Kamis, 26 Januari 2017

Memaknai hadits “Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu” menurut Imam al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Hawi lil Fatawa

Imam al-Suyuthi membagi persoalan hadits ini kepada dua masalah, yakni :
1.    Masalah kualitas hadits
2.    Masalah penafsirannya.
Ad.1. kualitas hadits
          Al-Suyuthi mengatakan, hadits ini tidak shahih. Selanjutnya beliau mengutip perkataan al-Nawawi yang mengatakan hadits ini tidak tsabit (tidak shahih). Ibnu Taimiyah mengatakan, hadits ini mauzhu’. Al-Zakasyi dalam kitab beliau, al-Ahadits al-Musytahirah menyebutkan, Ibnu al-Sam’ani mengatakan, perkataan ini merupakan kalam Yahya bin Mu’az al-Razi.
Ad. 2. Penafsirannya.
a.    Menurut al-Nawawi dalam kitab al-Fatawa:
     Maknanya menurut Imam al-Nawawi adalah barangsiapa yang mengenal dirinya sebagai diri yang dha’if dan membutuhkan Allah dan ber’ubudiyah kepada-Nya, maka dia akan mengenal tuhannya Yang Maha Kuasa, bersifat rububiyah, sempurna, berkuasa secara mutlaq dan mempunyai sifat-sifat yang tinggi.
b.    Menurut Abu Abbas al-Mursi sebagaimana dikutip oleh Tajuddin bin ‘Ithaillah
     Abu Abbas al-Mursi menjelaskan ada dua ta’wil untuk hadits ini, yakni :
1). Barangsiapa yang mengenal dirinya sebagai hamba yang hina dan lemah serta faqirnya, maka dia akan mengenal tuhannya Yang Maha Perkasa, Kuasa dan Kaya. Berdasarkan ini, mengenal jiwa menjadi sebab mengenal Allah sesudahnya. Ini merupakan jalan orang –orang saalik (orang yang sedang berjalan menuju Allah)
2). Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka itu menunjukkan dia telah mengenal Allah sebelumnya. Ini merupakan jalan orang-orang majzub (maqam tertinggi dalam tasauf)
c. Menurut Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya, Quut al-Qulub :
            Menurut Abu Thalib al-Makki, maknanya apabila kamu mengenal sifat dirimu dalam berhubungan dengan sesama makhluk bahwa dirimu tidak menyukai orang yang mengkritik perbuatanmu atau menghina apa yang kamu lakukan, maka kamu akan mengenal sifat penciptamu. Apabila kamu tidak menyukai hal demikian, maka demikian juga, kamu harus ridha dengan apa yang menjadi ketetapan penciptamu dan beramallah dengan apa yang disukai-Nya.
d.   Menurut ‘Izzuddin Abdussalam.
            Maknanya menurut ‘Izzuddin Abdussalam, sesungguhnya Allah telah meletakkan ruh yang bersifat ruhaniyah dalam tubuh jasmaniyah dalam bentuk ruh yang lembut lahutiyah (bersifat ketuhanan) yang diletakkan dalam tubuh kasar nasuutiyah (bersifat kemanusiaan) untuk menunjukkan wahdaniyah dan rububiyah-Nya. Jalan yang menunjukkan hal tersebut terdapat dalam sepuluh dalil, yakni :
1). Tubuh manusia membutuhkan pengatur dan penggeraknya. Pengatur dan penggeraknya adalah ruh. Karena itu, dipahami juga alam ini juga membutuhkan pengatur dan penggeraknya.
