Minggu, 26 Juni 2016

Hukum fiqh apabila bertentangan antara asal dan dhahir

Menurut al-Zarkasyi, para ulama pengikut Syafi’i kadang-kadang  menyebut asal dan dhahir, tetapi pada waktu lain terkadang menyebutnya asal dan ghalib, sehingga seolah-olah dhahir dan ghalib itu bermakna satu. Sebagian mereka membedakan antara keduanya, yakni ghalib adalah sesuatu yang menguatkan zhan tetapi tidak nyata, sedangkan dhahir adalah sesuatu yang muncul dengan cara kasat mata seperti keluar mani seorang perempuan setelah berhubungan badan dan mandi.[1] Satu jama’ah mutaakhirin dari Khurasaan sebagaimana dihikayah oleh al-Nawawi menyebut bahwa setiap masalah yang terjadi pertentangan antara asal dan dhahir atau pertentangan antara dua asal, maka pada masalah itu ada khilaf. Menurut al-Nawawi penyebutan secara mutlaq ini tidaklah tepat, karena dalam mazhab Syafi’i ada masalah yang diamalkannya karena mengikuti dhahir sesuatu tanpa khilaf seperti mengamalkan kesaksian dua orang yang adil secara ijmak. Di sini tidak ditinjau aspek asal, yakni bara-ah al-zimmah (asal sesuatu adalah lepas tanggungjawab), dan kadang-kadang ada masalah yang diamalkannya dengan mengikuti asal tanpa khilaf, seperti orang yang menduga berhadats, thalaq, merdeka atau shalat tiga raka’at atau adakalanya empat, maka ini tidak ada khilaf dikalangan ulama diamalkannya dengan mengikuti asal, meskipun dhahir adalah kebalikannya. Selanjutnya al-Nawawi mengatakan bahwa yang benar dalam masalah ini adalah apa yang telah dibuat pembatasan (dhabith) oleh Ibnu al-Shalah, yakni “Apabila bertentangan antara dua asal atau asal dan dhahir, maka wajib ada tarjih sebagaimana pertentangan yang terjadi antara dua dalil. Karena itu, seandainya masih terjadi taraddud (kemungkinan-kemungkinan), maka itu termasuk dalam masalah khilafiyah. Namun apabila dalil dhahir lebih rajih, maka diamalkan dhahir tanpa khilaf dan apabila dalil asal lebih rajih, maka diamalkan asal tanpa khilaf.”[2] Pada kesempatan lain, setelah menyebut qaidah mendahulukan asal atas dhahir dan contoh-contohnya, Imam al-Nawawi berkomentar, semua ini selama tidak disandarkan dhan (yakni dhan dhahir) kepada sebab tertentu. Adapun apabila disandarkan kepada sebab tertentu, seperti masalah kencing hewan dalam air banyak apabila berubah, masalah kuburan yang diragukan penggaliannya, pakaian orang yang keyakinan agamanya tidak ada masalah menggunakan najis dan lainnya, maka dalam hal ini baginya ada hukum yang ma’ruf, yakni sebagiannya beramal dengan dhahir tanpa khilaf seperti masalah kencing hewan dan kesaksian dua orang saksi, dimana dalam dua kasus ini memberi faedah dhan dan dhan tersebut lebih didahulukan atas asal terlepas tanggungjawab (bara-ah al-zimmah) dan sebagian lain beramal dengan dhahir, tetapi ada khilaf sebagaimana contoh masalah kuburan dan seumpamanya.[3]
