Senin, 27 Desember 2021

Mudharat Mestinya Dihilangkan (Rangkuman Penjelasan Imam al-Suyuthi)

 

Penjelasan terkait kandungan judul diatas, dalam kitabnya, al-Asyabah wa al-Nadhair Imam al-Suyuthi memulai dengan qaidah fiqh yang cukup populer di kalangan penuntul ilmu fiqh, yakni :

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

Mudharat mesti dihilang

Qaidah ini didasarkan kepada hadits Nabi SAW berbunyi :

لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Hadits ini diriwayat oleh Imam Malik dari ‘Amr bin Yahya dari bapaknya secara mursal dan juga telah keluarkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak serta al-Baihaqi dan al-Darulquthny dari hadits Abu Sa’id al-Khudri. Juga telah dikeluarkan hadits ini oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shaamit.

Banyak bab fiqh yang berlandasan qawaid ini antara lain : raad dengan alasan ‘aib serta jenis-jenis khiyar lainnya karena berbeda sifat yang disyaratkan dalam akad, ta’zir, masalah pailit, pengampuan dengan jenis-jenisnya dan syafa’ah. Semua ini disyari’atkan demi menghilangkan mudharat.

Ada beberapa qaidah lain yang terkait dengan qaidah di atas, yaitu :

Qaidah pertama :

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ  بشرط غدم نقصانها عنها

Mudharat dapat memubahkan yang haram dengat syarat mudharat tersebut tidak kurang dari yang diharamkan

 

Artinya kualitas mudharat yang ditimbulkan apabila dilakukan suatu perbuatan tidak kurang dibandingkan mudharat yang ditimbulkan dengan melakukan yang diharamkan. Misalnya boleh makan bangkai ketika sangat lapar, boleh minum khamar dan mengucapkan kalimat kufur karena paksaan. Berdasarkan qaidah ini pula, seandainya bangkai merupakan mayat seorang nabi, maka tidak halal dimakan demi memelihara nyawa, karena kehormatan mayat seorang nabi lebih diutamakan dalam pandangan syara’ dibandingkan nyawa yang bukan nabi. Demikian juga tidak dihalalkan membunuh dan berzina seandainya seseorang dipaksa membunuh atau berzina, karena mafsadah yang ditimbulkan karena kedua hal tersebut sebanding dengan memelihara jiwa orang yang dipaksa atau bahkan bisa jadi lebih. Termasuk juga dalam qaidah ini, mayat dikebumikan tanpa kapan. Berdasarkan ini, mayat tersebut tidak boleh digali kembali untuk dikafani, karena mafsadah menghilangkan kehormatan mayat lebih besar dibandingkan mafsadah tidak mengkafani mayat yang sudah ditutupi tanah yang dapat dianggap pengganti kapan.

 

Qaidah kedua :

 

مَااُبِحُ لِلضَّرُوْرَةِ بقدر تعذرها

Apa yang diperbolehkan karena kemudlaratan diukur menurut kadar mudharatnya.

 

Contohnya antara lain tidak boleh makan bangkai bagi orang mudharat kecuali sekedar cukup memelihara nyawa, boleh ambil makanan di negeri harbi (negeri yang sudah dinyatakan perang oleh pemerintah muslim) sekedar kebutuhan, dimaafkan bagian tubuh yang diistinjak dengan batu akan tetapi kalau seseorang menanggung batu istinjak tersebut dalam shalat, maka shalatnya batal. Termasuk juga dalam qaidah ini dimaafkan bangkai binatang yang tidak ada darah yang mengalir. Namun apabila sengaja dibuang bangkai tersebut dalam air, maka tidak dimaafkan.

Yang mendekati dengan makna qaidah ini qaidah yang berbunyi :

ما جاز لعذر بطل بزواله

Sesuatu yang dibolehkan karena faktor kesukaran, maka batal dengan sebab hilang kesukaran tersebut

 

Contohnya : tayamum batal dengan sebab wujud air sebelum masuk dalam shalat dan kesaksian atas kesaksian dari saksi yang tidak dapat hadir karena sakit atau uzur lainnya batal apabila saksi yang sesungguhnya tersebut  hadir sebelum hakim memutuskan perkara.

 

Qaidah ketiga :

 

اَلضَّرَرُلا يُزَالُ بالضرر

Kemudharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang lain

Contohnya : seseorang yang menimpa kemudharatan tidak boleh makan makanan milik orang lain yang mudharat juga kecuali yang menimpa kemudharatan tersebut adalah seorang Nabi. Maka boleh seorang nabi mengambilnya untuk dirinya dan wajib pemilik makanan memberikan kepada Nabi,

Qaidah keempat :

اِذَا تَعَارَضَ الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

Jika ada dua kemadharatan yang bertentangan, maka diperhatikan kemadaratan yang paling besar dengan mengabaikan kemudharatan yang paling ringan

 

 Qaidah kelima :

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan

Berdasarkan qaidah ini, apabila bertentangan antara mafsadah dan kemaslahatan, maka pada ghalibnya didahulukan menolak mafsadah. Karena syariat lebih mementingkan perkara larangan dari pada perkara yang wajib. Dalilnya Nabi SAW bersabda :

اذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم واذا نهيتكم عن شيئ فاجتبوه

Apabila aku memerintahkan kamu dengan suatu perintah, maka laksanakanlah menurut kemampuanmu dan apabila aku larang dari sesuatu, maka jauhilah.