2). Pengatur dan Penggerak tubuh manusia hanya satu, yakni ruh. Dengan demikian, maka pengatur alam ini juga satu, yakni Allah Ta’ala.
3). Tubuh manusia tidak begerak kecuali menurut keinginan ruh. Demikian juga apa saja yang ada di alam ini tidak bergerak dan tidak terjadi kecuali sesuai dengan iradah-Nya dan ketetapan-Nya, baik itu sesuatu yang baik maupun yang buruk.
4). Bergerak dan diam tubuh tidak terlepas dari pengetahuan ruh, maka demikian juga sekecil apapun yang terjadi di alam ini tidak terlepas dari ilmu Allah.
5). Tidak ada yang lebih dekat kepada tubuh manusia kecuali ruh. Demikian juga, alam ini tidak ada yang sangat dekat dengan alam kecuali Allah (dalam arti dekat maknawi)
6). Ruh wujud sebelum jasad dan tetap wujud setelah jasad tidak wujud. Demikian juga Allah, wujud-Nya sebelum wujud alam dan dan baqa wujud-Nya setelah fana alam.
7). Ruh dalam jasad tidak diketahui bagaimana kaifiatnya (kelakuannya). Demikian juga Allah maha suci dari kaifiat-Nya.
8). Ruh tidak diketahui ainiyah-nya (dimana). Demikian juga Allah tidak bersifat dengan kaifiat dan di mana. Artinya tidak ditanya di mana Allah dan bagaimana.
9). Ruh tidak dapat dilihat dengan mata dan tidak dapat digambarkan dengan rupa. Demikian juga Allah tidak dapat dilihat dengan mata dan tidak dapat digambarkan dengan rupa.
10). Ruh tidak dapat ditelusuri dengan panca indra dan juga tidak dapat disentuh. Demikian juga Allah bukan merupakan benda yang dapat ditelusuri dengan panca indra dan dapat disentuh.
            Kemudian al-Suyuthi mengatakan, ada tafsir lain untuk hadits ini, yakni : kamu mengenal sifat dirimu sebalik dari sifat tuhanmu. Maka barangsiapa mengenal dirinya mengenal dirinya bersifat fana, maka dia mengenal tuhannya bersifat baqa. Barangsiapa yang mengenal dirinya yang keras hati dan tersalah, maka dia mengenal tuhannya yang sempurna dan pemurah.
            Tafsir lain yang sebut al-Suyuthi, barangsiapa yang mengenal jiwanya sebagaimana adanya, maka dia mengenal tuhannya sebagaimana adanya (diri zat). Seandainya tidak jalan mengenal jiwanya sebagaimana adanya, maka bagaimana dia dapat mengenal tuhannya sebagaimana adanya. Maka hadits ini, seolah-olah merupakan ta’liq mengenal Allah kepada yang mustahil, sedangkan sesuatu yang dita’liq atas mustahil adalah mustahil. Apabila mustahil mengenal kaifiyat jiwa seseorang, maka mustahil juga mensifati Allah dengan kaifiyat. Apabila tidak mampu mensifati jiwa dengan dimana dan bagaimana,, maka bagaimana kita mampu mensifati Allah dengan dimana dan bagaimana. Dalam kitab Syarh al-Ta’arruf, al-Qunawy mengutip sebagian ulama yang mengatakan, hadits ini merupakan bab ta’liq kepada sesuatu yang tidak akan ada. Penjelasannya, syara’ telah menutup kemungkinan mengenal jiwa sebagaimana firman Allah Ta’ala, berbunyi :
قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
Artinya : Katakanlah ruh itu urusan tuhanku. (Q.S. al-Isra’ : 85)
           