Zainuddin al-Malibary dalam bab bersuci dalam kitabnya, Fath al-Mu’in mengatakan, sesuatu yang asalnya suci, kemudian kuat dhannya bernajis karena biasanya bernajis benda yang sejenisnya, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat yang ma’ruf (qaulain), yakni khilaf antara asal dan dhahir atau asal dan ghalib. Menurut pendapat yang lebih rajih, hukumnya adalah suci sebab mengikuti amal dengan asal yang yakin. Argumentasinya asal lebih ter-dhabith (terukur) dibandingkan ghalib yang berbeda dengan sebab berbeda keadaan dan zaman. Mengomentari perkataan Fath al-Mu’in di atas, pengarang I’anah al-Thalibin dalam Hasyiahnya atas Fath al-Mu’in menjelaskan, beramal dengan asal, kedudukannya adalah apabila dhan najis tersebut hanya disandarkan kepada kebiasaannya (ghalib). Adapun apabila tidak hanya disandarkan kepada ghalib, maka diamalkan ghalib. Karena itu, apabila seekor hewan kencing dalam air banyak dan air itu berubah, namun ragu-ragu sebab berubahnya apakah penyebabnya kencing atau karena air lama mengendap , maka dihukum najis sebab beramal dengan dhahir. Argumentasinya dhahir tersebut disandarkan kepada sebab tertentu sama hal dengan dengan berita seorang yang adil.[4]
            Adanya khilafiyah pada masalah pertentangan asal dan dhahir, Al-Zarkasyi  menyebutkan syarat-syaratnya sebagai berikut :
1.      Tidak iththirad ‘adat (kebiasaan yang sifatnya tetap) yang menyalahi asal. Karena itu, seandainya iththirad adat menyalahi asal, maka didahulukan dhahir atas asal. Misalnya, menggunakan baja/tahi pada bejana tembikar. Dalam contoh ini dihukum najis bejana, sebab didahulukan dhahir atas asal tanpa khilaf, karena sudah ma’ruf bahwa bejana tersebut dibuat dari baja/tahi, meskipun asal bejana adalah suci.
2.      Banyak sebab dhahir. Karena itu apabila sebab dhahir nadir (jarang sekali terjadi), maka tidak ditinjau aspek dhahirnya tanpa khilaf. Berdasarkan ini, para pengikut  Syafi’i sepakat boleh seseorang menggunakan wudhu’nya apabila dia yakin pernah suci dengan wudhu’nya tersebut, kemudian datang dugaan dia berhadats. Tidak berlaku pada masalah hadats ini khilaf yang berlaku pada masalah yang menguatkan dhan bernajis. Perbedaannya, sebab yang menjadi tanda pada najis banyak, sedangkan sebab pada hadats sedikit
3.      Tidak ada pendukung (‘azhid) salah satunya. Karena itu, apabila ada yang dalil mendukungnya, maka wajib mengikuti konsekwensi yang ditarjih berdasarkan dalil pendukungnya itu. [5]
Dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, al-Nawawi mengatakan, dalil dalam bab ini, yakni beramal atas dasar mengikuti asal dan tidak dapat dipengaruhi oleh keragu-raguan dalam masalah air, hadats, pakaian, thalaq dan memerdekakan hamba sahaya dan lainnya adalah sabda Nabi SAW di saat seorang sahabat yang mengadu kepada beliau bahwa dia berhayal dan merasakan ada sesuatu pada ketika berada dalam shalatnya. Nabi SAW bersabda :
لا ينصرف حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
Artinya : Jangan berpaling dari shalat sehingga mendengar suara atau mendapati baunya. (H.R. Bukhari dan Muslim).[6]

