Selasa, 25 Januari 2022

Pengertian qadha dan qadar

 Iman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman yang harus diimani oleh setiap orang yang mengaku muslim sesuai dengan hadist yang diriwayat oleh Imam Muslim berbunyi :

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيمَانِ، قَالَ ‌أَنْ ‌تُؤْمِنَ ‌بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“Maka kabarkan padaku tentang iman, Rasulullah bersabda: Iman adalah bahwa kamu beriman kepada Allah dan malaikatNya, segala kitabNya, dan RasulNya dan hari akhirat serta kamu beriman dengan qadar baik dan buruk.” (H.R. Imam Muslim) [1]

 

Pengertian qadha dan qadar dipahami secara berbeda oleh para ulama. Kelompok Asyariyyah dan Maturidiyyah, berbeda pendapat perihal pengertian kata qadha dan qadar. Syeikh Nawawi al-Bantaniy mengatakan :

اختلفوا في معنى القضاء والقدر فالقضاء عند الأشاعرة إرادة الله الأشياء في الأزل على ما هي عليه في غير الأزل والقدر عندهم إيجاد الله الأشياء على قدر مخصوص على وفق الإرادة

“Ulama tauhid berbeda pendapat perihal makna qadha dan qadar. Qadha menurut ulama Asy’ariyyah adalah kehendak Allah atas sesuatu pada azali untuk sebuah realitas pada saat sesuatu di luar azali kelak. Sementara qadar menurut mereka adalah penciptaan Allah atas sesuatu pada kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya.”[2]


Selanjutnya Nawawi al-Bantaniy menjelaskan bahwa contoh konkret qadha adalah putusan Allah pada azali bahwa kelak seseorang  akan menjadi seorang yang alim. Sementara qadar adalah realisasi Allah atas qadha tersebut kelak  sesuai kehendak-Nya.[3]

Adapun pengertian qadha dan qadar menurut al-Maturidiyah adalah sebagaimana kemudian dikemukakan:Syeikh Nawawi :

واما عند الماتريدية  فالقضاء إيجاد الله الأشياء مع زيادة الاتقان أي غلى وفق علمه تعالى والقدر تحديد الله ازلا كل المخلوق بحده اللذي يوجد عليه من حسن وقبح ونفع وضر الى غير ذالك اي علمه تعالى ازلا صفات المخلوقات.

“Adapun menurut al-Maturidiyyah, qadha adalah penciptaan Allah atas sesuatu disertai penambahan penyempurnaan, maksudnya sesuai ilmu-Nya. Sedangkan qadar adalah batasan yang Allah buat pada azali atas setiap makhluk dengan batasan yang ada pada semua makhluk berupa baik, buruk, memberi manfaat, menyebabkan mudarat, dan seterusnya. Artinya ilmu Allah pada azali atas  sifat-sifat makhluk.”[4]


Ada juga yang berpendapat qadha merupakan ilmu Allah Ta’ala yang azali disertai ta’alluq-nya dengan materi yang diketahui-Nya. Sementara qadar adalah penciptaan Allah atas sesuatu sesuai dengan ilmu-Nya. Jadi, ilmu Allah pada azali bahwa seseorang kelak akan menjadi seorang alim adalah qadha. Sedangkan penciptaan ilmu pada diri seseorang setelah ia diciptakan adalah qadar. Berdasarkan pendapat terakhir ini dan pendapat Asy’ariyyah, maka qadha adalah qadim, sedangkan qadar baharu. Adapun menurut Maturidiyah adalah sebaliknya, yaitu qadha adalah baharu, sedangkan qadar adalah qadim. Sementara itu, ada juga ulama yang mengatakan qadha dan qadar dengan satu makna, yaitu iradah Allah Ta’ala.[5]

Pengertian qadha dan qadar menurut Asy’ariyyah dan al-Maturidiyah di atas juga telah dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajuriy dalam kitab Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid. Kemudian beliau menambahkan qadar menurut Asy’ariyyah adalah sifat af’al, sedangkan menurut al-Maturidiyah kembali kembali kepada sifat ilmu. Karena itu, termasuk sifat zat. Adapun qadha menurut Asy’ariyyah merupakan iradah Allah. Karena itu, termasuk sifat zat. Adapun menurut al-Maturidiyah termasuk sifal af’al, karena qadha bermakna menjadikan sesuatu menurut al-Maturidiyah.[6]

 

 

 



[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 36, No. 8

[2] Nawawi al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal. 60

[3] Nawawi al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal. 60-61

[4] Nawawi al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal. 61

[5] Nawawi al-Bantaniy, Kasyifah al-Sajaa, Dar Ibn Hazm, Beirut, Hal. 61

[6] Ibrahim al-Bajuriy, Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid, Dar al-Salam, Kairo, Hal. 188-189

Rabu, 12 Januari 2022

Abu Lahab diringankan azab karena gembira atas kelahiran Nabi SAW ?

