Sabtu, 30 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, al-Sabr wal- Taqsim Hal. 121

(الرابع) من مسالك العلة (السبر) وهو لغة الاختبار (والتقسيم) وهو إظهار الشيء الواحد على وجوه مختلفة. (وهو) أي ما ذكر من السبر والتقسيم اصطلاحا (حصر أوصاف الأصل) المقيس عليه (وإبطال ما لا يصلح) منها للعلية (فيتعين الباقي) لها كأن يحصر أوصاف البرّ في قياس الذرة عليه في الطعم وغيره ويبطل ما عدا الطعم بطريقه فيتعين الطعم للعلية (ويكفي) في دفع منع المعترض حصر الأوصاف التي ذكرها المستدل. (قول المستدل) في المناظرة في حصرها (بحثت فلم أجد) غيرها لعدالته مع أهلية النظر. (والأصل عدم غيرها) فيندفع عنه بذلك منع الحصر وتعبيري بأو كما في مختصر ابن الحاجب وبعض نسخ الأصل أولى من تعبيره في أكثرها بالواو.
Yang keempat dari masalik ‘illat adalah al-sabr wal-taqsim. Al-sabr menurut bahasa adalah menguji, sedangkan al-taqsim adalah mendhahirkan sesuatu atas aspek yang berbeda-beda. Al-sabr wal-taqsim menurut istilah adalah membatasi washaf-washaf  asal yang menjadi maqis ‘alaihi dan membatalkan washaf yang tidak layak bagi ‘illat. Maka terkhususlah sisanya menjadi ‘illat. Contohnya seperti membatasi washaf-washaf gandum pada makanan dan lainnya(1) dalam mengqiyas jagung kepadanya dan membatalkan selain makanan dengan menggunakan jalannya.(2) Maka terkhususlah makanan menjadi ‘illat. Memadai dalam menolak penolakan si pengkritik atas pembatasan washaf-washaf yang disebut oleh orang yang beristidlal dengan perkataan orang yang beristidlal dalam diskusi pembatasannya : “Sudah aku bahas, akan tetapi aku tidak mendapati selainnya”, karena adil orang yang beristidlal serta ahlinya dalam analisis. Sedangkan asalnya tidak ada selain washaf itu. Maka tertolaklah penolakan pembatasan tersebut darinya. Adapun ‘ibaratku dengan huruf “au” sebagaimana dalam Mukhtashar Ibnu al-Haajib dan sebagian naskhah asal lebih baik dari ibaratnya dengan huruf “waw” pada kebanyakan naskhah.
والناظر) لنفسه (يرجع) في حصر الأوصاف (إلى ظنه) ، فيأخذ به ولا يكابر نفسه. (فإن كان الحصر والإبطال) أي كل منهما (قطعيا فـ) ـهذا المسلك (قطعي وإلا) بأن كان كل منهما ظنيا أو أحدهما قطعيا والآخر ظنيا. (فظني وهو) أي الظني (حجة) للناظر لنفسه والمناظر غيره (في الأصحّ) لوجوب العمل بالظن، وقيل ليس بحجة مطلقا لجواز بطلان الباقي، وقيل حجة لهما إن أجمع على تعليل ذلك الحكم في الأصل حذرا من أداء بطلان الباقي إلى خطأ المجمعين، وقيل حجة للناظر دون المناظر لأن ظنه لا يقوم حجة على خصمه،
Yang menganalisis untuk dirinya sendiri, kembali dalam pembatasan washaf-washaf kepada dhannya sendiri. Maka dia mengambilnya dan tidak menyombong dirinya. Kemudian, seandainya keadaan pembatasan dan pembatalan itu, yakni keadaan setiap keduanya adalah qath’i, maka masalik ini adalah qath’i dan seandainya tidak, yakni setiap keduanya dhanni atau salah satunya qath’i, sedangkan yang lain dhanni, maka masalik ini adalah dhanni. Masalik dhanni ini menjadi hujjah bagi yang menganalisis untuk dirinya sendiri dan untuk lawan diskusi selainnya menurut pendapat yang lebih shahih, karena wajib beramal dengan dhan. Ada yang mengatakan, tidak menjadi hujjah secara mutlaq, karena bisa jadi batal sisa washafnya. Ada yang mengatakan, menjadi hujjah bagi yang menganalisis dan untuk lawan diskusi selainnya apabila terjadi ijmak atas ta’lil hukum tersebut(3) pada asal,(4) supaya terjauhkan dari mengarahkan pembatalan sisa washaf kepada tersalah orang yang ijmak.(5) Ada juga yang mengatakan, menjadi hujjah bagi yang menganalisis, tidak bagi lawan diskusinya, karena dhannya tidak menjadi hujjah atas lawan diskusinya.
Penjelasannya
(1). Washaf lainnya adalah mengenyangkan dan yang di takar dengan sukatan.[1]
(2). Dengan jalan-jalan pembatalannya. Akan ada pembahasan nantinya mengenai jalan-jalan pembatalan washaf-washaf.[2]
(3). Terjadi ijmak bahwa hukum tersebut ada ‘illatnya, bukan ta’abbudi.[3]
(4). Maqis ‘alaihi
(5). Artinya ini kadang-kadang bisa terjadi. Karena pada kejadian sebenarnya, barangkali tidak ada washaf selain washaf yang sudah dibatasi oleh orang yang beristidlal. Karenanya, apabila batal sisa washaf, sedangkan selain sisa washaf sudah dibatalkan terlebih dahulu, maka ini mengarahkan kepada penetapan tersalah atas orang yang ijmak.[4] Argumentasi ini dibantah oleh al-Banany. Beliau mengatakan, tertolak keadaannya mengarahkan kepada demikian. Karena tidak lazim dari ijmak mereka atas ta’lil hukum adanya ijmak bahwa hukum tersebut di’illatkan dengan sebuah ‘illat tertentu.[5]




[1] Abdurrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini ‘ala Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270
[2] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270
[3] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270
[4] Abdurrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini ‘ala Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 271
[5] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270

