Selasa, 29 Mei 2012

murtad suami dan status perkawinannya

bismillah -
boleh kah se orang istri meninggal kan suami ( minta cerai / fasah ) atau kabur dari rumah karena suami sudah jadi musrik ( budha ) karena beda keyakinan ( agama ?
makasi

jawaban




  1. apabila suaminya pindah kepada agama lain (non muslim) alias murtad, maka dgn sendirinya perkawinan mereka terfasakh sejak suaminya murtad, ini apabila mereka belum pernah bersetubuh dalam perkwinannya itu dan apabila sudah pernah bersetubuh, maka hukumnya tawaquf (pending dulu), artinya apabila suami kembali dalam Islam dalam masa iddah, maka ikatan perkawinan kembali seperti semula, tetapi apabila sudah lewat iddah suaminya tetap dalam murtad, maka perkawinannya terpasakh, karena itu tidak perlu minta cerai, karena memang sudah tidak punya hubungan perkawinan. dalam kasus pending ini mereka tidak boleh lagi tinggal serumah, karena status perkawinan mereka dalam penantian masa iddah dan apabila agamanya terancam dengan sebab murtad suami, boleh untuk kabur meninggalkan rumah.
    catatan;
    dalam masa iddah, nafaqah isteri tetap wajib ditanggung oleh suami yg murtad.

    kesimpulan ini dgn merujuk kepada kitab syarah al-mahalli juz. III, hal. 253-254 dan hal. 261

    terima kasih, mudah2an bermanfaat

Minggu, 27 Mei 2012

Subhanallah, Bayi Ini Lahir Membawa Alquran

Allah SWT tak pernah berhenti menunjukkan kuasa-Nya. Seorang bayi di Nigeria lahir sembari membawa Alquran dari rahim ibunya. Sejatinya, ibu bayi tersebut beragama Kristen, tapi pascamelihat mukjizat Allah tersebut, sang ibu dan nenek bayi tersebut langsung mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan diri masuk Islam.

Seperti diberitakan harian Pmnewsnigeria, Senin (14/5) kemarin, bayi tersebut lahir di 112 Olateju Street, Mushin, Lagos State, Nigeria Barat Daya pada 7 Mei 2012 lalu. Saat keluar dari rahim ibundanya, bayi tersebut membawa sebuah Mushaf kecil di tangannya.

Kikelomo Ilori, nama ibu bayi tersebut. Wanita 32 tahun yang bekerja sebagai seorang ahli kecantikan langsung mengganti namanya menjadi Sherifat ketika masuk Islam. Hal itu diikuti nenek bayi tersebut yang mengganti namanya menjadi nama Islam.

Kelahiran bayi tersebut pun menyedot perhatian para ulama di negara benua hitam tersebut. Para ulama di Nigeria berkumpul untuk memberikan nama kepada bayi tersebut. Setelah menyampaikan ceramah singkat, seorang ulama Nigeria, Ustad Abdul Rahman Olanrewaju Ahmed, memberikan nama kepada bayi tersebut Abdul Wahab Iyanda Aderemi Irawo.

Untuk menghindari syirik dan kesesatan, Ustad Abdul Rahman juga menasihati sang ibu bila bayinya bukanlah seorang nabi, meskipun ia terlahir dari rahimnya sambil memegang Alquran. Menurutnya, kejadian itu merupakan kehendak Allah, untuk mengirim bayi tersebut ke dunia dengan cara yang menakjubkan.

Dalam acara pemberian nama itu, turut hadir ulama setempat, Sheikh Abdulraman Sulaiman Adangba, Ketua Nasrulifathi Society of Nigeria, NASFAT, Ustadz Alhaji Abdullahi Akinbode, dan Dr Ramoni Tijani dari Alifathiaquareeb Islamic Society of Nigeria.

Kelahiran sang bayi pun memberi berkah bagi tetangga sekampung. Pedagang tumpah ruah menjual berbagai souvenir terkait bayi tersebut, mulai dari kaos, tasbih, dan foto bayi tersebut.

Tak heran bila kelahiran bayi tersebut dianggap kontroversi sebagian pihak. Sebagian pihak berkata mustahil, tapi sebagian lainnya menganggap kejadian tersebut adalah kuasa Tuhan, dimana tak ada yang mustahil bagi-Nya.

Bahkan, seorang dokter dipecat gara-gara mengatakan kejadian tersebut adalah hoax alias berita bohong. Padahal saksi, media dan ibunya sendiri menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri.

 (sumber : REPUBLIKA.CO.ID, NIGERIA, Sabtu, 19 Mei 2012, 18:19 WIB)

Sabtu, 26 Mei 2012

Dialog Syaikh Al-Buthi Asy-Syafi'i dan Syaikh Al-Albani

Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di dunia akademis mencapai fase yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari kalangan ulama dan para pakar yang hampir menyentuh terhadap seluruh cabang ilmu hadits seperti kritik matan, kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain
sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang selama ini terkubur dalam bentuk manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak perpustakaan dunia kini sudah cukup banyak mewarnai dunia penerbitan.

Namun sayang sekali, dibalik perkembangan ilmu hadits ini, ada pula kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di antara kelompok tersebut, adalah kalangan yang anti hadits dha’if dalam konteks fadhail al-a’mal, manaqib dan sejarah, yang dikomandani oleh Muhammad Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari Yordania, dan murid-muridnya. Baik murid-murid yang bertemu langsung dengan al-Albani, maupun murid-murid yang hanya membaca buku-bukunya seperti kebanyakan Wahhabi di Indonesia.
 
Di kutip dan di ringkas dari Kitab al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah.

Ada sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.  

Syaikh al-Buthi bertanya:  “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?” 

Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”  

Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?

Syaikh al-Buthi berkata:Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”  

Al-Albani menjawab: Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain:

Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?

Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti  yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”

al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?

al-Albani menjawab:Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?

Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya siapa di antara qira’ah yang tujuh?

Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?

Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya:Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam secara mutawatir.”

Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata:Orang yang mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?

Al-Albani menjawab:Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata:Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?

Al-Albani menjawab:Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah.

Dialog tersebut menggambarkan, bahwa kaum Wahhabi melarang umat Islam mengikuti madzhab tertentu dalam bidang fiqih.

Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya licik mereka agar umat Islam mengikuti madzhab yang mereka buat sendiri.Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.

Wallohu 'Alam ....Smoga bermanfaat...