 

Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan :

 

قَالَ عُرْوَةُ: وَثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ، كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ، قَالَ لَهُ: مَاذَا لَقِيتَ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ: لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ‌ثُوَيْبَةَ

“Urwah berkata: Tsuwaibah adalah bekas budak Abu Lahab. Waktu itu, Abu Lahab membebaskannya, lalu Tsuwaibah pun menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ketika Abu Lahab meninggal, ia pun diperlihatkan kepada sebagian kerabatnya di alam mimpi dengan keadaan yang memprihatinkan. Sang kerabat berkata padanya: “Apa yang telah kamu dapatkan?” Abu Lahab berkata.”Setelah kalian, aku belum pernah mendapati sesuatu nikmat pun, kecuali aku diberi minum lantaran memerdekakan Tsuwaibah.”[1]

Menurut al-Suhailiy, yang dimaksud dengan kerabatnya itu adalah Sayyidina Abbas r.a. sebagaimana kutipan Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab Fathul Baru, yaitu :

وَذَكَرَ السُّهَيْلِيُّ ‌أَنَّ ‌الْعَبَّاسَ ‌قَالَ ‌لَمَّا ‌مَاتَ ‌أَبُو ‌لَهَبٍ رَأَيْتُهُ فِي مَنَامِي بَعْدَ حَوْلٍ فِي شَرِّ حَالٍ فَقَالَ مَا لَقِيتُ بَعْدَكُمْ رَاحَةً إِلَّا أَنَّ الْعَذَابَ يُخَفَّفُ عَنِّي كُلَّ يَوْمِ اثْنَيْنِ قَالَ وَذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُلِدَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَكَانَتْ ثُوَيْبَةُ بَشَّرَتْ أَبَا لَهَبٍ بِمَوْلِدِهِ فَأَعْتَقَهَا

“al-Suhailiy mengatakan, bahwa Ibnu Abbas berkata: ketika Abu Lahab mati, setahun kemudian aku melihatnya dalam mimpi dalam kondisi yang buruk. Ia berkata: aku –setelah meninggalkan kalian—tidak pernah merasakan jeda istirahat dari siksa, melainkan azab diringankan setiap hari Senin. Abu Lahab menjelaskan: Itu karena saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dilahirkan pada hari Senin, waktu ia diberi kabar oleh Tsuwaibah atas kelahirannya, maka Abu Lahab membebaskannya (Tsuwaibah)”.[2]

Komentar para ulama :

I.     Mengomentari  hadits ini, Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan :

1.    Dhahir hadits ini Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah sebelum menyusui Nabi SAW. Sementara dalam kitab-kitab sejarah berbeda, yakni Abu Lahab memerdekakannya sebelum hijrah jauh setelah menyusui.

2.    Hadits ini menunjukan bahwa amalan balik dari kafir kadang bermanfaat di negeri akhirat, namun kesimpulan  ini menyalahi dhahir ayat al-Qur’an. Karena Allah Ta’ala berfirman :

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا من عمل فجعلناه هباء منثورا

Kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu debu yang berterbangan. (Q.S. al-Furqan : 23)

 

 

3.       Menjawab kemusyikilan pada point pertama, Ibnu Hajar menjawab :

a.       Hadits ini mursal dari Urwah, beliau tidak menyebutkan dari siapa beliau meriwayat hadits ini.

b.      Seandainya hadits ini bersambung sanadnya, berita dalam hadits tersebut merupakan mimpi. Sedangkan mimpi tidak dapat menjadi hujjah. Lagi pula barangkali orang yang bermimpi pada waktu itu belum menjadi muslim. Karena itu, tidak menjadi hujjah.

c.       Sandainya kandungan hadits ini dapat diterima, kemungkinannya hal tersebut dikhususkan yang berhubungan dengan Nabi SAW dengan dalil kisah Abu Thalib yang diringankan azabnya. Berdasarkan riwayat bahwa Abu Thalib diringankan dari azab kobaran api neraka kepada yang lebih ringan.