Dalam halaman berikutnya, al-Nawawi menambahkan, qaidah ini sifatnya iththirad (mencakup semua cabang-cabangnya), sehingga tidak ada yang keluar darinya kecuali sedikit masalah, itupun karena ada dalil yang mengkhususkannya, sedangkan sebagian lain apabila ditahqiq, maka masuk dalam cabang qaidah ini juga.[7]
Berdasarkan uraian di atas, sesuai dengan pembagian al-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair[8] dan al-Zarkasyi dalam al-Mantsur fi Qawaid,[9] maka pembagian di sekitar masalah pertentangan asal dan dhahir ini ada empat pembagian, yaitu :
1.      Ditarjih asal secara pasti (jazm). Kriterianya : asal itu hanya paradoks dengan ihtimal (kemungkinan) semata. Al-Zarkasyi memberikan contohnya antara lain :
a.       Seseorang meyakini sudah pernah suci, kemudian dia ragu apakah dia berhadats sekarang atau tidak, atau dia sekarang menduga sudah berhadats, maka masih tetap dihukum suci, karena beramal dengan asal.
b.      Seseorang ragu dalam hal terbit fajar pada puasa Ramadhan. Maka orang ini masih boleh makan sebelum datang keyakinan fajar sudah terbit.
c.       Seorang isteri yang lama tinggal bersama suami mendakwa bahwa suaminya tidak pernah memberikan nafkah dan pakaian yang wajib untuknya. Dakwaan isteri ini dapat dibenarkan karena asalnya isteri selalu bersama suami dan pada adat kebiasaan jarang sekali terjadi isteri tinggal tidak bersama suaminya.
2.      Ditarjih dhahir secara pasti (jazm). Kriterianya adalah dhahir tersebut :
a.       disandarkan kepada sebab yang secara khusus diakui syara’ seperti kesaksian atau berita seorang yang adil telah masuk waktu sebuah ibadah, najis air, pemberitahuan seorang perempuan tentang haidnya dan telah lalu ‘iddah, meskipun asal pada pada contoh-contoh ini kebalikannya. Contoh lain kekuasaan pada masalah dakwa, dimana asalnya tentu tidak ada kepemilikan seseorang pada sebuah harta, tetapi karena harta tersebut ada pada kekuasaan seseorang, maka dhahirnya orang yang menguasainya adalah pemiliknya. Hal ini karena ada penegasan syara’ demikian adanya.
b.      disandarkan kepada sebab yang ma’ruf pada adat. Contohnya tanah dipantai sungai, dhahirnya berserakan dan dapat mengalir kembali bercampur dalam air. Karena itu tidak boleh mempersewanya, meskipun asalnya adalah tanah. Al-Zarkasyi memberi contoh sebagaimana telah disebut di atas, menggunakan baja/tahi pada bejana tembikar, hukum menggunakan bejana adalah najis, karena ma’ruf bejana tersebut dibuat dengan menggunakan baja/tahi. Contoh lain yang disebut al-Zarkasyi adalah air yang berasal dari tempat pemandian (hamam), dihukum najis karena iththirad ‘adat orang yang mandi kencing di dalamnya.
c.       ada pada dhahir tersebut koondisi yang menjadi dalil pendukungnya, seperti masalah kencing binatang kijang (kencing kijang yang dilihat dengan kasat mata dalam air, kemudian air tersebut berubah, maka dihukum berubahnya itu karena kencing, bukan karena air itu lama mengendap). Contoh lain, seorang yang sedang ihram mengambil telur ayam dan dimasukannya bersama telur binatang buruan, kemudian ternyata telur binatang buruan tersebut pecah, maka orang yang ihram ini wajib membayarnya, karena dhahirnya telur binatang buruan pecah karena bercampur dengan telur ayam, meskipun kita mengatakan asal sesuatu terlepas tanggung jawab (bara-ah al-zimmah).
3.      Ditarjih asal menurut pendapat yang lebih shahih. Kriterianya, disandarkan ihtimal (kemungkinan-kemungkinan) dhahir kepada sebab yang dha’if.  Contohnya antara lain :
a.       Sesuatu yang pernah diyakini suci, tetapi ghalibnya najis, maka ini dihukum suci menurut pendapat yang lebih shahih, seperti bejana dan pakaian orang-orang yang sering menyentuh khamar, tukang sembelih, kafir yang berdasarkan agamanya tidak bermasalah dengan najis seperti Majusi, dan orang-orang yang dhahirnya berbaur dengan najis dan tidak menghindarkan diri dari najis, baik dia muslim maupun kafir. Contoh lain tanah pada lorong-lorong jalan dan kuburan yang dibongkar selama tidak diyakini najis.
