Sabtu, 29 September 2012

Sejarah al-Qur'an (materi mata kuliah Pengantar Ilmu al-Qur'an di STAI Tapaktuan (pertemuan III dan IV))


IV         Sejarah al-Qur’an
1.      Sejarah turunnya al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan  pada bulan Ramadhan berdasarkan nash yang  jelas yang terdapat dalam Surat al-Baqarah  ayat 185 :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Artinya : Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).(Q.S. al-Baqarah  ayat 185)

Terjadi perbedaan pendapat mengenai cara turunnya al-Qur’an, yaitu :
a.         Al-Qur’an turun secara sekaligus pada malam lailatul qadar dari Luh Mahfuzh ke langit dunia. Kemudian diturunkan kepada Nabi dalam jangka 20 tahun, atau 23 tahun ataupun 25 tahun menurut khilaf keberadaan Nabi SAW di Makkah setelah kenabian. Keberadaan al-Qur’an di Luh Mahfuzh sebagaimana firman Allah, berbunyi :
بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ (21) فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)
Artinya : Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an  yang mulia. Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh (Q.S. al-Burujj : 21-22)

Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama dan pendapat yang lebih shahih, karena didasarkan kepada Hadits dari Ibnu Abbas, berbunyi :
أنزل القرآن جملة واحدة إلى السماء الدنيا في ليلة القدر ثم أنزل بعد ذلك بعشرين سنة

Artinya : Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailatul qadar, kemudian diturun setelah itu dalam 20 tahun. (H.R. al-Hakim, shahih isnad)[1]

b.        Diturunkan ke langit dunia dalam 20 malam lailatul qadar dari 20 tahun atau 23 malam lailatul qadar dari 23 tahun ataupun 25 malam lailatul qadar dari 25 tahun (terjadi khilaf dalam menentukannya). Kemudian diturunkan kepada Nabi SAW secara berangsur-angsur.
c.         Permulaan turunnya pada malam lailatul qadar, kemudian diturunkan kepada Nabi SAW secara berangsur-angsur.[2]

Hikmah diturunkan al-Qur’an secara berangsur-angsur adalah
a.     Agar lebih mudah difahami dan dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak.
b.      Di antara ayat-ayat itu ada yang nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini tidak dapat dilakukan sekiranya al-Qur’an diturunkan sekaligus
c.      Turunnya sesuatu ayat sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih berpengaruh di hati.
d.      Memudahkan penghafalan. Orang-orang musyrik yang telah menanyakan mengapa al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Q.S al Furqaan : 32, berbunyi :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ
Artinya : Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya (Q.S al Furqaan : 32)

e.      Di antara ayat-ayat ada yang merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau perbuatan

2.      Sejarah Penulisan dan Pengumpulan al-Qur’an
Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang, yakni sebagai berikut :
Tahap Pertama : Zaman Nabi Muhammad SAW.
Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat r.a sangat kuat dan cepat disamping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal al-Qur’an dari kalangan sahabat Nabi sangat banyak.
Qatadah berkata :
سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : أَرْبَعَةٌ كُلُّهُمْ مِنَ الأَنْصَارِ أُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ ، وَأَبُو زَيْدٍ
Artinya : Aku bertanya kepada Anas bin Malik r.a., siapa yang mengumpulkan al-Qur’an pada masa Nabi SAW, beliau menjawab : empat orang, semuanya dari kaum Anshar, yaitu Ubai bin Ka’ab, Mu’az bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. (H.R. Bukhari)[3]

Dari Anas, beliau berkata :
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَجَدَ عَلَى سَرِيَّةٍ مَا وَجَدَ عَلَى السَّبْعِينَ الَّذِينَ أُصِيبُوا يَوْمَ بِئْرِ مَعُونَةَ كَانُوا يُدْعَوْنَ الْقُرَّاءَ فَمَكَثَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى قَتَلَتِهِمْ.
Artinya : Belum pernah aku melihat Rasulullah SAW sedemikian murkanya karena kehilangan pasukannya, sebagaimana kemurkaan beliau ketika kehilangan tujuh puluh sahabatnya yang terbantai pada peristiwa Bi'ru Ma'unah, ketujuh puluh sahabat tersebut digelari Qurra` (para Ahlul Qur'an), oleh karena itu selama sebulan penuh beliau mendoakan kecelakaan kepada kaum yang telah membunuhnya.(H.R. Muslim)[4]

