Jumat, 20 Oktober 2017

Al-Mabadi al-‘Asyarah (Mabadi Sepuluh)

Dalam kitabnya, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, Muhammad bin Ali ash-Shabban, mengatakan dalam kumpulan syairnya sebagai berikut :
إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ           الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ  ثُمَّ الثَّمره
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ           وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ 
مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا 
Sesungguhnya mabadi (pengantar dasar) dalam setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh, yaitu: (1) definisi, (2) ruang lingkup, (3) manfaat , (4) hubungan, (5) fadhilahnya, (6) pencetusnya, (7) nama, (8) sumber pengambilan, (9) hukum mempelajari, (10) masail. Mengetahui sebagiannya memadai untuk sebagian yang lain dan siapa yang menguasai semuanya maka akan meraih kemuliaan.[1]
Penjelasannya
1.      Ta’rif/definisi sesuatu adalah lafazh yang dengan sebab mengenalnya akan mengenal sesuatu
2.      Mauzhu’ / objek ilmu. Muhammad bin Ali ash-Shabban mengatakan, mauzhu’ ilmu adalah sesuatu yang dibahas di dalamnya dari aspek ‘awarizhnya yang bersifat zatiyah. Misalnya tubuh manusia merupakan mauzhu’ ilmu kedokteran. Dalam ilmu kedokteran, tubuh manusia dibahas dari aspek sehat dan sakitnya. Sedangkan sehat dan sakit ini merupakan ‘awarizh tubuh manusia yang bersifat zatiyah. Contoh lain yang dikemukakan oleh ash-Shabban kalimat arabiyah merupakan mauzhu’ ilmu nahu. Dalam ilmu nahu, kalimat arabiyah dibahas dari aspek i’rab dan binanya. Sedangkan i’rab dan bina ini merupakan ‘awarizh kalimat arabiyah yang bersifat zatiyah. Untuk lebih memahami pengertian  ‘awarizh zatiyah, ash-Shabban membagi tiga pembagian ‘awarizh zatiyah ini, yakni :
a.    Yang dihubungkan kepada sesuatu karena zatnya, seperti sifat heran yang dihubung kepada manusia karena zat manusia itu sendiri.
b.    Yang dihubungkan kepada sesuatu karena juzu’nya, seperti bergerak dengan kehendak sendiri yang dihubungkan kepada manusia karena manusia adalah hewan, sedangkan hewan adalah juzu’ dari manusia (manusia adalah kumpulan dari hewan dan nathiq).
c.    Yang dihubungkan kepada sesuatu karena sifat khariji-nya (sifat eksternal), akan tetapi ia menyamai sesuatu, seperti tertawa yang dihubungkan kepada manusia dengan perantaraan manusia adalah yang ta’ajjub, sedangkan yang ta’ajjub itu menyamai manusia, karena tidak didapati dari manusia yang tidak ta’ajjub.[2]
3.      Manfaat / faedahnya. Misalnya manfaat ilmu manthiq adalah memelihara berpikir dari kesalahan.[3]
4.      Nisbah/hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Misalnya ilmu manthiq dengan i’tibar mauzhu’nya merupakan kulliy bagi ilmu-ilmu lain, karena setiap ilmu ada tasawwur dan tashdiq, sedangkan mauzhu’ ilmu manthiq adalah tasawwur dan tashdiq. Adapun dengan i’tibar mafhumnya, ilmu manthiq berbeda dengan ilmu lainnya.[4]
5.      Fadhilahnya. Misalnya fadhilah ilmu manthiq tinggi dan melebihi di atas ilmu lain. Karena ilmu manthiq mencakup manfaatnya bagi ilmu-ilmu lainnya.[5]
6.      Waazhi’/pencetusnya. Misalnya pencetus ilmu manthiq adalah Aristoteles.[6] Pencetus ilmu Ushul Fiqh adalah Imam Syafi’i.
7.      Nama ilmu. Misalnya nama ilmu manthiq. Dinamakan juga dengan al-mizan atau mi’yar al-‘ulum.[7]
8.      Istimdaad / sumber pengambilan ilmu. Misalnya sumber pengambilan ilmu manthiq adalah akal [8]. Contoh lain, sumber pengambilan ilmu ushul fiqh adalah ilmu kalam, bahasa Arab dan tasawwur hukum.[9]
9.      Hukum mempelajarinya. Misalnya hukum mempelajari fiqh adalah fardhu ‘ain sebatas dapat mengetahui sah, batal, haram dan halal dalam ibadah dan lainnya yang dhahir. Selebihnya, hukumnya fardhu kifayah.
10.  Masail /masalah-masalah pokok. Zakariya al-Anshari menjelaskan, masail ilmu adalah sesuatu yang dituntut menisbahkan mahmul (keterangan) kepada mauzhu’ (subjek) pada sebuah disiplin ilmu. Contoh masail ilmu ushul fiqh, amar berfaedah wajib dan nahi berfaedah haram.[10]






