Minggu, 28 Mei 2017

Hukum shalat Tarawih sebelum qadha shalat fardhu

Masalah ini kembali kepada masalah meninggalkan shalat, apakah wajib diqadha secara segera atau tidak. Rincian hukum orang yang meninggalkan shalat adalah sebagai berikut :
  1. apabila ditinggalkan karena adanya ‘uzur maka tidak wajib diqadha dengan segera, tetapi hanya sunat hukumnya. Karena itu, dibolehkan baginya mengerjakan hal-hal lain yang tidak wajib.
  2.  apabila dtinggalkan tanpa uzur maka wajib segera diqadha, dan haram menggunakan waktu untuk hal-hal yang lain selain mengqadha shalat fadhu tersebut termasuk juga untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan sunat kecuali untuk keperluan-keperluan yang tidak boleh ditinggalkan seperti makan, minum dan lain-lain.
Berikut nash ulama fiqh mengenai hukum qadha shalat fardhu, yakni sebagai berikut :
1.    Al-Khathib al-Syarbaini mengatakan :
مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ أَوْ نِسْيَانٍ لَمْ يَلْزَمُهُ قَضَاؤُهَا فَوْرًا. لَكِنْ يُسَنُّ لَهُ الْمُبَادَرَةُ بِهَا أَوْ بِلَا عُذْرٍ لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا فَوْرًا لِتَقْصِيرِهِ
Barangsiapa yang meninggalkan shalat tanpa ‘uzur seperti tertidur atau lupa, maka tidak wajib qadhanya dengan segera, akan tetapi sunnat menyegerakannya atau meninggalkan nya tanpa ‘uzur, maka wajib qadhanya dengan segera karena ada kelalaian.[1]

2.    Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfatul Muhtaj mengatakan :
ويجب تقديم ما فات بغير عذر على ما فات بعذر وإن فقد الترتيب؛ لأنه سنة، والبدار واجب ومن ثم وجب تقديمه على الحاضرة إن اتسع وقتها، بل لا يجوز كما هو ظاهر لمن عليه فائتة بغير عذر أن يصرف زمنا لغير قضائها كالتطوع إلا ما يضطر إليه لنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو لفعل واجب آخر مضيق يخشى فوته
Wajib mendahulukan kewajiban yang luput tanpa ‘uzur atas yang luput dengan sebab ‘uzur, meskipun hilang tertib karena tertib itu hanya sunnat, sedangkan menyegerakan qadha hukumnya wajib. Karena itu, wajib mendahulu qadhanya atas shalat hadhir jika waktunya masih lapang. Bahkan tidak boleh sebagaimana dhahirnya atas orang yang ada kewajibannya yang luput tanpa ‘uzur menggunakan waktu selain mengqadhanya, seperti ibadah sunnat kecuali perbuatan yang tidak boleh tidak seperti tidur, mencari belanja untuk orang-orang yang wajib belanja atasnya atau perbuatan wajib lainnya yang sempit waktu yang dikuatirkan luputnya.[2]

Selanjutnya al-Syarwani dalam mengomentari perkataan pengarang Tuhfah di atas, mengatakan :
(قوله: كالتطوع) أي: يأثم به مع الصحة خلافا للزركشي
Perkataan pengarang seperti ibadah sunnat, maksudnya berdosa melakukannya, akan tetapi sah. Ini khilaf dengan pendapat al-Zarkasyi.[3]

3. Al-Khathib al-Syarbaini dalam Hasyiah Bujairumi ‘ala Khatib mengatakan :
ومن غير العذر أن تفوته الصلاة في مرضه فيجب عليه قضاؤها فورا بأن يشتغل جميع الزمن بقضائها ما عدا ما يضطر إليه من أكل وشرب ومؤن ممونه، بل يحرم فعل التطوع ما دامت في ذمته فتجب المبادرة ولو على حاضرة إن اتسع وقتها، بل لا يجوز كما هو ظاهر لمن عليه فوائت بغير عذر أن يصرف زمنا لغير قضائها كالتطوع إلا ما يضطر إليه لنحو نوم أو مئونة أو لفعل واجب مضيق يخشى فوته اهـ تحفة
Termasuk tidak ‘uzur luput shalat pada waktu sakitnya. Karena itu, wajib atasnya qadha shalatnya dengan segera, yakni dengan menggunakan semua waktu untuk mengqadhanya  selain yang tidak boleh tidak seperti makan, minum dan belanja orang wajib belanja atasnya. Bahkan haram melakukan ibadah sunnat selama shalat wajib dalam tanggungjawabnya. Karena itu, wajib menyegerakannya, meskipun atas shalat wajib yang hadhir jika waktunya lapang. Bahkan tidak boleh sebagaimana dhahirnya atas orang yang ada kewajibannya yang luput tanpa ‘uzur menggunakan waktu selain mengqadhanya, seperti ibadah sunnat kecuali perbuatan yang tidak boleh tidak seperti tidur, mencari belanja atau perbuatan wajib lainnya yang sempit waktu yang dikuatirkan luputnya. Demikian Tuhfah.[4]

Berdasarkan rincian tersebut di atas, dapat di ketahui hukum melaksanakan shalat sunnat seperti shalat Tarawih bagi orang yang belum habis mengqadha shalat fardhunya. Bila shalat fardhu tersebut di tinggalkan tanpa ‘uzur, maka wajib terhadapnya mempergunakan segenap waktu untuk mengqadha shalat tersebut, tidak boleh mengerjakan hal-hal lain walaupun perbuatan tersebut sunat termasuk juga shalat Tarawih. Namun demikian shalat sunnat yang ia kerjakan tersebut tetap sah, meskipun haram melakukannya.