Kamis, 28 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 121

وأما مثال النظير فكخبر الصحيحين أن امرأة قالت يا رسول الله. إن أمي ماتت وعليها صوم نذر أفأصوم عنها؟ فقال أرأيت لو كان على أمك دين فقضيته أكان يؤدّى ذلك عنها ؟ قالت نعم. قال فصومي عن أمك أي فإنه يؤدّى عنها سألته عن دين الله على الميت وجواز قضائه عنه فذكر لها دين الآدمي عليه، وأقرها على جواز قضائه عنه وهما نظيران، فلو لم يكن جواز القضاء فيهما لعلية الدين له لكان بعيدا.
Adapun contoh iimaa’ pada bandingan(1) seperti hadits Shahihaini sesungguhnya seorang perempuan mengatakan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku sudah meninggal dunia dan di atasnya ada kewajiban puasa nazar, apakah aku berpuasa untuknya?”. Rasulullah menjawab, “Bagaimana seandainya ada kewajiban hutang atas ibumu, kemudian kamu membayarnya, apakah itu dapat menunaikan hutang ibumu?” “Ya, benar “ jawab perempuan tersebut. Selanjutnya Rasulullah bersabda : “Maka berpuasalah untuk ibumu.” Maksudnya, puasa tersebut dapat menunaikan kewajiban ibumu yang kamu tanyakan dari hutang Allah atas si mati(2) dan boleh qadhanya untuknya (3). Maka menyebut kepada perempuan tersebut hutang anak manusia atas seseorang dan mengakui atas kebolehan membayarnya untuk orang yang terhutang, sedangkan keduanya ini merupakan dua perkara yang sebanding(4), seandainya kebolehan membayar pada kedua perkara ini, ‘illatnya bukan hutang, maka penyertaan hukum boleh dengan hutang ini ba’id (kurang logis).

(ولا تشترط) في الإيماء (مناسبة) الوصف (المومي إليه) للحكم (في الأصحّ) بناء على أن العلة بمعنى المعرف، وقيل تشترط بناء على أنها بمعنى الباعث، وقيل وهو مختار ابن الحاجب تشترط إن فهم التعليل منها كقوله صلى الله عليه وسلّم لا يقضي القاضي وهو غضبان .لأن عدم المناسبة فيما شرط فيه لمناسبة تناقض، بخلاف ما إذا لم يفهم منها لأن التعليل يفهم من غيرها. قال المصنف في شرح المختصر تبعا للعضد والمراد من المناسبة ظهورها، وأما نفسها فلا بد منها في العلة الباعثة دون الأمارة المجردة ومرادهما بالعلة الباعثة العلة المشتملة على حكمة تبعث على الامتثال.
Dan tidak disyaratkan pada iimaa’ bahwa washaf yang disyaratkan kepadanya munasabah bagi hukum. Menurut pendapat yang lebih shahih. Ini didasarkan kepada pendapat bahwa ‘illat bermakna al-mu’arrif. Ada yang mengatakan, disyaratkan, karena didasarkan kepada ‘illat bermakna al-baa’its.(5) Ada yang mengatakan, ini merupakan pendapat Ibn al-Haajib, disyaratkan apabila dapat dipahami ta’lil(6) dari ‘illat tersebut. Contohnya sabda Nabi SAW : “Tidak menetapkan hukum oleh qadhi, sedangkan dia dalam keadaan marah”. Karena tidak munasabah pada perkara yang disyaratkan munasabah adalah saling bertentangan. Ini berbeda dengan perkara yang tidak dapat dipahami ta’lil darinya, karena ta’lil dipahami dari selainnya. Pengarang(7) dalam Syarah al-Mukhtashar karena mengikuti al-‘Azhd mengatakan, yang dimaksud dengan munasabah adalah dhahir munasabah. Adapun diri munasabah maka dimestikan ada pada ‘illat yang membangkitkan, tidak pada ‘illat amarah (tanda) semata-mata. Yang dimaksud dengan ‘illah baa’its adalah ‘illat yang mencakup atas hikmah yang dapat membangkitkan kepada menyanjung perintah.
Penjelasannya
(1).Diisyaratkan dengan washaf dan hukum kepada bandingan keduanya sebagaimana sudah dijelaskan pada pembahasan devinisi iimaa’ sebelumnya.
(2). Washaf yang menjadi bandingan (nadhir)
(3) hukum yang menjadi nadhir yang menyertai washaf nadhir.
(4).Yakni membayar hutang anak manusia dan hutang Allah.
(5). Bermakna al-mu’arrif, maksudnya ‘illat itu bermakna memperkenalkan hukum. Sedangkan makna al-baa’its, ‘illat itu bermakna membangkitkan mukallaf menyanjung perintah.[1]
(6). Menjadi suatu washaf sebagai ‘illat.
(7). Taj al-Subki.