b.      Seekor anjing memasukan kepalanya dalam bejana, kemudian dikeluarkan mulut dalam keadaan basah dan tidak diketahui apakah anjing itu ada menjilat air tersebut, maka air tersebut dihukum suci karena beramal dengan asal menurut pendapat yang lebih shahih. Dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab disebutkan, ini  karena suci yakin, sedang najis diragukan. Adapun basah-basah pada mulut anjing bisa jadi berasal dari keringatnya, bukan dari bejana. Karena itu, ini berbeda dengan kasus kencing hewan yang nampak pada kasat mata, yang menghasilkan keyakinan adanya najis dan menjadi sebab dhahir air berubah.[10] Adapun apabila mulut anjing tersebut dalam keadaan kering, maka dihukum suci tanpa khilaf.
c.       Jatuh seekor tikus dalam sumur, sebelum sampai kepada batasan tertentu (batasan waktu dimana tikus menjadi mati. pen.) diambil tikus itu dengan timba. Kuat dugaannya dalam sumur tersebut tidak mungkin tidak ada bulu tikus yang tersisa, tetapi dia sama sekali tidak melihatnya, maka dihukum suci air dalam sumur. (ini apabila air dalam sumur tidak sampai dua qullah)
d.      Sepasang suami isteri pernah khalwat dalam sebuah kamar, kemudian terjadi perselisihan antara keduanya. Isteri mengatakan dia pernah digauli oleh suaminya, tetapi sisuami membantahnya. Menurut pendapat yang lebih shahih dibenarkan perkataan suami, karena asalnya tidak ada digauli, meskipun dhahir dari khalwat ada digauli pada kebiasaan.
4.      Ditarjih dhahir atas asal menurut pendapat rajih. Kriterianya, dhahir itu mempunyai sebab yang kuat dan ter-dhabit (dapat diukur). Contoh-contohnya antara lain :
a.       Setelah shalat atau ibadah lainnya, seseorang ragu dalam meninggalkan rukun selain niat, maka menurut pendapat yang masyhur keragu-raguannya itu tidak mempengaruhi apa-apa, karena dhahirnya telah berlalu ibadah itu atas keshahihannya.
b.      Setelah membaca al-Fatihah, ragu pada satu huruf atau perkataan dari al-Fatihah tersebut, maka ini juga tidak pengaruhnya.
c.       Berbeda pendapat antara dua pihak yang melakukan sebuah akad tentang sah atau fasid akad tersebut, menurut pendapat yang lebih shahih dibenarkan yang mendakwa sah akad, karena dhahirnya berlaku akad di antara orang muslim sesuai dengan tuntunan syara’.
d.      Setelah seorang isteri disetubuhi, kemudian setelah terpenuhi syahwatnya dia mandi. Namun setelah itu, dari kemaluannya keluar mani laki-laki. Menurut pendapat yang lebih shahih wajib mengulangi kembali mandinya, karena dhahirnya bersama mani laki-laki itu keluar juga mani perempuan.
Catatan
            Dalam al-Mantsur fil Qawaid, Al-Zarkasyi menyebut dua catatan penting berkaitan dengan masalah pertentangan antara asal dan dhahir di atas, yakni :
1.      Khilafiyah dalam hal pertentangan antara asal dan dhahir di atas juga berlaku pada asal dan ghalib. Yang dimaksud dengan ghalib di sini adalah ghulbah dhan (kuat dhan) yang muncul bukan dari aspek tanda-tanda yang berhubungan dengan ‘ain sesuatu. Maka ini merupakan sasaran khilafiyah apakah asal halal dapat hilang dengan sebab sesuatu yang ghalib, seperti khilafiyah pada suci bejana orang yang sering menyentuh khamar, shalat pada kuburan yang sudah dibongkar dan tanah pada lorong-lorong jalan. Menurut pendapat yang terpilih, asalnya masih mu’tabar.  Adapun apabila disandarkan kuat dhan kepada tanda-tanda yang berhubungan dengan ‘ain sesuatu, maka wajib tarjih ghalib, seperti masalah kencing kijang. (kencing kijang yang dilihat dengan kasat mata dalam air, kemudian air tersebut berubah, maka dihukum berubahnya itu karena kencing, bukan karena air itu lama mengendap)
2.      Al-Qarafi mengatakan, mendahulukan asal atas ghalib adalah rukhsah (keringanan hukum). Karena sesungguhnya suci jarang ada pada sesuatu yang sering bernajis. Karena itu apabila ghalibnya adalah najis, maka meninggalkannya adalah wara’. Adapun ketika sama posisi kemungkinan keduanya (antara najis dan suci) atau lebih rajih suci, maka meninggalkannya adalah was-was.[11]