[1] Al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Marifah, Beirut, Juz. I, Hal.489
[2] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarwani  ‘ala Tuhafah), Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. I, Hal. 440
[3] Al-Syarwani,  Hasyiah al-Syarwani  ‘ala Tuhafah, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. I, Hal. 440
[4] Al-Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirrut, Juz. II, Hal. 42

Jumat, 26 Mei 2017

Hadits puasa Ramadhan tergantung antara langit dan bumi kecuali setelah menunai zakat fitrah

Teks hadits ini berbunyi sebagai berikut :
إن شهر رمضان معلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
Sesungguhnya bulan Ramadhan digantung antara langit dan bumi dan tidak diangkat kecuali dengan menunai zakat fitrah.

Al-Manawi dalam kitabnya mengatakan,  hadits ini telah diriwayat oleh Ibnu Shashari Qadhi al-Qudha dalam kitab Amaali al-Haditsiyyah dan al-Dailamy dari Jarir, namun didalamnya ada yang dhaif.[1] Kemudian dalam halaman lain, al-Manawi juga mengatakan, hadits ini juga diriwayat oleh Ibnu Syahiin dalam kitab al-Targhib dan al-Zhiya’ dalam kitab al-Mukhtarah. Ibnu al-Jauzi juga telah meriwayat hadits ini dalam al-Wahiyaat dengan mengatakan, hadits ini tidak shahih, di dalam sanadnya ada Muhammad bin Ubaid al-Bashri, sedangkan dia majhul.[2]
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, hadits ini hasan gharib.[3]
Makna Hadits
Dhahir kandungan hadits ini diterima amalan puasa tergantung kepada menunai zakat fitrah. Namun Abu Bakar Syatha dalam Kitab i’anah al-Thalibin mengatakan :
خبر إن صوم رمضان معلق بين السماء والأرض، لا يرفع إلا بزكاة الفطر.وهو كناية عن توقف تمام ثوابه، حتى تؤدى الزكاة، فلا ينافي حصول أصل الثواب بدونها.
Hadits sesungguhnya puasa Ramadhan tergantung antara langit dan bumi dan tidak diangkat kecuali dengan menunai zakat fitrah. Hadits ini merupakan kinayah dari tergantung kesempurnaan pahala puasa Ramadhan sehingga ditunai zakat. Karena itu tidak menafikan memperoleh asal pahala tanpa zakat.[4]

Sulaiman al-Jamal dalam kitab al-Jamal ‘ala Syarah al-Manhaj mengatakan :
والظاهر ان ذالك كناية عن عدم ترتب فائدة عليه اذا لم تخرج زكاة الفطرة لكن بمعنى توقف ترتب ثوابه العظيم على اخراجها بالنسبة للقديرعليها المخاطب بها عن نفسه فحنئذ لا يتم له جميع ما رتب على صوم رمضان من الثواب وغيره الا باخراج زكاة الفطر
Dhahirnya sesungguhnya hal tersebut merupakan kinayah dari tidak mendapatkan faedah puasa apabila tidak dikeluarkan zakat fitrah, akan tetapi dengan makna tergantung pahalanya yang besar atas mengeluarkan zakat kepada orang yang mampu dan diperintahnya. Maka ketika itu, tidak sempurna semua yang dikaruunia bagi puasa Ramadhan, baik pahala maupun lainnya kecuali dengan mengeluarkan zakat fitrah.[5]

Al-Syarwani juga mengatakan hal yang sama, yakni sebagai berikut :
وَالظَّاهِرُ أَنَّ ذَلِكَ كِنَايَةٌ عَنْ تَوَقُّفِ تَرَتُّبِ ثَوَابِهِ الْعَظِيمِ عَلَى إخْرَاجِهَا بِالنِّسْبَةِ لِلْقَادِرِ عَلَيْهَا الْمُخَاطَبِ بِهَا عَنْ نَفْسِهِ فَلَا يُنَافِي حُصُولَ أَصْلِ الثَّوَابِ
Dhahirnya sesungguhnya hal tersebut merupakan kinayah dari tergantung mendapatkan pahala puasa yang besar atas mengeluarkan zakat fitrah kepada orang yang mampu dan diperintahnya, maka tidak menafikan memperoleh asal pahala.[6]






[1] Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 455, No. 2287
[2] Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 166, No. 4905
[3] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak bersama Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muuhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 305
[4] Abu Bakar Syatha, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 167
[5] Sulaiman al-Jamal, al-Jamal ‘ala Syarah al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Juz II, Hal. 171
[6] Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muuhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 305

Jumat, 19 Mei 2017

Meninggalkan Shalat Bisa Membuat Kafir ?