[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 114

Rabu, 27 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 120-121

(وترتيب حكم على وصف) كأكرم العلماء فترتيب الإكرام على العلم لو لم يكن لعلية العلم له لكان بعيدا (ومنعه) أي الشارع (مما قد يفوّت المطلوب) كقوله تعالى فاسعوا إلى ذكر الله وذروا البيع فالمنع من البيع وقت نداء الجمعة الذي قد يفوّتها لو لم يكن لمظنة تفويتها لكان بعيدا.
Dan juga iimaa’ seperti menyangkutkan hukum atas washaf. Contohnya : “Muliakanlah orang berilmu”. Maka menyangkutkan memuliakan atas ilmu, seandainya penyangkutan itu bukan menunjukkan ilmu sebagai ‘iilat bagi memuliakan, maka sungguh itu jauh. Dan juga seperti larangan empunya syara’ dari hal-hal yang barangkali dapat meluputkan suatu perkara yang menjadi tuntutan. Contohnya firman Allah Ta’ala : “Maka bersegeralah kepada mengingat Allah (shalat Jum’at) dan tinggalkan jual beli”. Maka larangan jual beli pada waktu azan Jum’at yang barangkali dapat meluputkan shalat Jum’at, seandainya larangan tersebut bukan karena madhinnah (perbuatan yang menimbulkan sebuah dugaan) luput shalat Jum’at, maka sungguh itu ba'id (kurang logis)
وهذه الأمثلة أسلم ما اتفق على أنه إيماء وهو أن يكون الوصف والحكم ملفوظين وخرج بالملفوظ أي فعلاً أو قوّة الوصف المستنبط فليس اقترانه بالحكم إيماء قطعا إن كان الحكم مستنبطا أيضا، وإلا فليس بإيماء في الأصح بخلاف عكسه وهو الوصف الملفوظ والحكم المستنبط له فإنه كما علم إيماء في الأصحّ تنزيلاً للمستنبط منزلة الملفوظ، وفارق ما قبله باستلزام الوصف الحكم فيه بخلاف ما قبله لجواز كون الوصف أعم مثاله قوله تعالى وأحلّ الله البيع فحله مستلزم لصحته. ومثال ما قبله تعليل حكم الربويات بالطعم أو غيره والنزاع كما قال العضد لفظي مبني على تفسير الإيماء،
Contoh-contoh ini (1) diterima sebagai yang disepakati bahwa ia adalah iimaa’, yakni keadaan washaf dan hukum yang dilafazhkan. Dengan i’tibar perkataan “yang dilafazhkan” yakni baik secara bil-fi’l maupun bil-quwwah(2), maka keluar (tidak termasuk) washaf hasil istimbath. Karena itu, menyertai washaf hasil istimbath dengan hukum bukanlah iimaa’ secara qath’i. Ini seandainya hukum hasil istimbath juga. Dan apabila tidak demikian halnya(3), maka bukan iimaa’ juga berdasarkan pendapat yang lebih shahih. Berbeda sebaliknya, yakni washaf yang dilafazhkan, sedangkan hukum hasil istimbath, maka sebagaimana dimaklumi adalah iimaa’ menurut pendapat yang lebih shahih, karena dipertempatkan hukum hasil istimbath pada posisi yang dilafazhkan. Perbedaan dengan sebelumnya(4) adalah menunjukkan washaf kepada hukum dengan jalan iltizam (5), berbeda pada sebelumnya, karena boleh jadi keadaan washaf lebih umum.(6) Contohnya firman Allah Ta’ala : “Allah menghalalkan jual beli” (Q.S al-Baqarah : 275), maka halal jual beli menunjukkan secara iltizam kepada sah jual beli. Adapun contoh yang sebelumnya menjadikan ‘illat hukum jual beli ribawi dengan makanan atau lainnya.(7)  Perbedaan pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh al-‘Azhd adalah perbedaan lafzhi, yakni dibangun atas penafsiran makna iimaa’.
Penjelasannya
(1). Contoh-contoh dalam pembahasan sebelumnya
(2). Maksud bil fi’l dilafazh pada hissi, sedangkan bil quwwah, lafazhnya ditaqdirkan sebagaimana sudah dijelaskan pada devinisi iimaa’ sebelumnya.
(3). Maksudnya apabila washaf hasil istimbath dan hukum dilafazhkan (bukan hasil istimbath). Ini khilaf ulama. Menurut pendapat yang lebih shahih tidak termasuk iimaa.
(4). washaf hasil istimbath, baik hukumnya hasil istimbath maupun bukan.
(5). Iltizam adalah dalalah lafazh kepada lazim maknanya.[1]
(6).Ibn al-Qasim mengatakan, maksudnya, bisa jadi keadaaan washaf hasil istimbtah lebih umum dari washaf yang sebenarnya, karena bisa jadi tersalah orang yang mengistimbathnya. Karenanya, washaf tersebut tidak menunjukkan secara iltizam kepada hukum, karena tidak ada iltizam ‘am kepada khas. Maka ketika itu, lazimlah washaf hasil istimbath tersebut lebih umum dari hukum dan tidak ada iltizam kepada hukum, karena tidak iltizamnya kepada ‘iilat hukum pada kejadian sebenarnya. Maka tidak tahqiq terjadi penyertaan ketika itu.[2]
(7). Washaf hasil istimbath.[3]








[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 36
[2] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 269-270
[3] Al-Banany, Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 270

Senin, 25 September 2017

Sepuluh kelompok ilmu dalam ilmu fiqh Syafi’i yang penting diketahui (Kajian bersama Syeikh Yasin al-Fadaniy)