[1] Al-Zarkasyi, al-Mantsur fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 184
[2] Al-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, al-Haramain, Singapura-Indonesia, Hal. 46
[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 258
[4] Al-Bakri al-Dimyathi, I’anah al-Thalibin dan matannya, Fath al-Mu’in, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 104
[5] Al-Zarkasyi, al-Mantsur fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 184-185
[6] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 220
[7] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 257-258
[8] Al-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, al-Haramain, Singapura-Indonesia, Hal. 46-49
[9] Al-Zarkasyi, al-Mantsur fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 184-196
[10][10] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 233
[11] Al-Zarkasyi, al-Mantsur fil Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 197

Minggu, 19 Juni 2016

Bisikan hati ditinjau dari aspek hukum menurut Imam al-Subki

Pengantar :
Tulisan ini merupakan penjelasan Imam al-Subki yang kami rangkum dari kutipan al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wan Nadhair fil Furu’. Adapun naskah kitab yang menjadi rujukan kami adalah kitab al-Asybah wan Nadhair cetakan al-Haramain, beralamat Singapura-Jeddah-Indonesia, cetakan kedua pada tahun 1380 H/1960 M. (Halaman 25 s/d 26)
Menurut al-Subki, bisikan hati dalam bentuk qashad kepada maksiat ada lima martabat, yakni :
1.      Al-hajis, yakni apa yang termuat dalam hati
2.      Al-khathir, yakni bergerak dalam hati
3.      Hadits al-nafsi, yakni gerakan hati yang masih berkemungkinan melakukan atau tidak melakukannya
4.      Al-ham, yakni gerakan hati yang lebih kuat kepada melakukannya
5.      Al-‘azm, yakni gerakan hati yang sudah kuat dan pasti melakukannya.
Adapun al-hajis, ijmak ulama tidak diazab seeorang dengan sebabnya, karena al-hajis tidak termasuk perbuatan hati, ia hanyalah sesuatu yang ada dalam hati, tidak ada kemampuan atasnya dan tidak ada juga kemampuan menolaknya. Sedangkan al-khathir yang mampu ditolak oleh seseorang dimaafkan dengan jalan qiyas kepada hukum hadits al-nafsi. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits shahih :
ان الله تجاوز لامتي ما حدثت به نفوسنا ما لم تتكلم او تعمل به
Artinya : Sesungguhnya Allah akan mengampuni bagi umatku apa yang terbersit oleh hatinya (hadits al-nafsi) selama dia belum mengungkapkannya atau melakukannya.[1]

Qiyasnya, apabila hadits al-nafsi dimaafkan, maka al-khathir yang berada di bawah martabatnya tentu lebih patut dimaafkan.
Martabat yang tiga ini (al-hajis, al-khathir dan hadits al-nafsi), seandainya ada dalam kebaikan tidak ditulis kebaikannya itu. Adapun landasan untuk yang pertama (al-hajis) karena al-al-hajis tidak termasuk perbuatan hati, sedangkan yang kedua (al-khathir) dan ketiga (hadits al-nafsi) karena tidak ada qashad. Adapun al-ham juga dimaafkan berdasarkan hadits shahih berbunyi :
ان  الهم بالحسنة تكتب حسنة والهم بالسيئة لا تكتب سيئة  وينتظر فان تركها لله كتبت حسنة وان فعلها كتبت سيئة سيئة واحدة
Artinya : Sesungguhnya keinginan (al-ham) kepada kebaikan akan ditulis kebaikan itu, sedang keinginan kepada kejahatan tidak ditulis dan diperhatikan apabila seseorang meninggalkan kejahatan tersebut karena Allah, maka ditulis sebagai kebaikan dan apabila dia melakukannya, maka ditulis sebagai satu kejahatan.[2]