Para ulama membagikan orang yang meninggalkan shalat dalam dua katagori, yakni : 1. Meninggalkan shalat serta mengingkari kewajibannya
2. Meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya.
Adapun meninggalkan shalat serta mengingkari kewajibannya, ini disepakati dapat menjadi kafir, karena mengingkari kewajiban shalat sama halnya mengingkari al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena kewajiban shalat termasuk dalam katagori perintah yang sharih dan jelas disebut dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta menjadi ijmak ulama. Dalam kitab Raudhah al-Thalibin disebutkan :
وَهُوَ ضَرْبَانِ.أَحَدُهُمَا: تَرْكُهَا جَحْدًا لِوُجُوبِهَا، فَهُوَ مُرْتَدٌّ تَجْرِي عَلَيْهِ أَحْكَامُ الْمُرْتَدِّينَ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ قَرِيبَ عَهْدٍ بِالْإِسْلَامِ، يَجُوزُ أَنْ يَخْفَى عَلَيْهِ وُجُوبُهَا، وَيَجْرِي هَذَا الْحُكْمُ فِي جُحُودِ كُلِّ حُكْمٍ مُجْمَعٍ عَلَيْهِ.قُلْتُ: أَطْلَقَ الْإِمَامُ الرَّافِعِيُّ الْقَوْلَ بِتَكْفِيرِ جَاحِدِ الْمُجْمَعَ عَلَيْهِ، وَلَيْسَ هُوَ عَلَى إِطْلَاقِهِ، بَلْ مَنْ جَحَدَ مُجْمَعًا عَلَيْهِ فِيهِ نَصٌّ، وَهُوَ مِنْ أُمُورِ الْإِسْلَامِ الظَّاهِرَةِ الَّتِي يَشْتَرِكُ فِي مَعْرِفَتِهَا الْخَوَاصُّ وَالْعَوَامُّ، كَالصَّلَاةِ، أَوِ الزَّكَاةِ، أَوِ الْحَجِّ، أَوْ تَحْرِيمِ الْخَمْرِ، أَوِ الزِّنَا، وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَهُوَ كَافِرٌ
Yang meninggalkan shalat terbagi dua. Salah satunya meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya, maka dia murtad, berlaku atasnya hukum orang murtad kecuali orang yang masih baru dalam Islam dimana bisa jadi dia masih belum tahu kewajiban shalat atasnya. Hukum ini berlaku pada mengingkari setiap hukum yang ijmak atasnya. Aku (al-Nawawi) mengatakan, Imam al-Rafi’i menyebut secara mutlaq pernyataan kafir orang yang mengingkari hukum yang ijmak, padahal itu tidak berlaku secara mutlaq, akan tetapi itu hanya pada orang yang mengingkari hukum yang ijmak yang ada nash atasnya serta termasuk perkara Islam yang dhahir yang diketahui baik khawas maupun awam, seperti kewajiban shalat, zakat, haji, haram khamar, zina dan lain-lain. Maka yang mengingkarinya adalah kafir.[1]

            Terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya. Ibn al-Mubarak, Ahmad, Ishaq dan Ibn Habib dari pengikut mazhab Malik dan sebagian ulama dari pengikut  mazhab Syafi’i berpendapat menjadi kafir. Pendapat ini juga dihikayah dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan al-Hukm al-‘Ayyinah. Jumhur ulama berpendapat sebaliknya, yakni tidak menjadi kafir orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya. Pendapat ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan salah satu riwayat dari Ahmad.[2] Dalam Syarah Muslim, Imam al-Nawawi mengatakan, Malik, Syafi’i dan jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat orang yang meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya tidak menjadi kafir, akan tetapi hanya fasiq dan diminta taubat. Seandainya tidak mau taubat, maka dibunuh sebagai hukuman hudud. Sekelompok ulama salaf lainnya berpendapat menjadi kafir. Pendapat ini diriwayat sebagai pendapat Ali bin Abi Thalib dan salah satu pendapat Ahmad bin Hanbal. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibn al-Mubarak, Ishaq bin Rahawaih dan sebagian pengikut mazhab Syafi’i. Abu Hanifah, satu jama’ah dari penduduk Kufah dan al-Muzani berpendapat tidak menjadi kafir dan tidak dihukum dengan bunuh, akan tetapi dita’zir dan ditahan dalam penjara sehingga mau melakukan shalat.[3]
Dalil yang dikemukakan Jumhur Ulama
Adapun dalil jumhur ulama yang berpendapat tidak menjadi kafir orang yang meninggalkan shalat karena malas adalah sebagai berikut :
1.    Ijmak kaum Ahlussunnah wal Jama’ah dosa besar tidak menjadikan seseorang yang beriman menjadi kafir. Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim menyebutkan :
مَعَ إِجْمَاعِ أَهْلِ الْحَقِّ عَلَى أَنَّ الزَّانِيَ وَالسَّارِقَ وَالْقَاتِلَ وَغَيْرَهُمْ مِنْ أَصْحَابِ الْكَبَائِرِ غَيْرِ الشِّرْكِ لَا يَكْفُرُونَ بِذَلِكَ بَلْ هُمْ مُؤْمِنُونَ نَاقِصُو الْإِيمَانِ إِنْ تَابُوا سَقَطَتْ عُقُوبَتُهُمْ وَإِنْ مَاتُوا مُصِرِّينَ عَلَى الْكَبَائِرِ كَانُوا فِي الْمَشِيئَةِ
Ijmak ulama ahlulhaq bahwa penzina, pencuri, pembunuh dan lainnya dari orang –orang yang berbuat dosa besar selain syirik adalah tidak menjadi kafir, akan tetapi mereka adalah orang mukmin yang kurang imannya, seandainya mereka taubat, maka gugurlah siksaan atas mereka dan seandainya mati dalam keadaan tetap dengan dosa besar, maka mereka berada dalam kehendak Allah.[4]