(sumber : http://kampussalafi.blogspot.com/2011/12/dialog-syaikh-al-buthi-dan-syaikh-palsu.html)

Rabu, 23 Mei 2012

Dialog Syaikh al-Nabhani dengan Rasyid Ridha


Terkadang kelompok yang anti madzhab menggugat kita dengan pendapat sang pendiri madzhab atau para ulama dalam madzhab yang kita ikuti, seakan-akan mereka lebih konsisten dari kita dalam bermadzhab. Kaum Wahhabi ketika menggugat kita agar meninggalkan tahlilan dan selamatan tujuh hari selalu beralasan dengan pendapat al-Imam al-Syafi’i yang mengatakan bahwa hadiah pahala bacaan al-Qur’an tidak akan sampai kepada mayit, atau pendapat kitab I’anah al-Thalibin yang melarang acara selamatan tahlilan selama tujuh hari. Padahal selain al-Imam al-Syafi’i menyatakan sampai.
Kita kadang menjadi bingung menyikapi mereka. Terkadang mereka menggugat kita karena bermadzhab, yang mereka anggap telah meninggalkan al-Qur’an dan Sunnah. Dan terkadang mereka menggugat kita dengan pendapat imam madzhab dan para ulama madzhab. Padahal mereka sering menyuarakan anti madzhab.
Pada dasarnya kelompok anti madzhab itu bermadzhab. Hanya saja madzhab mereka berbeda dengan madzhab mayoritas kaum Muslimin. Ketika mereka menyuarakan anti tawassul, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang bertawassul, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, para sahabat, seluruh ulama salaf dan ahli hadits.
Ketika mereka menyuarakan shalat tarawih 11 raka’at, maka sebenarnya mereka mengikuti pendapat Nashiruddin al-Albani, seorang tukang jam yang beralih profesi menjadi muhaddits tanpa bimbingan seorang guru, dengan belajar secara otodidak di perpustakaan. Sedangkan kaum Muslimin yang tarawih 23 raka’at, mengikuti Sayidina Umar, para sahabat dan seluruh ulama salaf yang saleh yang tidak diragukan keilmuannya.
Ketika mereka menyuarakan anti madzhab, maka sebenarnya mereka mengikuti Rasyid Ridha, Muhammad Abduh dan Ibn Abdil Wahhab. Sedangkan kaum Muslimin yang bermadzhab, mengikuti ulama salaf dan seluruh ahli hadits. Demikian pula ketika mereka menyuarakan anti bid’ah hasanah, maka sebenarnya mereka mengikuti madzhab Rasyid Ridha dan Ibn Abdil Wahhab al-Najdi. Sedangkan kaum Muslimin yang berpendapat adanya bid’ah hasanah, mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Khulafaur Rasyidin, para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits. Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, termasuk orang pertama yang sangat kencang menyuarakan anti madzhab, dengan menulis karyanya al-Wahdat al-Islamiyyah fi al-Madzahib al-Fiqhiyyah. Akan tetapi, secara terus terang, ia mengikuti pemikiran Syaikh Muhammad Abduh al-Gharabili. Kedua nama ini, Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, serta Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri aliran Wahhabi, sebenarnya yang menjadi imam madzhab beberapa aliran dan kelompok keagamaan yang anti madzhab di Indonesia. Ada dialog menarik untuk dikutip di sini, berkaitan dengan bermadzhab. Yaitu dialog antara Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani al-Syafi’i, seorang ulama besar yang sangat populer, dengan Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, seorang ulama Salafi yang menyuarakan anti madzhab.
Dalam mukaddimah kitab al-’Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Madaih al-Nabawiyyah, Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani berkata: “Ketika saya berkumpul dengan Syaikh Rasyid Ridha, saya berdialog dengannya tentang pribadi Syaikh Muhammad Abduh, gurunya. Saya berkata: “Kalian menjadikan Syaikh Muhammad Abduh sebagai panutan dalam agama kalian, dan kalian mengajak manusia untuk mengikuti kalian. Ini jelas tidak benar. Syaikh Muhammad Abduh itu bukan orang yang konsisten memelihara kewajiban-kewajiban agama. Ia tidak sah menjadi panutan dalam agama. Sebagaimana dimaklumi dan diakui oleh semua orang, Abduh seringkali  meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Saya sendiri pernah menemaninya dari pagi hari sampai menjelang maghrib, di rumah seorang laki-laki yang mengundang kami di Jabal Lebanon. Abduh tidak shalat zhuhur dan ashar, tanpa ada uzur. Bahkan ia sehat sekali. Dan ia melihat saya shalat zhuhur dan ashar, tetapi ia tidak melakukannya.” Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh memang sering meninggalkan shalat fardhu tanpa ada uzur. Akan tetapi Rasyid Ridha masih membelanya dengan memberikan jawaban: “Barangkali madzhab beliau membolehkan jama’ shalat di rumah (fi al-hadhar).”Saya merasa heran dengan jawaban Rasyid ini. Karena jama’ shalat itu hanya dibolehkan dalam bepergian, ketika turun hujan dan sedang sakit menurut sebagian imam mujtahid, antara zhuhur dan ashar, serta antara maghrib dan isya’, sebagaimana hadits shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan tidak seorang pun dari kalangan ulama berpendapat bahwa zhuhur dan ashar boleh dijama’ dengan maghrib dan isya’. Oleh karena itu, kami sulit menerima jawaban Rasyid Ridha. Saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Lagi pula Syaikh Muhammad Abduh tidak pernah menunaikan ibadah haji ke baitullah di tanah suci, padahal ia mampu melakukannya. Dengan kemampuan yang ia miliki, berupa kekuatan fisik dan finansial, ia seringkali pergi ke Paris, London dan negara-negara Eropa lainnya. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menunaikan ibadah haji, padahal negaranya dekat dengan Makkah. Jadi tidak diragukan lagi, bahwa ia telah memikul dosa yang sangat besar dan meninggalkan salah satu rukun Islam”. Lalu saya berkata kepada Syaikh Rasyid Ridha: “Semua orang sepakat bahwa Syaikh Muhammad Abduh dan gurunya, Syaikh Jamaluddin al-Afghani, masuk dalam organisasi Masoni. Organisasi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama Islam. Bahkan organisasi ini menolak semua agama, anti semua pemerintahan, baik keagamaan maupun yang bukan. Bagaimana mungkin Syaikh Muhammad Abduh menjadi panutan dalam agama Islam, padahal ia seorang Masoni. Demikian pula gurunya.”Mendengar pertanyaan saya, Syaikh Rasyid Ridha menjawab: “Saya kan tidak ikut organisasi Masoni.” Saya berkata: “Seandainya kalian berkata bahwa Syaikh Muhammad Abduh itu seorang filosof Islam, seperti halnya Ibn Sina dan al-Farabi, tentu kami dapat menerima, meskipun kenyataannya tidak demikian. Karena hal itu tidak berdampak negatif pada kami dan agama kami. Adapun ketika ia termasuk orang yang paling fasiq sebab meninggalkan rukun-rukun Islam, lalu kalian berpendapat bahwa ia seorang imam (panutan) dalam agama Islam, tentu hal ini merupakan kemungkaran yang tidak akan diterima oleh orang yang berakal.”Mendengar pernyataan saya, Syaikh Rasyid Ridha berkata: “Kami tidak menganggap Syaikh Muhammad Abduh seperti Ibn Sina. Akan tetapi kami menganggapnya seperti al-Imam al-Ghazali.”
Rasyid Ridha ini memang orang yang sesat dan keras kepala. Ia mengakui kalau Muhammad Abduh itu meninggalkan shalat dan haji serta menjadi anggota Masoni. Tetapi, ia masih menyamakannya dengan al-Imam al-Ghazali. Sebenarnya, setiap orang dari kelompok Wahhabi atau anti madzhab ini, meyakini bahwa dirinya lebih hebat dari pada al-Imam al-Ghazali. Karena kelompok mereka, baik yang besar maupun yang kecil, semuanya mengklaim sebagai mujtahid muthlaq. Sedangkan al-Ghazali sendiri tidak mengklaim sebagai mujtahid muthlaq, sebagaimana beliau jelaskan dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din.
Orang-orang Wahhabi atau anti madzhab itu, masing-masing menganggap dirinya selevel imam madzhab yang empat radhiyallahu anhum. Perasaan ini begitu menancap dalam benak mereka. Nasehat tidak akan mempan bagi mereka. Mereka selalu berusaha agar orang lain mengikuti mereka, menjadi mujtahid muthlaq. Demikian komentar Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dengan disederhanakan.