            Maka hadits di atas menunjukkan bahwa apabila manusia tidak mampu mengenal jiwanya sendiri yang sangat dekat dengan dirinya, maka dia lebih lagi tidak akan mampu mengenal Allah penciptanya.

Sumber : Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 238-241


Sabtu, 21 Januari 2017

Obat Was-Was dalam Ibadah Menurut al-Haitamy

(وَسُئِلَ) - نَفَعَ اللَّهُ بِهِ - عَنْ دَاءِ الْوَسْوَسَةِ هَلْ لَهُ دَوَاءٌ؟
(فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: لَهُ دَوَاءٌ نَافِعٌ وَهُوَ الْإِعْرَاضُ عَنْهَا جُمْلَةً كَافِيَةً. وَإِنْ كَانَ فِي النَّفْسِ مِنْ التَّرَدُّدِ مَا كَانَ - فَإِنَّهُ مَتَى لَمْ يَلْتَفِتْ لِذَلِكَ لَمْ يَثْبُتْ بَلْ يَذْهَبُ بَعْدَ زَمَنٍ قَلِيلٍ كَمَا جَرَّبَ ذَلِكَ الْمُوَفَّقُونَ، وَأَمَّا مَنْ أَصْغَى إلَيْهَا وَعَمِلَ بِقَضِيَّتِهَا فَإِنَّهَا لَا تَزَالُ تَزْدَادُ بِهِ حَتَّى تُخْرِجَهُ إلَى حَيِّزِ الْمَجَانِينِ بَلْ وَأَقْبَحَ مِنْهُمْ، كَمَا شَاهَدْنَاهُ فِي كَثِيرِينَ مِمَّنْ اُبْتُلُوا بِهَا وَأَصْغَوْا إلَيْهَا وَإِلَى شَيْطَانِهَا الَّذِي جَاءَ التَّنْبِيهُ عَلَيْهِ مِنْهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِقَوْلِهِ: «اتَّقُوا وَسْوَاسَ الْمَاءِ الَّذِي يُقَالُ لَهُ الْوَلْهَانُ» أَيْ: لِمَا فِيهِ مِنْ شِدَّةِ اللَّهْوِ وَالْمُبَالَغَةِ فِيهِ كَمَا بَيَّنْت ذَلِكَ وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ فِي شَرْحِ مِشْكَاةِ الْأَنْوَارِ، وَجَاءَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مَا يُؤَيِّدُ مَا ذَكَرْته وَهُوَ أَنَّ مَنْ اُبْتُلِيَ بِالْوَسْوَسَةِ فَلْيَعْتَقِدْ بِاَللَّهِ وَلْيَنْتَهِ. فَتَأَمَّلْ هَذَا الدَّوَاءَ النَّافِعَ الَّذِي عَلَّمَهُ مَنْ لَا يَنْطِقُ عَنْ الْهَوَى لِأُمَّتِهِ.
Ibnu Hajar al-Haitamy rhm ditanyakan mengenai penyakit was-was, apakah ada obatnya? Beliau menjawab :
Ada obat yang mujarab untuk penyakit ini, yaitu tidak peduli secara keseluruhan, meskipun dalam dirinya muncul keraguan. Karena jika dia tidak perhatikan keraguan ini, maka keraguannya tidak akan menetap dan akan pergi dengan sendiri dalam waktu yang tidak lama. Sebagaimana cara ini pernah dilakukan oleh mereka yang mendapat taufiq. Sebaliknya, orang yang memperhatikan keraguan yang muncul dan menuruti bisikan keraguannya, maka dorongan was-was itu akan terus bertambah, sampai menyebabkan dirinya sepertiorang gila, bahkan lebih parah dari orang gila. Sebagaimana yang pernah kami lihat pada banyak orang yang mengalami cobaan keraguan ini, sementara dia memperhatikan bisikan was-wasnya dan ajakan setannya. Padahal sabda Nabi SAW telah memberitahu kita :