Imam al-Thahawi al-Hanafi mengatakan :
لا نكفر احدا من اهل القبلة بذنب ما لم يستحله
Kita tidak mengkafirkan seseorang dari ahli qiblat dengan sebab dosa selama tidak menghalalkannya.[5]

Dalam kitab Jauharah al-Tauhid disebutkan :
اذ جائز غفران غير الكفر فلا نكفر مؤمنا بالوزر
Karena boleh mengampuni dosa selain kufur, karena itu, kita tidak mengkafirkan orang mukmin dengan sebab dosanya.[6]

I’tiqad Ahlusunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan di atas, ini didasakan antara lain :
a.    Firman Allah berbunyi :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاء
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa’ : 48)

Dalam tafsirnya, Al-Allusi mengatakan syirik ada bermakna i’tiqad bagi Allah ada sekutu baginya, baik pada uluhiyah maupun pada rububiyah-Nya dan ada juga bermakna kufur secara mutlaq. Makna yang kedua yang dimaksudkan di sini. Selanjutnya beliau mengatakan, dengan demikian Yahudi masuk dalam kandungan maksud syirik dalam ayat ini secara aula (lebih patut) dari pada kekufuran lainnya, karena ada nash syara’ yang menyebut Yahudi sebagai syirik.[7] Al-Razi dalam tafsirnya, mengatakan bahwa Yahudi masuk dalam maksud syirik pada ayat ini. Ada dua alasan yang beliau kemukakan : Alasan pertama ; ayat ini menerangkan selain syirik dimaafkan jika Allah berkehendak. Seandainya Yahudi tidak masuk dalam kandungan maksud syirik pada ayat ini, maka sungguh Yahudi termasuk dalam golongan yang dimaafkan berdasarkan ayat ini. Ini tentu bertentangan dengan ijmak yang mengatakan Yahudi tidak dimaafkan. Alasan kedua ; ayat ini bersambung dengan ayat sebelumnya yang menerangkan celaan terhadap Yahudi. Karena itu, Yahudi masuk dalam maksud syirik di sini.[8]
Berdasarkan penjelasan di atas, dipahami bahwa Yahudi termasuk dalam kandungan maksud syirik dalam ayat di atas. Sementara itu, diketahui Yahudi tidaklah masuk dalam katagori syirik dengan makna menduakan Allah. Dengan demikian, maka pengertian syirik dalam ayat ini adalah kufur secara mutlaq, baik itu ada unsur syirik (dengan makna menduakan Allah) atau tidak, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Allusi dalam tafsirnya di atas.
Dengan penjelasan ini, karena meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya, maka  tidak termasuk dalam kandungan maksud syirik. Tidak masuknya karena beralasan :
1). Tidak ada i’tiqad menduakan Allah
2). Tidak ada pengingkaran perintah Allah (kufur)
Dengan tidak masuknya meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya dalam katagori syirik pada ayat ini, maka orang yang meninggalkan shalat tipe ini masuk dalam firman Allah “Dia mengampuni segala dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. Sedangkan orang yang diampuni dosanya, disepakati para ulama adalah orang-orang yang masih dalam keadaan beriman. Alhasil berdasarkan ayat ini,  meninggalkan shalat bukan karena mengingkari kewajibannya, akan tetapi hanya karena malas melakukannya tidaklah menyebabkannya menjadi kafir.
2.    Hadist riwayat Abu Sa’id r.a. sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
إِذَا دَخَلَ أَهْلُ الجَنَّةِ الجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، يَقُولُ اللَّهُ: مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيمَانٍ فَأَخْرِجُوهُ، فَيَخْرُجُونَ قَدْ امْتُحِشُوا وَعَادُوا حُمَمًا، فَيُلْقَوْنَ فِي نَهَرِ الحَيَاةِ، فَيَنْبُتُونَ كَمَا تَنْبُتُ الحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ
Ketika ahli surga masuk surga dan ahli neraka masuk neraka, Allah berfirman, barangsiapa yang ada dalam hatinya iman meski seberat biji sawi, maka keluarkanlah (dari neraka). Lalu mereka dikeluarkan, sedangkan mereka sudah terbakar dan kembali dalam keadaan gosong. Kemudian mereka di bawa ke dalam sungai Hayah (air kehidupan). Maka mereka tumbuh sebagaimana tumbuhnya bibit tanaman di aliran air (H.R. Bukhari).[9]