1.    Pengetahuan hukum, baik berupa nash imam mazhabnya atau hasil istimbath ulama pengikutnya yang didasarkan kepada nash, qawaid dan zabith dari imam mazhab. Secara garis besar, nash Imam Syafi’i terbagi kepada qaul qadim dan jadid. Qaul qadim adalah fatwa Imam Syafi’i ketika beliau berada di Baghdad, sedangkan qaul jadid adalah fatwa beliau ketika berada di Mesir.
Adapun fatwa beliau ketika berada di antara Baghdad dan Mesir, yang duluan disebut qadim dan yang datang sesudahnya disebut jadid. Kitab Imam Syafi’i yang termasuk qaul jadid antara lain al-Mukhtashar, al-Buwaithi dan al-Um. Perawi-perawi qaul qadim yang populer antara lain, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin Muhammad al-Shibaah al-Za’farany, Abu ‘Aliy al-Karaabisiy dan Abu Tsur al-Kalabiy. Adapun Perawi-perawi qaul jadid yang populer antara lain, al-Buwaithiy, al-Muzaniy, al-Ra’bi’ bin Sulaiman al-Muradiy, Harmalah, Yunus bin Abd al-A’laa, Abdullah bin al-Zubair al-Makkiy dan Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakim.
2.    Pengetahuan al-jam’u dan al-farq. Yakni pengetahuan mengenai suatu perkara yang sama hukumnya dari satu sisi dan berbeda dari sisi lain dengan perkara lain. Termasuk dalam kelompok ini ilmu yang dinamakan dengan ilmu al-Furuq, yakni pengetahuan hal-hal yang membedakan antara dua perkara yang menyerupai,  dimana keduanya tidak sama dalam hukum. Diantara kitab yang bagus tentang ilmu al-furuq ini adalah kitab Mathali’ al-Daqaiq fi al-Jawami’ wa Fawariq, karya Jamaluddin al-Asnawi.
Contoh dua perkara yang menyerupai, tapi tidak sama hukumnya : datang baligh seorang anak setelah melakukan shalat beberapa saat sebelum baligh, apakah shalat tersebut memadai untuk shalat yang diwajibkan atasnya setelah baligh? Jawabnya memadai, tidak memadai dalam perkara haji dan umrah.  Perbedaannya, shalat diperintahkannya atas anak-anak dan dipukulinya apabila tidak mau melakukannya, tidak pada perkara haji dan umrah. Dan juga haji dan umrah karena kewajibannya sekali seumur hidup, maka disyaratkan terjadi haji dan umrah dalam keadaan sempurna, tidak dalam hal shalat.
Contoh perkara-perkara yang menyerupai dan sama hukumnya : lupa shalat, puasa, haji, zakat, kifarat dan nazar. Semua perkara ini wajib qadha tanpa khilaf.
3.    Bina al-Masail, maksudya membangun hukum suatu masalah dengan mendasarkan kepada masalah lain. Ini ada enam pembagian, yakni :
a.       Bina qaulaini ‘ala qaulani (membangun dua qaul Syafi’i atas dua qaul Syafi’i yang lain).
b.      Bina qaulaini ‘ala wajhaini (membangun dua qaul atas dua wajh, wajh adalah  pendapat pengikut Syafi’i hasil istimbath dari nash dan qawaid Syafi’i )
c.       Bina wajhaini ‘ala wajhaini (membangun dua wajh atas dua wajh)
d.      Bina wajhaini ‘ala qaulaini (membangun dua wajh atas dua qaul)
e.       Bina wajhaini ‘ala qaulin wa wajhin (membangun dua wajh atas qaul dan wajh)
f.       Bina wajhin wa qaulin ‘ala wajhin  wa qaulin (membangun wajh dan qaul atas  wajh dan qaul)
Contoh bina qaulaini ‘ala qaulani adalah : bersentuhan kulit mahram dengan sebab nasab, rizha’ dan mushaharah tidak menggugurkan wudhu’ menurut pendapat azhhar (azhhar : qaul Imam Syafi’i yang dianggap lebih rajih). Alasannya, karena bersentuhan kulit mahram bukan mazhinnah syahwat dengan nisbah kepada mahram, sama halnya seperti laki-laki. Pendapat kedua runtuh wudhu’ karena beramal dengan umum ayat. Dua qaul ini dibangun dengan mendasarkan kepada dua qaul, apakah boleh mengistimbath dari nash syara’ sebuah makna yang mengkhususkan umum nash atau tidak?. Menurut pendapat yang lebih shahih, boleh. Kalau kita mentarjih boleh, maka bersentuhan kulit mahram dengan sebab nasab, rizha’ dan mushaharah tidak menggugurkan wudhu’, karena umum ayat dikhususkan kepada bersentuhan  kulit yang ada mazhinnah syahwat, yakni selain mahram.
Contoh bina wajhaini ‘ala qaulaini adalah : kulit bangkai apabila sudah disamak, apakah sah shalat apabila menggunakannya dalam shalat?, apakah sah menjualnya dan apakah boleh menggunakannya pada sesuatu yang basah?. Terjadi khilaf pengikut Syafi’i karena mendasarkan kepada khilaf qaulaini ; pendapat pertama tidak sah, karena mendasarkan kepada qaul alat sama’ tidak masuk dalam batin kulit. Pendapat kedua sama halnya dengan pakaian bernajis, karena qaul yang masyhur bathin sesuatu suci dengan sebab suci dhahirnya, sedangkan alat sama’ sampai kepada batin dengan perantaraan air dan basah-basah kulit.
Contoh bina wajhaini ‘ala wajhaini adalah : menetes air atas kepala atau menjulurkan kepala kepada hujan, apakah memadai sebagai menyapu kepala dalam bab wudhu’?. Pendapat yang lebih shahih : memadai dengan didasarkan kepada boleh membasuh. Karena membasuh adalah menyapu dengan ada tambahannya. Karena itu, memadai membasuh dengan jalan lebih aula. Pendapat kedua ; tidak memadai, karena mendasarkan kepada pendapat membasuh tidak dinamakan menyapu.