Dari Zaid bin Tsabit, berkata :
كنا عند رسول الله صلى الله عليه و سلم نؤلف القرآن من الرقاع
Artinya : Pada masa Rasulullah SAW, kami mengumpulkan al-Qur’an dari lembaran kulit/daun (H.R. al-Hakim, hadits shahih atas syarat al-Syaikhaini)[5]

Tahap Kedua : Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah, salah seorang yang Rasulullah SAW   memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya. Maka Abu Bakar r.a. memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukhari  disebutkan, bahwa Umar bin Khathab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah SWT membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, beliau lalu memanggil Zaid bin Tsabit, di samping Abu Bakar berdiri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid :
إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ ، وَلاَ نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَتَبَّعِ الْقُرْآنَ
Artinya : Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah SAW, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah !

Zaid berkata :
فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنَ الرِّقَاعِ وَالأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ {لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ} إِلَى آخِرِهِمَا وَكَانَتِ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا الْقُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ.
Artinya : Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada lembaran-lembaran, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun, yaitu ayat:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ
dan seterusnya dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar.(H.R. Bukhari)[6]


Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar.

Tahap Ketiga : Zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan r.a
Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat r.hum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah SWT dan akhirnya berpecah belah. Mushaf ini yang kemudian dikenal dengan nama Mushaf Utsmany disepakati (ijmak sahabat) sebagai al-Qur’an sebagaimana yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana penjelasan di bawah ini.
Dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman datang menghadap Utsman Ibn Affan dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan :
يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، أَدْرِكْ هَذِهِ الأُمَّةَ قَبْلَ أَنْ يَخْتَلِفُوا فِي الْكِتَابِ ، اخْتِلاَفَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى
Artinya : Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani !

Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah:
أَنْ أَرْسِلِي إِلَيْنَا بِالصُّحُفِ نَنْسَخُهَا فِي الْمَصَاحِفِ ، ثُمَّ نَرُدُّهَا إِلَيْكِ
Artinya : Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu !.

Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut. Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam r. hum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya :
إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وزَيْد بْنُ ثَابِتٍ فِي شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآنِ ، فَاكْتُبُوهُ بِلِسَانِ قُرَيْشٍ ، فَإِنَّمَا نَزَلَ بِلِسَانِهِمْ
Artinya : Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut !

merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.(H.R. Bukhari)[7]

Utsman melakukan hal ini setelah meminta pendapat para sahabat yang lain, sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibn Abu Dawud dengan isnad shahih dari Ali bahwasanya beliau mengatakan :
لا تقولوا في عثمان إلا خيرا فوالله ما فعل الذي فعل في المصاحف إلا عن ملأ منا قال ما تقولون في هذه القراءة لقد بلغني أن بلغني أن بعضهم يقول إن قراءتي خير من قراءتك وهذا يكاد أن يكون كفرا قلنا فما ترى قال أرى ان نجمع الناس على مصحف واحد فلا تكون فرقة ولا اختلاف قلنا فنعم ما رأيت
Artinya : Jangan kalian berkata tentang ‘Utsman kecuali kebaikan. Karena demi Allah, tidaklah yang ia lakukan dalam hal mushhaf itu kecuali berdasarkan persetujuan kami. Waktu itu ‘Utsman berkata, ‘Bagaimana pendapat kalian tentang qirâ`at ini? Sungguh telah sampai kepadaku bahwasanya sebagian dari mereka berkata, qirâ`atku lebih baik dari qirâ`atmu. Dan ini hampir-hampir mengarah pada kufur.’ Kami bertanya kembali, ‘Menurut anda sendiri bagaimana?’ Ia menjawab, ‘Aku berpendapat, manusia disatukan dalam satu mushhaf. Sehingga tidak ada perpecahan dan perselisihan.’ Kami pun menjawab, ‘Bagus sekali pendapat anda.(H.R. Ibnu Abu Daud)[8]


[1] Al-Hakim, al-Mustadrak, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 242, No. hadits : 2879
[2] Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Turats, Kairo, Juz. I, Hal. 228-229
[3] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 230, No. hadits : 5003
[4] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 136, No. Hadits : 1582
[5] Al-Hakim, al-Mustadrak, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 249, No. Hadits : 2901
[6] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 89-90,  No. hadits : 4679
[7] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 226,  No. hadits : 4987
[8] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 18,

