Sabtu, 08 Juli 2023

Pengertian Adaa’, Qadha dan I’adah (Kajian terhadap fenomena menjadi imam shalat dan khatib shalat hari raya dua kali dalam hari yang berbeda)

 

A. Pengertian Adaa’, Qadha dan I’adah Menurut Ulama Ushul

Ibadah yang dibatasi dengan waktu seperti shalat, adakalanya dilaksanakan dalam waktunya atau di luar waktu. Yang dilaksanakan di luar waktunya dinamakan qadha. Adapun yang dilaksanakan dalam waktu ada dua kemungkinan. Pertama, ibadah yang dilaksanakan pertama kalinya dalam waktu tersebut. Ini dinamakan dengan adaa’ (tunai). Sedangkan apabila dilaksanakan untuk kedua kalinya dalam waktu itu juga, dinamakan i’adah dengan semua syarat-syaratnya. Untuk lebih detil, berikut ini pengertian adaa’, qadha dan i’adah dalam kajian Ushul Fiqh, yaitu :

1.  Pengertian adaa’ (tunai)

Para ulama ushul fiqh, antara lain Zakariya al-Anshari menjelaskan kepada kita, yang dimaksud dengan adaa’ dalam ibadah adalah sebagai berikut :

( وَالأَصَحُّ أَنَّ الأَدَاءَ فِعْلُ الْعِبَادَةِ ) صوما أوصلاة أوغيرهما ( أَوْ ) فعل ( رَكْعَةٍ ) من الصلاة ( فِيْ وَقْتِهَا ) مع فعل البقية بعده واجبة كانت أومندوبة

Menurut pendapat yang lebih shahih, sesungguhnya adaa’ adalah melakukan ibadah baik puasa, shalat atau lainnya atau melakukan satu raka’at shalat dalam waktunya serta melakukan sisanya sesudah waktunya, baik itu yang wajib atau sunnat.(Ghayatul Wushul : 17)

Dari devinisi ini dipahami sebagai berikut :

a.    Pengertian adaa’ mencakup melakukan perbuatan ibadah secara keseluruhan dalam waktunya, baik wajib maupun sunnah

b.    Termasuk adaa’ melakukan satu rakaat shalat dalam waktunya, sedangkan sisanya di luar waktu. Dalam perihal shalat, masih disebut adaa’ meski hanya sempat dilakukan satu rakaat dalam waktunya didasarkan kepada sabda Nabi SAW :

من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة

Barangsiapa yang mendapati satu raka’at dari shalat, maka sungguh sudah mendapati shalatnya (Muttafaqun ‘alaihi)

 

c.    Waktu adaa’ untuk suatu ibadah adalah waktu yang sudah dibatasi syara’ untuknya.  Zakariya al-Anshari lebih lanjut menjelaskan :

( وَهُوَ ) أى وقت العبادة المؤداة ( زَمَنٌ مُقَدَّرٌ لَهَا شَرْعًا ) موسعا كان كزمن الصلوات المكتوبة وسننها أومضيقا كزمن صوم رمضان أو الأيام البيض فمالم يقدر له زمن شرعا كنذر ونفل مطلقين وغيرهما وان كان فوريا كالإيمان لايسمى فعله أداء ولا قضاء اصطلاحا

Dan waktu ibadah adaa’ adalah waktu yang telah ditentukan pada syara’, baik itu waktu yang lapang seperti waktu shalat wajib dan sunnat-sunnatnya maupun waktu yang sempit, seperti waktu puasa Ramadhan atau puasa hari putih.  Karena itu, ibadah yang tidak ditentukan waktunya pada syara’ seperti nazar mutlaq dan shalat sunnat mutlaq dan lainnya, meskipun harus segera dilakukan seperti iman tidak dinamakan dengan adaa’ dan juga tidak dinamakan dengan qadha pada istilah,(Ghayatul Wushul : 17)

2.  Pengertian qadha

Zakariya al-Anshari juga menjelaskan sebagai berikut :

وَأَنَّ الْقَضَاءَ فِعْلُهَا أَوْ إِلاَّ دُوْنَ رَكْعَةٍ بَعْدَ وَقْتِهَا  تَدَارُكًا لِمَا سَبَقَ لِفِعْلِهِ مُقْتَضٍ