“Takutlah was-was air yang dipanggil dengan walhan.”
Disebut walhan, karena sangat bermain-main sebagaimana telah aku jelaskannya dan yang berkaitan dengannya dalam kitab Syarh Misykah al-Anwar. Telah disebut dalam kitab Shahihaini yang mendukung apa yang telah aku sebutkan barusan ini, yakni :
“Barangsiapa yang diuji dengan was-was, maka berpegang teguhlah kepada Allah dan hentikan was-was itu.”
Maka renungkanlah obat yang mujarab ini yang telah diajarkan oleh nabi yang tidak menuturkan sesuatu kepada umatnya menurut hawa nafsunya.
وَاعْلَمْ أَنَّ مَنْ حُرِمَهُ فَقَدْ حُرِمَ الْخَيْرَ كُلَّهُ؛ لِأَنَّ الْوَسْوَسَةَ مِنْ الشَّيْطَانِ اتِّفَاقًا، وَاللَّعِينُ لَا غَايَةَ لِمُرَادِهِ إلَّا إيقَاعُ الْمُؤْمِنِ فِي وَهْدَةِ الضَّلَالِ وَالْحَيْرَةِ وَنَكَدِ الْعَيْشِ وَظُلْمَةِ النَّفْسِ وَضَجَرِهَا إلَى أَنْ يُخْرِجَهُ مِنْ الْإِسْلَامِ. وَهُوَ لَا يَشْعُرُ أَنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاِتَّخِذُوهُ عَدُوًّا. وَجَاءَ فِي طَرِيقٍ آخَرَ فِيمَنْ اُبْتُلِيَ بِالْوَسْوَسَةِ فَلْيَقُلْ: آمَنْت بِاَللَّهِ وَبِرُسُلِهِ. وَلَا شَكَّ أَنَّ مَنْ اسْتَحْضَرَ طَرَائِقَ رُسُلِ اللَّهِ سِيَّمَا نَبِيُّنَا - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَجَدَ طَرِيقَتَهُ وَشَرِيعَتَهُ سَهْلَةً وَاضِحَةً بَيْضَاءَ بَيِّنَةً سَهْلَةً لَا حَرَجَ فِيهَا وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ، وَمَنْ تَأَمَّلَ ذَلِكَ وَآمَنَ بِهِ حَقَّ إيمَانِهِ ذَهَبَ عَنْهُ دَاءُ الْوَسْوَسَةِ وَالْإِصْغَاءِ إلَى شَيْطَانِهَا.
Ketahuilah, orang-orang yang telah diharamkan was-was atasnya, maka diharamkan seluruh kebaikan atasnya. Karena was-was disepakati datang dari syaithan dan syaithan terkutuk itu, tidak ada ujung dari tujuannya kecuali menjatuhkan orang beriman dalam jurang kesesatan, kebingungan, kesusahan hidup, kegelapan dan kebosanan jiwa sehingga mengeluarkannya dari Islam. Sedangkan dia tidak tahu Allah telah berfiman :
“Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh bagi kamu, maka jadikanlah dia itu sebagai musuh.”

