Sabtu, 24 Desember 2022

Bolehkah yang berqurban memakan daging qurban wajib ?

 Pada dasarnya, berqurban pada hari raya ‘Idul Adha hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i dan kebanyakan ulama. Imam al-Nawawi mengatakan :

أَنْ مَذْهَبَنَا أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي حَقِّ الْمُوسِرِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَبِلَالٌ وَأَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَعَطَاءٌ وَعَلْقَمَةُ وَالْأَسْوَدُ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَأَبُو يوسف واسحق وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيُّ وَدَاوُد وَابْنُ الْمُنْذِرِ

Sesungguhnya mazhab kita (Mazhab Syafi’i), berqurban adalah sunnah muakkadah atas orang yang mampu dan tidak wajib. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama. Termasuk yang berpendapat sunnah adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Bilal, Abu Mas’ud al-Badriy, Sa’id bin Musayyab, ‘Itha’, ‘Alqamah, al-Aswad, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsur, al-Muzaniy, Daud, dan Ibnu al-Munzir. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab VIII/385)

 

Di antara dalil yang menjadi pegangan kebanyakan ulama ini adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi :

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya. (H.R. Muslim)

 

Imam Syafi’i mengatakan, hadits ini menjadi dalil bahwa hukum kurban itu tidak wajib. Karena dalam hadits digunakan kata “arada” (siapa yang mau). Nabi SAW menyerahkan ibadah berqurban kepada kemauan seseorang. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukup Nabi SAW mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut hingga ia berkurban.” (Al-Majmu’, Syarah al-Muhazzab 8/386).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada dasarnya, berqurban hukumnya sunnah muakkadah, tidak wajib. Namun hukum sunnah ini dapat saja menjadi wajib dengan sebab nadzar atau sebab lainnya. Memang terjadi perbedaan tata cara penyaluran qurban antara yang wajib dan sunnah. Diantara perbedaannya, qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang berqurban. Zainuddin al-Malibarri dalam Kitab Fathul Mu’in menjelaskan :

ويحرم الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.

Haram makan qurban atau hadyu yang wajib dengan sebab nazar.

 

Kemudian, penjelasan di atas, dikomentari oleh Abu Bakar Syatha dalam Hasyiah I’anah al-Thalibin :

(قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها. فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء

(Perkataan pengarang : haram makan..dst), artinya yang berqurban dan yang memberikan hadyu haram memakannya. Karena itu, wajib atasnya menyalurkan semuanya sebagai sadaqah hingga termasuk tanduk dan kukunya. Apabila dimakan maka dibayar untuk disalurkan kepada fakir miskin sebagai gantinya. (I’anah al-Thalibin II/378)

 

Keharaman ini juga berlaku atas kerabat dari yang berqurban yang nafakahnya masih di bawah tanggungannya sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin dalam bab nadzar berikut ini :

‌ولا ‌يجوز ‌له ‌أي ‌الناذر ‌الأكل ‌منه ‌ولا ‌لمن ‌تلزمه ‌نفقتهم قياسا على الكفارة.اه

Makanan yang dinadzarkan tidak boleh dimakan oleh yang bernadzar dan oleh kerabat yang wajib nafkah atas orang yang bernadzar karena diqiyaskan kepada kifarat. (I’anah al-Thalibin : II/417)

Berbeda dengan qurban wajib, qurban sunnah boleh dimakan sebagiannya. Sisanya disalurkan  kepada yang berhak sebagaimana dijelaskan dalam Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin :

)وَلَهُ) أَيْ لِلْمُضَحِّي (الْأَكْلُ مِنْ أُضْحِيَّةِ تَطَوُّعٍ وَإِطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ) مِنْهَا (لَا تَمْلِيكُهُمْ) وَيَجُوزُ تَمْلِيكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا لِيَتَصَرَّفُوا فِيهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ

Boleh bagi yang berqurban memakan qurban tathawu’ (qurban tidak wajib) dan memberi makan orang kaya akan tetapi tidak boleh menjadikan milik kepada orang kaya. Boleh menjadikan milik daging qurban kepada fakir miskin supaya mereka dapat mempergunakannya dengan menjual atau lainnya. (Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin IV/255)

 

Kesimpulan

1.  Qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang berqurban dan juga kerabat yang masih dibawah tanggungannya. Semuanya wajib disalurkan kepada yang berhak

2.  Apabila yang berqurban terlanjur memakannya, maka wajib diganti, kemudian disalurkan kembali kepada fakir miskin

3.  Adapun qurban sunnah yang tidak wajib, maka yang berqurban boleh memakan sebagiannya. Sisanya diberikan kepada yang berhak.