4.    Al-Mutharahaat. Al-Muthaarahaat adalah masalah-masalah yang rumit dan musykil, dimana tujuan ilmu ini adalah untuk penetapan dzihin. ‘Al-Alamah al-Hamawiy al-Hanafi mengatakan, ilmu al-Muthaarahaat ini adalah mengemukakan salah seorang yang alim kepada lainnya sebuah masalah, sehingga keduanya terjadi diskusi saling berhadapan. Diantara kitab yang membahas ilmu ini adalah kitab al-Muthaarahaat karya al-‘Alamat Abu Abdullah al-Husain bin Muhammad bin Muhammad al-Qathan. Termasuk dalam kelompok al-Muthaarahaat ini al-Munadhaarat, al-Muraasalaat dan al-Gharbiyah. Pengarang kitab al-Asybah wa al-Nadhair fi al-Furu’, Ibnu Najim al-Hanafi telah menutup karangannya tersebut dengan pembahasan al-Muthaarahaat ini.
Contoh al-Muthaarahaat yang dikutip oleh al-Taj al-Subki dari kitab al-Muthaarahaat adalah seseorang merampas hamba sahaya perempuan dari pemiliknya kemudian menjualnya. Setelah itu hamba sahaya tersebut hamil karena dihamili oleh pembelinya. Setelah hamil, hamba sahaya tersebut kembali kepada pemiliknya dan mati ketika melahirkan. Jawaban masalah ini ; seandainya pembeli mengetahui bahwa hamba sahaya itu merupakan hasil rampasan sipenjual, maka sipembeli tidak wajib membayar hamba sahaya yang mati karena melahirkan tersebut, karena anak yang dilahirkan itu tidak dihubungkan kepadanya dan tidak sah dikatakan, hamba sahaya tersebut mati karena melahirkan anak darinya. Namun seandainya sipembeli tidak mengatahui bahwa hamba sahaya itu merupakan hasil rampasan sipenjual, maka harga hamba sahaya tersebut dibebankan pada harta sipembeli. Karena apabila sipembeli tidak mengetahuinya, maka anak yang dilahirkan itu dihubungkan kepadanya. Maka sahlah dikatakan, hamba sahaya tersebut mati karena melahirkan anak darinya.
Contoh lain yang dikutip oleh al-Taj al-Subki dari kitab al-Muthaarahaat adalah : seseorang pada tangannya ada baju gamis, kemudian dia mengatakan : “Gamis ini telah telah dijahit oleh si pulan untukku”. Si pulan itu membantahnya, dengan mengatakan, “Tidak benar itu, akan tetapi ini adalah gamisku”. Maka yang terima adalah perkataan orang dimana gamis itu berada di tangannya, kecuali orang dimana gamis itu berada di tangannya tersebut mengatakan, “Pada ketika itu, aku ambil gamis ini dari penjahit ini”. Perbedaan keduanya : pada masalah pertama ada kemungkinan penjahit menjahit gamis tersebut dalam kekuasaan atau dalam rumah orang dimana gamis itu berada di tangannya. Dengan demikian, sipenjahit dalam posisi orang yang mendakwa. Karena itu, perkataan yang diterima adalah perkataan orang dimana sesuatu yang didakwa oleh orang lain berada di tangannya. Ini berbeda, apabila orang dimana gamis itu berada di tangannya mengatakan, “Aku ambil gamis ini dari penjahit ini”. Ini secara tidak lansung mengakui bahwa posisi sipenjahit sebagai orang pemegang kekuasaan atas gamis.
5.    Al-Mughaalathaat. Al-Mughaalathaat dalam ilmu al-Mizan adalah qiyas yang tersusun dari muqaddimah wahamiyah dan dusta atau yang menyerupai benar, padahal tidak benar. Adapun di sisi fuqaha adalah masalah-masalah fiqhiyah yang dilempar oleh seorang alim kepada seseorang atau sebuah jama’ah dengan tujuan menguji dan jatuh dalam salah pada waktu menjawab. Yakni sebenarnya, hukum tersebut harus dijawab secara tafshil, namun dijawab tanpa tafshil. Juga sebaliknya, sebenarnya, hukum tersebut harus dijawab tanpa tafshil, namun dijawab dengan tafshil. Termasuk dalam al-Mughaalathaat ini pengujian yang dilakukan oleh Qadhi Husain kepada Abi ‘Aliy al-Mani’iy al-Haaji supaya para fuqaha Marw menganggap salah Abi ‘Aliy al-Mani’iy al-Haaji ketika mengunjungi mereka. Masalahnya adalah seseorang merampas gandum pada zaman mahal harga barang, begitu sampai zaman murah, pemiliknya menuntut kembali. Maka apakah yang dituntut itu misal barang atau harganya?. Maka siapa yang mengatakan, yang dituntut itu misal barang saja, maka itu salah dan siapa yang mengatakan, yang dituntut itu harga saja, maka itu juga salah. Karena jawaban yang benar ada  tafshilnya, yaitu apabila gandum itu hilang pada tangan siperampas sebagaimana adanya sebelum dijadikan tepung seperti terbakar, maka wajib bayar misal barang. Adapun apabila sudah dijadikan tepung, diaduk dengan air, dijadikan roti dan dimakan, maka wajib membayar harga, karena menjadikan tepung, mengaduk dengan air, menjadikan roti termasuk yang dihargakan.
6.    Al-Dauriyaat, yakni masalah-masalah yang memutarkan tashhih sebuah pendapat kepada memfasidkannya dan memutarkan itsbat kepada menafikannya. Karya ulama mengenai ini antara lain, Ghayah al-Ghuur fi Masalah al-Daur karangan Imam al-Ghazali, al-Ghuur fi al-Daur dan Qathf al-Ghuur fi Masail al-Daur, keduanya ini karangan al-Taj al-Subki.
Al-Dauriyaat ini terbagi dua, yakni hukmiyah dan lafzhiyah. Hukmiyah adalah tempat terjadi duur pada hukum syara’, sedangkan lafzhiyah tempat terjadi duur pada lafazh yang dikemukakan oleh seseorang. Ini, kebanyakannya terjadi pada masalah-masalah wasiat, memerdekakan hamba sahaya dan talaq.