Ada hadits dari jalur lain untuk orang yang diuji dengan was-was, berbunyi :
“Maka hendaklah berkata : “Aku beriman dengan Allah dan Rasul-Nya”.
Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang menghadirkan jalan para Rasul Allah , lebih-lebih Nabi kita SAW dan bersungguh-sungguh dengan jalannya dan syari’atnya dengan jalan mudah, terang, bersih dan dengan dalil yang mudah, maka tidak ada kesulitan padanya. Allah berfiman :
“Tidak dijadikan atasmu kesulitan dalam agama.”
Maka barangsiapa yang merenung ini dan mengimaninya dengan sebenar-benar iman, maka pasti hilang darinya penyakit was-was dan mendengarkan bisikan syaithan.
وَفِي كِتَابِ ابْنِ السُّنِّيِّ مِنْ طَرِيقِ عَائِشَةَ: - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - «مَنْ بُلِيَ بِهَذَا الْوَسْوَاسِ فَلْيَقُلْ: آمَنَّا بِاَللَّهِ وَبِرُسُلِهِ ثَلَاثًا، فَإِنَّ ذَلِكَ يُذْهِبُهُ عَنْهُ» وَذَكَرَ الْعِزُّ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ وَغَيْرُهُ نَحْوَ مَا قَدَّمْته فَقَالُوا: دَوَاءُ الْوَسْوَسَةِ أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ ذَلِكَ خَاطِرٌ شَيْطَانِيٌّ، وَأَنَّ إبْلِيسَ هُوَ الَّذِي أَوْرَدَهُ عَلَيْهِ وَأَنَّهُ يُقَاتِلُهُ، فَيَكُونُ لَهُ ثَوَابُ الْمُجَاهِدِ؛ لِأَنَّهُ يُحَارِبُ عَدُوَّ اللَّهِ، فَإِذَا اسْتَشْعَرَ ذَلِكَ فَرَّ عَنْهُ، وَأَنَّهُ مِمَّا اُبْتُلِيَ بِهِ نَوْعُ الْإِنْسَانِ مِنْ أَوَّلِ الزَّمَانِ وَسَلَّطَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ مِحْنَةً لَهُ؛ لِيُحِقَّ اللَّهُ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ.
Dalam kitab Ibn al-Sunniy dari jalur ‘Aisyah r.a. disebutkan : “Barangsiapa yang diuji dengan was-was ini, maka hendaknya mengatakan, “Amannaa billah wa birusulihi” sebanyak tiga kali maka demikian itu akan menghilangkan was-was darinya”. Al-Iz bin Abdus Salam dan ulama lainnya juga menjelaskan sebagaimana yang telah aku sebutkan. Mereka menyatakan, “Obat penyakit was-was: hendaknya dia meyakini bahwa hal itu adalah godaan setan, dan dia yakin bahwa yang mendatangkan itu adalah iblis, dan dia sedang melawan iblis. Sehingga dia mendapatkan pahala orang yang berjihad. Karena dia sedang memerangi musuh Allah. Jika dia merasa ada keraguan, dia akan segera menghindarinya dan hendaknya meyakini pula bahwa was-was itu termasuk ujian bagi golongan manusia mulai dari awal zaman dan Allah menjadikan was-was itu menjadi cobaan bagi manusia, sehingga Allah membenarkan yang haq dan membatalkan yang batil, meski orang-orang kafir membencinya.