 

Wallahua’lam bisshawab



Kamis, 22 Desember 2022

Hukum Waqaf Uang

 

Adapun dasar hukum waqaf sebagai berikut :

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ

Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfaqkan sebagian harta yang kamu cintai. Apapun yang kamu infaqkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya. (Q.S. Ali Imran : 92)

 

Dan sabda Nabi SAW berbunyi :

إذَا مَاتَ الْمُسْلِمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٌ صَالِحٌ يَدْعُو لَهُ

Apabila seorang muslim meninggal dunia, maka terputus amalnya kecuali tiga perkara ; sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang berdoa untuk orangtuanya. (H.R. Muslim)

 

Para ulama menafsirkan makna shadaqah jariah dalam hadits ini bermakna waqaf. (Tuhfah al-Muhtaj VI/235)

 

Dasar hukum lain yang menjadi landasan dari wakaf adalah perintah  Nabi SAW kepada Umar yang hendak melakukan waqaf kebun yang berlokasi di Khaibar, berbunyi :

احبس أصلها وسبل ثمرتها

Tahanlah pokoknya dan salurkanlah hasilnya. (H.R. An-Nisa’i,  Ibnu Majah dan Syafi’i)

 

Dalam riwayat lain berbunyi :

إن شئت حبست أصلها، وتصدقت بها، فتصدق بها عمر على أن لا تباع ولا توهب ولا تورث

Jika kamu mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sadaqahkannya (hasilnya). Maka Umar menyedaqahkan kebun tersebut dengan cara tidak membolehkan menjual, tidak menghibah dan juga tidak mewariskan….(H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya)

 

Dari dua riwayat ini, dipahami bahwa harta yang diwaqaf disyaratkan kekal materinya. Hanya manfaatnya saja yang diambil oleh penerima waqaf. Karena itu, harta yang diwaqaf tersebut tidak boleh diperjualbelikan, dihibah dan diwarisi. Berdasarkan ini, makanan tidak boleh diwaqafkan. Karena memanfaatkan makanan dapat menghilangkan materi makanan tersebut (tidak kekal materinya) dengan cara memakannya. Sesuai dengan penjelasan di atas, para ulama kita mendevinisikan waqaf sebagai berikut :

حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِي رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرِفٍ مُبَاحٍ

Menahan harta yang memungkinkan diambil manfaatnya dengan kekalnya materi harta tersebut, serta terputusnya hak milik dari pewakaf, untuk disalurkan pada hal yang mubah (Tuhfah al-Muhtaj VI/235)

 

Berdasarkan hadits-hadits dan devinisi waqaf di atas, maka dapat dipastikan bahwa waqaf uang tidak sah. Karena pemanfaatannya dengan cara menghilangkan penguasaan terhadap uang itu sendiri dengan cara membeli benda lain. Misalnya seseorang yang mewaqafkan uang untuk pembangunan masjid, maka tentunya dengan uang tersebut pengurus masjid membeli bahan-bahan bangunan untuk pembangunan masjid. Dengan demikian uang yang diwaqafkan hilang sebagai harta waqaf dengan sebab pemanfaatannya. Sedangkan berdasarkan hadits-hadits diatas, diperintahkan menahan harta waqaf dan diperintahkan mengambil manfaatnya  saja.

 

Solusi untuk menghindari waqaf uang

Salah satu cara untuk menghindari terjadi waqaf uang dapat dilakukan proses berikut ini :

1.  Memberikan uang kepada panitia masjid, dayah atau lainnya dengan akad wakalah (mewakilkan) untuk membeli tanah sesuai dengan yang diinginkan

2.  Setelah terjadi proses pembelian tanah oleh panitia atas nama wakil dari pemilik uang, maka langkah selanjutnya pemilik uang (sekarang sudah menjadi pemilik tanah) melakukan akad waqaf tanah kepada panitia dimaksud di atas.