 

Karena itu, syariat mentoleransikan meninggalkan sebagian kewajiban dengan sebab kesukaran yang ringan seperti berdiri pada shalat, kebolehan berbuka, dan dalam bab bersuci. Akan tetapi tidak ditoleransikan dalam melakukan perbuatan larangan, terlebih lagi yang termasuk dosa besar.

Termasuk yang didasarkan kepada qaidah ini, mubalaghah berkumur-kumur dan isytinsyaq disunahkan namun makruh bagi orang yang berpuasa, takhlil rambut sunnah dalam thaharah namun makruh bagi orang ihram.

Namun demikian, apabila kemaslahatan lebih unggul dibandingkan mafsadah, maka yang diutamakan adalah kemaslahatan. Contohnya melakukan shalat dengan ketiadaan syarat-syarat shalat berupa bersuci, menutup aurat dan menghadap kiblat. Ketiadaan syarat-syarat tersebut merupakan mafsadah, karena tanpa syarat-syarat terebut mencederai sifat jalal Allah dimana seseorang tidak bermunajat kepada Allah kecuali dia dalam keadaan yang sempurna. Namun demikian, apabila seseorang sukar memenuhi syarat-syarat tersebut dibolehkan shalat, karena mendahulukan kemaslahatan shalat atas mafsadah di atas. Contoh lain adalah berdusta adalah mafsadah yang diharamkan, namun apabila mengandung kemaslahatan yang lebih utama dibandingkan mafsadahnya, maka dibolehkan seperti berdusta demi mendamaikan antara dua manusia yang bersengketa dan berdusta demi kebaikan isteri.

Menurut Imam al-Suyuthi, Pada hakikatnya, jenis ini termasuk :

ارْتِكَابِ أَخَفِّ الْمُفْسِدَتَين

(Al- Asybah wa al-Nadhair karangan Imam al-Suyuthi Hal. 59-62 , Terbitan al-Haramain)

 

Kamis, 23 Desember 2021

Kisah Israiliyat dalam Tafsir

 Dalam kitab tafsir, kisah-kisah Israiliyat seringkali digunakan untuk menjelaskan tentang suatu hal menyangkut peristiwa masa lampau sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Kebanyakan peristiwa tersebut dalam al-qur’an disebut hanya sekilas saja. Dengan ada penambahan kisahnya melalui kisah kisah Israiliyat ini, maka alur ceritanya menjadi lebih menarik dan diharapkan menjadi nasehat bagi pembacanya. Kisah-kisah israiliyat menyebar tidak lepas berawal dari keingintahuan umat Islam untuk menggali informasi terutama tentang kisah-kisah dalam Al-Quran yang tidak merinci peristiwanya. Keingintahuan itu tersalurkan dengan menanyakan informasi yang dibutuhkan kepada ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani yang hidup di tengah-tengah umat Islam ketika itu. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mengatakan, manakala para ahli tafisr menginginkan mengetahui berita-berita yang dirindukan jiwa kemanusiannya perihal sebab-sebab kejadian pada alam, permulaan penciptaan, dan rahasia-rahasia wujud, maka mereka bertanya kepada ahli kitab sebelumnya dan mengambil faedah dari mereka. Mereka adalah para Yahudi dan kaum Nashara yang mengikuti agama mereka.[1]

Pengertian dan sumber Israiliyat dalam tafsir

Yang dimaksud dengan israiliyat di sini adalah berupa kisah-kisah kuno yang masuk dalam tafsir yang asal periwayatannya bersumber dari ahli kitab, yakni Yahudi dan Nasrani.Disebut Israiliyat karena kebanyakan riwayat tersebut sumbernya dari Bani israil (Yahudi). Manna’ al-Qathan dalam kitabnya, Mabahits fi Ulumi  al-Qur’an mengatakan, berita-berita yang disampaikan oleh ahli kitab setelah mereka masuk Islam disebut Israiliyat termasuk bab taghlib (dominan) perkataan Yahudi atas Nashrani, karena nukilan dari Yahudi lebih banyak dibandingkan nukilan dari Nashrani. Sebabnya para yahudi lebih banyak bergaul dengan kaum Muslimim pada masa awal kemunculan Islam dan hijrah ke Madinah.[2] Dr Zahabi mengatakan, Israiliyat adalah berupa kisah-kisah kuno yang masuk dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya bersumber dari Yahudi, Nasrani dan lainnya.[3]

Manna’ al-Qathanmenyebutkan, para ahli tafsir biasanya meriwayatkan kisah kisah Israiliyat ini dari empat tokoh yaitu, Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.[4]

 

Pembagian Kisah-Kisah Israiliyat ditinjau dari aspek keshahihannya dan hukum periwayatannya

 

Melihat dari aspek keshahihannya,  Ibnu Katsir membagi kisah-kisah Israiliyat terbagi kepada tiga, yakni :