(sumber : buku pintar berdebat dengan Wahabi, oleh Muhammad Idrus Ramli)

Manhaj

Pidato Guru Besar Tuan Guru Bangkak lc

Kang Bangkak, sang Guru Besar Manhaj Salaf Indonesia sedang berdakwah dalam "Simposium Indonesia Menuju Kemurnian Islam"...

"Dan saudara2 sekalian, ketahui dan camkanlah, hanya inilah MANHAJ yang selamat, MANHAJ yang diridlai, MANHAJ yang terjamin syurganya, MANHAJ yang disebutkan Nabi SAW sebagai umat yang terbaik, jangan ragu dan jangan bimbang !" ujar...nya bera...pi2 hingga mengacung2kan jarinya kepada para peserta simposium.

"Mbah Lalar: apakah berarti yang tidak ikut manhaj ini pasti TIDAK SELAMAT ?"

"PASTI ! Saudaraku, mereka semua adalah ahli bid'ah, dan semua bid'ah adalah sesat, dan semua kesesatan adalah NERAKA !" jawab sang guru.

"Tuan Guru, bagaimana dengan organisasi seperti NU, MUHAMMADIYYAH, IKHWANULMUSLIMIN, dll. Apakah mereka sesat ?" tanya Mbah Lalar

"Apabila mereka mengingkari MANHAJ ini, tentu mereka juga ahli bid'ah, sedangkan semua bid'ah adalah sesat, dan semua yang sesat bertempat di NERAKA !" jawab sang guru.

"Bagaimana dengan orang2 yang hidup antara zaman Salaf hingga Ibnu Taimiyyah tuan guru, apakah mereka juga sesat semuanya ?" Tanya Mbah Lalar, Kang Bangkak mulai terdesak dan kesal atas pertanyaan yang kian menyulitkannya.

"Huumm, Hemm, uuh, aah, ya, apabila mereka mengingkari MANHAJ ini, maka mereka adalah ahli bid'ah, semua bid'ah adalah sesat, dan semua kesesatan di NERAKA !" jawabnya mulai linglung.

"Tuan Guru, bagaimana dengan orang yang bermadzhab, apakah mereka juga masuk neraka ?"

"Humm, Hemmm, Hummm, Hemmm, tentu saja, TAQLID kepada selain Nabi SAW adalah bid'ah, semua bid'ah adalah sesat, dan semua kesesatan adalah di NERAKA !" jawabnya tambah bingung dan kesal.

"Kalau begitu, bagaimana nasib Imam Ghazaliyy, Imam Bukhariyy, Imam Ibnu Hajar, dll. Mereka zemua kan TAQLID kepada salah satu Imam Madzhab tuan guru ?!" tanya peserta lagi.

(belum sempat Kang Bangkak menjawab, HPnya berdering, lagu keong racun pun berkumandang, semua peserta bersorak, meneriaki sang guru, dengan wajah merah menahan malu, ia keluar dari gedung, dan mengirimkan sms dari dalam mobilnya, lalu...)

BLARRRRRR !!! Simposium itu pun bubar setelah diledakkan Kang Bangkak..........

Copas dari warung sebelah.............
 
(sumber :  http://www.wahabikabur.blogspot.com/2011/07/manhaj.html)

Takhsis

Kalo pingin tahu tentang Amalan2 yg Bid'ah dan yg Sunnah silahkan dengarkan Kajian di radio Ngakak, setiap hari selasa pukul 18.00, kata Kang Bangkak.

Lho lho sejak kapan Kamu menghususkan dirimu beramal pada hari dan jam tertentu? tanya Mbah Lalar.

Apa masalahnya? bantah Kang Bangkak.

Bid'ah itu, Para Salaf gak pernah menentukan kajian pada hari dan jam tertentu!!! jwb Mbah Lalar.

Jebrettttt, Mbah emang Bawel, rewel!!! kata Kang Bangkak sambil membanting pintu.

Mbah Lalar terkekeh kekeh.........................​.................
 
(sumber :  http://www.wahabikabur.blogspot.com/2011/07/takhsis.html)

kuburan

masih suka berdoa dg menghadap kuburan ya Mbah??? tanya Kang Bangkak sambil mengkerlingkan mata.

emang kenapa sieh kang?