[1] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[2] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 34
[3] Ahmad al-Mallawiy, Syarah ‘ala al-Sulaam al-Munauraqi, (dicetak pada hamisy Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 33
[4] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[5] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[6] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[7] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[8] Muhammad bin Ali ash-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulaam, al-Haramain, Singapura, Hal. 35
[9] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 5
[10] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 5

Sabtu, 07 Oktober 2017

Istiwa’ Maklum dan Kaifiyat Majhul

Ungkapan pada judul tulisan di atas merupakan penggalan dari sebuah perkataan yang sering dinisbahkan sebagai perkataan Imam Malik yang sejauh bacaan yang ada, kami belum menemukan sanad yang bersambung kepada Imam Malik.  Lengkapnya perkataan tersebut sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi dalam kitabnya, al-Burhan fi ‘Ulumul Qur’an adalah sebagai berikut :
الاستواء معلوم والكيف مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة
Istiwa’ maklum, kaifiyat majhul dan mengimaninya wajib, sedangkan bertanya tentangnya bid’ah. [1]

Penisbatan ucapan ini sebagai perkataan Imam Malik banyak terdapat dalam kitab-kitab ulama yang sering menjadi rujukan umat Islam hari ini. Selain al-Zarkasyi sebagaimana telah dikutip di atas, penisbatan ucapan ini kepada Imam Malik juga telah disebut dalam kitab al-Milal wa al-Nahl karya al-Syahrastani.[2] Ulama lain yang menisbahkan perkataan ini kepada Imam Malik adalah al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya[3] dan al-Razi dalam kitab tafsir Mafaatih al-Ghaib.[4] Sebenarnya ucapannya ini disebut-sebut juga sebagai ucapan Ummu Salamah yang hidup lebih duluan masanya dari Imam Malik sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi[5] dan al-Qurthubi.[6]
Riwayat yang lebih shahih
Dhahir ucapan Imam Malik di atas , yakni kaifiyat majhul adalah itsbat kaifiyat, akan tetapi kaifiyatnya tidak ketahui keadaannya sebagaimana i’tiqad kebanyakan kaum Wahabi Salafi. Apabila dhahir ucapan ini dimaknai dari ucapan tersebut, maka kita harus mengatakan riwayat ini dha’if, karena bertentangan dengan ucapan Imam Malik tentang ini dalam redaksi lain yang lebih shahih yang secara tegas menafikan kaifiyat, yaitu antara lain :
1.    Al-Baihaqi meriwayatkan melalui sanad Abu Abdullah al-Hafizh-Ahmad bin Muhammad bin Ismail bin Mihran- bapaknya,-Abu al-Rabi’ Risydin bin Sa’ad,-Abdullah bin Wahab, beliau berkata :
كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فَدَخَلَ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كَيْفَ اسْتِوَاؤُهُ؟ قَالَ: فَأَطْرَقَ مَالِكٌ وَأَخَذَتْهُ الرُّحَضَاءُ ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ: الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كَمَا وَصَفَ نَفْسَهُ، وَلَا يُقَالُ: كَيْفَ، وَكَيْفٌ عَنْهُ مَرْفُوعٌ، وَأَنْتَ رَجُلُ سُوءٍ صَاحِبُ بِدْعَةٍ، أَخْرِجُوهُ. قَالَ: فَأُخْرِجَ الرَّجُلُ
Kami di sisi Malik bin Anas, tiba-tiba masuk seorang laki-laki bertanya, “Ya Abu Abdullah (Imam Malik), al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa, bagaimanakah istiwa’nya?” Abdullah bin Wahab selanjutnya bercerita : “Maka Malik menunduk ketika itu dan keluar keringatnya, kemudian beliau mengangkat kepalanya seraya berkata : “al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa sebagaimana Allah mensifati dirinya, tidak dikatakan kaifa (bagaimana), kaifiyat ternafi darinya. Kamu laki-laki yang buruk pelaku bid’ah. Usir dia! Abdullah bin Wahab mengatakan, maka aku keluarkan laki-laki itu.[7]