Maksud dari “satu kejahatan” pada hadits di atas adalah yang ditulis sebagai kejahatan hanya perbuatan jahat saja, sedangkan keinginan (al-ham) dimaafkan. Berdasarkan hadits ini, maka dipahami bahwa penggalan hadits : “maa lam tatakallam au ta’mal bihi.” tidak dapat ambil mafhum kebalikannya (mafhum mukhalafah), sehingga dikatakan, apabila diungkapkan apa yang terbersit dalam hatinya untuk melakukan perbuatan maksiat, maka ditulis sebagai maksiat yang terbersit dalam hatinya tersebut. Tidak diambil mafhum mukhalafah pada penggalan hadits tersebut, karena kalau al-ham tidak ditulis sebagai maksiat pada ketika tidak diamalkan, maka sepatutnya hadits al-nafsi lebih tidak ditulis juga sebagai maksiat. Penjelasan ini dikemukakan oleh al-Subki dalam kitabnya al-Halabiyaat.
Namun dalam kitab Syarh al-Minhaj, beliau mengemukakan pendapat yang berbeda. Dalam kitab ini, beliau mengatakan, berdasarkan mutlaq hadits tentang hadits al-nafsi, maka dipahami haram hadits al-nafsi yang berjalan kepada maksiat, meskipun apabila ditinjau dari aspek diri hadits al-nafsi tersebut adalah mubah, namun ia berubah kepada haram karena bercampur qashad haram padanya. Selanjutnya beliau menjelaskan, masing-masing dari berjalan hadits al-nafsi dan qashad tidak haram ketika masing-masingnya menyendiri. Ibnu al-Subki (anak Imam al-Subki) dalam kitabnya, Man’u al-Mawani’ mengatakan, tidak berdosa hadits al-nafsi dan al-ham tidaklah mutlaq, akan tetapi dengan syarat tidak diungkapkan atau tidak diamalkan, sehingga apabila seseorang melakukan perbuatan maksiat, maka seseorang berdosa dengan dua hal, yakni al-ham dan perbuatannya itu. Al-ham dan hadits al-nafsi tidak dimaafkan kecuali apabila tidak diiringi dengan melakukan perbuatannya sebagaimana dhahir hadits. Kemudian Ibnu al-Subki menghikayah pendapat ayahnya, al-Subki yang tersebut dalam Syarh al-Minhaj dan al-Halabiyaat di atas, kemudian beliau mentarjih pendapat yang disebut dalam Syarh al-Minhaj.
Adapun al-‘azm, menurut pendapat ulama tahqiq berdosa karenanya. Argumentasi pendapat ini berdasarkan dalil antara lain :
1.    hadits Nabi SAW :
اذا التقى المسلمان بسيفيه فالقاتل والمقتول في النار قالوا يا رسول الله هذا القاتل فما بال المقتول قال انه كان حريصا على قتل صاحبه                                  
Artinya : Apabila terjadi pertumpahan darah antara dua orang muslim, maka sipembunuh dan yang terbunuh dalam api neraka, para shahabat bertanya, ya Rasulullah! Ini benar pada sipembunuh, tetapi kenapa yang terbunuh juga dalam api neraka? Rasulullah menjawab : sesungguhnya yang terbunuh juga ada kemauan yang kuat untuk membunuh lawannya.[3]

‘illah berdosa orang yang terbunuh dalam kasus hadits di atas adalah kemauan yang kuat membunuh lawanya. Jadi, meskipun yang terbunuh tersebut tidak sempat melakukan pembunuhan, tetapi ada kemauan yang kuat (‘azm) membunuh.
2.      Ijmak ulama berdosa dengan sebab amalan hati seperti dengki dan lainnya
3.      Firman Allah berbunyi :
وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ 

Artinya : Barangsiapa yang merencanakan melakukan maksiat dengan kedhaliman, maka akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih. (Q.S. al-Hajj : 25)

Ini berdasarkan tafsir ilhad bermakna maksiat.
4.      Taubat wajib dilakukan dengan segera, salah satu syaratnya adalah bercita-cita (‘azm) untuk tidak kembali lagi kepada perbuatan maksiat. Apabila masih ada cita-cita kembali perbuatan maksiat sebelum taubat, maka cita-cita tersebut berdosa karena karena bertentangan dengan taubat. Berdasarkan ini, maka cita-cita (‘azm) kepada maksiat berdosa, meskipun belum sempat dilakukan.



[1] Hadits ini telah diriwayat oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim, Juz. I, Hal. 116-117, No. 127 (cetakan Maktabah Dahlan-Indonesia)
[2] Hadits muttafaqun ‘alaihi, lihat Riyadhusshalihin, Hal. 6, No Hadits : 11
[3] Hadits muttafaqun alaihi, lihat Riyadhussalihin, Hal. 6, No Hadits : 9

Senin, 13 Juni 2016

Teori Niat Menurut al-Suyuthi (bag.4)