Contoh hukmiyah : Seorang majikan memberikan izin kepada hamba sahayanya untuk menikah dengan mahar seribu dan majikannya itu menanggung maharnya itu. Kemudian sebelum terjadi persetubuhan, sang majikan menjual hamba sahayanya itu kepada si isteri hamba sahayanya dengan harga seribu yang menjadi mahar tanggungan si majikan. Maka jual beli ini tidak sah. Karena kalau kita nyatakan sah jual beli, maka sihamba sahaya menjadi milik isterinya. Seandainya jadi milik isterinya, maka batallah nikah. Seandainya batal nikah dari pihak isteri, maka gugurlah mahar. Seandainya gugur mahar, maka batallah harga. Seandainya batal harga yang disebut pada waktu akad, maka batallah jual beli. Dalam kasus ini, ditaqdirkan pembolehan jual beli yang memutarkan (al-duuriyaat) kepada memfasidkan jual beli.
Contoh lafzhiyah : Seseorang mengatakan kepada isterinya : “Jika aku talaq kamu, maka kamu tertalaq sebelumnya tiga.” Kemudian suaminya mentalaqnya. Ini terdapat tiga pendapat. Pendapat pertama tidak jatuh talaq sama sekali, karena beramal dengan duur dan tashhih bagi duur. Karena seandainya jatuh talaq munjiz, maka sungguh jatuh talaq tiga sebelumnya. Pada ketika itu, tidak jatuh talaq munjiz, karena isteri sudah jatuh talaq ba-in sebelumnya. Karena itu, tidak jatuh juga talaq tiga, karena tidak wujud syaratnya, yakni adanya talaq. Pendapat kedua jatuh talaq munjiz saja. Pendapat ketiga jatuh talaq tiga, yakni yakni talaq munjiz dan dua talaq yang menjadi mu’allaq seandainya si isteri sudah pernah disetubuhinya.
7.    Ilghaz  (teka-teki), yakni kalam yang digelapkan dan tersebunyi. Dinamakan juga al-ahjiyah, karena al-hijaa bermakna akal, sedangkan ilghaz ini menguatkan akal atas ujian. Para ilmuan ilmu faraidh menamakannya ma’aayaah. Diantara kitab karya ulama mengenai ilmu ini antara lain, al-Injaz fi al-Ilghaz karya Abd al-Karim al-Rafi’i dan Tharaz al-Mahaaqil fi Ilghaz al-Masail karya al-Jamal Abd al-Rahim al-Asnawi.
Contohnya : Siapakah yang wajib qadha shalat beberapa tahun dengan sebab mati orang lain?. Jawabannya : Ummul walad yang mati majikannya di negeri lain dan dia tidak mengetahuinya kecuali setelah berlalu masa beberapa tahun, padahal selama ini dia shalat dalam keadaan terbuka kepala. Maka shalat ini batal apabila kepalanya tidak ditutupi dengan segera dan tanpa perbuatan yang banyak.
(Catatan : (1). ummul walad merdeka dengan sebab mati majikannya. (2). Ummul walad tidak wajib menutup kepala dalam shalat selama dia masih berstatus hamba sahaya)
Contoh lain : Apa yang dibinasakan oleh seorang yang melakukan ihram, atasnya wajib membayar dua harga?. Jawabannya : Seorang yang ihram yang meminjam binatang buruan, kemudian membinasakannya. Maka atasnya wajib membayar harganya kepada si pemiliknya dan fidyah hewan ternak untuk hak Allah.
8.    Al-Hilah, yakni celah hukum. Menurut Al-‘Alamah al-Hamawi dalam ilmu fiqh, hilah adalah hal-hal yang dapat melepaskan dari jeratan hukum syara’ bagi orang-orang yang diuji dengan perkara agama. Karena upaya melepaskan itu tidak dicapai kecuali dengan kecerdasan dan ketajaman analisa, maka upaya tersebut dinamakan dengan hilah. Menurut mazhab Syafi’i, hilah ini apabila qashadnya semata-mata zatnya, bukan qashad meraih yang haram, maka hukumnya boleh tanpa makruh. Adapun apabila qashad meraih yang haram, hukumnya makruh. Dikecualikan jalan hilah yang haram, maka ini, hukumnya haram seperti perbuatan Yahudi melampaui batas dalam kisah  Hari Sabtu. Qashad Yahudi dalam kasus ini adalah menguasai ikan dan masuk ikan dalam galian mereka yang telah disediakan sebelum Hari Sabtu. Diantara kitab yang membahas mengenai hilah ini adalah al-Hail al-Daafi’ah karya Abu Hatim Majhud bin al-Husain al-Anshary al-Quzwainiy.
Contoh hilah : melakukan jual beli ribawi yang sejenis, sedangkan ukurannya berbeda. Hilahnya dengan menjual emas kepada yang mempunyai emas juga dengan dirham, kemudian sipenjual ini membeli emas yang ada pada pembeli pertama dengan dirham yang sudah ada ditangannya sesudah terjadi qabath iqbath. Maka ini dibolehkan meskipun sudah menjadi adat kebiasaan, belum terpisah dari majelis akad dan tidak ada hak khiyar. Hal ini karena akad jual beli kedua mengandung ijazah (izin) kepada akad pertama, berbeda seandainya akad kedua dilakukan dengan orang lain, karena menggugurkan hak khiyar orang lain.
Contoh hilah lain : Seseorang yang sudah mempunyai nisab zakat ternak, merencanakan menghindari dari kewajiban zakat. Maka hilahnya menjualnya atau menukar dengan ternak lain pada pertengahan tahun. Dengan sebab itu haulnya terpotong, karena ternak itu kepemilikannya masih baru, maka harus dengan haul baru. Namun hilah ini makruh, karena ada unsur menghindari dari qurbah.
9.    Ma’rifah al-Afrad, yakni mengenal semua pendapat yang dikemukakan oleh pengikut-pengikut imam mazhab yang mengikuti mazhab imamnya. Diantara kitab yang menjadi rujukannya adalah kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan Raudhah al-Thalibin, keduanya karya Imam al-Nawawi.
10.    Ma’rifah al-Zhawabith wa al-Qawaid, yakni mengenal zhabith-zhabit fiqh yang mengumpulkan semua furu’ dari sebuah bab dan mengenal qawaid-qawaid yang dikembalikan ushul dan furu’ kepadanya. Makna dikembalikan ushul kepadanya adalah mencakup semua qaidah atas qaidah di bawahnya. Makna dikembalikan furu’ kepadanya adalah mengeluarkan furu’ darinya.