Riwayat al-Baihaqi ini juga telah dikutip antara lain oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathulbarri, beliau mengatakan al-Baihaqi telah mentakhrinya dengan sanad jaid (shahih) dari Abdullah bin Wahhab[8] dan  al-Zahabi dalam kitabnya, al-‘Ulu[9] dan al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.[10]
2.    Dalam riwayat lain, al-Baihaqi meriwayatkan dari jalur Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin al-Harits al-Faqih al-Ashfahanii-Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Ja’far bin Hayyan yang dikenal dengan Abi al-Syaikh-Abu Ja’far Ahmad bin Zairak al-Yazdi-Muhammad bin ‘Amr bin al-Nazhr al-Naisaburi-Yahya bin Yahya, beliau berkata :
كُنَّا عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فَجَاءَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى فَكَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ: فَأَطْرَقَ مَالِكٌ بِرَأْسِهِ حَتَّى عَلَاهُ  الرُّحَضَاءُ ثُمَّ قَالَ: الِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُولٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا أَرَاكَ إِلَّا مُبْتَدِعًا. فَأَمَرَ بِهِ أَنْ يُخْرَجَ
Kami di sisi Malik bin Anas, tiba-tiba masuk seorang laki-laki bertanya, “Ya Abu Abdullah (Imam Malik), al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa, bagaimanakah istiwaa’ ?” Yahya bin Yahya selanjutnya bercerita : “Maka Malik menunduk kepalanya ketika itu dan keluar keringatnya, kemudian beliau berkata : “Istiwa’ tidak majhul, kaifiyat tidak masuk akal dan mengimaninya adalah wajib, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Tidak aku lihat kamu kecuali mubtadi’. Lalu Malik memerintahkan mengusir laki-laki tersebut.[11]

Ucapan di atas juga telah diriwayat dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman, gurunya Malik bin Anas.[12]
3.    Dalam kitab al-‘Ulu, al-Zahabi mengatakan, telah meriwayat oleh Yahya bin Yahya al-Tamimiy, Ja’far bin Abdullah dan satu kelompok ulama, meraka mengatakan :
جَاءَ رَجُلٌ الى ماللك فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى فَكَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ:فما رأيت مالكا وجد من شيئ كموجدته من مقالته  وعَلَاهُ  الرُّحَضَاءُ يعني العرق وَأَطْرَقَ القوم فسرى عن مالك وَّ قَالَ الْكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، والِاسْتِوَاءُ منه غَيْرُ مَجْهُولٍ،  وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، واَني اخاف ان تكون ضالا. فَأَمَرَ بِهِ ْفاُخْرَجَ
Datang seorang laki-laki bertanya, “Ya Abu Abdullah (Imam Malik), al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa, bagaimanakah istiwaa’ ?” Yahya bin Yahya selanjutnya bercerita : “Tidak pernah aku melihat Malik gelisah tentang sesuatu seperti kegelisahannya dari perkataannya dan keluar keringatnya. Orang-orangpun menunduk kepalanya sehingga hilang kegelisahan dari Malik. kemudian beliau berkata : “Kaifiyat tidak masuk akal, Istiwa’ dari-Nya tidak majhul, dan mengimaninya adalah wajib, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku kuatir kamu menjadi sesat. Maka Malik memerintah mengusirnya.[13]