Syirik kok gak ngerasa, sindir Kang Bangkak.

eeh tadi malam saya Berdoa menghadap Istri saya, maksud saya tengkurep gitu, apakah syirik juga Kang? tanya Mbah Lalar balik

Kang Bangkak kethop2, lalu ngomong sekenanya, bertobatlah karena sesungguhnya dosa Syirik itu gak terampuni.

Lhoooo, gak terampuni kok di suruh tobat? jwb Mbah Lalar enteng.

Kang Bangkak melet, dan .............. tes, ilernya ketes
 (sumber : http://www.wahabikabur.blogspot.com/2011/07/kuburan.html)
 

Nenek Nyebrang

 Alkisah suatu hari ada seorang nenek mau nyebrang di jalan raya, melihat begitu padatnya kendaraan yang melintas, si nenek pun takut dan mendekati anak muda yang anda di dekatnya

Nenek   : Anak muda, bisa bantu nenek nyebrangi jalan g?"

Pemuda : Wah, maaf nek tidak bisa

Nenek   : Kenapa? ini kan ibadah?

Pemuda : Justru karena itu nenek, ibadah semacam ini tidak ada di zaman
                 Rosulullah, ini bidah, setiap bidah itu dolalah, setiap dolalah masuk
                 neraka.

Nenek    : Oowwww dasar bocah edian

(sumber : http://www.wahabikabur.blogspot.com/2011/06/nyebrang.html)

Selasa, 22 Mei 2012

Muhammad Khalil Al Maduri (1235 – 1341 H / 1820 – 1923 M)

Tak pernah malu belajar, kendati gurunya sangat jauh lebih muda darinya. Dari Syekh Ahmad al-Fathani yang seusia anaknya, ia belajar ilmu nahwu dan mengembangkannya di Tanah Air.
Nama lengkapnya adalah Kiai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam silsilahnya, Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, satu dari sembilan Wali Songo.

Kiai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Dia berasal dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, ia dikirim ke berbagai pondok pesantren untuk menimba ilmu agama.
Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, dan Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.

Saat menjadi santri, Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matandan yang ia kuasai dengan baik adalah matan Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1.000 bait mengenai ilmu nahwu. Selain itu, ia adalah seorang hafidz (hafal Alquran) dengan tujuh cara menbacanya (kiraah).
Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Di sana, ia bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani. Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya adalah Syekh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masehi), Syekh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masehi), Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masehi), dan Kiai Umar bin Muhammad Saleh Semarang.
Ia adalah orang yang tak pernah lelah belajar. Kendati sang guru lebih muda, namun jika secara keilmuan dianggap mumpuni, maka ia akan hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Di antara gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad al-Fathani. Usianya hampir seumur anaknya. Namun karena tawaduknya, Kiai Muhammad Khalil menjadi santri ulama asal Patani ini.

Kiai Muhammad Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, yaitu kitab tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok pesantrennya di Bangkalan. Karya Syekh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok pesantren tradisional di Jawa dan Madura yang mengajarkan kitab itu.
Kiai Muhammad Khalil juga belajar ilmu tarikat kepada beberapa orang ulama tarikat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya Syekh Ahmad Khatib Sambas. Tarikat Naqsyabandiyah diterimanya dari Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi.
Sewaktu berada di Makkah, ia mencari nafkah dengan menyalin risalah-risalah yang diperlukan para pelajar di sana. Itu pula yang mengilhaminya menyususn kaidah-kaidah penulisan huruf Pegion bersama dua ulama lain, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Saleh as-Samarani. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Sepulang dari Makkah, ia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarikat di tanah Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah barat laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, yaitu Kiai Muntaha. Kiyai Muntaha ini berkahwin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernamIa sendiri mengasuh pondok pesantren lain di Bangkalan.
Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para muridnya itu adalah KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama), KH Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar), KH Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang), dan KH As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.


(sumber :http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=228862&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=185)
1

Selasa, 08 Mei 2012

Tuan Mukhtar Bogor : 'Ulama Ahli Syariat & Haqiqat oleh: almarhum Ustaz Wan Mohd Shaghir


DI MEKAH pada satu ketika dulu sekurang-kurangnya ada tiga orang ulama yang berasal dari dunia Melayu yang menguasai banyak bidang disiplin ilmu. Ketiga-tiganya pula adalah merupakan yang paling ramai muridnya, terutama bagi masyarakat dunia Melayu.

Yang pertama, ialah Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani (1272 H/1856 M - 1325 H/1908 M). Mengajar di Masjid al-Haram selama lebih kurang 25 tahun, mulai 1300 H/1882 M hingga tahun 1325 H/1908 M. Yang kedua Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minankabawi (1276 H/1860 M - 1334 H/ 1916 M). Mengajar di Masjid al-Haram selama lebih kurang 29 tahun, mulai 1305 H/1888 M hingga tahun 1334 H/1916 M. Yang ketiga ialah ulama yang diriwayatkan ini, nama lengkap beliau ialah Syeikh Muhammad Mukhtar bin `Atharid al-Bughri al-Batawi al-Jawi. Lahir di Bogor, Jawa Barat, pada hari Khamis, 14 Syaaban 1278 H/14 Februari 1862 M, wafat di Mekah, petang Ahad, 17 Shafar 1349 H/13 Julai 1930 M. Mengajar di Masjid al-Haram selama lebih kurang 28 tahun, mulai 1321 H/ 1903 M hingga tahun 1349 H/1930 M.

Sungguh pun Tuan Mukhtar Bogor menguasai banyak bidang disiplin ilmu termasuk ilmu-ilmu hadis, yang sering dibicarakan terutama oleh golongan tajdid, namun beliau tetap berpegang dengan Mazhab Syafie, pengikut setia Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah aliran Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam tasawuf tetap berpegang kukuh dengan imam-imam kaum sufi yang muktabar seperti Imam Abu Qasim Juneid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali, dan lain-lain.

PENDIDIKAN

Beliau memperoleh pendidikan dari orang tuanya sendiri, terutama tentang al-Quran sekaligus beliau hafiz kitab suci Islam itu. Dalam tahun 1299 H/1881 M melanjutkan pelajarannya di Betawi/Jakarta, belajar kepada al-`Allamah al-Habib Utsman bin Aqil bin Yahya, Mufti Betawi. Melalui ulama Arab keturunan Rasulallah s.a.w tersebut Tuan Mukhtar Bogor hafal matan-matan ilmu yang pelbagai. Matan-matan itu ialah: Matn al-MilhahMatn al-Alfiyah dan Matn al-Qathar semuanya dalam bidang ilmu nahu,Matn al- Ghayah wa at-TaqribMatn al-IrsyadMatn az-Zubadsemuanya dalam fikh dan termasuk juga akidah. Ketika belajar di Betawi juga, Tuan Mukhtar telah mahir dalam riwayat-riwayat ilmu Qiraat.