1.       Yang diketahui keshahihannya, karena didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul

2.       Yang diketahui kedustaannya, karena bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul

3.       Maskuut ’anhu (tidak dibenarkan dan juga tidak didustakannya). Ini dibolehkan meriwayatkannya.[5]

Hukum meriwayatkan kisah Israiliyat dapat dikatagorikan dalam tiga katagori sesuai dengan pembagian kisah Israiliyat di atas, yaitu :

1). Kisah Israiliyat yang sesuai dengan syari’at Islam/diketahui keshahihannya

Katagori ini dibenarkan periwayatannya dan dimasukkan dalam tafsir. Karena kandungan riwayat tersebut bersesuaian dengan berita yang tersebut dalam Kitabullah dan al-Sunnah. Ini berdasarkan firman Allah SWT :

فَإِن كُنتَ فِي شَكّٖ مِّمَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ فَسۡـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقۡرَءُونَ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكَۚ لَقَدۡ جَآءَكَ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ

 

Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Q.S. Yunus : 94).

 

Al-Kazhin dalam tafsirnya mengatakan, “Para ahli tahqiq dari mufassir mengatakan, orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu itu adalah para ahli kitab yang telah beriman seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawan, karena mereka terpercaya dengan berita-beritanya.[6] Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat di atas menafsirkan, “Hai penyembah berhala, apabila kamu ragu kandungan al-Qur’an, maka tanyalah kepada kaum Yahudi yang telah masuk Islam, yakni Abdullah bin Salam dan yang sepertinya. Karena penyembah-penyembah berhala tersebut mengakui bahwa kaum Yahudi lebih mengetahui karena yahudi itu termasuk ahli kitab.[7]

Kebolehan meriwayat kisah Israiliyat dalam katagori ini juga telah dikemukan oleh al-Muhallab sebagaimana dikutip oleh Ibnu Bathal, yaitu sebagai berikut : “Adapun bertanya kepada Ahli Kitab tentang berita-berita yang membenarkan syari’at kita dan membenarkan berita-berita yang datang dari Nabi kita SAW berupa berita-berita umat terdahulu, maka tidak terlarang.”[8]

 

2). Kisah Israiliyat yang bertentangan dengan syari’at Islam

Kisah israiliyat dalam katagori ini tidak diragukan lagi keharaman meriwayatkannya. Ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi : Dari Ibnu Abbas r.a. berkata :

يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، ‌كَيْفَ ‌تَسْأَلُونَ ‌أَهْلَ ‌الْكِتَابِ، وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ بِاللهِ، تَقْرَؤُونَهُ لَمْ يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ اللهُ وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكِتَابَ، فَقَالُوا: هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ {لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا} أَفَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ، وَلَا وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ.

Wahai sekalian kaum muslimin, bagaimana bisa kalian bertanya kepada ahli kitab sedangkan kitab kalian yang diturunkan kepada nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam adalah kitab paling baru tentang Allah. Kalian membacanya dengan tidak dicampur aduk, dan Allah telah memberitahu kalian bahwa orang-orang ahli kitab telah merubah apa yang telah Allah tetapkan, dan mereka merubahnya dengan tangan mereka, lalu mereka berkata ini dari Allah dengan maksud (menjualnya dengan harga yang sedikit). Bukankah dengan ilmu yang telah datang kepada kalian berarti Dia melarang kalian untuk bertanya kepada mereka?.Tidak, demi Allah, kami tidak melihat seorangpun dari mereka yang bertanya tentang apa yang diturunkan kepada kalian". (H.R. Bukhari )[9]

 

3). Tidak dibenarkan dan juga tidak dustakan (maskut ‘anhu)

Kisah Israiliyat dalam katagori ini sebagaimana pendapat Ibnu Katsir di atas dan ulama lainnya yang disebut di bawah ini adalah boleh meriwatkannya dengan catatan tidak dalam posisi membenarkan atau mendustakan berita tersebut sebagaimana banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir para ulama. Dalilnya adalah sebagai berikut :

a.       Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda :

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ

Karena itu, jangan kalian benarkan ahli kitab dan jangan pula kalian dustakan. Katakan kepada mereka : “Kami Beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada kami. (H.R. Bukhari)[10]

b.      Dari Abdullah bin Amr meriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW bersabda :

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً ‌وَحَدِّثُوا ‌عَنْ ‌بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka". (H.R. Bukhari)[11]

 

Ibnu Hajar al-Asqalany dalam mensyarah hadits ini berkomentar, diberikan kelonggaran untuk menerima berita dari Bani Israil. Karena sebelumnya Rasulullah SAW melarang menerima berita dari mereka dan melihat dalam kitab-kitab mereka, kemudian ada kelonggaran. Hal ini kemungkinan larangan tersebut yang terjadi sebelum mantap hukum-hukum Islam dan qawaid agama karena takut fitnah. Kemudian pada saat hilang kekuatiran tersebut, maka diberikan izin menerima berita dari mereka, karena ada yang dapat diambil i’tibar dari mendengar berita-berita yang terjadi pada zaman mereka.[12]