d.      Al-Baihaqi mengatakan, berita-berita yang warid yang menjelaskan batal semua kebaikan bagi orang kafir, maknanya adalah para kafir tersebut tidak terlepas dari api neraka dan juga tidak akan masuk syurga. Akan tetapi bisa saja karena kebaikan yang mereka amalkan, mereka diringankan azab dari dosa-dosa  yang menimpa mereka selain dosa kekufuran. Adapun perkataan Qadhi ‘Iyadh telah terjadi ijmak orang kafir tidak bermanfaat amalan mereka dan tidak akan diberikan nikmat karenanya serta tidak akan diringankan azab meskipun sebagian mereka mendapat azab lebih berat dari sebagian yg lain. Ijmak ini tidak menolak kemungkinan yang telah disebut oleh al-Baihaqi. Karena semua yang warid di atas adalah yang berhubungan dengan dosa dosa kekufuran. Adapun dosa-dosa selain kufur, maka tidak ada yang menghalangi untuk diringankannya. Al-Qurthubi mengatakan, keringanan ini khusus dengan ini (selain dosa kufur) dan dengan yang warid nash tentangnya.

4.    Namun dalam al-Hasyiah, Ibnu Munir mengatakan, di sini ada dua ketetapan. Yang pertama mustahil, yakni i’tibar taat si kafir pada saat kufurnya karena syarat taat terjadi dengan qashad yang shahih, padahal syarat ini tidak ada. Yang kedua, memberikan pahala si kafir atas sebagian amalnya merupakan karunia dari Allah Ta’ala. Ini tidak dikesampingkan oleh akal.  Apabila ini merupakan satu ketetapan, maka Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah bukanlah qurbah yang mu’tabar, akan tetapi bisa saja Allah mengkaruniakan Abu Lahab dengan apa yang dikehendaki-Nya sebagaimana Allah mengkaruniakan kepada Abu Thalib. Karena itu, yang menjadi ikutan dalam hal demikian adalah tauqif baik nafi atau itsbat. Ibnu hajar mengatakan, alhasil bahwa terjadi karunia tersebut karena  mempermuliakan atas orang kafir yang terjadi kebaikan padanya dan seumpamanya. Wallahua’lam. [3]

II.   Al-Qisthalaniy mengatakan, dengan hadits ini dilakukan pendalilian bahwa amalan kebaikan orang kafir kadang-kadang bermanfaat di negeri akhirat. Namun ini tertolak dengan dhahir firman Allah Ta’ala. Kemudian beliau menyebut ayat al-Qur’an Surat al-Furqan : 23 diatas. Selanjutnya mengatakan, lebih-lebih lagi hadits ini merupakan hadits mursal ‘Urwah dimana beliau tidak menyebut siapa yang menyampaikan hadits ini kepada beliau. Seandainya hadits ini bersambung sanadnya, hadits ini juga tidak dapat menjadi hujjah. Karena itu hanya mimpi, sedangkan mimpi tidak dapat menjadi hujjah syar’iah. Namun demikian, kemungkinan hal-hal yang berhubungan dengan Nabi SAW di kecualikan dari demikian dengan dalil keringanan azab pada Abu Thalib yang diriwayat dalam hadits shahih. Sebelumnya al-Qiisthalaniy mengatakan, dhahir hadits ini Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah sebelum menyusui Nabi SAW. Sementara dalam kitab-kitab sejarah berbeda, yakni Abu Lahab memerdekakannya sebelum hijrah jauh setelah menyusui.[4]

III. Ibnu Bathal dalam kitabnya Syarah Shahih al-Bukhari, setelah menjelaskan kemungkinan diringankan azab orang kafir dalam api neraka sebagaimana penjelasan dua ulama di atas, beliau mengatakan, shahih pendapat ulama yang mentakwilkan hadits yang datang dari Allah (hadits Qudsi) :

أن رحمته ‌سبقت ‌غضبه

“Sesungguhnya rahmat Allah dapat mengalahkan kemurkaan-Nya.”

dengan makna rahmat Allah Ta’ala tidak terputus dari ahli neraka yang kekal di dalamnya, karena kekuasaan Allah Ta’ala dapat menciptakan atas mereka azab dimana azab tersebut bagi mereka merupakan rahmat dan keringanan dibandingkan dengan asal azabnya.[5]