G.    Beberapa masalah lain sekitar niat
1.      Terjadi perbedaan pendapat, apakah niat itu rukun atau syarat dalam sebuah ibadah.
Kebanyakan ulama berpendapat niat adalah rukun, karena niat masuk dalam substansi ibadah, sedangkan yang seperti itu adalah hakikat rukun, sementara itu syarat ibadah adalah sesuatu yang didahulukan atas ibadah dan wajib berkekalan dalam ibadah. Qadhi Abu al-Thaib dan Ibnu al-Shibagh berpendapat bahwa niat itu adalah syarat. Logika beliau, seandainya niat bukan syarat, maka tentu niat memerlukan niat lagi sebagaimana halnya dalam persyaratan sebuah ibadah. Karena itu, niat mestilah merupakan syarat yang keberadaannya diluar ibadah, bukan diri ibadah.
Ada terjadi perbedaan kalam Imam al-Ghazali tentang ini. Dalam bab puasa, beliau menghitung niat sebagai rukun, sedangkan dalam bab shalat beliau mengatakan niat lebih mendekati sebagai syarat. Sebaliknya dalam kalam al-Syaikhaini (al-Nawawi dan al-Rafi’), keduanya menghitung niat sebagai rukun dalam bab shalat dan sebagai syarat dalam bab puasa. Kemungkinan alur pikir pendapat ini karena niat dalam puasa lebih dahulu wujudnya dari puasa itu sendiri. Ulama lain yang ikut nimbrung masalah ini adalah al-‘Ilaa-i, beliau mengatakan, kemungkinan lain yang dapat dikatakan adalah apabila niatnya dii’tibar pada keabsahannya, maka niat itu adalah rukun dan adapun apabila amalan itu sah tanpa niat, tetapi ada ketergantungan wujud pahala atas niat, seperti perbuatan-perbuatan  mubah dan mencegah diri dari maksiat, maka niat mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub) menjadi syarat dalam menghasilkan pahala.
2.      Niat pada sumpah.
Al-Rafi’i dan al-Nawawi mengikutinya dalam al-Raudhah mengatakan, niat pada sumpah dapat mengkhususkan laazh ‘am, tetapi tidak dapat meng-‘am-kan lafazh khas. Contoh pertama, seseorang mengatakan : “Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan seseorangpun.” dengan niat bahwa yang maksudnya itu adalah si Zaid. Contoh kedua, seorang laki-laki menyebut-nyebut kebaikannya atas seseorang yang telah mengambil air darinya, kemudian orang ini (penerima air) mengatakan, “Demi Allah, tidak aku minum air darinya karena haus.”. Maka sumpah tersebut hanya terjadi khusus dalam hal ambil air untuk minum karena haus. Adapun ambil air untuk memasak makanan atau membersihkan pakaian, maka tidak dianggap melanggar sumpah, meskipun pada waktu mengucapkan lafazh sumpah itu dengan niat tidak memanfaatkan air tersebut dalam bentuk apapun dan meskipun konteks kalam itu menghendaki berlaku umum. Hal ini karena niat hanya dapat mempengaruhi hukum apabila lafazh itu ihtimal (boleh jadi /kemungkinan dapat bermakna) kepada apa yang diniatkan.
3.      Maksud lafazh tergantung kepada niat orang yang melafazhkannya kecuali pada satu kasus, yakni sumpah di sisi qadhi, maka niatnya tergantung niat qadhi, bukan niat orang bersumpah.

H.    Qaidah-qaidah di sekitar masalah niat
1.      الامور بمقاصدها
Artinya : Segala perkara haruslah dengan niat

2.      مايشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل
Artinya : Yang disyaratkan ta’yin, seandainya tersalah, maka dapat membatalkan

3.      ما يجب التعرض له جملة ولايشترط تعيينه تفصيلا إذا عينه وأخطأ ضر
Artinya : Yang wajib didatangkan secara clobal, namun tidak disyaratkan ta’yin secara rinci, maka apabila dita’yinkan, kemudian ternyata salah, maka ini dapat membatalkannya.

4.      ما لا يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر
Artinya : Yang tidak disyarat didatangkannya secara global dan terinci, apabila dita’yin tetapi kemudian ternyata salah, maka tidak mengapa

5.       مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Artinya : Maksud lafazh tergantung kepada niat yang melafazhnya.

=====selesai======