Ulama-ulama yang pernah mengajar Tuan Mukhtar, yang bersanad, yang beliau sebut dalam tulisannya, ialah: Sayyid Muhammad Amin bin Sayyid Ahmad ar-Ridhwan al-Madani, Sayyid Abu Bakri Syatha dan saudaranya Sayyid Umar Syatha, Sayyid Abdul Karim an-Naji ad-Daryandi, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki, Syeikh Mushthafa Afifi dan Syeikh Muhammad Zainuddin al-Jawi as-Sumbawi. Ulama yang berasal dari Pulau Sumbawa, Indonesia ini menghasilkan beberapa buah karangan di antaranya yang masih diajarkan sampai sekarang ialahSirajul Huda (akidah) dan Minhajus Salam (fikh). Guru-guru yang lain beliau sebut pula Syeikh Muhammad al-Minsyawi, Sayyid Umar as-Syami, Sayyid Husein al-Habsyi, Sayyid Yusuf an-Nabhani, Sayyid Muhammad bin Ja'afar al-Kattani dan Syeikh Abdul Qadir al-Halabi.

Ada beberapa buah kitab yang dikhatamkan Tuan Mukhtar di bawah bimbingan Syeikh Ahmad al-Fathani, kitab-kitab itu ialahFathul Mu'in dan syarahnya I'anatuth Thalibin. Kedua-dua kitab itu adalah mengenai fikh yang sekaligus Tuan Mukhtar belajar juga kepada Sayyid Abu Bakri asy-Syatha, iaitu pengarang kitabI'anatuth Thalibin itu. Kitab fikh Mazhab Syafi'ie yang besar-besarTuhfah dan Nihayah, Tuan Mukhtar juga belajar kepada Sayyid Abu Bakri asy-Syatha. Tuan Mukhtar Bogor juga secara langsung khatam dua buah kitab karya Syeikh Ahmad al-Fathani sendiri. Yang sebuah dalam bahasa Arab, iaitu Tashil Nail al-Amanitentang nahu. Yang bahasa Melayu ialah Faridatul Faraid tentang akidah Ahlis Sunnah wal Jamaah. Mengenai ilmu hadis terutama kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Tuan Mukhtar belajar dari awal hingga akhir kedua-dua kitab itu kepada Sayyid Husein bin Sayyid Muhammad al-Habsyi. Mengenai ilmu tafsir pula Tuan Mukhtar belajar kepada Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Sayyid Husein bin Sayyid Muhammad al-Habsyi dan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki juga adalah guru kepada Syeikh Ahmad al-Fathani.

MENGAJAR

Dalam catatan sejarah Tuan Mukhtar Bogor adalah seorang yang sangat rajin belajar, mengajar, membaca dan sangat kuat beramal. Praktik mengajar dilakukan di Masjid al-Haram dan di rumah beliau sendiri. Mengajar di Masjid al-Haram dilakukan antara Maghrib dan Isyak. Dan sesudah Isyak disambung lagi. Yang hadir ketika beliau mengajar di dalam Masjid al-Haram sekitar 400 orang yang terdiri dari para pelajar dan termasuk para ulama.

Biasanya beliau mengajar sesudah Subuh, jika di rumah, ialah ilmu nahu, ilmu sharaf dan balaghah. Sesudah Asar mengajar kitabIhya' Ulumid Din karangan Imam al-Ghazali. Pelajaran yang singkat tentang ilmu falak dan miqat dilaksanakan pada hari Selasa, iaitu mengajar kitab susunan beliau sendiri.

Setiap malam Jumaat, Tuan Mukhtar Bogor mengadakan majlis zikir dan doa yang ramai manusia menyertai majlis itu. Setiap selesai melakukan zikir dan doa diiringi dengan jamuan makan secara berjemaah.

Selain melakukan zikir dan doa berjemaah Tuan Mukhtar Bogor memang dikenali sebagai seorang yang zahid, banyak melakukan ibadat, banyak membaca selawat atas Nabi s.a.w, banyak membaca al-Quran dan lain-lain sejenisnya. Sungguhpun Tuan Mukhtar Bogor berkekalan membaca al-Quran sebagai amalan, namun beliau masih mampu mengamalkan zikir-zikir jenis Thariqat Qadiriyah dan Thariqat Naqsyabandiyah.

Selain hal-hal yang tersebut di atas Tuan Mukhtar Bogor juga dikenali sebagai seorang yang pemurah, beliau menampung para pelajar yang tiada berkemampuan dengan bimbingan pelimpahan ilmu, sekali gus diberi makan dan pakaian seperti yang beliau lakukan terhadap keluarganya sendiri.

Di antara murid-murid Tuan Mukhtar Bogor yang menjadi ulama besar yang mendapat tempat dalam masyarakat ialah: Haji Abdullah Fahim, Mufti Pulau Pinang, Tengku Mahmud Zuhdi, Syeikh al-Islam Selangor, Sayyid Muhsin bin Ali al-Masawi, pengasas Madrasah al-Ulumid Diniyah, Mekah, Kiyai Ahmad Dimyathi bin Abdullah at-Tarmasi (adik Syeikh Muhammad Mahfuz at-Tarmasi yang sangat terkenal), Kiyai Haji Hasyim al-Asy'ari, pengasas Nahdhatul Ulama Indonesia, Kiyai Haji Manshur bin Abdur Rahman Bogor al-Batawi, Sayyid Muhammad Ahyad bin Idris Bogor, ulama ini adalah menantu kepada Tuan Mukhtar Bogor, Syeikh Muhammad Yasin bin Isa al-Fadani (Padang), Tuan Guru Haji Muhammad Zain bin Tama Kajang (1324 H/1908 M - 1413 H/ 1992 M) dan ramai lagi. Sewaktu artikel ini saya tulis masih ramai murid Tuan Mukhtar Bogor yang masih hidup, di antaranya di Malaysia ialah Tuan Guru Haji Hasyim (Pimpinan Pondok Pasir Tumbuh, Kelantan), Tuan Guru Haji Abdullah bin Abdur Rahman (Pimpinan Pondok Lubuk Tapah, Kelantan). Selain yang masih hidup di Malaysia juga masih ramai di Patani, Indonesia dan di Mekah. Semua murid Tuan Mukhtar Bogor yang masih hidup pukul rata yang berusia melebihi usia 80 tahun ke atas.