Dengan ini redaksi juga telah diriwayat oleh Abu al-Qasim al-Laalaka-iy sebagaimana dikutip oleh al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.[14]
4.    Dalam al-Tamhid limaa fi al-Muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Asaniid, Ibnu Abdilbar meriwayat dari jalur Muhammad bin Abdulmalik-Abdullah bin Yunus-Baqiy bin Makhlad-Bakaar bin Abdullah al-Quraisyi- Mahdi bin Ja’far  :
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كَيْفَ اسْتَوَى قَالَ فَأَطْرَقَ مَالِكٌ ثُمَّ قَالَ اسْتِوَاؤُهُ مَجْهُولٌ وَالْفِعْلُ مِنْهُ غَيْرُ مَعْقُولٍ وَالْمَسْأَلَةُ عَنْ هَذَا بِدَعَةٌ
Dari Malik bin Anas, sesungguhnya ditanyai seseorang mengenai firman Allah ‘Azza wa Jalla,”  al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa, bagaimanakah istiwaa’ ?” Mahdi bin Ja’far selanjutnya bercerita : “Imam Malikpun menunduk kepalanya, kemudian beliau berkata : “Istiwa’ majhul, perbuatan darinya tidak masuk aqal dan bertanya tentang ini bid’ah.[15]