Dalam hadits ini ditegaskan, seseorang yang mempunyai iman meski hanya sebesar biji sawi setelah disiksa dalam api neraka karena dosa-dosa yang dilakukannya, Allah memerintahkan supaya mereka dikeluarkan darinya. Dengan demikian, orang yang meningggalkan shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya selama masih mengimani kewajiban tersebut tidaklah kekal dalam api neraka. Karena itu, tidak meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya selama mengingkari kewajiban tersebut, maka orangnya masih dikatagori mukmin. Karena hanya orang mukmin yang tidak kekal dalam api neraka. Selainnya abadi dalam neraka.
3.     Hadist riwayat Ubadah bin As-samit, ia berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهن اللَّهُ من احسن وضوءهن وصلاهن لوقتهن واتم ركوعهن وخشوعهن كان له عند الله عهد ان يغفرله ومن لم يفعل فليس له عند الله عهد إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
Lima waktu shalat yang diwajibkan Allah. Barangsiapa yang memperbaguskan wudhu’nya dan shalat mereka dalam waktu serta menyempurnakan rukuk dan khusyu’nya, maka dia memiliki janji dengan Allah mengampuninya dan barangsiapa yang tidak melakukannya, maka dia tidak mempunyai janji dengan Allah. Apabila berkehendak, Allah akan mengazabnya dan apabila berkehendak, Allah akan mengampuninya.(H.R. Abu Daud, al-Nisa-i dan Ibnu Majah dengan isnad shahih).[10]

Hadits ini menegaskan orang yang tidak menyempurnakan shalat tidak mempunyai janji dengan Allah (mendapat azab), namun demikian azab Allah tersebut masih ada kemungkinan ampunan dari-Nya. Hanya orang mukmin yang mendapat ampunan dosa di hari akhirat kelak. Dengan demikian, orang yang meninggalkan shalat dan kewajiban lainnya selama tidak mengingkari kewajibannya masih dalam katagori beriman, tidak menjadi kafir.
4.     Sabda Nabi SAW berbunyi :
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang mati dalam keadaan meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah, maka dia masuk surga (H.R. Muslim)[11]

Hadits ini menjelaskan kepada kita keyakinan tauhid menjamin seseorang masuk surga kelak, meskipun diazab lebih dahulu karena berbuat maksiat. Artinya maksiat tidak menyebabkan hilang iman seseorang. Maksiat karena meninggalkan shalat temasuk dalam katagori ini.
5.    Hadist Aisyah r.a. dengan sanad marfu’, Rasulullah SAW  bersabda :
الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - ثَلَاثَةٌ فَدِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ. فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، قَالَ اللَّهُ - عَزَّ وَجَلَّ -: مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ، مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرَكَهُ، أَوْ صَلَاةٍ تَرَكَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ ذَلِكَ، وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ.
Ada tiga catatan disisi Allah Azza wajalla; catatan yang tidak Allah peduli sama sekali, catatan yang tidak Allah tinggalkan darinya sedikitpun, dan catatan yang Allah tidak akan mengampuninya. Adapun catatan yang tidak akan diampuni oleh Allah, yaitu syirik kepada Allah. Allah Azza wajalla berfirman: Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan surga untuknya, sedangkan catatan yang tidak dipedulikan oleh Allah adalah kezhaliman seorang hamba terhadap dirinya dan antara dia dengan Tuhannya, dari puasa sehari yang ia tinggalkan maupun shalat yang tidak ia lakukan. Sesungguhnya Allah akan mengampuninya dan akan memaafkannya jika Dia menghendaki.(H.R. Ahmad)[12]
           
            Dalam sanadnya ada Shadaqah bin Musa, Jumhur telah mendha’ifkannya. Muslim bin Ibrahim mengatakan, telah memberikan hadits kepada kami oleh Shadaqah bin Musa, sedangkan dia itu shaduq (berkata benar). Rijal lainnya terpercaya.[13]
            Hadits ini juga menegaskan orang yang meninggalkan shalat masih ada kemungkinan ampunan dosanya dari Allah Ta’ala.
6.    Umat Islam dari zaman awal Islam sampai sekarang selalu saling mewarisi, meskipun sebagian mereka meninggalkan shalat. Seandainya meninggalkan shalat menjadi kafir, tentu tidak ada saling mewarisi. Hujjah ini salah satu hujjah yang dikemukan oleh al-Nawawi.[14]
Bantahan terhadap pendapat meninggalkan shalat secara mutlaq dapat menjadikan kafir

1.    Nabi SAW bersabda :
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ ترك الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
Perbedaan antara kita dan mereka adalah meninggalkan shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya sungguh menjadi kafir.

Hadits ini diriwayat oleh al-Turmidzi, al-Nisa-i, Ibn Majah. Ibnu Hibban meriwayat dengan lafazh :
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ
Perjanjian (pembatas) antara kita dan mereka adalah shalat.