وَفِي مُسْلِمٍ مِنْ طَرِيقِ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ أَنَّهُ قَالَ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلَاتِي وَقِرَاءَتِي فَقَالَ: ذَلِكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ، فَتَعَوَّذْ بِاَللَّهِ مِنْهُ وَاتْفُلْ عَنْ يَسَارِك ثَلَاثًا، فَفَعَلْت فَأَذْهَبَهُ اللَّهُ عَنِّي. وَفِي رِسَالَةِ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ عَطَاءٍ قَالَ: ضَاقَ صَدْرِي لَيْلَةً لِكَثْرَةِ مَا صَبَبْت مِنْ الْمَاءِ، وَلَمْ يَسْكُنْ قَلْبِي فَقُلْت: يَا رَبِّ عَفْوَك، فَسَمِعْت هَاتِفًا يَقُولُ: الْعَفْوُ فِي الْعِلْمِ؛ فَزَالَ ذَلِكَ عَنِّي اهـ.
Dalam Shahih Muslim dari jalur Usman bin Abi al-‘Ash, beliau berkata : “Syaithan telah menyusahkanku di antara shalat dan bacaanku. Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Itu adalah Syaithan yang bernama Khanzab, berlindunglah kepada Allah darinya dan ludahilah di sebelah kirimu tiga kali”. Kemudian aku lakukan perintah Rasulullah tersebut, Allahpun menghilangkannya dariku. Dalam Risalah al-Qusyairi dari Ahmad bin ‘Itha’ mengatakan, sesak dadaku pada suatu malam karena banyak minum air dan hatikupun tidak tenang, maka aku mengatakan : “Ya Rabbi ‘afwaka”. Kemudian aku mendengar bisikan : “Maaf dalam ilmu”. Lalu hilanglah sesak dada itu dariku.
وَبِهِ تَعْلَمُ صِحَّةَ مَا قَدَّمْته أَنَّ الْوَسْوَسَةَ لَا تُسَلَّطُ إلَّا عَلَى مَنْ اسْتَحْكَمَ عَلَيْهِ الْجَهْلُ وَالْخَبَلُ وَصَارَ لَا تَمْيِيزَ لَهُ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ عَلَى حَقِيقَةِ الْعِلْمِ وَالْعَقْلِ فَإِنَّهُ لَا يَخْرُجُ عَنْ الِاتِّبَاعِ وَلَا يَمِيلُ إلَى الِابْتِدَاعِ. وَأَقْبَحُ الْمُبْتَدِعِينَ الْمُوَسْوَسُونَ وَمِنْ ثَمَّ قَالَ مَالِكٌ - رَحِمَهُ اللَّهُ - عَنْ شَيْخِهِ رَبِيعَةَ - إمَامِ أَهْلِ زَمَنِهِ -: كَانَ رَبِيعَةُ أَسْرَعَ النَّاسِ فِي أَمْرَيْنِ فِي الِاسْتِبْرَاءِ وَالْوُضُوءِ، حَتَّى لَوْ كَانَ غَيْرَهُ - قُلْت: مَا فَعَلَ. وَكَانَ ابْنُ هُرْمُزَ بَطِيءَ الِاسْتِبْرَاءِ وَالْوُضُوءِ، وَيَقُولُ: مُبْتَلًى لَا تَقْتَدُوا بِي.
Dari penjelasan di atas, diketahui shahih apa yang telah aku jelaskan sebelumnya bahwa was-was itu tidak terjadi kecuali atas orang-orang yang menetap kebodohan dan kegilaan padanya, sehingga dia tidak dapat membedakan lagi. Adapun orang-orang yang berada dalam hakikat ilmu dan akal, maka dia tidak akan keluar dari ittiba’ dan tidak cenderung kepada mengikuti bid’ah. Seburuk-buruk pelaku bid’ah adalah orang-orang yang was-was. Karena itu, Imam Malik rhm mengisahkan tentang gurunya, Rabi’ah - Imam manusia pada zamannya – bahwa Rabi’ah secepat-cepat manusia dalam dua hal, yakni istibra’ dan berwudhu’. Sehingga seandainya dia itu orang lain, pasti aku katakan, “Apa yang dia lakukan itu?”. Adalah Ibn Hurmuz orang yang terlambat dalam hal istibra’ dan wudhu’, Malik mengatakan, :Orang di uji dengan was-was jangan mengikuti aku.”
وَنَقَلَ النَّوَوِيُّ - رَحِمَهُ اللَّهُ - عَنْ بَعْضِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ بُلِيَ بِالْوَسْوَسَةِ فِي الْوُضُوءِ، أَوْ الصَّلَاةِ أَنْ يَقُولَ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ إذَا سَمِعَ الذِّكْرَ خَنَسَ؛ أَيْ: تَأَخَّرَ وَبَعُدَ، وَلَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ - رَأْسُ الذِّكْرِ وَلِذَلِكَ اخْتَارَ صَفْوَةُ هَذِهِ الْأُمَّةِ - مِنْ أَصْحَابِ التَّرْبِيَةِ وَتَأْدِيبِ الْمُرِيدِ - قَوْلَ (لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ) لِأَهْلِ الْخَلْوَةِ، وَأَمَرُوهُمْ بِالْمُدَاوَمَةِ عَلَيْهَا، وَقَالُوا: أَنْفَعُ عِلَاجٍ فِي دَفْعِ الْوَسْوَسَةِ الْإِقْبَالُ عَلَى ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَالْإِكْثَارُ مِنْهُ.