Imam Syafi’i dalam mengomentari hadits ini mengatakan, termasuk yang kita maklumi bahwa Nabi SAW tidak membolehkan menyampaikan berita dusta. Karena itu, makna hadits ini adalah : “Sampaikan berita dari Bani Israil apa-apa yang tidak diketahui kedustaannya. Adapun yang kalian diizinkan, maka tidak salah kalian menerima berita dari mereka. Hadits ini serupa maksudnya dengan hadits “Apabila ada berita yang disampaikan oleh ahli kitab, maka jangan kamu benarkan dan jangan kamu dustai mereka.”[13]

Mulla al-Qary seorang ulama hadits terkenal dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan, Ini bukan bermakna membolehkan kedustaan mereka, akan tetapi untuk menolak waham tidak ada kelonggaran menerima berita dari mereka, meskipun tidak diketahui sah dan isnadnya karena jauh zamannya. Demikian dalam kitab Syarah al-Sunnah dan diikuti pula oleh Zain al-Arab dan sesuai dengan isyarat al-Muzdhir, yakni dikaitkan dengan apabila tidak dimaklum dengan yakin atau dhan dusta apa yang mereka katakan. Selanjutnya Mulla al-Qary menulis, al-Sayyid Jamaluddin mengatakan, jalan kompromi antara larangan menyibuk diri dengan berita dari Bani Israil dan kelonggaran yang dipahami dari hadits ini adalah yang dimaksud dengan menerima berita adalah menerima berita tentang kisah-kisah dalam ayat-ayat keajaiban seperti kisah “Uj bin ‘Unuq, bunuh diri Bani Israil karena taubat mereka dari penyembahan lembu dan tafsil kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an. Karena yang demikian ada ada i’tibar dan nasehat bagi orang punya mata hati. Dan apapun yang dimaksud dengan larangan menerima beritanya adalah larangan menukil hokum-hukum dari kitab mereka, karena semua syariat dan agama telah mansukh dengan syari’at Nabi SAW.[14]

Dalam mensyarah hadits ini, Al-Munawi mengutip perkataan al-Thiiby, yakni tidak saling bertentangan antara izin di sini dan larangan menerima beritanya pada hadits lain serta larangan melihat kitab Bani Israil, karena yang dimaksud di sini adalah menerima kisah-kisah mereka seperti bunuh diri karena taubat mereka dan yang dimaksud dengan larangan adalah larangan beramal dengan hukum-hukum karena sudah mansukh dengan syari’at Nabi SAW. Atau larangan tersebut terjadi pada awal Islam sebelum mantap hukum-hukum agama dan qawaid Islam. Karena itu, manakala sudah mantap, maka diizinkan karena sudah aman dari kekuatirannya.[15]

 

 

 

 



[1] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 439

[2] Manna’ al-Qathan, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 345

[3]Dr. Muhammad Husain al-Zahabi,Al-Israiliyat fil Tafsir wal-Hadits, Maktabah Wahbah, Kairo, Hal.13

[4]Manna’ al-Qathan, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 346

[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 528

[6]Al-Kazhin, Tafsir al-Kazhin, Dar al-Kutub al-ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 464

[7]Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 382

[8] Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 391

[9] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 181, No. 2685

[10] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 20, No. 4485

[11] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 170, No. 3461

[12] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz, VI, Hal. 198

[13]Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 199

[14] Mulla al-Qari, Mirqatul Mafatih, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal, 281

[15] Al-Munawy, Faid al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 206



Sabtu, 30 Oktober 2021

Jenis-Jenis Karamah menurut Imam Tajuddin al-Subki

Berikut jenis-jenis karamah yang disebut oleh Imam Tajuddin al-Subki yang kami rangkum dari kitab beliau, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra (Juz II, Hal. 338-243)

1.    Menghidupkan makhluq yang sudah mati

Diperkuatkan jenis ini dengan kisah Abi ‘Ubaid al-Busry. Beliau pernah ikut dalam sebuah peperangan dengan menunggang kuda. Dalam peperangan tersebut, kuda itu mati. Abi ‘Ubaid berdoa kepada Allah agar dapat menghidupkan kembali kudanya. Sehingga pada saat beliau kembali ke Busr, kudanya itu berdiri akan tetapi dua telinganya sudah hilang. Setelah selesai peperangan dan sampai ke Busr, beliau memerintah pembantunya mengambil pelana dari kuda. Pada saat pelana diambil, kuda tersebut rubuh dalam keadaan mati. Al-Subki mengatakan, kisah-kisah seperti ini banyak. Namun di akhir penjelasannya, beliau mengatakan, Kecuali aku mengatakan, tidak shahih di sisiku sesungguhnya seorang wali dapat hidup kembali setelah mengalami kematian dalam waktu yang cukup lama setelah menjadi tulang belulang yang hancur, kemudian hidup dalam waktu yang lama. Ukuran ini tidak sampai kepada kita dan aku meng i’tiqad ini pernah terjadi pada seorang wali. Akan tetapi tidak diragukan yang seperti ini ada terjadi pada para Nabi ‘alaihimussalam. Contoh seperti ini adalah mu’jizat , tidak sampai karamah kepada derajat ini. Karena itu, mungkin saja seorang nabi sebelum selesai nubuwahnya menghidupkan umat yang terdahulu beberapa zaman, kemudian hidup merasakan kehidupan dalam beberapa zaman. Kemudian al-Subki melanjutkan, sekarang aku tidak mengi’tiqad ada seorang wali dapat menghidupkan Imam Syafi’i dan Abu Hanifah untuk kita yang keduanya merasakan kehidupan dalam waktu yang lama sebagaimana aktifitasnya sebelum wafat. Bahkan tidak juga dalam waktu yang pendek dimana keduanya dapat bergaul dengan orang-orang yang masih hidup sebagaimana terjadi sebelum wafat.

2.    Berbicara orang yang sudah mati

Ini lebih banyak dari jenis sebelumnya. Contoh ini pernah diriwayat dari al-Kharaz r.a., kemudian dari Syeikh Abd al-Qadir al-Jailany r.a., dan sebagian guru-guru dari Syeikh al-Imam al-Walid (ayah dari Imam Tajuddin al-Subky)

3.    Terbelah dan kering laut dan dapat berjalan di atas air

Semua ini banyak. Sesungguhnya telah sepakat terjadi yang seperti ini pada Syeikh al-Islam Sayyid al-Mutaakhiriin Taqiyuddin ibn Daqiiq al-‘Id.

4.    Berubah wujud benda

Sebagaimana dihikayah bahwa Syeikh ‘Isa al-Hitar al-Yamany pernah seseorang dengan tujuan memperolok-olok mengirimkan kepada beliau dua bejana yang penuh dengan khamar. Lalu beliau menuangkan isi salah satu bejana dalam bejana yang lain. Kemudian mengatakan kepada yang hadir, “Bismillah, makanlah!”  Merekapun makan. Pada ketika itu, isi bejana tersebut menjadi minyak samin yang tidak pernah dilihat bandingan warna dan aromanya.

5.    Pendek jarak bumi

Mereka menceritakan, sebagian aulia yang berada di Jami’ Tharasus rindu berziarah ke Masjidil haram. Lalu aulia itu memasukan kepalanya dalam jubahnya, lalu dikeluarkannya dalam keadaan sudah berada di Masjidil haram. al-Subky mengatakan, qadar kumpulan cerita-cerita jenis ini sampai tingkatan mutawatir, hanya pembohong saja yang mengingkarinya.

6.    Berbicara benda mati dan hewan

Tidak diragukan keberadaan dan banyaknya. Salah satunya apa yang dihikayah bahwa Ibrahim bin Adham pernah duduk di satu jalan di Baitul Maqdis di bawah pohon delima. Pohon delima berkata kepada beliau sebanyak tiga kali, “Hai Abu Ishaq, muliakanlah aku dengan memakan aku.” Pohon delima tersebut pendek, rasanya asam. Ketika itu, Ibrahim bin Adham pun memakan sebuah dari delima. Kemudian jadi manis rasa buahnya dan berbuah delima tersebut dua kali dalam setahun. Kemudian dinamai delima tersebut dengan nama Delima ‘Abidin.

7.    Menyembuh orang sakit

Sebagaimana dihikayah dari al-Sariyyi yang menceritakan seorang laki-laki yang beliau temui di sebagian gunung, dapat menyembuh penyakit menahun, buta dan berbagai penyakit lainnya. Juga dihikayah dari Syeikh Abd al-Qadir pernah mengatakan kepada seorang anak kecil yang tidak bisa berdiri karena lumpuh, buta dan menderita kusta, “Berdirilah dengan izin Allah”. Tiba-tiba anak kecil tersebut dapat berdiri tanpa ada penyakit lagi.

8.    Tunduk hewan-hewan

Sebagaimana kisah singa dengan Abi Sa’id bin Abi al-Khair al-Miihaniy, Ibrahim al-Khawass mencium singa. Bahkan tunduk benda mati, sebagaimana cerita pada Sulthan Ulama Syeikh al-Islam ‘Izzuddin bin Abd al-Salam dan perkataan beliau dalam peperangan Franka, “Hai angin, ambil mereka”. Saat itu juga angin menghempas mereka.

9. Menyingkatkan waktu

10. Memanjangkan waktu

Penjelasan tentang kedua jenis ini sukar dipahami. Karena itu, menyerahkan kepada ahlinya lebih utama terkait keyakinan ini. Kisah-kisah tentang kedua ini banyak.

11. Istijabah doa

“Jenis ini banyak sekali, kami pernah menyaksikan sendiri pada satu jama’ah” kata al-Subki.

12. Menahan lisan dari kalam

13. Menarik hati sebagian manusia dalam satu majelis yang sangat dibencinya

14. Menceritakan sebagian berita ghaib dan kasyaf.

Tingkatan banyaknya keluar dari batasan terhingga

15. Sabar tanpa makan dan minum dalam waktu yang lama

16. Maqam tashrif (dapat mengatur kejadian alam)

17. Mampu memperoleh makanan yang banyak

18. Terpelihara dari makan yang haram

Sebagaimana diceritakan dari al-Haaris al-Muhaasibiy  bahwa terangkat bau busuk makanan yang haram ke hidung beliau, maka beliau tidak memakannya.