Dan sesungguhnya qadha adalah melakukan ibadah sesudah keluar waktunya atau melakukannya selain yang kurang dari satu raka’at sesudah keluar waktunya agar terlaksana kembali perbuatan ibadah yang tertinggal tersebut. Melaksanakan kembali karena sudah didahului oleh sebab yang menuntut dilaksanakannya perbuatan itu.(Ghayatul Wushul : 17)

Dari devinisi ini dipahami sebagai berikut :

a.    Pengertian qadha mencakup melakukan perbuatan ibadah secara keseluruhan di luar  waktunya, baik wajib maupun sunnah

b.    Termasuk qadha melakukan tiga rakaat shalat plus sebagian dari satu rakaat di luar waktunya, sedangkan sisanya di dalam waktu.

c.    Suatu ibadah disebut qadha apabila ibadah tersebut tidak sempat dilaksanakan dalam waktunya. Dilakukan kembali di luar waktu karena sudah duluan wujud sebab yang menyebabkan wajib atau sunnah melakukannya.

3.  Pengertian I’adah

Zakariya al-Anshari menjelaskan sebagai berikut :

( وَ ) الأصح ( أَنَّ الإِعَادَةَ فِعْلُهَا ) أى العبادة ( وَقْتَهَا ثَانِيًا مُطْلَقًا ) سواء أكان لعذر من خلل فى فعلها أولا أوحصول فضيلة لم تكن فى فعلها أولا لكون الإمام أعلم أو أورع أو الجمع أكثر أو المكان أشرف أم لغير عذر ظاهر بأن استوت الجماعتان أو زادت الأولى بفضيلة

Dan menurut pendapat yang lebih shahih, sesungguhnya i’adah adalah melakukan ibadah dalam waktunya untuk kedua kalinya secara mutlaq, baik karena ‘uzur berupa cacat dalam melakukan ibadah yang pertama atau untuk menghasilkan fadhilah yang tidak ada pada perbuatan pertama, hal itu karena imamnya lebih ‘alim, wara’, jama’ahnya lebih banyak, atau tempat lebih mulia maupun baik hal itu karena tidak ada ‘uzurnya yang dhahir yakni kedua jama’ah sama kedudukannya atau jama’ah yang pertama lebih fadhilahnya.(Ghayatul Wushul : 17-18)

 

Dari devinisi ini dipahami sebagai berikut :

a.    I’adah adalah mengulangi melakukan ibadah untuk kedua kalinya masih di dalam waktunya

b.    Ibadah pertama yang sudah dilakukan diulang kembali (i’adah) karena ada cacat pada ibadah pertama atau untuk menghasilkan fadhilah yang tidak terdapat pada ibadah pertama seperti karena imam lebih ‘alim, jama’ah lebih banyak, tempat lebih mulia ataupun memang tidak ada ke‘uzuran yang dhahir sama sekali karena kedua jamaah nilainya sama atau bahkan jamaah pertama lebih utama.

B.   Waktu Shalat Hari Raya

Shalat hari raya merupakan shalat sunnah yang mempunyai waktu tertentu. Para ulama sepakat akhir dari waktunya tergelincir matahari. Al-Khatib al-Syarbaini menyebut dalam kitabnya :

) وَأَمَّا كَوْنُ آخِرِ وَقْتِهَا الزَّوَالَ فَمُتَّفَقٌ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ يَدْخُلُ بِهِ وَقْتُ صَلَاةٍ أُخْرَى

Adapun batas akhir shalat hari raya adalah tergelincir matahari maka itu sudah disepakati ulama. (Mughni al-Muhtaj : I/587)

 

Dasar kesepakatan ini antara lain hadits Abu ‘Umair bin Anas mengatakan,

حَدثنِي عمومتي من الإنصارقَالُوا أغمى علينا هِلَال شَوَّال فأصبحنا صياما فجَاء ركب من آخر النَّهَار فَشَهِدُوا أَنهم رَأَوْا الْهلَال بالْأَمْس فَأَمرهمْ النَّبِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَن يفطروا وَأَن يخرجُوا من الْغَد إِلَى عيدهم