Al-Nawawi rhm telah mengutip dari sebagian ulama dianjurkan bagi orang-orang yang diuji dengan penyakit was-was pada wudhu’ atau shalat mengatakan, “Laa ilaha illallaha”, sesungguhnya syaithan apabila mendengar zikir, dia mundur dan menjauh. Sedangkan “Laa ilaha illallaha” ini adalah rais zikir (zikir utama). Karena itulah kalimat tauhid tersebut dipilih oleh ahli sufi ini umat (pembimbing dan pemberi adab kepada murid) untuk ahli khalwat dan memerintahkan mereka selalu membacanya.  Para ahli sufi mengatakan, obat yang sangat bermanfaat untuk menolak was-was adalah melakukan zikir kepada Allah Ta’ala dan memperbanyaknya.
وَقَالَ ابْنُ أَبِي الْحَوَارِيِّ بِكَسْرِ الرَّاءِ وَفَتْحِهَا شَكَوْت إلَى الدَّارَانِيِّ الْوَسْوَسَةَ فَقَالَ: إذَا أَرَدْت قَطْعَهُ فَمَتَى أَحْسَسْت بِهِ فَافْرَحْ فَإِذَا فَرِحْت انْقَطَعَ عَنْك فَإِنَّهُ لَيْسَ شَيْءٌ أَبْغَضَ إلَى الشَّيْطَانِ مِنْ سُرُورِ الْمُؤْمِنِ، قَالَ بَعْضُهُمْ: وَيُؤَيِّدُ هَذَا مَا ذُكِرَ عَنْ بَعْضِ الْأَئِمَّةِ أَنَّهُ إنَّمَا يُبْتَلَى بِهِ مَنْ كَمُلَ إيمَانُهُ؛ فَإِنَّ اللِّصَّ لَا يَسْرِقُ مِنْ بَيْتِ لِصٍّ مِثْلِهِ اهـ. وَهَذَا إنْ سَلِمَ فَهُوَ فِي الْوَسْوَاسِ فِي الْعَقَائِدِ؛ لِمَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّهُ مَحْضُ الْإِيمَانِ. عَلَى أَنَّ الْإِمَامَ ابْنَ عَرَفَةَ قَالَ إنَّمَا يُبْتَلَى بِهِ فِي الدِّينِ مَنْ أَخَذَهُ تَقْلِيدًا دُونَ مَنْ عَرَفَ بَرَاهِينَهُ؛ لِأَنَّ الْوَسْوَاسَ شَكٌّ وَهُوَ لَا يَجْتَمِعُ مَعَ الِاعْتِقَادِ الْجَازِمِ الْمُسْتَنِدِ إلَى دَلِيلٍ لِكَوْنِهِ ضِدَّهُ.
Ibnu Abi al-Hawari mengatakan, aku pernah mengadu kepada al-Darani mengenai was-was, beliau menjawab, apabila engkau berkeinginan untuk memutusnya, kapan engkau merasakannya, maka bergembiralah dan apabila engkau bergembira, maka was-was itu telah hilang darimu. Sesungguhnya tidak ada yang sangat dibenci Syaithan melebihi dari kegembiraan orang beriman. Sebagian ulama mengatakan, menguatkan ini oleh apa yang telah disebutkan dari sebagian al-imam bahwa sesungguhnya hanya yang diuji dengan was-was adalah orang-orang yang sempurna imannya. Sesunggguhnya pencuri tidak mencuri dari rumah pencuri yang sama dengannya. Ini seandainya benar, maka adalah pada was-was dalam bidang akidah, karena dalam hadits, hal tersebut merupakan semata-mata iman. Lebih-lebih lagi sesungguhnya Imam Ibn ‘Arfah mengatakan, sesungguhnya yang diuji dengan was-was dalam agama hanyalah orang-orang yang mengambil agama dengan jalan taqlid, bukan orang orang yang mengenal dalil-dalilnya, karena was-was adalah ragu-ragu, sedangkan ragu-ragu tidak berhimpun bersama i’tiqad yang pasti yang disandarkan kepada kepada dalil, karena was-was adalah lawannya.
وَقَالَ الْعَارِفُ أَبُو الْحَسَنِ الشَّاذِلِيُّ: إذَا كَثُرَ عَلَيْك الْوَسْوَاسُ فَقُلْ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْخَلَّاقِ إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ  أَذْهَبَ اللَّهُ عَنَّا سَائِرَ الْمَضَارِّ وَالْمَخَاوِفِ وَالْفِتَنِ، وَأَنَا لَنَا كُلَّ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَجَعَلَنَا مِنْ أَهْلِ وِلَايَةِ أَهْلِ النِّعَمِ وَالْمِنَنِ إنَّهُ عَلَى مَا يَشَاءُ قَدِيرٌ وَبِالْإِجَابَةِ جَدِيرٌ.
Al-‘Aarif Abu Hasan al-Syazili mengatakan, seandai atasmu banyak was-was, maka katakanlah :
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْخَلَّاقِ إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيدٍ وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ بِعَزِيزٍ
Maka Allah akan menghilangkan dari kita semua mudharat, ketakutan dan fitnah. Semoga Allah melimpahkan bagi kita akhlaq yang baik dan menjadikan kita termasuk ahli wilayah ahli nikmat dan anugerah. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas yang dikehendak-Nya dan sebaik-baik pengabul doa