19. Melihat tempat yang jauh dari belakang hijab

Sebagaimana dikatakan, bahwa Syeikh Abu Ishaq al-Syairazi dapat menyaksikan ka’bah, padahal beliau berada di Baghdad

20. Dapat memunculkan rasa takut yang luar biasa sehingga dapat menyebabkan mati orang yang berhadapan dengannya dengan semata-mata  melihatnya

21. Terjaga mereka dari kejahatan orang yang mempunyai rencana keburukan atas mereka sebagaimana kisah Imam Syafi’i r.a.  bersama Harun al-Rasyid.

22. Dapat berubah dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda

Ini yang dinamakan oleh para sufi dengan alam mitsal. Mereka menetapkan adanya alam yang berada di antara alam jisim dan alam arwah yang disebut dengan alam mitsal. Alam mitsal ini lebih halus dari alam jisim dan lebih kasar dari alam arwah. Berdasarkan adanya alam mitsal ini, para sufi mengatakan arwah dapat membentuk dirinya menjadi jasad dan nyata dalam bentuk yang berbeda-beda di alam mitsal.

Dihikayahkan dari Qazhib Alban al-Mushiiliy, beliau termasuk seorang abdal, dituduh tidak melaksanakan shalat oleh sebagian orang yang tidak melihat beliau shalat. Lalu al-Mushiiliy dengan serta merta memunculkan bentuk beliau dalam beberapa bentuk yang berbeda, seraya bertanya, “Dalam bentuk yang mana dari beberapa ini, kamu melihat aku tidak shalat?”.

23. Mengetahui isi kandungan bumi

Sebagaimana dihikayah dari Abu Turab, pada saat beliau menghentak kakinya di bumi, pada ketika itu muncullah mata air yang jernih.

24. Kemudahan para ulama dalam mengarang kitab-kitab dalam waktu yang singkat

25. Tidak membekas racun dan benda-benda yang mematikan.

 

Sabtu, 09 Oktober 2021

Menyimak Pandangan Ulama Mengenai Ahli Fatarah

 

I.     Pengertian fatarah

Menurut kamus al-Munawir, secara bahasa ahli bermakna famili, kerabat, keluarga, penghuni, yang bertanggung jawab, pengikut. Sedangkan makna fatarah antara lain tenang, reda, masa dan periode.  Adapun makna ahli fatarah dalam istilah menurut Ibnu Hajar al-Haitami adalah orang-orang yang tidak diutus seorang Rasul kepada mereka.[1]  Dalam Kitab al-Hawi lil fatawa karangan al-Suyuthi dijelaskan bahwa ahli fatarah adalah umat-umat yang zaman hidupnya berada antara dua zaman para Rasul yang tidak diutus kepada mereka risalah rasul pertama dan mereka juga tidak mendapati rasul yang kedua. Misalnya orang-orang Arab yang tidak diutus kepada mereka Nabi Isa as dan mereka juga tidak terhubung dengan Nabi SAW. Fatarah dengan makna ini mencakup zaman di antara semua para Rasul. Namun pada saat membahas patarah, para fuqaha mendefinisi sebagai fatarah hanya antara zaman Nabi Isa as dan Nabi SAW.[2] Senada dengan al-Suyuthi, Hasan al-‘Ithar menyebutkan ahli fatarah adalah setiap orang yang zaman hidupnya berada antara dua orang rasul, dimana rasul pertama tidak diutus kepada mereka dan sedangkan mereka juga tidak mendapati rasul kedua.[3]

Adapun fatarah antara Isa dan diutus Nabi SAW adalah sekitar 600 tahun.[4] Hal ini sesuai dengan hadits riwayat al-Bukhari berbunyi :

عن سلمان الفارسي قال : فترة بين عيسى ومحمد عليهما الصلاة والسلام ستمائة سنة .

“Dari Salman al-Farisi, beliau mengatakan, fatarah antara Isa dan Muhammad semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan atas keduanya adalah 600 tahun.”  (H.R. al-Bukhari)[5]

 

Ibnu Hajar al-Asqalany telah menisbahkan pendapat ini kepada jumhur ahli ma’rifah bi al-akhbar.[6]

II.  Padangan para ulama status ahli fatarah antara Nabi Isa As dan Nabi Kita Muhammad SAW.

Para ulama setelah sepakat terjadi fatarah dalam bidang furu’ syariat, mereka  berbeda pendapat dalam mengomentari status ahli fatarah dalam bidang aqaid.[7] Menurut Muhammad al-Dusuqi terjadi perbedaan pendapat ulama dalam dua kelompok pendapat, yakni :

1.       fatarah hanya dalam furu’ syariat, tidak ada fatarah dalam akidah

2.       fatarah dalam akidah dan furu’ syariat.

 

Al-Dusuqi menjelaskan kepada kita terjadi perbedaan pendapat, apakah apakah memadai taklif  ‘aqaid dengan sampai dakwah siapa  saja dari seorang nabi atau diharuskan sampai dakwah seorang nabi dizamannya. Pendapat memadai taklif  ‘aqaid dengan sampai dakwah siapa  saja dari seorang nabi berargumentasi tidak ada fatarah dalam aqaid, berbeda dengan furu’, karena aqaid disepakati di antara para rasul. Sedangkan pendapat diharuskan sampai dakwah seorang nabi dizamannya, melihat dalam bidang ‘aqaid berlaku fatarah juga sama halnya dengan furu’.[8] Dhahirnya al-Dusuqi lebih cenderung kepada pendapat pertama, sebagaimana ucapan beliau :

ومن هذا يعلم انه لا يصح بنجاة احد من الجاهلية الذين لا معرفة عندهم بالعقائد لكونه من اهل الفترة

“Dari ini dapat dimaklumi bahwa tidak shahih pendapat terlepas seseorang yang hidup pada zaman Jahiliyah yang tidak mengenal aqidah di sisi mereka karena mereka termasuk ahli fatarah.” [9]

 

Namun Ibnu Hajar al-Haitamy membantah pendapat ini. Dalam al-Fatawa al-Haditsiyah beliau mengatakan, dakwaan yang mengatakan setiap orang yang tidak beriman setelah diutus Nabi Adam atau Nuh (berdasarkan awal nabi adalah Adam atau Nuh), maka mereka dalam neraka, pendapat ini menyalahi dhahir ayat al-Qur’an. Karena itu, tidak boleh menjadi pegangan.[10]

Dalam menjelaskan status ahli fatarah ini, al-Banany menjelaskan satu jama’ah dari ulama berpendapat  ahli fatarah meskipun tidak sampai dakwah seorang nabi yang diutus kepada mereka, akan tetapi telah sampai kepada mereka dakwah para nabi yang tidak diutus kepada mereka seperti  Saiyidina Musa, Harun, Sulaiman, Daud dan lain-lain. Karena itu, barangsiapa di antara mereka yang mempunyai pemikiran dan nadhar, sedangkan mereka tidak mengi’tiqad agama yang benar, maka dihukum kafir. Dan barangsiapa di antara mereka pernah mendengar satu ayat dakwah kepada Allah dan mereka meninggalkan berargumentasi dengan akalnya untuk menyatakan shahih dakwah tersebut, sedangkan mereka termasuk ahli argumentasi dan nadhar , niscaya mereka termasuk yang berpaling dari dakwah maka mereka adalah kafir. Selanjutnya al-Banany menjelaskan bahwa ini merupakan pendapat yang dipegang Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim, al-Nawawi mengatakan :

أَنَّ مَنْ مَاتَ فِي الْفَتْرَةِ عَلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ الْعَرَبُ مِنْ عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ وَلَيْسَ هَذَا مُؤَاخَذَةٌ قَبْلَ بُلُوغِ الدَّعْوَةِ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ كَانَتْ قَدْ بَلَغَتْهُمْ دَعْوَةُ إِبْرَاهِيمَ وَغَيْرِهِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ تَعَالَى وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang mati pada zaman fatarah dimana mereka dalam keadaan penyembah berhala sebagaimana halnya orang-orang Arab pada saat itu, maka mereka adalah ahli neraka. Ini bukanlah memberi azab sebelum sampai dakwah, karena telah sampai kepada mereka dakwah Nabi Ibrahim dan nabi lainnya dari para nabi-nabi semoga Allah memberikan rahmat dan kesejahteraan bagi mereka.”

Kemudian al-Banany menyebut pendapat kedua (tidak diazab ahli fatarah) yang merupakan pendapat jumhur pengikut Asy’ari, Ushuliyun dan fuqaha Syafi’yah. Mereka ini berargumentasi antara lain :

1.       hadits-hadits shahih yang menyatakan ada jama’ah ahli fatarah mendapat azab neraka merupakan hadits ahad tidak dapat dipertentangkan dengan dalil-dalil qath’i yang memastikan ahli fatarah tidak di azab dalam neraka

2.       boleh jadi orang-orang yang diazab berdasarkan hadits shahih tersebut karena ada suatu kekhususan yang menyebabkan demikian dalam ilmu Allah SWT, sebagaimana halnya dikatakan pada kasus budak beserta bayinya yang dibunuh Nabi Khizir a.s.

3.       dalil-dalil qath’i memastikan tidak ada azab sehingga ada hujjah. Karena itu, dapat dimaklumi bahwa ahli fatarah tidak di azab dalam neraka.[11]

 

Dhahirnya pendapat pertama yang dikemukan oleh al-Banani di atas merupakan pendapat kalangan al-Maturidiyah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-‘Abidin (seorang ulama mutaakhirin mazhab Hanafi), beliau mengatakan :

أَمَّا الْمَاتُرِيدِيَّةُ، فَإِنْ مَاتَ قَبْلَ مُضِيِّ مُدَّةٍ يُمْكِنُهُ فِيهَا التَّأَمُّلُ وَلَمْ يَعْتَقِدْ إيمَانًا وَلَا كُفْرًا فَلَا عِقَابَ عَلَيْهِ، بِخِلَافِ مَا إذَا اعْتَقَدَ كُفْرًا أَوْ مَاتَ بَعْدَ الْمُدَّةِ غَيْرَ مُعْتَقِدٍ شَيْئًا

“Adapun kalangan al-Maturidiyah, seandainya seseorang meninggal dunia sebelum berlalu satu masa yang memungkinkan diirinya berpikir, sedangkan dia tidak beri’tiqad iman dan tidak juga kufur, maka tidak ada siksaan atasnya. Ini berbeda apabila seseorang sempat mengi’tiqad kufur atau meninggal dunia sesudah berlalu masa berpikir, akan tetapi dia tidak mengi’tiqad apapun.”[12]