3.  Dengan proses seperti ini, yang menjadi harta waqaf adalah tanah, bukan uang.

4.  Penyebutan tanah hanya sebagai contoh saja. Contoh lain bisa dalam bentuk bahan bangunan atau yang sejenisnya yang kekal materinya ketika dimanfaatkannya.

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Apakah masuk surga harus setelah masuk neraka?

 

Salah satu yang menjadi akidah Islam yang wajib kita mengimanianya, di hari qiamat kelak amal anak manusia yang baik maupun jahat akan ditimbang dengan timbangan (mizan). Allah Ta’ala berfirman :

‌وَٱلۡوَزۡنُ يَوۡمَئِذٍ ٱلۡحَقُّۚ فَمَن ثَقُلَتۡ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ وَمَنۡ خَفَّتۡ مَوَٰزِينُهُۥ فَأُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ خَسِرُوٓاْ أَنفُسَهُم بِمَا كَانُواْ بِـَٔايَٰتِنَا يَظۡلِمُونَ 

Timbangan pada hari itu adalah kebenaran. Siapa yang berat timbangan (kebaikan)-nya mereka itulah orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan (kebaikan)-nya mereka itulah yang merugikan dirinya sendiri karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat kami (Q.S. al-A’raf : 8-9)

 

Dalam ayat lain, Allah berfirman :

وَنَضَعُ ٱلۡمَوَٰزِينَ ‌ٱلۡقِسۡطَ لِيَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ فَلَا تُظۡلَمُ نَفۡسٞ شَيۡـٔٗاۖ وَإِن كَانَ مِثۡقَالَ حَبَّةٖ مِّنۡ خَرۡدَلٍ أَتَيۡنَا بِهَاۗ وَكَفَىٰ بِنَا حَٰسِبِينَ

Kami meletakkan timbangan yang tepat pada hari qiamat, sehingga tidak seorangpun dirugikan walaupun sedikit sekalipun hanya seberat biji sawi pasti Kami mendatangkannya. Cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan (Q.S. al-Anbiya : 47)

 

Tidak semua orang ditimbang amalnya sebagaimana hadits Nabi SAW berbunyi :

فَيُقَالُ: يَا مُحَمَّدُ، ‌أَدْخِلْ ‌الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِكَ مَنْ لَا حِسَابَ عَلَيْهِ مِنَ الْبَابُ الْأَيْمَنِ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ

Maka dijawab, Ya Muhammad, aku masukkan surga dari ummatmu orang-orang yang tidak ada hisab atas mereka dari pintu kanan dari pintu surga (H.R. Muslim).

 

Sebagian ummat Nabi Muhammad SAW yang mendapat keberuntungan masuk surga tanpa melewati timbangan amal sebagaimana dipahami dari hadits riwayat Muslim ini. Dalam mengomentari hadits ini, Syeikh Ahmad al-Shawi mengatakan, timbangan adalah furu’ dari hisab. Maka setiap yang dihisab, maka akan ditimbang amalnya.(Syarah al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid : 386). Demikian juga, setiap yang tidak dihisab, maka tidak akan ditimbang amalnya.