(Tulisan di atas merupakan hasil rangkuman dari kitab Fawaid al-Janiyah Hasyiah al-Mawahib al-Saniyah Syarh al-Faraid al-Bahiyah fi Nadhm al-Qawaid al-Fiqhiyah karya Abu al-Faizh Muhammad Yaasin bin ‘Isa al-Fadaniy al-Makkiy, Juz. I, Hal. 97-105, Terbitan : Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut)



Jumat, 22 September 2017

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalik ‘Illat, Iimaa', Hal. 120

(وتفريقه بين حكمين بصفة) إما (مع ذكرهما) كخبر الصحيحين أنه صلى الله عليه وسلّم جعل للفرس سهمين وللرجل. أي صاحبه سهما ، فتفريقه بين هذين الحكمين بهاتين الصفتين لو لم يكن لعلية كل منهما لكان بعيدا (أو) مع (ذكر أحدهما) فقط كخبر الترمذي القاتل لا يرث أي بخلاف غيره المعلوم إرثه فالتفريق بين عدم الإرث المذكور والإرث المعلوم بصفة القتل في الأول لو لم يكن لعليته له لكان بعيدا
Dan juga iimaa’ itu seperti membedakan oleh empunya syara’ di antara dua hukum dengan sifat, adakalanya disertai dengan menyebut kedua hukum. Contohnya hadits Shahihaini, sesunggguhnya Nabi SAW menjadikan bagi kuda dua pembahagian dan bagi laki-laki, yakni yang punya kuda satu bagian. Maka membedakan antara dua hukum ini dengan dua sifat tersebut, seandainya pembedaan itu bukan menunjukkan ‘illat setiap kedua hukum,  maka itu sungguh ba'id (kurang logis) (1) Dan adakalanya disertai dengan menyebut salah satu hukum saja. Contohnya hadits Turmidzi : “Pembunuh tidak dapat mewarisi”, maksudnya berbeda dengan orang selainnya yang dimaklumi dapat warisan. Maka membedakan di antara tidak mendapat warisan orang tersebut dan mendapat warisan orang yang dimaklumi (2) dengan sifat membunuh pada masalah pertama, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukan pembunuhan merupakan ‘illat bagi tidak mendapat warisan, maka sungguh itu ba'id (kurang logis).
(أو) تفريقه بين حكمين، إما (بشرط) كخبر مسلم الذهب بالذهب والفضة بالفضة والبرّ بابرّ والشعير بالشعير والتمر بالتمر والملح بالملح مثلاً بمثل سواء بسواء يدا بيد، فإذا اختلفت هذه الأجناس فبيعوا كيف شئتم إذا كان يدا بيد فالتفريق بين منع البيع في هذه الأشياء متفاضلاً وجوازه عند اختلاف الجنس لو لم يكن لعلية الاختلاف للجوازلكان بعيدا
Atau seperti membedakan oleh empunya syara’ di antara dua hukum adakalanya dengan syarat. Contohnya hadits Muslim : “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, dengan sejenis, sama ukuran dan qabath-iqbath. Dan apabila berbeda jenis, maka jual belilah bagaimana kamu suka dengan syarat qabath-iqbath. Maka membedakan antara larangan jual beli pada beberapa perkara ini secara tidak sama ukurannya dan kebolehan jual beli secara tidak sama ukurannya pada ketika berbeda jenisnya, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukkan berbeda jenis ini merupakan ‘illat kebolehannya, maka sungguh itu ba'id (kurang logis)
(أوغاية) كقوله تعالى ولا تقربوهنّ حتّى يطهرن أي فإذا تطهرن فلا منع من قربانهنّ كما صرّح به عقبه بقوله فإذا تطهرن فأتوهن فتفريقه بين المنع من قربانهنّ في الحيض وجوازه في الطهر لو لم يكن لعلية الطهر للجواز لكان بعيدا (أواستثناء) كقوله تعالى فنصف ما فرضتم إلا أن يعفون أي الزوجات عن النصف فلا شيء لهن فتفريقه بين ثبوت النصف لهنّ وانتفائه عند عفوهنّ عنه لو لم يكن لعلية العفو للانتفاء لكان بعيدا. (أواستدراك) كقوله تعالى لا يؤاخذكم الله باللغو في أيمانكم إلى آخره فتفريقه بين عدم المؤاخذة بالإيمان والمؤاخذة بها عند تعقيدها لو لم يكن لعلية التعقيد للمؤاخذة لكان بعيدا.
Adakalanya membedakan dua hukum dengan ghayah. Contohnya firman Allah : “Jangan kalian mendekati mereka sehingga mereka suci” (Q.S. al-Baqarah : 222). Maksudnya apabila mereka suci, maka tidak ada larangan mendekati mereka sebagaimana diterangkan setelahnya dengan firman-Nya : “maka apabila mereka suci, datangilah mereka”. Dengan demikian, membedakan di antara larangan mendekati isteri pada waktu haid dan boleh mendekatinya pada waktu suci, seandainya pembedaan itu bukan untuk menunjukkan ‘suci merupakan ‘illat kebolehan, maka sungguh itu ba'id (kurang logis). Dan adakalanya dengan ististnaa. Contoh firman Allah : “Maka seperdua dari apa yang telah kamu tentukan maharnya kecuali isteri-isteri kamu memaafkannya”. Maksudnya isteri-isteri kamu memaafkan dari seperdua tersebut, maka tidak ada apapun bagi mereka. Karena itu, membedakan antara berhak seperdua bagi isteri dan ternafi hak seperdua ketika para isteri memaafkannya, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukkan kema’afan merupakan ‘illat bagi ternafi hak isteri, maka sungguh itu ba'id (kurang logis). Dan adakalanya dengan istidrak. Contohnya firman Allah Ta’ala : “Allah tidak menghukummu dengan sebab sumpahmu yang tidak sengaja”...hingga akhir ayat. Maka membedakan di antara tidak menghukum dengan sumpah dan menghukum dengan sumpah ketika sengaja, seandainya pembedaan tersebut bukan menunjukkan sengaja merupakan ‘illat bagi menghukumnya, maka sungguh itu  ba'id (kurang logis).
Penjelasannya :
(1). Keadaan sesuatu adalah kuda (farsiyah) menjadi ‘illat khusus mendapat dua bagian harta ghanimah dalam peperangan dan keadaan seseorang adalah seorang manusia (rajuliyah) menjadi ‘illat khusus mendapat satu bagian. Disebut ‘illat khusus, karena ‘illat mendapat bagian harta ghanimah secara umum adalah berperang atau hadir dengan niat berperang, meskipun belum berperang.[1]
(2). Orang tersebut, maksudnya pembunuh orang yang diwarisinya yang tersebut dalam hadits. Adapun orang yang dimaklumi, maksudnya orang yang dimaklumi mendapat warisan, yakni ahli waris yang tidak membunuh orang yang diwarisinya.
(3). Ayat ini, lengkapnya berbunyi :
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ
Jika kalian menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesugguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan kecuali isteri-isterimu memaafkan. (Q.S. al-Baqarah : 237)

(4). Ayat ini, lengkapnya berbunyi :
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ
Allah tidak menghukummu dengan sebab sumpahmu yang tidak sengaja, akan tetapi Allah menghukummu dengan sebab sumpahmu yang kamu sengaja.(Q.S. al-Maidah : 89)




[1] Abdurrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini ‘ala Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’) Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 267