IV. Imam al-Suyuthi dalam risalah kecil beliau, Hasan al-Maqshid fi ‘amal al-Maulid dalam berhujjah keutamaan memperingati maulid Nabi SAW, beliau mengatakan pernah melihat dalam kitab ‘Arf al-Ta’rid bi Maulid al-Syarif karangan al-Hafidh Syamsuddin bin al-Jazriy yang berhujjah keutamaan memperingati maulid Nabi SAW dengan kisah Abu Lahab di atas. Demikian juga dalam kitab maurid al-Shaadiy fi Maulid al-Haadiy karangan al-Hafidh Naashiruddin al-Dimasyqiy yang berbunyi : “Sesungguhnya shahih bahwa Abu Lahab diringankannya dari  azab api neraka pada sekitar hari  Senin dengan sebab memerdekakan Tsuwaibah karena merasa gembira lahir nya Nabi SAW.[6]

Penutup

Tulisan ini hanya sekedar penambah wawasan kita terhadap pemahaman hadits di atas. Penulis tidak dalam posisi membuat sebuah kesimpulan terhadap pemahaman-pemahaman para ulama di atas. Akhirnya, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi kaum muslimin. Insya Allah.



[1] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz.  VII, Hal. 9, No 5101

[2] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 145

[3] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 146

[4] Al-Qishthalaniy, Irsyad al-Saariy li syarh Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 31-32

[5] Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 195-196

[6] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 196-197

Minggu, 09 Januari 2022

Tajdid Wudhu’

 

Secara harfiyah tajdid wudhu’ bermakna memperbaharui wudhu’. Adapun dalam fiqh, tajdid wudhu’ dimaknai tindakan seseorang melakukan wudhu’ pada saat wudu yang pertama belum batal. Devinisi ini sesuai dengan penjelasan Imam al-Nawawi dalam kitab beliau, Majmu’ Syarah al-Muhazzab berikut ini :

اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِ ‌تَجْدِيدِ ‌الْوُضُوءِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ عَلَى وُضُوءٍ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُحْدِثَ

Ashhab kita (ulama mazhab Syafi’i) sepakat atas dianjurkan tajdid wudhu’, yaitu seseorang dalam keadaan berwudhu’, kemudian mlakukan wudhu’ lagi pada saat dia belum berhadats. [1]

Adapun hukum tajdid wudhu’ sebagaimana dikemukakan Imam al-Nawawi di atas, bahwa para ulama Mazhab Syafi’i sepakat atas dianjurkannya.

Dalilnya antara lain, Nabi SAW bersabda :

مَنْ تَوَضَّأَ عَلَى طُهْرٍ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ

“Barangsiapa yang berwudhu’ di atas kesuciannya, maka ditetapkan atasnya sepuluh kebaikan.” (H.R. Abu Daud dan lainnya)[2]

Namun terjadi khilafiyah dalam hal waktu anjuran pelaksanaan tajdid wudhu’. Masih dalam kitab Majmu’, Imam al-Nawawi menjelaskan kepada kita :

وَمَتَى يُسْتَحَبُّ: فِيهِ خَمْسَةُ أَوْجُهٍ أَصَحُّهَا إنْ صَلَّى بالوضوء الاول فرضا أو نفلا استحب والا فلا وَبِهِ قَطَعَ الْبَغَوِيّ (وَالثَّانِي) إنْ صَلَّى فَرْضًا اُسْتُحِبَّ وَإِلَّا فَلَا وَبِهِ قَطَعَ الْفُورَانِيُّ (وَالثَّالِثُ) يُسْتَحَبُّ إنْ كَانَ فَعَلَ بِالْوُضُوءِ الْأَوَّلِ مَا يَقْصِدُ لَهُ الْوُضُوءَ وَإِلَّا فَلَا ذَكَرَهُ الشَّاشِيُّ فِي كِتَابَيْهِ الْمُعْتَمَدِ وَالْمُسْتَظْهَرَيْ فِي بَابِ الْمَاءِ واختاره (والرابع) إن صلى بالاول أو سجده لِتِلَاوَةٍ أَوْ شُكْرٍ أَوْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي مصحف اُسْتُحِبَّ وَإِلَّا فَلَا وَبِهِ قَطَعَ الشَّيْخُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيُّ فِي أَوَّلِ كِتَابِهِ الْفُرُوقِ: وَالْخَامِسُ يُسْتَحَبُّ التَّجْدِيدُ وَلَوْ لَمْ يَفْعَلْ بِالْوُضُوءِ الْأَوَّلِ شَيْئًا أَصْلًا حَكَاهُ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ قَالَ وَهَذَا إنَّمَا يَصِحُّ إذَا تَخَلَّلَ بَيْنَ الْوُضُوءِ وَالتَّجْدِيدِ زَمَنٌ يَقَعُ بِمِثْلِهِ تَفْرِيقٌ فَأَمَّا إذَا وَصَلَهُ بِالْوُضُوءِ فَهُوَ فِي حُكْمِ غَسْلَةٍ رَابِعَةٍ وَهَذَا الْوَجْهُ غَرِيبٌ جِدًّا وَقَدْ قَطَعَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي كِتَابِهِ شَرْحِ الْفُرُوعِ وَالْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّي وَالرُّويَانِيُّ وَآخَرُونَ بِأَنَّهُ يُكْرَهُ التَّجْدِيدُ إذَا لَمْ يؤد بالاول قال َالْمُتَوَلِّي وَالرُّويَانِيُّ وكذا لو توضأ وقَرَأَ الْقُرْآنَ فِي مصحف يُكْرَهُ التَّجْدِيدُ قَالَا وَلَوْ سَجَدَ لِتِلَاوَةٍ أَوْ شُكْرٍ لَمْ يُسْتَحَبَّ التَّجْدِيدُ وَلَا يُكْرَهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