Jumat, 28 September 2012

Dialog Ust. Syafi’i Umar Lubis Dengan Wahabi Anti Talqin


Di kalangan masyarakat kita, ketika ada orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku hampir di seluruh negara Islam yang menganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang diceritakan oleh teman saya, Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan. Ia bercerita begini:
Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan. Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu itu kitab yang dibaca adalah kitab al-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa al-Taqrib, karya Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa ini sangat resah dengan keberadaan ponakannya yang belajar di Pondok As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang-orang Wahhabi. Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta’lim kami di Sunggal. Pada malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama keponakannya itu, sebut saja dengan inisial X.
Setelah mereka berkumpul, saya bertanya, kira-kira apa yang akan kita diskusikan?
X menjawab, “Banyak Ustadz, antara lain soal Talqin dan bid’ah”.
Saya bertanya, “Apa yang kita masalahkan dengan bid’ah itu?”
X menjawab, “Ini Ustadz, bid’ah itu kan dosa dan pelakunya diancam siksa dalam banyak hadist” Demikian X itu menjawab.
Saya tanya, “Benar, kita sepakat bid’ah itu sebuah ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat, bid’ah itu tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias Murtad. Bid’ah itu ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah. Kamu tahu enggak apa itu Bid’ah?”
X menjawab, “Sebagaimana yang kami pelajari, bid’ah itu ialah segala sesuatu yang menyangkut ibadah yang tidak ada di zaman Nabi dan dilakoni oleh Nabi dan Salafus Sholeh, seperti Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain sebagainya.”
Saya berkata, “Definisi bid’ah seperti itu siapa yang membuatnya? Nabi, atau Sahabat, dan atau Tabiin?”
X menjawab, “Itu rangkuman pemikiran saya saja.”
Saya berkata, “Kalau begitu definisi bid’ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari Nabi. Nah definisi Anda itu juga Bid’ah, kan definisi anda itu bukan keluar dari ucapan Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan.”
Mendengar umpan saya, X terdiam. Kemudian ia berkata, “Lalu bagaimana dengan hadisi “Man Ahdasta Fii Amrina haza Fahuwa Roddun“.
Saya balik bertanya, “Kenapa dengan Hadist itu?”
X berkata, “Hadist ini secara tegas menyingkap apa itu bid’ah.”
Saya berkata, “Benar, tapi perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu. Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan kalimat itu?”
X menjawab: “Menurut saya pokoknya menciptakan Ibadah baru itu Bid’ah!!.”
Saya berkata: “Kalau begitu Anda memahami hadist itu pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma laisa mihu dalam hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini.”
Ternyata X hanya terdiam tidak bisa menjawab.
Saya berkata: “Saudara, kata ahdatsa dalam hadits tersebut bermakna menciptakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang merupakan urusan Agama kami, maksudnya suatu hal yang baru yang berkaitan dengan agama. Sedangkan kata ma laisa mihu, bermakna sesuatu yang tidak ada dalilnya secara langsung atau tidak langsung dari agama. Nah demikian itu baru dihukumi bid’ah. Makanya al-Imam al-Nawawi dalam Kitab al- Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menyatakan bahwa bid’ah adalah sesuatu urusan yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya. Dalil-dalil itu adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selama masih ada dalilnya dari salah satu yang empat tersebut, maka itu bukan bid’ah. Anda kalau zakat fitrah pake apa? Seharusnya mesti pakai korma dong. Rasul SAW mengatakan tidak pernah pakai beras.
Rasul tidak mempraktekkan zakat fitrah pakai beras. Pakai beras itu Qiyas dari korma dan gandum. Jadi kalau tidak menggunakan Qiyas, tentu saja Islam ini sempit sekali. Demikian pula masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan masyarakat kita, isinya adalah pembacaan al Qur’an, Tahlil dengan kalimat Laa lllaha lllalloh, Sholawat, lalu doa. Saya tanya Anda. “Apakah ada larangan membaca itu semua, baik menurut al-Qur’an dan hadist?”
Mendengar pertanyaan saya, X menjawab: “Tidak ada.”
Saya berkata: “Apakah ada perintah membaca itu semua menurut al-Qur’an dan hadist secara umum?”
X menjawab: “Ada.”
Saya bertanya: “Adakah larangan Allah dan Rasul untuk berdzikir, baca al-Qur’an dan lain sebagainya itu?”
X menjawab:” Tidak ada.”
Saya berkata: “Nah! Kan tidak ada larangan. Sementara pengamalan tersebut ada sanjungan dari Allah dan Rasul, maka itu bukanlah bid’ah yang terlarang atau sesat. Anda faham!”
X menjawab: “Emangnya apa sanjungan Allah dan Rasul-Nya?”
Saya menjawab: “Lho…!! Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadist shahih yang artinya, ‘Tidaklah sekelompok orang yang duduk sambil berzikir kepada Allah kecuali para malaikat akan mengelilinginya, rahmat kasih sayang Allah akan meliputinya, ketenangan akan diturunkan kepadanya dan Allah akan menyebut-nyebut mereka dihadapan makhluk yang ada disisiNya”. (HR Ahmad, Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dari Abi Hurairah dan Abi Sa’id al- Khudri). Dalam hadist ini atau hadist lain tidak pernah ada larangan, kecuali ditempat-tempat kotor seperti di WC dan semacamnya.”
Mendengar penjelasan saya, X terdiam. Kemudian ia angkat bicara: “Bagaimana masalah Talqin? Bukankah itu Bid’ah?”
Saya menjawab: “Begini saja supaya jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di Whiteboard, “TALQIN MAYIT BUKAN BID’AH TAPI KHILAFIAH” dan saya tanda tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan dari pernyataan saya.
Lalu iapun menuliskan “TALQIN MAYIT ADALAH BIDAH” dan ditanda tanganinya.
Lalu saya bertanya : “Kalau Talqin mayit adalah bid’ah berarti pelakunya diancam siksa?”
X menjawab: “Ya.”
Saya bertanya: ‘Yang mengatakan bahwa talqin mayit itu bid’ah, siapa?”
Dengan semangat, X yang masih anak muda itu mengatakan: “Syaikhul Islam Ibn Taimiyah.”
Mendengar jawaban itu, saya pun mengambil kitab Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya berkata: “Ini kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah.” Sambil menunjukkan kepada hadirin semua, halaman 242 jilid 1, yang isinya adalah:
فأ جاب ….هذا التّلقين المذكور قد نقل عن طائفة من الصّحابة أنّهم أمروا به. كأبي أمامة الباهليّ وغيره ….فلهذا قال الامام احمد وغيره من العلماء : انّ هذا التّلقين لا بأس به. مجموع فتاوى ابن تيمية ١/٢٤٢
“Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa menka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili sertu beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad bin Hanbal dan para ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 1 hal. 242).
Nah, Ibn Taimiyah tidak mengatakan bahwa talqin itu bid’ah, malah menyatakan ada dalilnya bahwa talqin itu dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang jelas ini masalah Khilafiah bukan masalah bid’ah!!!”
Mendengar penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama kemudian, ia pamitan pulang.“
Demikian kisah dialog publik antara Ustady Syafi’i Umar Lubis dari Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.
(Oleh: Ust. Muhammad Idrus Ramli)

