu yang tidak sama dengan jenis benda yang dibeli, maka manfaat seperti buah dari pohon yang dibeli menjadi milik sipembeli, tidak anak dari hewan yang dibelinya. Imam Syafi’i menjadikan ‘illatnya namaa’ (sesuatu yang berkembang dari benda yang dibeli), maka setiap yang muncul dari benda yang dibeli, baik dalam bentuk buah maupun anak menjadi milik sipembeli.

(al-Hawi al-Kabiir : XVI/144-148)

 

Qiyas al-Jalii dapat menggugurkan keputusan hakim

Keputusan hakim dapat dinyatakan gugur dan tidak berlaku apabila bertentangan dengan qiyas al-jalii. Terkait ini, Ibnu Hajar al-Haitamiy menyebut qaidah yang berbunyi :

أَنَّ قَضَاءَ الْقَاضِي يُنْقَضُ إذَا خَالَفَ أَحَدَ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: الْإِجْمَاعَ، أَوْ النَّصَّ، أَوْ الْقَاعِدَةَ، أَوْ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ

Sesungguhnya keputusan hakim dapat dinyatakan gugur apabila menyalahi salah satu dari empat perkara, yaitu ijmak, nash, qaidah atau qiyas al-jalii (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa : IV/192)

 

Syeikh al-Zarkasyi mengatakan “

مدار نقض الحكم على تبين الخطأ والخطأ إما في إجتهاد الحاكم في الحكم الشرعي حيث تبين النص أو الإجماع أو القايس الجلي بخلافه

Pusaran gugur hukum adalah atas nyata salah, yaitu adakalanya pada ijtihad hakim pada hukum syar’i dengan sebab nyata nash, ijmak atau qiyas al-jalii menyalahinya (Al-Mansur fi al-Qawaid : II/69)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar