Senin, 14 Agustus 2017

Istinja’ dengan tissu

Istinja’ adalah menghilangkan (membersihkan diri dari) sesuatu yang keluar dari kemaluan dengan menggunakan air atau batu. Apabila orang yang istinja` menghendaki menggunakan salah satu dari keduanya, maka yang afdhal menggunakan air. Adapun yang lebih afdhal  dari itu adalah menggabungkan keduanya dengan mendahulukan penggunaan batu. Kebolehan istinja’ dengan batu dapat dipahami secara terang diantaranya hadits riwayat Aisyah berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذَا ذَهَبَ أَحَدُكُمْ إلَى الْغَائِطِ فَلْيَذْهَبْ مَعَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ يَسْتَطِيبُ بِهِنَّ فَإِنَّهَا تَجْزِي عَنْهُ
Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Apabila salah seorang kamu pergi buang air besar, maka hendaknya pergi bersama tiga butir batu untuk istinja’ dengannya , maka itu memadai dengannya.”

Al-Nawawi mengatakan,, hadits ini shahih diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud, al-Nisa-i, Ibn Majah dan al-Darulqutny, beliau mengatakan isnadnya hasan shahih.[1]
Ulama dari kalangan mazhab Syafi’i sepakat boleh istinja’ dengan benda selain batu yang diposisikan seperti batu. Syeikh al-Syairazi telah membatasi benda itu dengan kata beliau :
كل جامد طاهر مزيل للعين وليس له حرمة ولا هو جزء من حيوان
Setiap benda jamid (padat) yang suci, menghilangkan ‘ain, tidak terhormat dan bukan bagian dari hewan.[2]

Al-Nawawi dalam mengomentari penjelasan al-Syairazi ini mengatakan :
اتَّفَقَ أَصْحَابُنَا عَلَى جَوَازِ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْحَجَرِ وَمَا يَقُومُ مَقَامَهُ وَضَبَطُوهُ بِمَا ضَبَطَهُ بِه الْمُصَنِّفُ  قَالُوا وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ الْأَحْجَارُ وَالْأَخْشَابُ وَالْخِرَقُ وَالْخَزَفُ وَالْآجُرُّ الَّذِي لَا سِرْجِين فِيهِ وَمَا أَشْبَهَ هَذَا وَلَا يُشْتَرَطُ اتِّحَادُ جِنْسِهِ بَلْ يَجُوزُ فِي الْقُبُلِ جِنْسٌ وَفِي الدُّبُرِ جِنْسٌ آخَرُ وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الثَّلَاثَةُ حَجَرًا وَخَشَبَةً وَخِرْقَةً نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ الْأَصْحَابُ عَلَيْهِ هَذَا مَذْهَبُنَا قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَبِهِ قَالَ الْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا دَاوُد فَلَمْ يُجَوِّزْ غَيْرَ الْحَجَرِ وَكَذَا نَقَلَ أَكْثَرُ أَصْحَابِنَا عَنْ دَاوُد: قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ هَذَا لَيْسَ بِصَحِيحٍ عَنْ دَاوُد بَلْ مَذْهَبُهُ الْجَوَازُ
Pengikut mazhab Syafi’i sepakat boleh istinja’ dengan batu dan benda yang diposisikan seperti batu. Mereka membatasinya sebagaimana telah dibatasi oleh pengarang al-Muhazzab. Mereka mengatakan, baik itu batu, kayu, kain, tembikar, bata, tidak boleh bata yang ada baja dalamnya dan yang serupa dengan ini. Tidak disyaratkan sejenis, akan tetapi boleh pada qubul satu jenis, sedangkan pada dubur jenis yang lain. Juga boleh ketiganya itu batu, kayu dan kain. Ini telah nash Imam Syafi’i dan pengikut Syafi’i sepakat atasnya. Ini mazhab kita. Syeikh Abu Hamid, pendapat ini merupakan pendapat semua ulama kecuali Daud, yang tidak membolehkan istinja’ dengan selain batu, seperti ini telah dikutip oleh kebanyakan pengikut Syafi’i dari Daud. Al-Qadhi Abu al-Thaib mengatakan, ini tidak shahih dari Daud, tetapi mazhab beliau adalah boleh.[3]

Dalil kebolehan istinja’ dengan benda selain batu  yang diposisikan seperti batu antara lain :
1.    Hadits Abu Hurairah, beliau berkata :
 اتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ فقال ابغنى أحجارا استنقض بِهَا أَوْ نَحْوَهُ وَلَا تَأْتِنِي بِعَظْمٍ وَلَا رَوْثٍ
Aku mengikuti Nabi SAW di saat beliau keluar untuk buang air besar. Beliau mengatakan, carilah batu-batu atau seumpamanya untukku   beristinja’ dengannya dan jangan kamu bawa untukku tulang dan kotoran.(H.R. Bukhari).[4]

2.    Hadits Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda :
 ولْيَسْتَنْجِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنْ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ
Hendaklah beristinja’ dengan tiga butir batu dan Rasulullah melarang istinja’ dengan kotoran dan potongan tulang.

Al-Nawawi mengatakan, hadits ini shahih, telah diriwayat oleh Imam Syafi’i dalam Musnadnya dan lainnya dengan isnad shahih. Abu Daud, al-Nisa-i dan Ibnu Majah juga telah meriwayatnya dalam al-Sunan mereka dengan isnad shahih yang semakna dengannya.[5]
3.    Hadits Ibnu Mas’ud, beliau berkata :
أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيهِ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ
Nabi SAW mendatangi jamban, lalu beliau memerintahku memberinya tiga batu. Aku menemui dua batu dan aku cari batu yang ketiga, akan tetapi aku tidak mendapatkannya, maka aku ambil kotoran. Kemudian aku berikan kepada Nabi SAW. Beliau mengambil dua batu dan membuang kotoran. Kemudian beliau berkata : “Ini najis.”(H.R. Bukhari)[6]

Jalan pendalilian hadits pertama dan kedua yaitu larangan Rasulullah SAW menggunakan tulang dan kotoran menunjukkan bahwa benda selain batu di posisikan seperti batu. Seandainya tidak diposisikan seperti itu, maka mengkhususkan larangan hanya pada tulang dan kotoran tidak mempunya makna. Adapun jalan pendalilian hadits ketiga bahwa Rasulullah SAW menjadikan ‘illah (alasan hukum) tidak menggunakan kotoran sebagai alat istinja’ adalah najis, bukan alasannya karena kotoran itu bukan batu.[7]
Apakah tissu termasuk dalam katagori benda selain batu yang diposisikan seperti batu ?

Tissu adalah sepotong kertas tipis dan lembut. Jenis kertas tissu lebih mudah meresap kotoran dibandingkan kertas lain. Karena itu, tissu sering digunakan untuk membersihkan kotoran dari badan manusia atau benda lainnya dengan cara menggosok pada bagian yang terkena kotoran. Berdasarkan pengertian ini, maka kertas jenis tissu ini lebih patut diposisikan seperti batu dalam istinja’ dibandingkan kertas yang biasa digunakan dalam tulis menulis yang dibolehkan oleh ulama sebagai alat istinja’. Para ulama yang telah memasukkan kertas sebagai alat istinja’ yang dibolehkan pada syara’, antara lain :
1.    Sayyed Abdurrahhman Baa’alawi dalam kitab beliau, Bughyah al-Mustarsyidin :
يجوز الاستنجاء بأوراق البياض الخالي عن ذكر الله تعالى كما في الإيعاب.
Boleh istinja’ dengan kertas putih yang tidak ada zikir Allah Ta’ala sebagaimana disebut dalam kitab al-I’aab.[8]
2.    Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqiyah :
وَنَقَلَ الزَّرْكَشِيُّ عَنْ الْقَمُولِيِّ وَأَقَرَّهُ جَوَازُ الِاسْتِنْجَاءِ بِالْوَرَقِ الْكَاغَدِ إنْ كَانَ خَشِنًا مُزِيلًا وَصَرَّحَ بِذَلِكَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ وَنَقَلُوهُ عَنْ الْمَاوَرْدِيُّ. إهـ
Al-Zarkasyi mengutip dari al-Qamuly dan mengakuinya, boleh istinja’ dengan kertas seandainya kertas itu kesat dan bersifat menghilang kotoran. Telah diterangkan demikian juga oleh satu jama’ah mutaakhiriin dan mereka mengutip itu dari al-Mawardy [9]

Catatan :
1.      Kebolehan istinja’ dengan kertas tissu ini apabila tissu tidak dalam keadaan basah
2.      Kotoran tidak berpindah dari lingkaran dubur atau hasyafah zakar
3.      Kedua persyaratan di atas sebagaimana syarat kebolehan istinja’ dengan batu.[10]








[1] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 112
[2] Al-Syairazi , al-Muhazzab, Dicetak  bersama al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[3] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[4] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[5] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 111
[6] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[7] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Juz. II, Hal. 130
[8] Sayyed Abdurrahhman Baa’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 27
[9] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 263
[10] al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, al-Maktab al-Islami, Juz. II, Hal. 68

Jumat, 11 Agustus 2017

Maqbul hadits sebab berhujjah ahli hadits

Sebuah hadits apabila dijadikan hujjah oleh seorang ahli hadits, maka itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut maqbul (shahih atau hasan) di sisinya. Dibawah ini keterangan para ulama mengenai ini :
1.    Ibnu Hajar al-Asqalany dalam mengomentari hadits Ali dan Asmaa bin ‘Amiis yang memandikan jenazah Fatimah binti Rasulullah SAW mengatakan :
وَقَدْ احْتَجَّ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَحْمَدُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَفِي جَزْمِهِمَا بِذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى صِحَّتِهِ عِنْدَهُمَا
Hadits ini telah dijadikan hujjah oleh Ahmad dan Ibnu al-Munzir. Dengan sebab jazam kedua beliau ini, maka ini menjadi dalil shahih hadits tersebut di sisi keduanya.[1]

2.    Al-Khatib al-Baghdadi mengatakan :
فَأَمَّا إِذَا عَمِلَ الْعَالِمُ بِخَبَرِ مَنْ رَوَى عَنْهُ لِأَجْلِهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ يَكُونُ تَعْدِيلًا لَهُ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ  لِأَنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ بِخَبَرِهِ إِلَّا وَهُوَ رِضًا عِنْدَهُ عَدْلٌ , فَقَامَ عَمَلُهُ بِخَبَرِهِ مَقَامَ قَوْلِهِ: هُوَ عَدْلٌ مَقْبُولُ الْخَبَرِ
Adapun apabila seorang alim mengamalkan sebuah khabar dari seorang yang diriwayat berita tersebut darinya, dimana pengamalannya itu karena khabar tersebut, maka itu sebagai ta’dil baginya dan dii’timad atasnya. Karena tidak mengamalkan khabar perawi itu kecuali dia  ridha dan di sisinya perawi tersebut  adil. Karena itu, mengamalkan khabar perawi itu di posisikan pada perkataannya “Dia adil maqbul khabar.”[2]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Talkhis al-Habir fi Takrij Ahadits al-Rafi’i al-Kabir, Muassisah Qurtubah, Juz. II, Hal. 285
[2] Al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi Ilmi al-Riwayah, Hal. 92

Minggu, 06 Agustus 2017

Para ulama-ulama besar tempo dulu melakukan qiyas dalam perkara ibadah

Kalau ulama-ulama besar melakukan qiyas dalam perkara ibadah, apakah kita harus mendengar pendapat Wahabi Salafi yang menolak qiyas dalam ibadah secara mutlaq ? Berikut ini contoh-contoh qiyas yang dilakukan para ulama dalam perkara ibadah, yakni sebagai berikut :
1.    Imam Syafi’i mengqiyaskan najis babi kepada anjing dalam hal kewajiban membasuh bekas jilatannya sebanyak tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah. Dalam al-Um, beliau mengatakan :
فَقُلْنَا فِي الْكَلْبِ بِمَا أَمَرَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَكَانَ الْخِنْزِيرُ إنْ لَمْ يَكُنْ فِي شَرٍّ مِنْ حَالِهِ لَمْ يَكُنْ فِي خَيْرٍ مِنْهَا فَقُلْنَا بِهِ قِيَاسًا عَلَيْهِ،
Kami berpendapat pada anjing dengan apa yang diperintah Rasulullah SAW. Adapun babi seandainya tidak buruk keadaannya, tetapi tidak ada kebaikan darinya. Karena itu, aku berpendapat tentang babi dengan qiyas kepada anjing.[1]

2.    Imam Malik berpendapat diulangi kembali shalat wajib yang telah dilakukan dalam Ka’bah apabila masih dalam waktunya dengan mengqiyaskan kepada shalat ke arah bukan qiblat.
وَبَلَغَنِي عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ صَلَّى الْمَكْتُوبَةَ فِي الْكَعْبَةِ؟ قَالَ: يُعِيدُ مَا كَانَ فِي الْوَقْتِ، وَقَالَ مَالِكٌ: وَهُوَ مِثْلُ مَنْ صَلَّى إلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ يُعِيدُ مَا كَانَ فِي الْوَقْتِ.
Telah sampai padaku dari Malik bahwa beliau ditanyai tentang seseorang yang shalat wajib dalam ka’bah. Jawab beliau : mengulangi kembali dalam waktu, karena itu serupa dengan orang shalat kepada bukan arah kiblat, yang diulangi kembali dalam waktu.[2]

3.    Ahmad bin Hanbal mengqiyaskan masalah memandikan dan shalat jenazah atas orang yang mati dibunuh pembajak laut kepada orang yang mati syahid. Abdullah bin Ahmad bin  Hanbal bertanya kepada ayahnya, Ahmad bin Hanbal:
من قتله اللصوص يغسل و يصلى عليه؟ قال اذا قتل في المعركة فهو بمنزلة الشهيد الا ان يحمل وبه رمق
Orang yang terbunuh oleh pembajak laut, apakah dimandikan dan dishalati? Ahmad bin Hanbal menjawab : apabila terbunuh dalam perkelahiannya maka hukumnya sama dengan orang syahid kecuali dia mampu menanggungnya (tidak mati seketika itu juga), kemudian mati setelah itu.[3]

4.    Menurut mazhab Syafi’i dan sekelompok ulama boleh melakukan shalat sunnat yang mempunyai sebab seperti shalat tahiyyat al-masjid, sujud tilawah dan syukur, shalat hari raya dan shalat gerhana pada waktu makruh. Dalilnya qiyas kepada qadha shalat sunnat dhuhur sesudah  shalat ‘ashar yang dilakukan Nabi SAW. Seterusnya Imam Nawawi mengatakan :
وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ وَمُوَافِقُوهُ بِأَنَّهُ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى سُنَّةَ الظُّهْرِ بَعْدَ الْعَصْرِ وَهَذَا صَرِيحٌ فِي قَضَاءِ السُّنَّةِ الْفَائِتَةِ فَالْحَاضِرَةُ أَوْلَى
Imam Syafi’i dan yang setuju dengannya berhujjah dengan hadits shahih bahwa Nabi SAW mengqadha shalat sunnat dhuhur setelah shalat ashar. Ini sharih pada masalah qadha shalat sunnat yang luput, maka shalat sunnat yang hadhir (shalat ada’) lebih patut dilakukan.[4]

5.    Menurut  Abu Hanifah, al-Tsury dan al-Auzha’i, faaqid al-thahuraini (yang tidak menemukan air dan tanah) tidak wajib shalat sehingga menemukan air atau tanah, namun apabila sudah menemukannya wajib qadha. Argumentasinya qiyas kepada puasa perempuan berhaid yang tidak wajib melakukan shalat, namun wajib qadha apabila sudah hilang penghalangnya, yakni apabila sudah suci. Dalam al-Mughni disebutkan :
وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ، وَالثَّوْرِيُّ، وَالْأَوْزَاعِيُّ: لَا يُصَلِّي حَتَّى يَقْدِرَ، ثُمَّ يَقْضِيَ؛ لِأَنَّهَا عِبَادَةٌ لَا تُسْقِطُ الْقَضَاءَ، فَلَمْ تَكُنْ وَاجِبَةً، كَصِيَامِ الْحَائِضِ.
Abu Hanifah, al-Tsury dan al-Auzha’i mengatakan tidak melakukan shalat sehingga dia mampu, kemudian mengqadhanya, karena shalat adalah ibadah yang tidak menggugurkan qadha. Karena itu tidak wajib seperti halnya puasa perempuan berhaid.[5]

6.    Imam al-Nawawi, salah seorang ulama terkenal bermazhab Syafi’i pernah mengqiyaskan shalat Jum’at kepada shalat Dhuhur dalam hal sunnat shalat qabliyah, beliau mengatakan :
وَأَمَّا السُّنَّةُ قَبْلَهَا فَالْعُمْدَةُ فِيهَا حَدِيثُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمَذْكُورُ فِي الْفَرْعِ قَبْلَهُ  بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ  وَالْقِيَاسُ عَلَى الظُّهْرِ
Adapun shalat sunnat sebelum Jum’at, yang menjadi pegangannya adalah hadits Abdullah bin Maghfal yang telah disebutkan pada furu’ sebelumnya ; “Pada setiap dua azan itu adalah shalat” dan dengan mengqiyaskan kepada shalat dhuhur.[6]
7.    Ibnu al-Rusyd, tokoh ulama dari Mazhab Maliki menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa aib seperti buta dan pecah betis tidak memadai untuk binatang qurban dengan mengqiyaskan kepada aib-aib yang disebut dalam hadits, yaitu pincang, buta sebelah, sakit berat dan sangat kurus. Beliau mengatakan :
فان الجمهور على ان ما كان اشد من هذه العيوب المنصوص عليها فهي احرى ان تمتع الاجزاء
Sesungguhnya Jumhur ulama berpendapat lebih patut  tidak memadai qurban pada aib-aib ini yang lebih besar aibnya dibanding aib-aib yang disebut dalam nash syara’.[7]

8.    Imam al-Nawawi mengatakan telah terjadi ijmak ulama wajib qadha shalat yang ditinggalkan dengan cara sengaja. Sandaran ijmak ini menurut beliau adalah dengan mengqiyaskan kepada kewajiban qadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan dengan sebab sengaja bersetubuh dan juga mengqiyaskan kepada qadha shalat yang ditinggalkannya secara lupa. Logikanya, kalau secara lupa wajib qadha, tentu yang secara sengaja lebih patut diwajibkannya. Dalam al-al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, beliau mengatakan :
وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الْقَضَاءِ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ أَمَرَ الْمُجَامِعَ فِي نَهَارِ رَمَضَانَ أَنْ يَصُومَ يَوْمًا مَعَ الْكَفَّارَةِ أَيْ بَدَلَ الْيَوْمِ الَّذِي أَفْسَدَهُ بِالْجِمَاعِ عَمْدًا رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ وَرَوَى أَبُو دَاوُد نَحْوَهُ وَلِأَنَّهُ إذَا وَجَبَ الْقَضَاءُ عَلَى التَّارِكِ نَاسِيًا فَالْعَامِدُ أَوْلَى
Termasuk dalil wajib qadha shalat yang ditingggalkan secara sengaja adalah hadits Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi SAW memerintah orang yang bersetubuh pada siang Ramadhan berpuasa satu hari disamping membayar kifarat. Artinya sebagai ganti hari puasa yang dibatalkan dengan sebab bersetubuh secara sengaja. Hadits ini riwayat al-Baihaqi dengan isnad baik dan juga telah diriwayat oleh Abu Daud dengan seumpamanya. Dalil lain, karena apabila wajib qadha atas yang meninggalkannya dalam keadaan lupa, maka meninggalkannya dalam sengaja lebih patut wajib qadha.[8]
9.    Ibnu Qudamah salah seorang ulama besar dalam mazhab Hanbali menolak pendapat yang mengatakan boleh menyapu sebagian anggota tayamum.  Argumentasi beliau dengan mengqiyaskan kepada membasuh anggota wudhu’. Dalam al-Mughni, beliau mengatakan :
فَيَجِبُ تَعْمِيمُهُمَا، كَمَا يَجِبُ تَعْمِيمُهُمَا بِالْغَسْلِ؛ لِقَوْلِهِ : فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Maka wajib menyapu seluruh wajah dan tangan sebagaimana wajib membasuh seluruh wajah dan tangan dalam berwudhu’ karena firman Allah : Basuhlah wajah dan tanganmu sampai dua siku-siku.[9]








[1]. Imam Syafi’i, al-Um, (Tahqiq Dr Rif’at al-Fauzi Abd al-Muthalib),  Juz.I I, Hal. 17
[2]. Malik bin Anas, al-Mudawanah al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 183
[3] Abdullah bin Ahmad, Masail al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Maktab al-Islamy, Beirut, Hal. 135
[4] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurtubah, Juz. VI, Hal. 159-160
[5] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 184

[6]. Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, juz. III, Hal. 504
[7].  Ibnu al-Rusyd,  Bidayah al-Mujtahid, Usaha Keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 315-316
[8]. Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 76
[9] Ibnu Qudamah, al-Mughni, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 186