Alhasil ucapan “Istiwa’ ma’lum wa al-kaif majhul” adalah dhaif dinisbahkan kepada Imam Malik dengan alasan sebagai berikut :
1.    Bertentangan dengan riwayat yang lebih shahih dan mempunyai beberapa jalur sebagaimana telah dikutip di atas.
2.    Riwayat yang mengatakan “istiwa’ ma’lum wa al-kaif majhul”, sejauh ini kita tidak menemukan sanadnya yang bersambung kepada Imam Malik.
3.    Riwayat yang mengatakan kaifiyat majhul mengindikasikan Allah mempunyai kaifiyat, akan tetapi tidak diketahui keadaannya dan ini bertentangan dengan ijmak ulama yang menafikan kaifiyat kepada Allah.
Diantara para ahli yang menguatkan riwayat dengan redaksi kaifiyat ghairu ma’qul dan melemahkan riwayat dengan redaksi kaifiyat majhul adalah Hasan al-Saqaf dalam kitab Majmu’ al-Rasail dan muqaddimah beliau untuk kitab Daf’u Syubhah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih karangan Ibnu al-Jauzi, beliau mengatakan perkataan yang dinisbahkan kepada Malik dengan redaksi al-Istiwa’ ma’lum wa al-kaif majhul adalah bathil dengan ini redaksi, karena ucapan tersebut mengandung itsbat kaif kepada Allah, sedangkan Malik sendiri menafikan kaif dengan ucapan beliau, “Tidak dikatakan kaifa dan kaif ternafi dari-Nya”[16] dan Dr Said Fudah dalam catatan kaki terhadap karangan beliau sendiri, al-Farq al-‘Azhim baina al-Tanziih wa al-Tajsim.[17]
Makna istiwa’ maklum
            Apabila kita terima i’tiqad bahwa Allah tidak mempunyai kaifiyat, maka istiwa’ maklum ini harus dimaknai dengan makna yang tidak mengindikasikan Allah mempunyai kaifiyat. Karena itu, kita tidak bisa memaknainya istiwa’ Allah maklum dalam arti duduk bersila sebagaimana makna hakikatnya pada lughat Arabiyah. Karena duduk bersila dalam bahasa Arab mempunyai kaifiyaqat sebagaimana dipahami oleh semua orang yang mempunyai akal sehat. Karena inilah sebagian ulama memahami perkataan Imam Malik ini dengan makna maklum disebut dalam al-Qur’an. Berikut ini pendapat ulama dalam memahami perkataan “istiwa’ maklum”, antara lain :
1.    Al-Qurthubi dalam tafsirnya : Maklum pada lughat[18] (beliau tidak mengatakan makna lughat ini yang menjadi makna yang dimaksudkan pada lafazh istiwa’)
2.    Sebagian ulama sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, Imam Malik dengan ucapannya bermaksud tawaqquf dari membicarakannya sebagaimana mazhab al-waaqifiyah (mazhab tafwizh).[19]
3.    Al-Tilmasaani mengatakan, penempatan makna istiwa’ pada lughat maklum setelah memastikan duduk menetap bukanlah maksudnya, akan tetapi maksudnya adalah qahr, istila’ dan qashad menyudahi pada sifat kamal (mazhab ta’wil).[20]
4.    Al-Ramli mengatakan, penempatan makna istiwa’ pada lughat maklum setelah menafikan duduk menetap, makna yang maklum adalah qahr, ghulbah atau qashad kepada menciptkan sesuatu, yakni ‘arasy sebagaimana firman Allah : “tsummasstawa’ ila al-samaa’ wahiya dukhan”, maksudnya qashad kepada menjadikan ‘arasy atau qashad menyudahi pada sifat kamal sebagaimana firman Allah : “wa lamma balagha asyuddahu wasstawa’”.[21]
5.    Syeikh Muhammad al-Khalily mengatakan, perkataan Malik “al-Istiwa’ ghairu majhul” yakni istiwa’ tidak majhul wujud , karena Allah Ta’ala telah memberitahukannya, sedangkan beritanya merupakan kebenaran yang yakin dan  tidak ada keraguan di dalamnya.[22]
6.    Syekh Salamah al-Fazha’i al-‘Izhamiy al-Syafi’i mengatakan, istiwa’ disebut dalam kitab Allah, maklum maknanya dalam lughat Arab dan tidak majhul penggunaannya dengan beberapa maknanya. Karena itu, barangsiapa yang mengetahuinya, maka sungguh dia akan mengetahui apa yang dimaksudkan dengan istiwa’ pada haq Allah. Pada ketika itu, Allah tidak didapati bersifat dengan kaifiyat dan tidak didapati keperluan bertanya. Karena itu, tidak ada bertanya mengenai ini kecuali dari orang-orang yang ada sakit dalam hatinya atau tidak fasih dalam pemahaman dan bodoh dengan rahasia lughat ini yang telah diturunkan al-Qur’an oleh Allah dengannya.[23]
Makna al-kaif majhul
Apabila kita maknai kaifiyat majhul dengan makna Allah mempunyai kaifiyat, akan tetapi tidak diketahui keadaan kaifiyatnya sebagaimana dhahir makna ucapan ini, maka ucapan ini harus kita tolak, karena bertentangan dengan riwayat yang lebih terpercaya yang mengatakan kaifiyat ternafi dan tidak masuk akal diitsbatkan kepada Allah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun apabila kita dapat mengkompromikan antara dua riwayat ini, maka ini lebih baik karena beramal dengan qaidah : “Mengamalkan dua kalam lebih baik dari membatalkan salah satunya”. Diantara cara komprominya sebagaimana dikemukakan oleh Dr Sa’id Fudah dalam catatan kaki terhadap karangan beliau sendiri, al-Farq al-‘Azhim baina al-Tanziih wa al-Tajsim adalah majhul disini bermakna majhul penisbatannya kepada Allah Ta’ala, sedangan sesuatu yang majhul penisbatannya kepada Allah tidak ma’qul dan wajib menafikannya.[24] Jadi disebut malzum akan tetapi dimaksudkan lazimnya.
Dengan pengertian ini, juga kita harus memahami perkataan Rabiah al-Ra’yi yang diriwayat oleh al-Baihaqi melalui jalur Abu Bakar bin al-Harits-Abu al-Syaikh- Muhammad bin Ahmad bin Ma’dan-Ahmad bin Mahdi-Musa bin Khaqaan-Abdullah bin Shaleh bin Muslim, beliau berkata :
سُئِلَ رَبِيعَةُ الرَّأْيَ عَنْ قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى كَيْفَ اسْتَوَى؟ قَالَ: الْكَيْفُ مَجْهُولٌ، وَالِاسْتِوَاءُ غَيْرُ مَعْقُولٍ، وَيَجِبُ عَلِيَّ وَعَلَيْكُمُ الْإِيمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهُ
Rabi’ah al-Ra’yi ditanyai mengenai firman Allah Tabaaraka wa Ta’ala “al-Rahman ‘ala al-arsy istawaa” , bagaimana istawaa’?. Beliau menjawab: Kaifiyat majhul, istiwaa tidak masuk akal dan wajib atasku dan atasmu mengimani semuanya.[25]