 

Dr Mustafa al-Zuhaily juga telah mengutip Pendapat al-Maturidiyah ini dalam kitabnya, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, beliau mengatakan, al-Maturidiyah mengecualikan kewajiban beriman dan i’tiqad keesaan Allah Ta’ala. Sesungguhnya ahli fatarah apabila tidak mengi’tiqad yang demikian sebagaimana yang diwajib oleh akal mereka, maka mereka diazab dan dihisab atas kesyirikan dan kekufuran mereka,  karena iman merupakan  kebaikan bagi diri seseorang yang tidak dapat menerima gugurnya dengan satu alasan apapun. Ini juga merupakan pendapat kebanyakan ulama Hanafiyah yang mewajibkan iman dan mengharamkan kufur atas setiap orang yang berakal, baik sampai dakwah kepada mereka maupun tidak sampai. Karena akal secara mandiri dapat memahami sebagian hukum Allah Ta’ala. Yang sangat utama dari hukum-hukum Allah itu adalah iman dengan Allah Ta’ala. Dan pernah diriwayat dari Abu Hanifah, beliau mengatakan, tidak ada uzur seseorang dalam hal kebodohan dengan khaliqnya, karena dia dapat menganalisa dalil-dalil keesaan Allah.[13]

Sementara itu, ada penjelasan ulama mengenai ahli fatarah ini dengan menggunakan tafshil, diantaranya al-Suyuthi dalam kitabnya al-Hawi lil Fatawi. Beliau membagikan ahli fatarah menjadi tiga kelompok, yakni :

1.       yang mempunya akidah tauhid dengan mata hatinya. Kemudian sebagian mereka ini tidak masuk dalam syari’atnya seperti Qus bin Sa’idah dan Zaid bin ‘Amr bin Nufail. Sebagian yang lain masuk dalam syari’at yang haq yang lurus, seperti Tubba’ dan kaumnya

2.       yang melakukan pergantian dan mengubah agama, berakidah musyrik, tidak bertauhid dan mengada-adakan syariat untuk diri sendiri, maka mereka membuat hukum halal dan haram. Mereka ini mayoritas seperti ‘Amr bin Luhay, seorang yang pertama sekali meciptakan ajaran menyembah berhala bagi orang Arab, menciptakan hukum-hukum. Maka Amr bin Luhay membuat syari’at membelah telinga unta bahiirah (unta yang sudah melahirkan lima kali, diberi tanda dengan membelah telinganya untuk dipersembahkan kepada berhala), membuat syariat saaibah (unta yang ditandai dengan belah telinga untuk dipersembahkan kepada berhala karena sembuh dari penyakit), membuat syariat al-waashilah (anak kambing jantan yang dipersembahkan kepada berhala) dan membuat syariat al-haami (binatang yang membuntingi anaknya, maka binatang tersebut tidak boleh lagi dinaiki dan dibebani muatan. Satu kelompok orang Arab lain menambah lagi ajaran yakni menyembah jin dan malaikat, membakar bayi mereka, membuat rumah-rumah kemudian rumah-rumah tersebut di persiapkan pelayannya dan hijab untuk menyayangi Ka’bah seperti Laata, ‘Uzza dan Manaah.

3.       Mereka ini tidak musyrik, tidak bertauhid, tidak masuk dalam syari’at seorang nabi, tidak mengadakan syariat dan agama baru, akan tetapi umurnya kekal dalam kelalaian semua ini.

 

Kemudian al-Suyuthi menjelaskan, kepada kelompok yang kedua inilah dipertempatkan hadits-hadits shahih yang menjelaskan bahwa mereka diazab dalam neraka, karena mereka kufur tanpa ‘uzur. Adapun pembagian ketiga, mereka inilah hakikat ahli fatarah dan mereka ini tidak di azab dalam neraka. Sedangkan kelompok pertama, terkait dengan Qus dan Zaid, Rasulullah pernah bersabda :

انه يبعث امة وحده

“Sesungguhnya dia itu di bangkitkan sebagai umat tersendiri”

 

Adapun Tubba’ dan orang-orang yang sama dengannya, mereka ini seperti hukum ahli agama yang masuk dalam agamanya selama mereka tidak mendapati Islam yang memansukhkan setiap agama.[14]

 

 



[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 113

[2] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 209

[3] Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Jam’ al-Jawami’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 89

[4] Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 206

[5] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 71, No 3948

[6] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 40

[7] Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62

[8] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah Thaha Putra, Semarang, Hal 53

[9] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Umm al-Baraahiin, Maktabah Thaha Putra, Semarang, Hal 53

[10] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawi al-Haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 113

[11] Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Jam al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 62-63

[12] Ibnu ‘Abidin, Hasyiah Ibnu ‘Abidin ‘ala Dur al-Mukhtar, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 185

[13] Mushtafa al-Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh (al-Madkhal-al-Mashadir-al-Hukm al-Syar’i), Dar al-Khair, Hal. 459-460.

[14]   Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawi, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 209