       Al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih gharib.[15]
            Berdasarkan hadits ini, Nabi SAW menjelaskan kepada kita bahwa shalat menjadi pembeda antara seorang mukmin dan kafir. Karena itu, barangsiapa yang melaksanakan shalat maka dia adalah mukmin dan barangsiapa yang tidak shalat, maka adalah kafir. Yang senada dengan hadits di atas adalah :
2.    Hadits Nabi SAW berbunyi :
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ                          
Perbedaan antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.(H.R. Muslim)[16]

Jawaban kita :
Al-Iraqi dalam kitabnya, menyebutkan beberapa jawaban dalam memahami hadits-hadits ini, yaitu :
a.       Orang yang meninggalkan shalat akan dihukum sebagaimana hukuman atas orang kafir, yaitu dibunuh.
b.      Hadits-hadits di atas diposisikan pada orang yang menghalalkan meninggalkan shalat tanpa uzur
c.       Maksud kafir dalam hadits-hadits ini adalah mendekati kepada kafir sebagaimana dikatakan, maksiat menghendaki kepada kufur
d.      Perbuatannya adalah perbuatan kufur.[17]
Pemahaman yang dikemukakan oleh al-Iraqi ini harus menjadi pegangan supaya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dikemukakan sebelum ini (dalil jumhur ulama), yang secara tegas dipahami bahwa orang meninggalkan shalat tidaklah menjadi kafir. Adapun penyebutan kafir terhadap pelaku maksiat, meskipun maksiat tersebut disepakati tidak menjadi kafir pelakunya dapat disimak dari contoh nash syara’ berikut :
1). Hadist Nabi SAW berbunyi :
سَبَّابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya adalah tindakan kufur.(H.R. al-Thabrani)[18]

Rijalnya rijalnya shahih, kecuali Abi al-Khalid Walibi, dia itu terpercaya.[19]
2). Hadits Nabi SAW berbunyi :
اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ
Dua perbuatan yang termasuk dalam kekufuran mencela keturunan dan meratapi mayit (H.R. Muslim).[20]

3.    Ibnu Majah meriwayat dari Anas dari Nabi SAW bersabda :
ليس بَيْنَ العبدِ وَالْكُفْرِ او الشِّرْكِ الا تَرْكُ الصَّلاَةِ
Tidak ada perbedaan di antara seorang hamba dan kekafiran atau kesyirikan kecuali meninggalkan shalat.(H.R. Ibnu Majah)[21]

Jawab kita :
Menurut al-Darulquthni, yang lebih mendekati kebenaran, hadits ini bukan dari Anas, akan tetapi dari al-Rabi’ bin Anas secara mursal.[22] Dengan demikian, hadits ini dhaif tidak dapat menjadi hujjah. Seandainya hadits ini shahih, maka maksudnya harus dipahami sebagaimana tiga hadits di atas berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan.
4.    Hadist Nabi SAW yang diriwayatkan Anas r.a., berbunyi :
مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ كَفَرَ جِهَارًا
Barangsiapa yang dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia nyata telah kafir (H.R.  al-Thabrani)[23]

Jawaban kita :
Hadits dengan redaksi ini diriwayat oleh al-Thabrani dalam kitabnya,  al-Mu’jam al-Ausath dengan sanad sebagaimana hadits nomor tiga di atas.[24] Dengan demikian, penjelasannya sama dengan hadits nomor tiga tersebut.
5.    Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a :
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَالصَّلَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ فَمَنْ تَرَكَ، وَاحِدَةً مِنْهُنَّ كَانَ كَافِرًا حَلَالَ الدَّمِ
 Islam dibangun atas ada lima pondasi, syahadah Laa ilaha illallah, shalat, puasa Ramadhan dan siapa yang meninggalkan salah satu di antaranya , berarti ia kafir terhadapnya dan halal darahnya (H.R. al-Thabrani).[25]

Jawaban kita :
Menurut al-Iraqi, perawi hadits ini, yakni Abu al-Jauza’ al-Rubu’i ragu-ragu  dalam menyandarkan hadits ini kepada Nabi SAW melalui Ibnu Abbas.[26] Lagi pula, seandainya makna hadits ini dipahami secara dhahir, maka akan rancu. Karena tidak ada ulama Islam yang berpendapat meninggalkan puasa Ramadhan dapat menyebabkan kafir. Sedangkan dhahir hadits ini, meninggalkan salah satu lima pondasi Islam yang di antaranya adalah puasa Ramadhan dapat menyebabkan kafir. Alhasil, seandainya hadits ini shahih, maka harus dipahami dapat menjadi kafir apabila disertai i’tiqad menghalalkan meninggalkannya.
6.    Hadist dari Mu’adz r.a. berbunyi :
مَنْ تَرَكَ صَلاَةً مَكْتُوْبَةً مُتَعَمِّدًا فًقًدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ الله.
Barangsiapa meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja maka dia telah lepas dari perlindungan Allah.(H.R. Ahmad dan al-Thabrari)[27]
           