Telah meriwayatkan kepadaku paman-pamanku dari golongan Anshar dari bahwa mereka berkata, 'Telah tertutup awan bagi kami hilal Syawal, maka pada pagi harinya kami tetap berpuasa. Datanglah kemudian satu rombongan pada sore hari, dan mereka pun bersaksi kepada Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka untuk berbuka, dan juga memerintahkan untuk shalat Idulfitri pada keesokan harinya.(H.R Ibnu Majah, al-Nisa’ dan Abu Daud)

Hadits ini juga telah diriwayat oleh al-Baihaqi. Beliau mengatakan, isnadnya shahih. (al-Sunan al-Kubra lil Baihaqi : VI/621). Al-Darulquthni mengatakan, hadits ini hasan. (Kasyf al-Qanaa’ ‘an matan al-Iqnaa’ : II/50)

Hadis tersebut menunjukkan, jika informasi ru’yatul hilal datangnya pada waktu sore hari, yakni sudah melampaui waktu tergelincir matahari, maka shalat hari raya tidak dapat lagi dilaksanakan pada hari itu, melainkan dilaksanakan pada keesokan harinya pada 2 syawal besoknya secara qadha.

Terjadi perbedaan pendapat para ulama terkait awal waktunya. Adapun menurut pendapat kuat di kalangan ulama Syafi’iyah adalah sesudah terbit matahari pada hari raya. Imam al-Nawawi mengatakan,

وَاتَّفَقَ الْأَصْحَابُ عَلَى أَنَّ آخِرَ وَقْتِ صَلَاةِ الْعِيدِ زَوَالُ الشَّمْسِ وَفِي أَوَّلِ وَقْتِهَا وَجْهَانِ (أَصَحُّهُمَا) وَبِهِ قَطَعَ الْمُصَنِّفُ وَصَاحِبُ الشَّامِلِ وَالرُّويَانِيُّ وَآخَرُونَ أَنَّهُ مِنْ أَوَّلِ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَالْأَفْضَلُ تَأْخِيرُهَا حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ قَدْرَ رُمْحٍ (وَالثَّانِي) أَنَّهُ يَدْخُلُ بِارْتِفَاعِ الشَّمْسِ وَبِهِ قَطَعَ البندنيجي والمصنف في التلبيه وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الصَّيْدَلَانِيِّ وَالْبَغَوِيِّ وَغَيْرِهِمَا

Pengikut Syafi’i sepakat bahwa akhir waktu shalat hari raya adalah tergelincir matahari. Adapun awal waktunya terdapat dua pendapat. Pendapat yang lebih shahih adalah awal terbit matahari. Pendapat ini telah ditegaskan (qatha’) oleh Abu Ishaq al-Syirazi dalam al-Muhazzab, pengarang Syaamil, al-Ruyani dan lainnya. Yang lebih utama menunggu naik matahari ukuran satu tombak. Adapun pendapat kedua menyatakan bahwa masuknya waktu shalat hari raya adalah ketika naiknya matahari. Pendapat ini ditegaskan oleh Al-Bandaniji dan Abu Ishaq al-Syirazi dalam kitab At-Tanbih. Pendapat ini zhahirnya adalah ucapan Ash-Shaidalani, Al-Baghawi dan selain keduanya. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab : IV/5)

 

Syeikh Ahmad al-Shawi salah seorang ulama Malikiyah mengatakan, mazhab Malik, Ahmad dan jumhur ulama berpendapat, waktunya mulai ketika naiknya matahari ukuran satu tombak. (Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Syarh al-Shaghir : I/524).

C.   Hukum menjadi imam shalat dan khatib shalat hari raya dua kali dalam hari yang berbeda

Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam kalangan masyarakat kita dalam menentukan kapan hari raya, biasanya muncul sebuah fenomena sebagian ustadz atau teungku yang melaksanakan shalat hari raya atau khutbah hari raya dua kali pada hari yang berbeda. Alasannya hari pertama merupakan hari raya menurut ilmu dan dugaannya (zhan), sedangkan pada hari kedua karena terlanjur menerima undangan dari panitia penyelenggaraan shalat hari raya atau bisa juga sebaliknya. Lalu bagaimana hukumnya, melaksanakan shalat hari raya atau khutbah hari raya dua kali pada hari yang berbeda sebagaimana tergambar dalam fenomena di atas ?.