Dalam al-Qur’an Surat al-A’raf : 8-9 di atas, Allah menyebutkan dua golongan umat manusia di hari qiamat, pertama golongan yang beruntung, yakni orang-orang beriman yang timbangan amal kebaikannya berat. Golongan ini termasuk ahli surga. Kedua : orang kafir yang mengingkari ayat-ayat Allah. Mereka ini amal kebaikan mereka ringan, bahkan tidak ada sama sekali. Mereka kekal dalam api neraka. Disamping kedua golongan ini ada juga golongan manusia, karena amal kebaikannya mereka masuk surga tanpa proses timbangan amal sebagaimana dijelaskan dalam hadits Muslim di atas. Diluar tiga golongan ini, ada juga golongan manusia yang masih ada iman di dadanya. Kebaikannya bercampur dengan keburukannya. Al-Qurthubi menyebut golongan ini termasuk salah satu dari tiga golongan manusia dihari kiamat kelak. Kebaikan-kebaikan golongan ini  diletak di dalam daun timbangan yang bercahaya, sedangkan keburukan-keburukan mereka diletakkan di dalam daun timbangan yang gelap. Jika kebaikan lebih berat., maka akan masuk surga dan jika sebaliknya keburukan lebih berat, maka akan masuk neraka kecuali Allah mengampuninya. (al-Tazkirah 725-726). Dosa golongan ini kalau Allah berkehendak, maka Allah mengampuninya dan kalau Allah berkehendak, bisa jadi Allah memasukkannya dalam neraka dalam beberapa waktu, kemudian Allah mengampuninya dan kemudian memasukkannya dalam surga. Allah berfirman :

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ ‌وَيَغۡفِرُ ‌مَا ‌دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ 

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya, tetapi Dia mengampuni dosa yang selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. (Q.S. an-Nisa’ : 48)

 

Golongan yang terakhir ini, oleh al-Razi dalam tafsirnya menyebut sebagai golongan mukmin yang berbuat maksiat. Mereka ini diazab dalam beberapa waktu, kemudian diampuni dosanya. (Tafsir Mafaatih al-Ghaib XIV/204)

Berdasarkan uraian di atas, keadaan manusia terkait amalnya dapat katagorikan sebagai berikut :

1.  Manusia di hari qiamat kelak bisa saja dengan rahmat Allah masuk surga tanpa didahului masuk neraka sama sekali sebelumnya, baik karena tidak ada dosa sama sekali seperti para Rasul-Nya maupun karena Allah mengampuni semua dosa-dosanya

2.  Ada golongan manusia yang masuk surga tanpa proses timbangan amal sama sekali.

3.  Ada juga golongan manusia yang masuk neraka sebelumnya sebagai balasan amal keburukannya, kemudian Allah dengan rahmat-Nya memasukkannya dalam surga

4.  Kaum kafir, tidak pernah mendapat rahmat dari Allah dan diazab dalam neraka selama-lamanya

 


 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Hukum menunda mandi junub karena datang haid

 

Jika orang berhadas besar disebabkan janabah, berhubungan badan, selang beberapa waktu, datang bulan (haidh) belum sempat mandi janabah. Apakah wajib mandi janabah segera. Walaupun sudah haid, atau sekalian saja nanti ketika suci. Kemudian apakah niatnya satu atau dua. Karena dua hadast besar? .

 Menjawab pertanyaan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.  Orang berjunub atau hadats besar lainnya tidak harus segera mandi wajib, baik karena alasan udara yang dingin atau tanpa alasan apapun kecuali karena hendak melakukan suatu pekerjaan atau ibadah yang mewajibkan kita dalam keadaan suci seperti shalat, memegang mashaf al-Qur’an dan lain-lain. Dalam hal ini diriwayatkan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّهُ لَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي طَرِيقٍ مِنْ طُرُقِ الْمَدِينَةِ، وَهُوَ جُنُبٌ فَانْسَلَّ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ، فَتَفَقَّدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا جَاءَهُ قَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَقِيتَنِي وَأَنَا جُنُبٌ فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ حَتَّى أَغْتَسِلَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سُبْحَانَ اللهِ ‌إِنَّ ‌الْمُؤْمِنَ ‌لَا ‌يَنْجُسُ

Dari Abu Hurairah r.a, sungguh Nabi SAW bertemu dengannya di salah satu jalan kota Madinah, padahal ia masih dalam kondisi junub. Lalu ia segera pergi menghindar dan segera mandi. Nabi SAW pun mencari-carinya. Kemudian saat ia mendatanginya. Nabi SAW  bersabda, ‘Kamu dari mana wahai Abu Hurairah?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, tadi Anda menjumpaiku saat itu dalam kondisi junub, maka aku tidak senang untuk duduk-duduk bersamamu sehingga aku mandi dahulu.’ Lalu Rasulullah SAW bersabda, ‘Subhanallah, sungguh orang mukmin itu tidak najis, (Muttafaqun ‘alaih)

 

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan :

 

وَفِيهِ جَوَازُ تَأْخِيرِ الِاغْتِسَالِ عَنْ أَوَّلِ وَقت وُجُوبه

Dalam hadits dipahami kebolehan menunda mandi dari awal waktu wajib mandi. (Fathulbarri I/391

 

Namun demikian, meskipun tidak wajib, tetap dianjurkan menyegerakan mandi sebagaimana dimaklumi dalam hukum fiqh.

 

2.  Apabila seseorang sedang dalam keadaan berjunub, kemudian datang haid sebagaimana dalam kasus pertanyaan di atas, maka tidak wajib mandi dua kali. Bahkan mandi junub dimana seorang perempuan dalam keadaan berhaid tidak sah mandinya. Karena itu, perempuan tersebut memadai mandi di saat berakhir haidnya dengan satu kali mandi.

Imam as-Syafi’i dalam al-Umm menyatakan,

‌إذَا ‌أَصَابَتْ ‌الْمَرْأَةَ ‌جَنَابَةٌ ثُمَّ حَاضَتْ قَبْلَ أَنْ تَغْتَسِلَ مِنْ الْجَنَابَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا غُسْلُ الْجَنَابَةِ وَهِيَ حَائِضٌ؛ لِأَنَّهَا إنَّمَا تَغْتَسِلُ فَتَطْهُرُ بِالْغُسْلِ وَهِيَ لَا تَطْهُرُ بِالْغُسْلِ مِنْ الْجَنَابَةِ وَهِيَ حَائِضٌ فَإِذَا ذَهَبَ الْحَيْضُ عَنْهَا أَجْزَأَهَا غُسْلٌ وَاحِدٌ

Ketika wanita berjunub, lalu mengalami haid sebelum mandi junub, dia tidak wajib untuk mandi junub selama masa haid. Karena fungsi mandi bisa menyebabkan orang menjadi suci, sementara dia tidak bisa suci dengan mandi junub, sementara dia dalam kondisi haid. Jika haidnya telah selesai, maka memadai mandi sekali. (al-Umm, 1/61).


Hal yang sama juga telah ditegaskan Imam al-Nawawi :

إذَا حَاضَتْ ثُمَّ أَجْنَبَتْ أَوْ أَجْنَبَتْ ثُمَّ حَاضَتْ لَمْ يَصِحَّ غُسْلُهَا عَنْ الْجَنَابَةِ فِي حَالِ الْحَيْضِ لِأَنَّهُ لَا فَائِدَةَ فِيهِ

Ketika wanita berhaid, lalu berjunub atau berjunub, lalu berhaid, maka tidak sah mandi junubnya pada saat berhaid. Karena tidak ada faedah mandinya (Majmu’ Syarh Muhazzab II/150)

 

3.  Karena memadai dengan satu kali mandi di saat berakhir haid, maka tentunya memadai dengan satu niat saja, yakni niat mengangkat hadats besar. Bahkan apabila mandi dengan niat mengangkat hadats salah satunya seperti niat mengangkat hadats sebab junub, tetap terangkat juga hadats sebab haid. Karena maksud dari mandi haid dan junub ini sama-sama mengangkat hadats besar. Qaidah fiqh mengatakan :

إذَا اجْتَمَعَ أَمْرَانِ مِنْ جِنْسٍ وَاحِدٍ وَلَمْ يَخْتَلِفْ مَقْصُودُهُمَا دَخَلَ أَحَدُهُمَا فِي الْآخَرِ غَالِبًا

Apabila berhimpun dua perkara yang sejenis, sedangkan maksud keduanya tidak berbeda, maka salah satunya masuk dalam yang lain pada kebiasaan. (al-Asybah wan Nadhair lil Suyuthi : 126)

Al-Imam ‘Amirah menegaskan :

قَوْلُ الشَّارِحِ: (أَوْ حَيْضٍ) لَوْ كَانَ عَلَى الْمَرْأَةِ حَيْضٌ وَجَنَابَةٌ فَنَوَتْ أَحَدَهُمَا فَقَطْ ارْتَفَعَ الْآخَرُ قَطْعًا، وَاسْتَشْكَلَ الْقَطْعَ مَعَ جَرَيَانِ الْخِلَافِ فِي نَظِيرِهِ مِنْ الْوُضُوءِ.