Jawaban kita :
Al-Haitsami mengatakan, rijal Ahmad terpercaya, akan tetapi Abdurrahman bin Jubair bin Nufair tidak mendengar dari Mu’adz. Sedangkan isnad al-Thabrani muttashil, namun dalam sanadnya ada Amr bin Waqid al-Qurasyi, dia ini pendusta.[28] Al-Iraqi mengatakan, dalam sanad hadits ini ada Amr bin Waqid, dia munkar hadits sebagaimana dijelaskan oleh al-Bukhari.[29]
7.    Hadits dari ‘Ubadah bin al-Shamid, Rasulullah SAW berkata :
وَلَا تَتْرُكُوا الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا، فَقَدْ خَرَجَ مِنَ الْمِلَّةِ
Jangan kamu meninggalkan shalat dengan sengaja. Barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja, maka sungguh telah keluar dari agama.(H.R. al-Thabrani)[30]

Jawaban kita :
            Dalam sanadnya ada Salamah bin Syuraih. Tentang beliau ini, Al-Zahabi mengatakan, tidak dikenal. Adapun rijal lainnya rijal shahih.[31] Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh al-Iraqi.[32]
8.    Al-Bazaar dalam Musnadnya dari hadits Abu Dardaa’, beliau berkata :
اوصاني خليلي صلعم ان لا اشرك بالله شيأ وان حرقت وان لا اترك صَّلَاةَ مكتوبة مُتَعَمِّدًا فَمَنْ تَرَكَهَا مُتَعَمِّدًا، فَقَدْ كفر
Kekasihku Rasulullah SAW memberikan wasiat kepadaku supaya tidak berlaku syirik kepada Allah, meskipun dibakar dan tidak meninggalkan shalat fardhu secara sengaja. Maka barangsiapa yang meninggalkannya secara sengaja, sungguh ia menjadi kafir (H.R. al-Bazaar)

Jawaban kita :
            Al-Iraqi mengatakan, dalam sanadnya ada Syahr bin Hausyab. Telah ikhtilaf ulama tentangnya. Al-Nawawi dalam Khulasah mengatakan, hadits ini hadits munkar.[33] Dengan demikian, hadits juga tidak dapat menjadi hujjah.
9.    Dari Abdullah bin Umar dari Nabi SAW :
أَنَّهُ ذَكَرَ الصَّلَاةَ يَوْمًا فَقَالَ: مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا كَانَتْ لَهُ نُورًا وَبُرْهَانًا وَنَجَاةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورٌ وَلَا بُرْهَانٌ وَلَا نَجَاةٌ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ فِرْعَوْنِ وَهَامَانَ وَأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ
Sesungguhnya Nabi SAW pernah pada suatu hari mengingatkan shalat, beliau mengatakan, barangsiapa yang memelihara shalat, maka baginya cahaya, petunjuk dan keberhasilan pada hari kiamat. Barangsiapa yang tidak memeliharanya, maka tidak ada baginya cahaya, petunjuk dan keberhasilan. Orang itu nantinya di hari kiamat bersama Fir’aun, Haamaan dan Ubay bin Khalaf. (H.R. Ahmad dan al-Thabrani) [34]

Jawaban kita :
            Al-Haitsami mengatakan, rijal Ahmad terpercaya.[35] Iraqi mengatakan, meskipun hadits ini shahih, tetapi tidak serta merta karena orang meninggalkan shalat diazab dalam api neraka bersama Fir’un, Haamaan dan Ubay bin Khalaf berdasarkan hadits ini orang yang meninggalkan shalat ini akan kekal dalam api neraka bersama mereka. Karena bisa jadi orang meninggalkan shalat diazab bersama mereka, tetapi kemudian dikeluarkan dari api neraka karena mendapat syafaah dan diampuni dosa mereka.[36]
10.    Firman Allah berbunyi :
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّيْن.
Artinya : Maka jika mereka taubat, mendirikan shalat dan memberi zakat, maka itulah saudara kamu dalam agama (Q.S. al-Taubah : 11)

Mereka berpendapat syarat mutlak terjadinya persaudaraan antara orang mukmin dan kaum musyrikin adalah mereka harus bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika salah satu diantara syarat tersebut tidak terpenuhi maka tali persaudaraan tidak bisa terbangun.
Jawaban kita :
Ayat di atas bukanlah menunjukan kepada kafir dan keluar dari agama Islam, akan tetapi lebih menegaskan tentang kesempurnaan persaudaraan, bukan asli persaudaraan. Buktinya salah satu ikatan persaudaraan dalam ayat di atas adalah menunai zakat, padahal tidak ada ulama Islam yang berpendapat tidak menunai zakat dapat menghilangkan persaudaraan Islam, alias menjadi kafir.
11.    Hadist diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri r.a dalam kisah seorang laki-laki yang berkata pada Rasulullah SAW :
اتَّقِ اللهَ – وَفِيْهِ : فَقَالَ خَالِدٌ بن الوليد يَا رَسُوْلَ الله ، أَلاَ أَضْرِبُ عُنَقَهُ ؟ فَقَالَ : لاَ، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُوْنَ يُصَلِى
Bertakwalah kamu pada Allah -dalam hadist tersebut Khalid bin Walid berkata: wahai Rasulullah apakah akan kutebas leher orang ini? , Rasulullah menjawab : jangan, barangkali dia masih mengerjakan shalat (H.R. al-Bukhari).[37]