“Kapan dianjurkan tajdid wudhu’?. Ada lima pendapat ulama. Yang lebih shahih adalah seandainya jika dengan wudhu’ pertama telah pernah dilakukan shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah, maka di anjurkannya. Jika tidak, maka tidak dianjurkan. Pendapat pertama ini telah dinyatakan qatha’ oleh al-Baghwiy. Pendapat kedua : jika telah pernah dilakukan shalat fardhu dengannnya, maka dianjurkan. Jika  tidak, maka tidak dianjurkan.pendapat ini telah dinyatakan qatha’ oleh al-Furaaniy. Pendapat ketiga : dianjurkan jika pernah dilakukan dengan wudhu’ pertama apa yang menjadi qashadnya wudhu’nya tersebut. Jika tidak, maka tidak dianjurkan. Pendapat ini telah disebut oleh al-Syasyiy dalam kitabnya, al-Mu’tamad dan al-Mustazhhariy dalam bab air. Beliau memilih pendapat ini. Ke-empat : seandainya telah pernah dilakukan shalat dengan wudhu’ pertama, sujud tilawah, atau sujud syukur ataupun membaca al-Qur’an pada mashaf, maka dianjurkan. Jika tidak, maka tidak dianjurkan. Pendapat ini telah dinyatakan qatha’ oleh Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini pada awal kitabnya al-Furuuq. Ke-lima : dianjurkan tajdid meskipun tidak melakukan apapun sama sekali dengan wudhu’ pertama. Pendapat ini telah dihikayah oleh Imam al-Haramain. Beliau mengatakan, ini hanya dibenarkan apabia diselangi waktu dimana seukuran waktu tersebut menjadi pembeda di antara wudhu’ dan tajdid. Adapun apabila tajdid tersebut bersambung dengan wudhu’ pertama, maka dihukum dalam hokum basuh yang ke-empat kalinya. Pendapat ini sangat gharib (jauh). Al-Qadhi Abu al-Thayyib dalam kitabnya Syarah al-Furuu’, al-Baghwiy, al-Mutawalliy, al-Ruyyaniy dan lainnya telah menyatakan qatha’ makruh tajdid apabila tidak pernah menunai apapun dengan wudu’ pertama. Al-Mutawally dan al-Ruuyaniy mengatakan, demikian juga seandainya telah pernah berwudhu’ dan membaca al-Qur’an pada mashaf, maka dimakruhkan tajdid dan kedua beliau ini juga mengatakan, seandainya pernah sujud tilawah dan syukur, maka tidak dianjurkan tajdid, akan tetapi tidak makruh. Wallahua’lam.”[3]

Sesuai dengan pendapat yang pertama yang dinyatakan lebih shahih oleh Imam al-Nawawi di atas, maka tajdid wudhu’ dianjurkan apabila dengan wudhu’ pertama telah pernah dilakukan shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Ini sesuai juga dengan penjelasan Imam al-Ramli dalam kitab beliau, Ghayah al-Bayan sebagai berikut :