Perkataan pensyarah : (atau haid). Jika seorang perempuan mengalami haid dan junub, lalu ia meniatkan mandi salah satunya saja, maka terangkat hadats yang lain tanpa khilaf.(Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah I/74-75)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

Rabu, 21 Desember 2022

Khidhir apakah seorang nabi dan masih hidup?

 

Menurut penjelasan Ibnu Qutaibah dalam kitab al-Ma’arif, Khidhir mempunyai nama lengkap Balya bin Mulkaan bin Faaligh bin ‘Amir bin Syaalikh bin Arfakhsyadz bin Saam bin Nuh a.s.[1].


Status Khidhir antara nabi, rasul ataupun hanya seorang wali Allah

Para ulama berbeda pendapat tentang status Khidhir, apakah beliau seorang nabi atau sekaligus berstatus sebagai Rasul atau hanya seorang wali Allah. Bahkan ada yang berpendapat bahwa beliau ini adalah seorang malaikat.[2] Namun Ibnu al-Shalah menegaskan beliau ini adalah seorang nabi, meskipun terjadi perbedaan pendapat terhadap kerasulan beliau. Ini terlihat dalam Fatwa Ibnu Shalat :

وَهُوَ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وعَلى نَبينَا والنبيين وآلهم وَسلم نَبِي وَاخْتلفُوا فِي كَونه مُرْسلا

Al-Khidhir-semoga Allah memberi rahmat dan kesejahteraan kepada beliau dan Nabi kita serta semua Nabi dan keluarga mereka- adalah seorang nabi. Para ulama berbeda pendapat terhadap kerasulan beliau.[3]

 

Pendapat kenabian Khidhir juga diikuti oleh ulama-ulama yang hidup setelah Ibnu Shalah seperti Ibnu Hajar al-Haitamiy[4] dan al-Ramli.[5] Salah satu dalil yang dikemukan oleh kelompok ini adalah firman Allah Ta’ala menghikayah perkataan al-Khidhir, berbunyi :

وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي

Apa yang aku perbuat bukanlah menurut kemauanku (Q.S. al-Kahfi : 82)

 

Apakah Nabi Khidhir masih hidup?

Terkait apakah Khidhir a.s. masih hidup sampai sekarang atau tidak. Para ulama juga masih terjadi perbedaan pendapat dalam menjelaskannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan :

قَالُوا: وَكَانَ يُكَنَّى أَبَا الْعَبَّاسِ، ‌وَيُلَقَّبُ ‌بِالْخَضِرِ، وَكَانَ مِنْ أَبْنَاءِ الْمُلُوكِ، ذَكَرَهُ النَّوَوِيُّ فِي تَهْذِيبِ الْأَسْمَاءِ، وَحَكَى هُوَ وَغَيْرُهُ فِي كَوْنِهِ بَاقِيًا إِلَى الْآنِ ثُمَّ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ قَوْلَيْنِ، وَمَالَ هُوَ وَابْنُ الصَّلَاحِ إِلَى بَقَائِهِ، وَذَكَرُوا فِي ذَلِكَ حِكَايَاتٍ وَآثَارًا عَنِ السَّلَفِ وَغَيْرِهِمْ وَجَاءَ ذِكْرُهُ فِي بَعْضِ الْأَحَادِيثِ. وَلَا يَصِحُّ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ، وَأَشْهَرُهَا أَحَادِيثُ التَّعْزِيَةِ وَإِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ

Para ulama mengatakan, Khidhir mempunyai kuniyah Abu Abbas dengan laqab al-Khidhir. Beliau termasuk keturunan para raja. Imam al-Nawawi telah menyebutnya dalam Kitab Tahzib al-Asmaa. Al-Nawawi dan ulama selainnya menyebut terdapat dua pendapat apakah Khidhir masih hidup sekarang dan sampai hari kiamat atau tidak. Al-Nawawi dan Ibnu Shalah cenderung kepada pendapat Khidhir masih hidup. Mereka ini menyampaikan cerita-cerita dan atsar dari ulama salaf dan lainnya. Telah datang pada sebagian hadits terkait tentang masih hidup Khidhir, namun tidak ada yang shahih. Yang paling terkenal adalah hadits-hadits takziah, namun isnadnya dhaif.[6]