[1] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul Qur’an, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. II, Hal. 78
[2] Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nahl, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 80
[3] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 219-220.
[4] Al-Razi, Mafaatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 147
[5] Al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul Qur’an, Maktabah Dar al-Turatsi, Kairo, Juz. II, Hal. 78
[6] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 220.
[7] Al-Baihaqi, al-Asmaa wa al-Sifaat, al-Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Mesir, Hal. 379
[8] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. XIII, Hal. 407
[9] Al-Zahabi , al-‘Ulu, Maktabah Zhu-i al-Salafiyah, Riyadh, Hal. 138-139.
[10] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 6
[11] Al-Baihaqi, al-Asmaa wa al-Sifaat, al-Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Mesir, Hal. 379
[12] Al-Baihaqi, al-Asmaa wa al-Sifaat, al-Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Mesir, Hal. 379
[13] Al-Zahabi , al-‘Ulu, Maktabah Zhu-i al-Salafiyah, Riyadh, Hal. 139.
[14] Al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 6
[15] Ibnu Abdilbar, al-Tamhid limaa fi al-Muwatha’ min al-Ma’ani wa al-Asaniid, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 151
[16] Hasan al-Saqaf, Majmu’ al-Rasail, Dar al-Imam al-Rawas, Beirut, Juz. I, Hal. 310 dan Ibnu al-Jauzi, Daf’u Syubhah al-Tasybih bi Akaffi al-Tanzih (Muqadimmah Hasan al-Saqaf), Dar al-Imam al-Rawas, Beirut, Hal. 71-72
[17] Said Fudah, al-Farq al-‘Azhim baina al-Tanziih wa al-Tajsim, Dar al-Razi, Hal. 25
[18] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 219
[19] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsiyah, Darul Fikri, Hal. 82
[20] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsiyah, Darul Fikri, Hal. 82
[21] Al-Ramli, Fatawa al-Ramli (dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah), Darul Fikri, Juz. IV Hal. 273
[22] Syeikh Muhammad al-Khalily, Fatawa al-Khalily, Juz. I, Hal. 77
[23]  Syekh Salamah al-Fazha’i al-‘Izhamiy al-Syafi’i, al-Barahiin al-Sathi’ah, Mathba’ah al-Sa’adah, Hal. 250
[24] Said Fudah, al-Farq al-‘Azhim baina al-Tanziih wa al-Tajsim, Dar al-Razi, Hal. 25
[25] Al-Baihaqi, al-Asmaa wa al-Sifaat, al-Maktabah al-Azhariyah lil Turatsi, Mesir, Hal. 379