)كَذَاك تَجْدِيد الوضو إِن صلى فَرِيضَة أَو سنة أَو نفلا) أى يسن تَجْدِيد الْوضُوء إِذا صلى بِهِ فَرِيضَة أَو سنة أَو نفلا مُطلقًا أى بِخِلَاف الْغسْل وَالتَّيَمُّم لِأَن مُوجب الْوضُوء أغلب وقوعا وَاحْتِمَال عدم الشُّعُور بِهِ أقرب فَيكون الِاحْتِيَاط بِهِ أهم ولخير أبي دَاوُد وَغَيره (من تَوَضَّأ على طهر كتب لَهُ عشر حَسَنَات) وَالظَّاهِر كَمَا قَالَ بَعضهم إِلْحَاق الطّواف بِالصَّلَاةِ فرضا أَو نفلا إِذْ هُوَ فِي مَعْنَاهَا لِأَنَّهُ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم سمى الطّواف بِالْبَيْتِ صَلَاة قَالَ وَلم أر أحدا ذكره

Demikian juga disunnahkan tajdid wudhu’ apabila telah dilakukan shalat dengannya shalat fardhu atau shalat sunnah. Artinya disunnahkan tajdid wudhu’ apabila seseorang telah melakukan shalat fardhu, sunnah atau sunnat mutlaq. Ini berbeda dengan mandi dan tayammum, karena yang menjadi penyebab wudhu’ sering terjadi dan pula kemungkinan lupa wudhu’ lebih memungkinkan terjadi. Karena itu, sikap ihtiyath dalam wudhu’ lebih diutamakan. Dan juga karena beramal dengan hadits Abu Daud “Barangsiapa yang berwudhu’ di atas kesuciannya, maka ditetapkan atasnya sepuluh kebaikan.” Yang dhahir sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama thawaf dihubungkan kepada shalat juga, baik thawaf fardhu maupun thawaf sunnah. Karena thawaf pada makna shalat. Karena Nabi SAW menamakan thawaf di baitullah dengan shalat. Sebagian ulama tersebut mengatakan,  namun belum pernah aku melihat seseorangpun yang menyebutnya.”[4]

Namun demikian,  terkait thawaf, Syeikh Sulaiman al-Jamal berpendapat lain, beliau mengatakan :

وَلَا طَوَافٍ، وَإِنْ كَانَ مُلْحَقًا بِالصَّلَاةِ

Tidak disunnahkan tajdid wudhu’ dengan sebab telah melaksanakan thawaf, meskipun thawaf dapat dihubungkan kepada shalat.[5]

Di samping dalam hal keadaan di atas, Syeikh Sulaiman al-Jamal menyebut ada dua keadaan lain yang dianjurkan tajdid wudhu’, yakni bagi orang yang menyapu sepatu dan pada wudhu’ yang disempurnakan dengan tayammum karena luka anggota wudhu’ atau karena sebab lain. Beliau mengatakan :

وَيُسْتَحَبُّ تَجْدِيدُ الْوُضُوءِ لِمَاسِحِ الْخُفِّ وَفِي الْوُضُوءِ الْمُكَمَّلِ بِالتَّيَمُّمِ لِجِرَاحَةٍ وَنَحْوِهَا

Dianjurkan tajdid wudhu’ bagi penyapu sepatu dan pada wudhu’ yang disempurnakan dengan tayamum karena luka dan lainnya.[6]

Kesimpulan :

Berdasarkan keterangan dari nash-nash ulama di atas, dsimpulkan sebagai berikut :

1.       Sunnah tajdid wudhu' dilakukan apabila :

- Wudhu' pertama sudah pernah di gunakan utk shalat fardhu atau sunnah sesuai dengan pendapat yang dinyatakan lebih shahih oleh Imam al-Nawawi.

- Wudhu' pertama sudah pernah digunakan utk thawaf (terjadi khilafiyah sebagaimana nash nash di atas )

2.  Sunnah tajdid wudhu' bagi yg menyapu sepatu dalam wudhu'nya

 

3. Sunnah tajdid wudhu' bagi wudhu' yg disempurnakan dengan  tayamun karena luka anggota wudhu' dan seumpamanya.

 

 



[1] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 494

[2] Imam al-Ramli, Ghayah al-Bayan, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 73

[3]   Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 494

[4] Imam al-Ramli, Ghayah al-Bayan, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 73

[5] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Manhaj al-Thulab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 165

[6] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Manhaj al-Thulab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 165