PENULISAN

Syeikh Muhammad Mukhtar Bogor menghasilkan karya yang tersebar berupa cetakan ada yang ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu. Yang telah diketahui dan dijumpai adalah sebagai yang tersebut di bawah ini:

  • Taqribul Maqshad fil Amali bir Rub`il Mujaiyab, diselesaikan hari Khamis, 15 Syaaban 1308 H. Kandungan membicarakan ilmu falakiyah. Cetakan kedua Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1331 H. Dicetak juga oleh Mathba'ah Mushthafa al-Baby al-Halaby, Jumadil Awwal 1347 H. Selain cetakan sebuah manuskrip salinan yang ditemui, pada akhir salinan dinyatakan, "Saidi wa Ihsan Haji Abdur Rahman bin al-Haji Ibrahim Khathib Melabuh al-Jawi min ahali al-Juhur Baharu''. Maksudnya Saidi dan Ihsan bin Haji Abdur Rahman bin Haji Ibrahim, Khathib Melabuh yang berasal dari kekeluargaan Johor Bahru. Salinan telah dilakukan pada tengah hari Rabu, 15 hari terakhir bulan Rejab 1313 H.
  • Ushulud Din I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaah, diselesaikan hari Khamis, 24 Zulkaedah 1323 H. Kandungan membicarakan akidah, sifat dua puluh. Dicetak oleh Mathba'ah At-Taraqqil Majidiyah al-Utsmaniyah 1330 H.
  • Ar-Risalatul Wahbatil Ilahiyah fi Bayani Itsqati ma'alal Maiyiti minal Huquqi was Shiyam was Shalati, diselesaikan malam Ahad, 2 Muharram 1327 H. Kandungan membicarakan fidyah sembahyang, puasa dan lain-lain. Dicetak oleh Mathba'ah At-Taraqqil Majidiyah al-Utsmaniyah 1330 H. Ditashhih oleh Syeikh Idris bin Husein al-Kalantani.
  • As-Shawa'iqul Muhriqah lil Auhamil Kazibah fi Bayani Hillil Baluti war Raddu `ala man Harramahu, diselesaikan: Malam Isnin, 8 Muharram 1329 H. Kandungan membicarakan hukum boleh makan belut. Dicetak oleh Mathba'ah At-Taraqqil Majidiyah al-Utsmaniyah 1329 H
  • It-hafus Sadatil Muhadditsin bi Musalsalatil Ahaditsil Arba'in, diselesaikan: 8 Rabiulawal 1345 H. Kandungan membicarakan berbagai-bagai sanad/silsilah keilmuan dan amalan. Dicetak oleh Mathba'ah Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, Mesir, Jumadilawal 1345 H Ditashhih oleh Syeikh Muhammad az-Zahari al-Ghamrawi.
  • Khutbah al-Jumaat, tidak terdapat kenyataan tahun penulisan. Kandungan Khutbah Jumaat, khutbah yang pertama dan khutbah yang kedua. Dicetak tidak terdapat nama percetakan.
  • Kitab ad-Durril Munif fi Syarhil Wirdil Lathif, tidak terdapat kenyataan tahun penulisan. Kandungan membicarakan wirid, zikir, doa, dan lain-lain. Cetakan yang pertama Mathba'ah at-Taraqqil Majidiyah al-'Utsmaniyah, atas perbelanjaan pemiliknya Muhammad Majid al-Kurdi al-Makki, 1330 H.
  • Mukhtashar Kitab ad-Durril Munif fi Syarhil Wirdil Lathif, tidak terdapat tahun penulisan. Kandungan membicarakan wirid, zikir, doa, dan lain-lain. Dicetak oleh Mathba'ah al-'Arabiyah, Mekah, 13/2/1352. Pada halaman 7 pengarang mencatatkan bahawa syarah kitab ini dicetak pertama kali di Mekah tahun 1330 H dan cetakan yang kedua, tahun 1345 H di Mesir. Bahawa beliau telah mencantumkan 30 hadis berserta dengan syarahnya di dalam kitab tersebut.

Senin, 07 Mei 2012

Jeffrey Lang: Takjub dengan Alquran, Profesor Matematika itu Memeluk Islam, Oleh: Devi Anggraini Oktavika

Sikap kritisnya terhadap logika keberadaan Tuhan membawanyanya pada atheisme di usia remaja. Namun, kekalahan logikanya oleh Alquran sepuluh tahun kemudian membimbing profesor Matematika ini pada Islam, agama yang pernah hadir dalam mimpinya.

"Ayah, apakah surga itu benar-benar ada?" Jeffrey Lang kecil bertanya kepada ayahnya saat berjalan-jalan bersama anjing peliharaannya di pantai, sekitar 50 tahun lalu.

Kini, Jeffrey adalah seorang profesor Matematika yang memperoleh gelar master dan doktor dari Purdue University, West Lafayette, Indiana pada 1981. Pertanyaan yang pernah dilontarkannya saat masih kanak-kanak itu kini terjawab sudah. Dosen dan peneliti di Universitas Kansas Amerika Serikat ini menemukannya dalam Islam, 32 tahun lalu.

Lahir pada 30 Januari 1954 di Bridgeport, Connecticut, Jeffrey dibesarkan di tengah keluarga dan lingkungan Katolik Roma. Selama 18 tahun pertama dalam hidupnya, ia belajar di sekolah-sekolah Katolik, di mana ia bertemu pendeta dan teman-teman dari latar belakang agama yang sama.

Hidup di lingkungan Katolik tak begitu saja menjadikan Jeffrey seorang pemeluk agama yang taat. Sikap kritis yang dimilikinya sejak kecil justru menjauhkannya dari agama keluarganya itu. Diskusi-diskusi yang dibangunnya dengan orang tua, pendeta sekolah, dan teman-teman sekolahnya tak pernah berhasil menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Tuhan.

“Pada masa itu, aku sudah mulai banyak bertanya tentang nilai-nilai kehidupan, baik secara politik, sosial, maupun keagamaan. Aku bahkan sering bertengkar dengan banyak kalangan untuk memperdebatkan hal itu, termasuk dengan pemuka gereja Katolik,’’ tulisnya dalam salah satu buku tentang perjalanannya menemukan Islam.

Menjelang kelulusannya dari sekolah Notre Dam Boys High, saat usianya 18 tahun, Jeffrey merasa kebuntuan logika tentang Tuhan hanya menyisakan satu pilihan baginya; menjadi atheis. Sang ayah yang marah dengan pilihan Jeffrey berkata, "Tuhan akan membuatmu tertunduk, Jeffrey."

Ucapan ayahnya benar-benar terjadi. Jeffrey tertunduk dan bersimpuh di hadapan Tuhan pada suatu malam, dalam sebuah mimpi.

Dalam mimpinya, Jeffrey berada di dalam sebuah ruangan kecil yang tenang dan hening. “Tak ada perabot apapun, tidak juga hiasan apapun di dindingnya yang berwarna putih keabuan. Hanya ada karpet bermotif dengan warna dominan merah dan putih menutupi lantai ruangan,” katanya.

Jeffrey menambahkan, dirinya tak sendiri di dalam ruangan itu. Ia dan beberapa orang lainnya berada dalam beberapa barisan. “Aku ada di barisan ketiga. Tak ada perempuan di sana, hanya laki-laki. Kami semua duduk di atas tumit-tumit kami, menghadap sebuah jendela kecil yang membawa cahaya yang terang benderang ke dalam ruangan.”

Jeffrey merasa asing karena tak mengenal siapapun, namun melakukan gerakan ruku’ dan sujud bersama dan seirama. “Tenang sekali, seolah seluruh suara dimatikan,” katanya. Masih dalam mimpinya, di tengah keheningan itu, Jeffrey tersadar bahwa mereka dipimpin seseorang yang berdiri paling depan di bagian tengah ruangan. “Ia berada di sisi kiriku, tepat di tengah ruangan, terpisah dari barisan.”

“Aku hanya sempat melihatnya sekilas, pria itu memakai jubah panjang putih. Di kepalanya terdapat sebuah kain putih dengan motif merah. Saat itulah aku terbangun dari mimpiku.”

Mimpi itu berulang kali menghampiri Jeffrey di sepanjang 10 tahun kehidupan tanpa Tuhan yang dijalaninya. Karena sama sekali tak mengerti, Jeffrey mengabaikannya. Hanya saja, satu hal yang tak dilupakan Jeffrey, “Aku selalu merasa nyaman setiap terbangun dari mimpi aneh itu.

Sepuluh tahun kemudian, di hari pertamanya mengajar di University of San Fransisco, Jeffrey bertemu seorang mahasiswa Muslim di kelas Matematika yang diampunya. Dalam rentang waktu yang cukup singkat, Jeffrey telah menjalin pertemanan dengan mahasiswa Muslim itu, juga keluarganya. Keduanya sering berbincang dan berdiskusi, namun tak pernah membahas soal agama.

Hingga pada suatu waktu, salah seorang keluarga mahasiswa Muslim itu memberi Jeffrey sebuah salinan Alquran. Karena tak sedang mencari agama, dan sebagai seorang ateis, Jeffrey membacanya dengan berbagai prasangka di otaknya.

Jeffrey pun segera terlibat dalam apa yang disebutnya pergulatan. “Alquran menyerangku secara langsung dan personal, mengkritik, mempermalukan, dan menantangku. Sejak awal, kitab itu menorehkan garis peperangan, dan aku berada di wilayah yang berseberangan,” katanya.

“Anda tidak bisa hanya membaca Alquran. Tidak akan bisa jika Anda melakukannya dengan serius. Pilihannya (ketika Anda membaca Alquran) adalah, pertama, Anda telah menyerah padanya atau, kedua, Anda menantangnya.”

Jeffrey kewalahan. Ia kebingungan. “Aku menderita kekalahan parah. Karena saat membacanya, sangat jelas kurasakan bahwa Penulisnya (Allah SWT) mengetahui tentangku lebih baik daripada aku mengenal diriku sendiri,” ujarnya takjub.

Ketakjuban itu bertambah. Ketika Jeffrey memunculkan pertanyaan dan sanggahan baru dalam otaknya setiap selesai membaca Alquran hingga bagian tertentu, ia segera memperoleh jawabannya saat meneruskan bacaannya. “Seolah Penulis kitab itu membaca pikiranku.”

“Alquran selalu berada jauh di depan pemikiranku. Ia menghapus rintangan yang telah kubangun bertahun-tahun lalu dan menjawab semua pertanyaanku,” katanya. Semakin keras ia mencoba melawan dengan sanggahan dan pertanyaan, semakin jelas ia memperoleh kekalahan dalam pergulatan itu. “Aku dituntun ke sebuah sudut di mana hanya ada satu pilihan

Tahun 1982, Jeffrey mendapati sejumlah kecil mahasiswa Muslim memanfaatkan sebuah ruangan kecil di basement gereja untuk shalat. Ia memberanikan diri mengunjungi tempat itu pada suatu hari. Setelah beberapa jam di ruangan kecil itu, Jeffrey keluar dengan sebuah identitas baru; Muslim.

Ia telah bersyahadat di sana, beberapa saat menjelang tengah hari. Memasuki waktu Dzuhur ia berbaur dan berdiri dalam barisan bersama para mahasiswa, dipimpin seorang bernama Ghassan. Jeffrey menunaikan shalat pertamanya.

Jeffrey terlarut dalam setiap gerakan shalat yang diikutinya. Saat menyelesaikan gerakan sujud dan melakukan duduk iftirasy, Jeffrey melihat ke arah depan dan melihat Ghassan. “Ia berada di sisi kiriku, di tengah-tengah di depan sana, di bawah jendela yang menghujani ruangan dengan cahaya. Ia terpisah dari barisan, mengenakan jubah putih, dengan selendang putih bermotif merah di kepalanya.”

“Mimpi itu!,” teriaknya dalam hati. Setelah berhasil meyakinkan dirinya bahwa ia tak sedang bermimpi, Jeffrey disergap rasa hangat yang mendamaikan hatinya.

Ia berlutut dengan kening menyentuh lantai. Bagian tertinggi raganya yang penuh dengan berbagai pengetahuan dan intelektualitas berada di titik terendah, dalam sebuah penyerahan total kepada Allah SWT. Pipi Jeffrey basah oleh air mata.


(sumber : REPUBLIKA.CO.ID,Senin, 30 April 2012)

Sabtu, 05 Mei 2012

Takhrij Hadits dalam Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin, Juz. I, Hal. 43-44


1.             Dalam Shahihaini, terdapat hadits larangan istisja’ dengan tulang. (Syarah al-Mahalli, Juz. I, Hal. 43)

Hadits dimaksud di atas adalah hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, beliau berkata :
اتَّبَعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ فَكَانَ لاَ يَلْتَفِتُ فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَقَالَ ابْغِنِي أَحْجَارًا أَسْتَنْفِضْ بِهَا ، أَوْ نَحْوَهُ ، وَلاَ تَأْتِنِي بِعَظْمٍ ، وَلاَ رَوْثٍ فَأَتَيْتُهُ بِأَحْجَارٍ بِطَرَفِ ثِيَابِي فَوَضَعْتُهَا إِلَى جَنْبِهِ وَأَعْرَضْتُ عَنْهُ فَلَمَّا قَضَى أَتْبَعَهُ بِهِنَّ
Artinya : Aku mengikuti Nabi SAW saat beliau keluar untuk buang hajat, dan beliau tidak menoleh (ke kanan atau ke kiri) hingga aku pun mendekatinya. Lalu Beliau bersabda: "Carikan untukku batu atau seumpamanya untuk aku gunakan beristinja' dan jangan bawakan tulang atau kotoran hewan." Lalu aku datang kepada beliau dengan membawa kerikil di ujung kainku, batu tersebut aku letakkan di sisinya, lalu aku berpaling darinya. Setelah selesai beliau gunakan batu-batu tersebut. (H.R. Bukhari).[1]


dan riwayat Muslim berbunyi :
لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami menghadap kiblat waktu buang air besar dan kecil atau istinja’ dengan tangan kanan atau istinja’ dengan batu kurang dari tiga biji ataupun istinja’ dengan kotoran atau dengan tulang.(H.R. Muslim).[2]

Dalam riwayat lain bagi Muslim dengan lafazh berbunyi :
وَسَأَلُوهُ الزَّادَ فَقَالَ  لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِى أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا وَكُلُّ بَعَرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم  فَلاَ تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ
Artinya : Dan mereka (jin) meminta kepada Rasulullah bekal, maka beliau bersabda, 'Kamu mendapatkan setiap tulang yang disebutkan nama Allah atasnya (ketika disembelih), yang mana di tangan kalian lebih banyak menjadi daging dan setiap kotoran hewan adalah makanan untuk hewan tunggangan kalian.' Lalu Rasulullah SAW bersabda, 'Maka janganlah kalian beristinjak dengan keduanya (maksudnya kotoran hewan dan tulang), karena keduanya adalah makanan saudara kalian'. (H.R. Muslim)[3]

2.        Hadits riwayat Muslim dari Salman, beliau berkata :
نَهَانَاْ رسول الله صلعم أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami istinja’ dengan batu kurang dari tiga biji (Syarah al-Mahalli, Juz. I, Hal. 44)

Hadits ini lengkapnya adalah :
لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami menghadap kiblat waktu buang air besar dan kecil atau istinja’ dengan tangan kanan atau istinja’ dengan batu kurang dari tiga biji ataupun istinja’ dengan kotoran atau dengan tulang.(H.R. Muslim).[4]

3.        Hadits muttafaqun ‘alaihi, Rasulullah SAW bersabda :
إِذا استجمر أحدكُم فليستجمر وترا
Artinya : Apabila kamu beristinja’ dengan batu, maka beristinja’lah dengan batu secara ganjil. (Syarah al-Mahalli, Juz. I, Hal. 44)

Hadits dari Abu Hurairah ini telah disebut oleh Ibnu Mulaqqan dalam kitabnya Tuhfah al-Muhtaj ilaa Adallah al-Minhaj, beliau mengatakan hadits ini merupakan hadits muttafaqun ‘alaihi.[5]

4.        Hadits riwayat Abu Daud dan lainnya menerangkan bahwa Rasulullah SAW melakuka istinja’ dengan munggunakan tangan kiri. (Syarah al-Mahalli, Juz. I, Hal. 44)

Hadits dimaksud di atas adalah riwayat Aisyah, beliau berkata :
 كَانَتْ يَدُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْيُمْنَى لِطُهُورِهِ وَطَعَامِهِ وَكَانَتْ يَدُهُ الْيُسْرَى لِخَلاَئِهِ وَمَا كَانَ مِنْ أَذًى
Artinya : Tangan Rasulullah SAW yang kanan adalah untuk bersuci dan makanannya, sedangkan tangan kirinya untuk jamban dan sesuatu yang sifatnya kotor (H.R. Abu Daud)[6]

            Menurut keterangan Imam Nawawi, hadits ini shahih telah diriwayat oleh Ahmad dan Abu Daud dengan isnad shahih.[7] Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud dan Thabrany dari hadist Ibrahim dari ‘Aisyah secara mungqathi’. Namun Abu Daud juga ada meriwayat hadits ini dari jalur lain, yaitu dari Ibrahim dari Aswad dari ‘Aisyah. Hadits ini juga didukung oleh hadist Hafsah yang diriwayat Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim.[8] Matan hadist Hafsah dimaksud adalah :
كَانَ رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم - يَجْعَل يَمِينه لطعامه وَشَرَابه وثيابه ، وَيجْعَل شِمَاله لما سُوَى ذَلِك
Artinya : Rasulullah SAW menjadikan tangan kanannya untuk makanan, minuman dan pakaiannya, sedangkan tangan kirinya untuk selain itu. (H.R. Ahmad, Abu Daud dan telah menshahihkannya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim)[9]


5.        Hadist riwayat Muslim dari Salman berbunyi :
نَهَانَا رَسُول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami  istinja’ dengan tangan kanan (Syarah al-Mahalli, Juz. I, Hal. 44)


                 Lengkap hadits ini berbunyi :
لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِىَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kami menghadap kiblat waktu buang air besar dan kecil atau istinja’ dengan tangan kanan atau istinja’ dengan batu kurang dari tiga biji ataupun istinja’ dengan kotoran atau dengan tulang.(H.R. Muslim).[10]



[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 51, No. Hadits : 155
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 154, No. Hadits : 629
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 36, No. Hadits : 1035
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 154, No. Hadits : 629
[5] Ibnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila Adallah al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 171
[6] Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 13, No. Hadits : 33
[7] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 108
[8] Ibnu Hajar al-Asqalany, Talkhis al-Habir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 322
[9] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 371
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 154, No. Hadits : 629