12.    Hadist yang diriwayatkan Ummu Salamah r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمُرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتَنْكِرُوْنَ ، فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ فَقَالُوا : أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ : لاَ مَا صَلُّو.
Sesungguhnya para pemimpin akan memerintahkan kalian yang kalian ketahui dan mengingkarinya, siapa yang membencinya maka ia terbebas dari dosa, dan siapa yang mengingkarinya maka ia selamat. Tetapi ia berdosa apabila rela dan mengikutinya. Para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka? Rasulullah menjawab : “ Tidak, selama mereka mengerjakan shalat”(H.R Muslim).[38]

Jawaban kita :
 Halalnya membunuh orang yang meninggalkan shalat berdasarkan mafhum  dua hadits di atas (hadits nomor 11 dan 12) bukanlah karena dia telah kafir, akan tetapi hanya karena hukuman hudud atas orang-orang yang meninggalkan shalat.
13.    Pendapat kafir orang yang meninggalkan shalat merupakan ijmak para sahabat Nabi. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan sebagai berikut :
a.    Abdullah bin Syaqiq r.a. (seorang Tabi’in), berkata :
كَانَ أَصْحَابُ النَّبِي صلى الله عليه وسلم لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ الْأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرُ الصَّلاَةِ.
Para sahabat Nabi SAW tidak melihat suatu amal apabila ditinggalkan adalah suatu kekufuran kecuali shalat.

b.    Umar bin Khatab r.a.,  berkata:
وَلاَ حَظَّ فِي الإِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
Tidak ada bagiannya dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.

c.    Ibnu Mas’ud r.a.,  berkata:
تَرْكُهَا كُفْرٌ
Meninggalkan shalat adalah kufur

Ketiga kutipan di atas telah disebut oleh Mulla al-Qari dalam kitab beliau, Mirqah al-Mafatih.[39]
Jawaban kita :
            Dakwaan ijmak berdasarkan nash-nash di atas tertolak. Buktinya sebagian besar imam-imam besar dari kalangan para salafusshalih berpendapat sebaliknya. Seandainya betul terjadi ijmak para shabat, tidak mungkin mereka menentangnya. Adapun mengenai nash pertama yang diriwayat oleh al-Syaqiq, Imam al-Nawawi mengatakan, takwil kabar tersebut adalah orang yang meninggalkan shalat sama hukumnya dengan orang kafir pada sebagian hukumnya, yakni sama-sama mendapat hukuman dibunuh, bukan menjadi kafir. Menurut al-Nawawi pentakwilan ini untuk mengkompromikan dengan nash-nash dan qawaid syara’ yang menjelaskan meninggalkan shalat tidak menjadi kafir.[40] Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi ini juga kita memahami maksud dari perkataan Ibnu Mas’ud. Atau bisa jadi Ibnu Mas’ud termasuk sahabat yang berpendapat menjadi kafir orang yang meninggalkan shalat. Adapun perkataan Umar bin Khatab r.a bisa juga dipahami tidak masuk dalam Islam yang sempurna. Jadi tidak menafikan masuk dalam golongan Islam, alias golongan orang beriman.



      



[1] Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, Maktabah al-Islami, Beirut, Juz. II, Hal. 146
[2] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 146-147.
[3] Imam Muslim, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. II, Hal. 93-94
[4] Imam Muslim, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. II, Hal. 55
[5] al-Thahawi al-Hanafi , al-Aqidah al-Thahawiyah, Maktabah al-Islami, Hal. 9
[6] Ibrahim al-Laqani, Jauharah al-Tauhid, (dicetak bersama Syarah al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid), Dar Ibn Katsir, Beirut, Hal.  402
[7] Al-Allusi, Ruh al-Ma’ani, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 50
[8] Al-Razi, Miftah al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal.. 98
[9] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 115, No. 6560
[10] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 147-148
[11] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 20
[12] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 348, No. 18382
[13] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 348.
[14] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 20
[15] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 145
[16] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 19
[17] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 147
[18] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 73, No. 13012
[19] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 73.
[20] Imam Muslim, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 82, No. 67
[21] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 146.
[22] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 147
[23] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 146
[24] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 146
[25] Al-Thabrani, Mu’jam al-Thabrani, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 174, No. 12800
[26] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 147
[27] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 215, No. 7109
[28] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 215.
[29] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 147
[30] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 216, No. 7114
[31] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 216.
[32] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 147
[33] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 146
[34] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 292, No. 1611
[35] Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 292.
[36] Al-Iraqi, Tharh al-Tastrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 147
[37] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 163, No. 4351
[38] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 1481, No. 1854
[39] Mulla al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarh Misykah al-Mashaabih, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 510
[40] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 20