Kamis, 21 September 2017

Orang Gila Juga Menikah

Orang gila yang sudah dewasa apabila memang membutuh kepada menikah, maka pernikahannya dapat dilakukan oleh wali mujbir, yakni ayah dan kakek atas nama orang gila tersebut. Seandainya tidak ada keduanya, maka dapat dilakukan oleh sulthan, tidak boleh oleh kerabat dekat lainnya. Pengertian gila di sini adalah gila yang bersifat tetap. Adapun apabila sifatnya tidak tetap, maka hanya boleh dinikahkan ketika sembuh dan ada izin darinya. Sama hukumnya dengan orang gila orang yang cedera akalnya dan pingsan yang tidak ada harapan sembuh lagi. Berikut ini keterangan para ulama yang menjadi dasar kesimpulan ini, yakni :
1.    Dalam al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin disebutkan :
لَا يُزَوَّجُ مَجْنُونٌ صَغِيرٌ لِأَنَّهُ لَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ فِي الْحَالِ وَبَعْدَ الْبُلُوغِ لَا يَدْرِي كَيْفَ يَكُونُ الْأَمْرُ بِخِلَافِ الصَّغِيرِ الْعَاقِلِ، فَإِنَّ الظَّاهِرَ حَاجَتُهُ إلَيْهِ بَعْدَ الْبُلُوغِ، (وَكَذَا) أَيْ لَا يُزَوَّجُ مَجْنُونٌ (كَبِيرٌ إلَّا لِحَاجَةٍ) كَأَنْ تَظْهَرَ رَغْبَتُهُ فِي النِّسَاءِ بِدَوَرَانِهِ حَوْلَهُنَّ وَتَعَلُّقِهِ بِهِنَّ وَنَحْوِ ذَلِكَ أَوْ يُتَوَقَّعُ الشِّفَاءُ بِهِ بِقَوْلِ عَدْلَيْنِ مِنْ الْأَطِبَّاءِ، (فَوَاحِدَةٌ) لِانْدِفَاعِ الْحَاجَةِ بِهَا، وَيُزَوِّجُهُ الْأَبُ ثُمَّ الْجَدُّ ثُمَّ السُّلْطَانُ دُونَ سَائِرِ الْعَصَبَاتِ كَوِلَايَةِ الْمَالِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْمُجْبِرَ تَزْوِيجُ مَجْنُونٍ ظَهَرَتْ حَاجَتُهُ
Tidak dinikahkan orang gila yang kecil, karena tidak membutuh kepada nikah pada ketika itu, sedangkan setelah baligh nanti tidak diketahui bagaimana keadaannya. Ini berbeda dengan anak kecil yang berakal, maka dhahir kebutuhan kepada nikah setelah balighnya. Demikian juga tidak dinikahkan orang gila yang sudah dewasa kecuali ada kebutuhan, seperti dhahir menyukai perempuan dengan berputar-putar di sekitar mereka, berhubungan dengan mereka dan lainnya. Atau diharapkan sembuh dengan sebab nikah berdasarkan pendapat dua orang dokter yang adil. Seandainya ada kebutuhan kepada nikah, maka dibolehkan satu saja, karena sudah terpenuhi kebutuhan dengan satu orang isteri. Orang gila ini dinikahkan oleh bapak, kemudian kakek, kemudian sulthan, tidak oleh ‘ashabah lainnya sama halnya dengan kewenangan masalah harta. Sudah ada penjelasan sebelumnya bahwa wajib atas wali mujbir menikahkan orang gila yang dhahirnya  membutuhkan nikah.[1]

Dalam mengomentari matan al-Mahalli di atas, Qalyubi mengatakan :
وَالْمُرَادُ بِالْمَجْنُونِ، الْمُطْبِقِ جُنُونُهُ وَإِلَّا فَلَا يُزَوَّجُ إلَّا فِي حَالِ إفَاقَتِهِ وَإِذْنِهِ وَكَالْمَجْنُونِ مُخْتَلُّ الْعَقْلِ وَمُغْمًى عَلَيْهِ أَيِسَ مِنْ إفَاقَتِهِ
Yang dimaksud dengan orang gila adalah yang tetap keadaan gilanya. Seandainya tidak tetap, maka tidak dinikahkan kecuali pada waktu sembuhnya dan izinnya. Sama seperti orang gila orang yang cedera akalnya dan orang pingsan yang tidak ada harapan sembuh lagi.[2]

2.    Dalam Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :
عِبَارَةُ النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي إلَّا لِحَاجَةٍ لِلنِّكَاحِ حَاصِلَةٍ حَالًا كَأَنْ تَظْهَرَ رَغْبَتُهُ فِي النِّسَاءِ بِدَوَرَانِهِ حَوْلَهُنَّ وَتَعَلُّقِهِ بِهِنَّ أَوْ مَآلًا كَتَوَقُّعِ شِفَائِهِ بِاسْتِفْرَاغِ مَائِهِ بِشَهَادَةِ عَدْلَيْنِ مِنْ الْأَطِبَّاءِ بِذَلِكَ أَوْ بِأَنْ يَحْتَاجَ إلَى مَنْ يَخْدُمُهُ وَيَتَعَهَّدُهُ وَلَا يَجِدُ فِي مَحَارِمِهِ مَنْ يَحْصُلُ بِهِ ذَلِكَ وَتَكُونُ مُؤْنَةُ النِّكَاحِ أَخَفَّ مِنْ ثَمَنِ أَمَةٍ وَتَقَدَّمَ أَنَّهُ يَلْزَمُ الْمُجْبِرَ تَزْوِيجُ مَجْنُونٍ ظَهَرَتْ حَاجَتُهُ مِنْ مَزِيدِ إيضَاحٍ اهـ
‘Ibarat al-Nihayah dan al-Muhni lebih jelas, yakni : “Kecuali karena kebutuhan yang wujud pada ketika itu, seperti dhahir menyukai orang gila tersebut kepada perempuan dengan berputar-putar sekitar perempuan dan berhubungannya dengan perempuan atau  diharapkan sembuh dengan mengosongkan spermanya berdasarkan kesaksian dua orang dokter yang adil ataupun orang gila tersebut membutuhkan perempuan yang melayaninya dan menjaganya, sedangkan dari kalangan mahramnya tidak didapati orang yang mampu melakukannya serta pula belanja nikah lebih ringan dari harga seorang hamba sahaya. Sudah ada penjelasan sebelumnya bahwa wajib atas wali mujbir menikahkan orang gila yang dhahirnya membutuhkan nikah.[3]
.




[1] Jaluluddin al-Mahalli, al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, (dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 237
[2] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala al-Mahalli, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 237
[3] Al-Syarwani, Hasyiah al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. VII, Hal.285