Sumber : Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 149-150)




Jumat, 20 Januari 2017

Diwan Imam Syafi'i (bag.2)

 سهــام الليل
وما تدري بما صنع الدعــاء
أتهزأ بالدعــاء وتزدريــه
لها أمد، وللأمــد انقضـاء
ويرسلها اذا نفذ القضاء
سهــام الليل لا تخطــي ولكن
فيمسكها اذا ما شاء ربي



Panah di Malam Hari
Apakah engkau memperolok-olok dan meremehkan sebuah doa. Apakah engkau tahu yang dihasilkan oleh doa.
 Anak panah di malam hari tidak akan meleset . Namun ia punya batas dan setiap batas ada saatnya selesai
Maka anak panah itu akan ditahan bila tuhan menghendakinya. Dan dilepaskannya apabila batas telah selesai.
جهد البـلاء
إن حب النساء جهد البـلاء
أكثر الناس في النساء وقالوا
قرب من لا تحب جهد البلاء
ليس حب النساء جهدا ولكن

Cobaan Hidup
Banyak orang berbicara tentang hal ihwal wanita. Konon mencintai wanita adalah cobaan hidup yang pedih
Padahal mencintai wanita bukanlah cobaan hidup yang pedih . Tetapi dekatnya orang yang tidak disukai itulah cobaan hidupyang pedih
بعد ألاحبـة
يعيشها بعد أودائــه
واحسرة للفتى ســاعة
رمى به بعد أحبابـه
عمر الفتى لو كان في كفه

Setelah Para pecinta
Betapa malangnya seorang pemuda.  Saat dia hidup setelah para pecintanya
Umur seorang pemuda jika saja ada di genggamannya. Maka akan dia buang setelah kekasihnya

Sumber : Diwan Imam Syafi’i,  Disusun oleh : Abdurrahman al-Mushthawy, Terbitan : Darul Ma’rifah, Beirut, Hal. 18-19)

Diwan Imam Syafi'i (bag.1)

Diwan Imam Syafi’i (bag.1)

دع الأيام
وطب نفسا إذا حكم القضاء
دع الأيام تفعل مـا تشـــاء
فما لحوادث الدنيـا بقــاء
ولا تجزع لحــادثة الليـالي
وشيمتك السماحة والوفـاء
وكن رجلا على الأهوال جلدا
وسرك أن يكون لها غطـاء
وإن كثرت عيوبك في البرايـا
يغطيه - كما قيلالسخـاء
تستر بالسخــاء فكل عيـب
فإن شماتة الأعــداء بـلاء
ولا تر للأعــداء قــط ذلا
فما في النار للظمآن مــاء
ولا ترج السماحة من بخيـل
وليس يزيد في الرزق العناء
ورزقك ليس ينقصه التــأني
فأنت ومالك الدنيا ســواء
إذا ما كنت ذا قلب قنــوع
فلا أرض تقيه ولا سمــاء
ومن نزلت بساحته المنايــا
إذا نزل القضا ضاق الفضاء
وأرض الله واسعــة ولكن
فما يغني عن الموت الـدواء
دع الأيام تغدر كل حيــن


1) Biarkanlah Hari-Hari
Biarlah hari-hari itu berlalu kerjakan yang engkau sukai. Apabila takdir sudah menentukan, maka berlapangdadalah kamu.
Janganlah engkau gelisah terhadap musibah-musibah malam hari.  Karena tiada satu pun musibah itu yang kekal abadi.
Kuatkanlah dirimu menghadapi cobaan-cobaan . Murah hati dan setia hendaklah menjadi tabi’atmu.
Meski banyak aibmu di dalam debu. Namun rahasia pribadimu hendaklah  selalu tersimpan.
Tutuplah rahasiamu dengan kemurahan hati. Karena konon semua keaiban dapat ditutup dengan kemurahan hati.
Jangan engkau nampakkan kelemahan pada lawanmu. Karena kuatnya mental lawan merupakan bahaya bagimu.
Jangan engkau harapkan kemurahan orang yang bakhil . Sebab orang yang sedang kehausan tak akan mendapatkan air dalam api.
Sebuah keterlambatan tak akan mengurangi rizkimu. Dan rizkimu pun tak akan bertambah dengan kepayahan badanmu.
Apabila sikap hatimu selalu rela dengan apa yang ada. Maka tak ada perbedaan bagimu antara dirimu  dan orang kaya.
Apabila taqdir datang dalam kehidupanmu.  Maka tak sejengkal bumi, tidak pula sebidang langit yang dapat melindungimu.
Bumi Allah amatlah luas.  Namun suatu saat apabila takdir sudah datang, yang luaspun menjadi sempit.
Biarlah hari-hari yang tidak setia setiap saat. Sebab obat apa pun juga tak akan dapat menangkal kematian


Sumber : Diwan Imam Syafi’i,  Disusun oleh : Abdurrahman al-Mushthawy, Terbitan : Darul Ma’rifah, Beirut, Hal. 17-18)

Diwan Imam Syafi'i (bag. 2)