 

Sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Ibnu al-Shalah dan al-Nawawi cenderung kepada pendapat yang mengatakan, bahwa Nabi Khidhir a.s. sampai sekarang masih hidup. Bahkan Ibnu al-Shalah dalam Fatawa beliau menyebut pendapat yang menyatakan Nabi Khidhir sudah mati sebagai pendapat syaz (ganjil).[7] Pendapat ini kemudian juga diikuti oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy. Dalam al-Fatawa al-Haditsiyah ketika ditanya apakah Nabi Khidhir dan Ilyas masih hidup?, Beliau menegaskan :

الْمُعْتَمد حياتهما ونبوتهما، وأنهما خصا بذلك فِي الأَرْض كَمَا خص إِدْرِيس وَعِيسَى صلى الله عَلَيْهِمَا وَسلم ببقائهما حيين فِي السَّمَاء.

Pendapat yang menjadi pegangan adalah keduanya masih hidup dan merupakan seorang nabi. Dikhususkan hal tersebut pada keduanya di bumi sebagaimana dikhususkan Idris a.s. dan Isa a.s. abadi sampai sekarang di langit.[8]

 

Senada dengan al-Haitamiy, Imam al-Ramli juga berpendapat yang sama. Beliau mengatakan :

وَالصَّحِيحُ أَيْضًا أَنَّهُ حَيٌّ فَقَدْ قَالَ ابْنُ الصَّلَاحِ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ عَلَى أَنَّهُ حَيٌّ وَالْعَامَّةُ مَعَهُمْ فِي ذَلِكَ

Yang menjadi pendapat shahih adalah Nabi Khidhir masih hidup. Sesungguhnya Ibnu al-Shalah, Jumhur ulama dan orang-orang shalih berpendapat masih hidup. Awam ummat sepakat dengan mereka tentang ini.[9]

 

Menurut al-Nawawi pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama dan yang disepakati dikalangan para shufi serta orang-orang shaleh. Mereka menceritakan riwayat-riwayat bertemu dengan Nabi Khidhir dan menerima ilmu dari beliau serta terjadi tanya jawab. Juga keberadaan beliau pada tempat-tempat yang mulia sangat banyak dan tidak terhingga.[10]

Sebagian ahli hadits, menolak pendapat ini dengan argumentasi antara lain firman Allah Ta’ala berbunyi :

وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ

Dan kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia sebelum kamu. (Q.S. al-Anbiya : 34)[11]

 

Namun pendalilian dengan ayat ini dibantah, karena yang dimaksud dengan “al-Khuld” adalah dijadikan abadi. Sedangkan Khidhir tidak abadi. Karena Khidhir dan lainnya semuanya mati pada saat tiupan sangkakala sebelum kiamat.[12] Diantara ahli hadits yang menolak anggapan Nabi Khidhir masih hidup adalah Imam al-Bukhari[13]

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 



[1] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 187

[2] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 187

[3] Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Maktabah al-Ulum wal Hukm, Beirut, Juz. I, hal. 185

[4] Ibnu Hajar al-Haitamiy, al-Fatawa al-Haditsiyah, Maktabah Syamilah, Hal 128

[5] Imam al-Ramli, Fatawa al-Ramli, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 222

[6] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 187

[7] Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Maktabah al-Ulum wal Hukm, Beirut, Juz. I, hal. 185-186

[8] Ibnu Hajar al-Haitamiy, al-Fatawa al-Haditsiyah, Maktabah Syamilah, Hal 128

[9] Imam al-Ramli, Fatawa al-Ramli, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 222

[10] Imam al-Ramli, Fatawa al-Ramli, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 223

[11] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 187

[12] Isma’il Haqqi, Tafsir Ruh al-Bayan, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 269

[13] Isma’il Haqqi, Tafsir Ruh al-Bayan, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 269