Ulama Wahabi Buta Mata Buta Hati


Ketika orang-orang Wahhabi memasuki Hijaz dan membantai kaum Muslimin dengan alasan bahwa mereka telah syirik, sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Nabi saw dalam sabdanya, “Orang-orang Khawarij akan membunuh orang-orang yang beriman, dan membiarkan para penyembah berhala.” Mereka juga membunuh seorang ulama terkemuka. Mereka menyembelih Syaikh Abdullah al-Zawawi, guru para ulama madzhab al-Syafi’i, sebagaimana layaknya menyembih kambing. Padahal usia beliau sudah di atas 90 tahun. Mertua Syaikh al-Zawawi yang juga sudah memasuki usia senja, juga mereka sembelih.
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma Allah dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka, akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan dibunuh atau dideportasi dari Hijaz. Di antara ulama yang diajak berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah al-Syanqithi, salah seorang ulama kharismatik yang dikenal hapal Sirah Nabi saw. Sedangkan dari pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang tuna netra dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah. Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz dalam bahasa Arab, karena taklid buta pada pendapat Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim.
Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:
“Apabila Anda berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an:
“Dan Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS. al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat, sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi, ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun menjerit dan memerintahkan agar Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Kisah keberanian kaum Wahhabi untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini hanya terjadi pada awal-awal berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Kini para ulama Wahhabi tidak pernah lagi berani untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, baik di Timur Tengah maupun di Tanah Air, setelah mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah menang berdebat dengan para ulama.

(sumber : http://debatsalafi.wordpress.com/2012/03/19/ulama-wahabi-buta-mata-buta-hati)