Jawabannya sebagai berikut :

1.  Apabila seseorang pada hari pertama melaksanakan shalat hari raya atau khutbahnya hanya sekedar karena faktor terlanjur menerima undangan panitia penyelenggara shalat hari raya, sedangkan hari raya yang sebenarnya menurutnya adalah hari kedua, maka orang ini sudah termasuk tala’ub bil ibadah (bermain-main dengan ibadah). Karena dengan sengaja melakukan ibadah belum masuk dalam waktunya. Tindakan tala’ub dalam ibadah hukumnya haram. (Lihat pengertian adaa’ pada awal tulisan).

Dalam qaidah fiqh disebutkan :

أن العبرة في العبادات بمجموع الأمرين: ما في نفس الأمر وما في ظن المكلف.

Yang menjadi patokan dalam ibadah adalah terkumpulnya dua perkara, yaitu kejadian sebenarnya dan menurut zhan mukallaf. (I’anah al-Thalibin : III/16)

 

2.  Apabila seseorang pada hari pertama melaksanakan shalat hari raya atau khutbahnya memang sesuai dengan ilmu dan zhannya, sedangkan pengulangan pada kedua hanya sekedar karena faktor terlanjur menerima undangan panitia penyelenggara shalat hari raya, maka pengulangan pada hari kedua ini konsekwensinya sebagai berikut :

a.  Bukan adaa’. Karena dia melakukannya bukan dalam waktu sesuai dengan ilmu dan zhannya. Sedangkan adaa’ adalah melakukan ibadah dalam waktunya

b.  Bukan qadha. Karena qadha adalah pengulangan melakukan ibadah sesudah keluar waktunya karena tidak sempat melakukannya dalam waktu

c.  Bukan i’adah. Karena i’adah adalah pengulangan melakukan ibadah yang terjadi masih dalam waktunya. (Lihat pengertian adaa’, qadha dan i’adah di atas)

Karena shalat hari raya merupakan ibadah yang dibatasi dengan waktu tertentu, maka ia tidak terlepas dari kriteria adaa’, qadha ataupun i’adah sebagaimana penjelasan di atas. Karena itu, pengulangan shalat hari raya sebagaimana terdapat pada point 2, menurut penulis adalah tidak sah dan hukumnya haram, karena tidak sesuai dengan petunjuk syara’. Nabi SAW bersabda :

‌مَنْ ‌أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang melakukan sesuatu dalam perkara kami ini yang tidak berasal darinya, maka tertolak. (Muttafaquun ‘alaihi)

 

3.  Apabila seseorang karena undangan panitia penyelenggara shalat hari raya bertindak sebagai khatib dengan niat sebagai ceramah biasa, hanya berpura-pura berkhutbah hari raya, karena yang bersangkutan menurut ilmu dan dhannya, hari rayanya bukan pada hari undangan tersebut (sebagai catatan, khutbah hari raya bukan syarat sah shalat hari raya, tetapi hanya sunnah saja), maka shalat hari raya para jamaah, hukumnya sah. Namun tindakan khatib tersebut merupakan penipuan (taghrir) atas jamaah shalat dan panitia penyelenggara shalat hari raya sebagai pengundang. Karena dia berkhutbah tidak sesuai dengan niat pihak pengundang. Tindakannya tersebut adalah penipuan, hukumnya haram.

Nabi SAW bersabda :

مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي

Barangsiapa yang berperilaku penipu, maka tidak termasuk golonganku. (H.R. Muslim)

 

Dan sabda Nabi SAW :

لَا يَدْخُلُ الجَنَّةَ خِبٌّ وَلَا مَنَّانٌ وَلَا بَخِيلٌ

Tidak masuk surga penipu, yang suka membangga-banggakan amal baik dan orang kikir (H.R. Turmidzi).

 

Beliau mengatakan, hadits ini hasan gharib. (Sunan al-Turmidzi : IV/343)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar