Kamis, 08 September 2016

Penggabungan niat qurban dan aqiqah pada satu ekor hewan

Terjadi khilaf pendapat dikalangan ulama Syafi’iyah tentang kebolehan penggabungan niat qurban dan aqiqah pada satu ekor hewan. Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan tidak memadai tindakan tersebut untuk satupun dari keduanya. Adapun Imam al-Ramli berpendapat sebaliknya, beliau mengatakan niat qurban dan aqiqah pada satu ekor hewan memadai untuk keduanya. Berikut kutipan dari kedua ulama tersebut, yakni :
1.Dalam Tuhfah al-Muhtaj, al-Haitami mengatakan :
وَظَاهِرُ كَلَامِ الْمَتْنِ وَالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا وَهُوَ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ وَلِأَنَّ الْقَصْدَ بِالْأُضْحِيَّةِ الضِّيَافَةُ الْعَامَّةُ وَمِنْ الْعَقِيقَةِ الضِّيَافَةُ الْخَاصَّةُ وَلِأَنَّهُمَا يَخْتَلِفَانِ فِي مَسَائِلَ كَمَا يَأْتِي وَبِهَذَا يَتَّضِحُ الرَّدُّ عَلَى مَنْ زَعَمَ حُصُولَهُمَا وَقَاسَهُ عَلَى غُسْلِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ عَلَى أَنَّهُمْ صَرَّحُوا بِأَنَّ مَبْنَى الطَّهَارَاتِ عَلَى التَّدَاخُلِ فَلَا يُقَاسُ بِهَا غَيْرُهَا
Dhahir kalam matan dan para pengikut Syafi’i sesungguhnya seandai seseorang meniat (penggabungan) qurban dan aqiqah pada satu ekor kambing, maka tidak memadai untuk salah satu dari keduanya. Ini dhahir, karena setiap keduanya sunnah maqshudah dan karena tujuan qurban penjamuan bersifat umum, sedangkan tujuan aqiqah penjamuan bersifat khusus dan juga karena keduanya berbeda dalam beberapa masalah yang akan datang. Dengan ini, jelaslah tertolak pendapat yang mendakwakan memadai untuk keduanya dengan melakukan qiyas kepada mandi Jum’at dan janabah, sedangkan mereka menerangkan bahwa bab thaharah diasaskan kepada asas tadakhul (saling masuk). Karena itu, tidak dapat diqiyaskan kepada thaharah selain thaharah. [1]

2. Dalam Nihayah al-Muhtaj, Imam al-Ramli mengatakan :
وَلَوْ نَوَى بِالشَّاةِ الْمَذْبُوحَةِ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ حَصَلَا خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَ خِلَافَهُ
Seandainya seseorang niat (penggabungan) qurban dan aqiqah pada satu ekor kambing sembelihan, maka memadai untuk keduanya, khilaf dengan yang mendakwa sebaliknya.[2]



[1] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj (dicetak pada hamisy Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 369-370
[2] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (ddicetak bersama hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi), Dar al-Kutub al-ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 145-146

Selasa, 06 September 2016

Hukum memelihara burung dalam sangkar

Hukum memelihara hewan termasuk burung dengan cara di batasi kebebasannya, baik dengan cara dikurung atau diikat dibolehkan dengan syarat dipenuhi kebutuhan makannya, tidak diperlakukan secara zalim dan bukan hewan yang diharamkan untuk dipelihara. Berikut ini nash dari ulama mengenai masalah ini, yakni antara lain:
1.    Qalyubi berkata :
لَهُ حَبْسُ حَيَوَانٍ وَلَوْ لِسَمَاعِ صَوْتِهِ، أَوْ التَّفَرُّجِ عَلَيْهِ، أَوْ نَحْوَ كَلْبٍ لِلْحَاجَةِ إلَيْهِ مَعَ إطْعَامِهِ.
Boleh seseorang menahan (memelihara) hewan walau untuk sekedar mendengar suaranya atau melihatnya, atau menahan seumpama anjing untuk kebutuhan, dengan syarat hewan-hewan itu diberi makan.[1]

2.    Dalam kitab Syarah al-Iqna’ karya al-Khatib al-Syarbaini disebutkan :
 سئل القفال عن حبس الطيور في اقتناص لسماع أصواتها أو غير ذلك فأجاب بالجواز إذا تعهدها مالكها بما يحتاج إليه لأنها كالبهيمة تربط.
.Imam Qaffal ditanya tentang hukumnya meletakkan burung dalam sangkar untuk didengarkan suaranya atau yang lain, beliau menjawab bahwa hal itu diperbolehkan jika pemiliknya memperhatikan sesuatu yang dibutuhkan burung tersebut, karena hal itu sama engan hewan yang diikat.[2]

Fatwa ini didasarkan keepada dalil, antara lain hadits riwayat Anas r.a, beliau berkata :
 كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ - قَالَ: أَحْسِبُهُ - فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ
Nabi SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu Umair. Dia (perawi) berkata : perkiraanku, dia anak yang baru disapih. Beliau SAW datang, lalu memanggil : “Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair (nama seekor burung). Sementara anak itu sedang bermain dengannya. (H.R. Bukhari).[3]

Dalam hadis di atas Nabi SAW membiarkan anak tersebut memelihara dan bermain dengan burung yang dia pelihara. Nabi pun tidak memerintahkan keluarganya agar melepas burung tersebut. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan kebolehannya memelihara burung di dalam sangkar.[4]



[1] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia,  Juz. IV, Hal. 94
[2]Al- Khatib al-Syarbaini, Syarah al-Iqna’ (dicetak dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. V, Hal. 90
[3] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 45, No. 6203
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani,  Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. X, Hal. 584

Sabtu, 03 September 2016

Menempatkan kembali nash-nash Imam Syafi'i pada pemahamanan yang benar (bag. 7)

11. Nash Imam Syafi’i bahwa Allah di langit
            Diantara nash Imam Syafi’i yang sering digunakan sebagai pendukung pendapat Wahabi Salafi dalam membenarkan akidahnya adalah kutipan dari kitab ‘Ulu al-Aliy al-Ghafar karya al-Zahabi diriwayatkan dari jalur Abu Hasan al-Hakkari dengan sanadnya kepada Abu Tsur dan Abu Syu’aib, keduanya dari Imam Syafi’i, beliau berkata :
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
Perkataan dalam al-Sunnah yang aku dan sahabat-sahabat kami serta ahli hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui dengan syahadah bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah dan  Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, dimana Allah dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau menyebutkan beberapa i’tiqad lainnya.[1]

Ibnu Qayyim al-Jauzi juga telah mengutip perkataan Imam Syafi’i di atas dalam kitabnya, Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah dari perkataan Ibnu  Abi Hatim al-Razi juga dengan sanad Abu Syu’aib dan Abu Tsur.[2] Dalam kitabnya, al-Arasy, al-Zahabi mengutip perkataan ini dari riwayat Abd al-Ghani al-Maqdisi dan al-Hakaari dengan sanadnya kepada Abu Tsur dan Abu Syu’aib.[3]
Untuk menelusuri apakah perkataan di atas benar merupakan perkataan Imam Syafi’i atau penisbatan perkataan ini kepada Imam Syafi’i merupakan pendustaan kepada beliau,  maka berikut  ini analisis  terhadap sanad riwayat di atas, yakni sebagai berikut :
1). Abu al-Hasan al-Hakaari
Abu al-Hasan al-Hakaari dengan nama Ali bin Ahmad Abu al-Hasan al-Hakaari ini adalah orang yang dituduh (tuhmah) sebagai pemalsu hadits. Al-Zahabi sendiri yang meriwayat perkataan ini dari al-Hakaari mengatakan dalam kitabnya, Mizan al-I’tidal, berkata Abu al-Qasim ibn ‘Asakir : “al-Hakaari tidak dapat dipercaya”. Ibn al-Najaar berkata : “Dia dituduh sebagai pemalsu hadits dan yang mengada-adakan sanad.”[4] Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Lisan al-Mizan juga telah menyebut perihal al-Hakaari ini sebagaimana kutipan al-Zahabi di atas. Selanjutnya beliau menambahkan : “Kebanyakan haditsnya ghariib dan mungkar dan dalam haditsnya ada beberapa yang palsu. Aku telah melihat tulisan sebagian ahli hadits yang menyebutkan al-Hakaari sering melakukan pemalsuan hadits di Ashfahan.”[5]
2). Abu Syu’aib yang didakwa mendengar perkataan di atas dari Imam Syafi’i lahir dua tahun setelah Imam Syafi’i wafat. Karena Abu Syu’aib ini lahir pada tahun 206 H. [6] Sedangkan Imam Syafi’i sebagaimana dimaklumi wafat pada tahun 204 H. Dengan demikian, Abu Syu’aib tidak pernah ketemu dengan Imam Syafi’i.
3). Ibnu Abi Hatim al-Razi yang dikutip oleh Ibnu Qayyim al-Jauzi di atas merupakan anak dari ahli hadits terkenal, Abu Hatim. Ibnu Abi Hatim ini wafat pada tahun 327 H dengan usia beliau ketika itu 80 tahun lebih.[7] Seandainya maksud 80 tahun lebih ini adalah 89 tahun, maka beliau lahir pada tahun 238 H. Sedangkan Abu Tsur wafat pada tahun 240 H.[8] Dengan demikian, pada ketika Abu Tsur wafat, Ibnu Abi Hatim al-Razi masih berusia 2 tahun. Dengan demikian, dapat dipastikan Ibnu Abi Hatim tidak menerima riwayat dari Abu Tsur.
4). Abd al-Ghani al-Maqdisi yang wafat pada tahun 541 H ini adalah penganut aliran mujassimah yang telah dihalalkan darahnya pada masa hidupnya oleh para fuqaha Mesir.[9]
Berdasarkan keterangan di atas, maka di  sini dapat kita dijelaskan sebagai berikut :
a.    Perkataan Abu Hasan al-Hakaari tidak dapat dijadikan pegangan, karena al-Hakaari ini disebut sebagai pemalsu hadits dan Abu Syu’aib yang didakwa pernah mendengar perkataan Imam Syafi’i tidak pernah bertemu dengan Imam Syafi’i, karena beliau lahir setelah dua tahun Imam Syafi’i wafat.
b.    Ibnu Abi Hatim tidak menerima riwayat dari Abu Tsur, karena Ibnu Abi Hatim masih berumur dua tahun ketika Abu Tsur wafat (Ini seandainya kita maknai umurnya 80 tahun lebih beermakna 89 tahun)
c.    Al-Zahabi tidak menyebut sanad Abd al-Ghani al-Maqdisi, sehingga sanadnya ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lagi pula Abd al-Ghani al-Maqdisi ini adalah penganut mujassimah yang pernah dihukum halal darahnya oleh para fuqaha zamannya.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipastikan bahwa perkataan tersebut bukanlah peerkataan Imam Syafi’i, akan tetapi hanya riwayat palsu dengan mengatasnamakan Imam Syafi’i. Upaya orang-orang fanatik mazhab seperti pengikut mujassimah memalsukan perkataan ulama besar untuk mendukung mazhabnya  ini memang sering terjadi. Hal ini juga terjadi pada Imam Syafi’i. Karena itu, kita bisa memahami kenapa pemalsuan riwayat dari Imam Syafi’i dapat terjadi juga sebagaimana perkataan yang dinisbatkan kepada beliau di atas. Al-Zahabi dalam ketika menjelaskan biografi Abu Thalib al- ‘Asyaari mengatakan : “Dengan mengatasnamakan al-‘Asyaari, mereka memasukkan sesuatu, maka didatangkannya dengan kesenangan bathin, diantaranya hadits maudhu’ pada fadhilah malam ‘Asyura dan diantaranya akidah Imam Syafi’i.”[10]

Menempatkan kembali nash-nash Imam Syafi'i pada pemahaman yang benar (bag. 6)


[1] Al-Zahabi, al- ‘Ulu lil-Aliy al-Ghafar, Dar al-Himam al-Rawas, Beirut,  Hal. 436
[2] Ibnu Qayyim al-Jauzi, Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah, Dar ‘Alim al-Fawaid, Hal. 240
[3] Al-Zahabi, al-Arasy, Azhwa’ al-Salaf, Saudi Arabiya, Juz. II, Hal. 226-227.
[4] Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Juz. III, Hal. 112
[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Lisan al-Mizan, Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyah,  Juz. V, Hal. 483
[6] Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 443
[7] Al-Zahabi, Siir A’lam al-Nubulaa, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 269
[8] Al-Zahabi, Siir A’lam al-Nubulaa, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 73
[9] Abu Syamah al-Maqdisi, Dzail ‘ala al-Raudhataini, Dar al-Jail, Beirut,  Hal. 47
[10] Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Juz. III, Hal. 659